Kamis, 17 Januari 2013

TRADISI YASINAN


Salah satu tradisi yang hampir merata di negeri kita adalah tradisi Yasinan.
Yaitu, tradisi membaca surat Yasin bersama-sama. Baik membacanya sendiri-
sendiri maupun membacanya secara berjamaah dengan dipandu oleh seorang
qari' yang dianggap paling baik bacaannya, Tidak jarang, tradisi Yasinan ini
dilakukan di makam para wali dan ulama ketika ziarah ke makam mereka.

Dalam sebuah diskusi di JL Sekar Tunjung IV/27, Denpasar, ada teman bernama
Suwarno, Ketua Forum Studi Islam Bali (FOSIBA) bertanya, mengenai hadits-
hadits tentang fadhilah surat Yasin. Apakah hadits-hadits tersebut shahih atau
tidak. Mendengar pertanyaan itu, saya balik bertanya, mengapa Anda bertanya
demikian. Akhirnya ia menyodorkan sebuah buku kecil dengan cover biru
berjudul YASINAN, KAJIAN MELURUSKAN AQIDAH, karya Ustadz Yazid bin
Abdul Qadir Jawas.

Setelah melihat nama penulis buku kecil tersebut, saya teringat cerita
teman saya setahun sebelumnya, Ustadz Ali Rahmat, Lc., seorang kiai muda
yang kini tinggal di Jakarta. Bahwa suatu ketika beberapa pemuda Ahlussunnah
Wal-Jama'ah menghadiri pengajian Yazid bin Abdul Qadir Jawas dan Abdul
Hakim Amir Abdat di slamic Center Jakarta Utara. Setelah acara selesai,
beberapa pemuda itu meminta kesediaan Yazid Jawas untuk berdebat secara
terbuka dengan para ulama tentang tulisan-tulisannya yang banyak melawan
arus kaum Muslimin di tanah air. Dan sebagaimana dapat ditebak, jawaban
Yazid memang menyatakan ketidaksiapan untuk berdebat secara terbuka.
dengan siapapun. Tentu saja karena ia merasa dalil-dalilnya lemah semua dan
mudah dipatahkan dalam arena perdebatan ilmiah.

Setelah buku kecil bersampul biru itu saya baca, temyata dalam buku
tersebut, Yazid Jawas sangat cerdik dalam menyembunyikan kebenaran tentang
fadhilah surat Yasin. Sebagaimana dimaklumi, di kalangan ahli hadits ada dua
kelompok berbeda dalam menyikapi hadits-hadits fadhilah surat Yasin. Pertama,
kelompok ekstrem yang menganggap hadits-hadits tentang fadhilah surat Yasin
tidak ada yang shahih, yaitu kelompok Ibn al-Jauzi dalam kitab al-Maudhu’at.
Dan kedua, kelompok moderat yang menganggap bahwa hadits-hadits tentang
fadhilah surat Yasin ada yang shahih dan hasan, yaitu kelompoknya al- Imam al-
Hafizh Abu Hatim bin Hibban dalam Shahih-nya, al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi
dalam Tafsi-nya, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tadrib al-Rawi, al-Imam
Muhammad bin Ali al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir dan al-Fawaid al-
Majmu’ah dan lain-lain.



  

84
Menurut keyakinan saya, sebenamya Yazid mengetahui hadits-hadits
shahih tersebut, karena dalam buku kecil itu Yazid juga merujuk terhadap kitab
Tafsir al- Hafizh Ibn Katsir dan al-Fawaid al-Majmu’ah karya al- Syaukani. Akan
tetapi, keshahihan hadits-hadits fadhilah surat Yasin dalam kedua kitab tersebut
agaknya dapat merugikan kepentingan Yazid yang berideologi Wahhabi yang
sangat kencang memerangi tradisi Yasinan. Sehingga Yazid beralih dari kedua
kitab tersebut dan sebagai solusinya ia merujuk kepada kitab-kitab dan
komentar-komentar yang memaudhu'kan dan mendha'ifkan saja. Berikut ini saya
kutipkan hadits-hadits (shahih) tentang fadhilah surat Yasin dari Tafsir Ibn Katsir
yang menjadi rujukan utama Yazid Jawas dalam semua bukunya.


"Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada malam
hari, maka pagi harinya ia diampum oleh Allah. Barangsiapa yang membaca
surat al-Dukhan, maka  ia diampuni oleh Allah." (HR Abu Ya'la).

Menurut al-Hafizh Ibn Katsir, hadits ini sanad-nya  jayyid (shahih). Komentar
Ibn Katsir ini juga dikutip dan diakui oleh al-Imam al-Syaukani dalam tafsimya
Fath al-Qadir, bahwa sanad hadits tersebut jayyid, alias shahih..
"Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada
malam hari karena mencari ridha Allah, maka Allah akan mengampuninya," (HR.
Ibn Hibban  dalam  Shahih-nya).

Hadits ini dishahihkan oleh al-Imam Ibn Hibban dan diakui oleh al-Hafizh
Ibn Katsir dalam Tafsir-nya, al- Hafizh Jalahiddin al-Suyuthi dalam Tadrib al-
Rawi, dan al- Imam al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir dan al-Fawaid al-
Majmu’ah. Al-Syaukani berkata dalam al-Fawaid al- Majmu’ah sebagai berikut:

"Hadits, "Barangsiapa membaca surat Yasin karena mencari ridha Allah, maka 
Allah akan mengampuninya diriwyatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Humairah
secara marfu’ dan sanadnya sesuai dengan kriteria hadits shahih.  Hadits
tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dan al- Khathib. Sehingga tidak ada
alasan merryebut hadits tersebut dalam kitab-kitab al-Maudhu’at (tidak benar
menganggapnya  sebagai hadits maudhu’)." (Al-Syaukani, al-Fawaid  al-
Majmu’ah  fi  al-Ahadits al-Maudhu’ah, haL 302-303).

 Demikian hadits-hadits fadhilah surat Yasin yang di- shahih-kan dalam
Tafsir Ibn Katsir dan al-Fawaid' al- Majmu’ah  fi  al-Ahadits al-Maudhu’ah. Kedua
kitab ini menjadi rujukan Yazid Jawas dalam bukunya, YASINAN. Berikut ini
akan saya kutip sebuah pemyataan dari salah seorang ulama salaf, yaitu al-
Imam Abdurrahman bin Mahdi, yang sudah barang tentu dihafal oleh kalangan
Wahhabi seperri Yazid Jawas. Al- Imam Abdurrahman bin Mahdi berkata:
"Ahlussunnah akan menulis apa saja, baik menguntungkam maupun
merugjkan mereka. Tetapi ahli bid'ah hanya akan menulis apa yang
menguntungkan  saja."

Seandainya Hadits Fadhilah Surat Yasin Dha'if
Dalam sebuah diskusi di Mushalla Nurul Hikmah Perum Dalung Permai
Denpasar, ada salah seorang Wahhabi berbicara. Menurutnya, bagaimana
seandainya hadits-hadits yang diamalkan oleh kaum Muslimin itu hadits dha'if?.
Dalam kesempatan tersebut, saya menyampaikan, seandainya hadits-hadits
tentang keutamaan surat Yasin itu dha'if, maka hal tersebut tidak menjadi
persoalan. Sebab para ulama sejak generasi salaf yang saleh telah bersepakat
mengamalkan hadits dha’if dalam konteks fadhail al-a’mal. Syaikhul Islam al-
Imam  Hafizh al-’Iraqi berkata:

"Adapun hadits dha'if yang tidak maudhu' (palsu), maka para ulama telah
memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa
menjelaskan kedha'ifannya, apabila hadits tersebut tidak berkaitan dengan
hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib dan  tarhib seperti
nasehat, kisah-kisah, fadhail al-a'mal dan lain-lain. Adapun berkaitan dengan
hukum-hukum syar'i berupa halal, haram dan selainnya, atau akidah seperti
sifat-sifat Allah, sesuatu yang jaiz dan mustahil bagi Allah, maka para ulama
tidak melihat kemudahan dalam hal itu. Di antara para imam yang
menetapkan hal tersebut adalah Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal,
Abdullah bin al-Mubarak dan lain-lain. Ibn Adi telah membuat satu bab dalam
mukaddimah kitab al-Kamil dan al-Khathib dalam al-Kifayah mengenal hal
tersebut." (Al-Hafizh al-lraqi, al-Tabshirah wa al-Tadzkirah,juz 1, hal. 291). 

Sebagai bukti bahwa hadits-hadits dha'if itu ditoleransi dan diamalkan
dalam konteks fadhail al-a'mal dan sesamanya, kita dapati kitab-kitab para ulama
penuh dengan hadits-hadits dha’if, termasuk kitab-kitab Syaikh Ibn Taimiyah, Ibn
Qayyim al-Jauziyah dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi pendiri
aliran Wahhabi. Dalam Catatan sejarah, orang yang pertama kali menolak hadits
dha'if dalam konteks fadhail al-a'mal dan sesamanya adalah Syaikh Nashir al-
Albani, ulama Wahhabi dari Yordania, dan kemudian diikuti oleh para Wahhabi di
Indonesia seperti Hakim Abdat, Yazid Jawas, Mahrus Ali dan lain-lain. Tentu
saja, pandangan Syaikh Nashir menyalahi pandangan para ulama' sebelumnya
termasuk kalangan ahli hadits.
Suatu pagi, awal Agustus 2010, saya mendapati kiriman SMS dari seorang
teman. Isinya, berkaitan dengan pemyataan Syaikh Ali dalam acara Indahnya
Sedekah di Televisi Pendidikan Indonesia, bersama Ustadz Yusuf Manshur.
Dalam acara itu, Syaikh Ali ditanya tentang hukum Maulid Nabi SAW. Kemudian
Syaikh Ali menjawabnya dengan mengutip pernyataan Syaikh Ibn Taimiyah
dalam Iqtidha' al-Shiratt al-Mustaqim yang menilai positif perayaan maulid Nabi
SAW. Hanya saja di bagian akhir pernyataannya, Syaikh Ali mengeluarkan
pernyataan yang kontroversial dan sarat dengan aroma Wahhabi. Dalam hal itu
ia mengatakan, "Kita harus meninggalkan segala sesuatu yang tidak pemah
dikerjakan oleh Rasulullah SAW." Agaknya Syaikh Ali ini memang seorang
Wahhabi yang berupaya menyebarkan faham Wahhabi melalui acara televisi di
TPI.
Catatan :
Apabila Syaikh Ali yang dimaksud diatas adalah Syaikh Ali Jaber Al-Madani (Ulama Madinah
yang kini tinggal di Indonesia mengikuti istrinya dan sering tampil di televisi di acara Indahnya
Sedekah), maka pendapat saya (Luqman Firmansyah) mengenai hal ini adalah  Syaikh Ali
bukanlah orang Wahhabi. Hal ini didasarkan atas pengalaman pribadi saya yang pernah
menghadiri langsung acara yang berjudul Peringatan Maulid Nabi Februari 2011 kemarin di
Masjid Raya Makassar. Tampak dalam baliho di depan masjid tertulis “Peringatan Maulid Nabi
bersama Syaikh Ali Jaber Al-Madani”. Dalam taushiyahnya yang saya lihat dan saya dengar
sendiri beliau menyebutkan bahwa peringatan Maulid Nabi sangat baik untuk dilakukan. Bahkan
Syaikh Ali menceritakan sedikit kisahnya bahwa suatu hari ia mendengarkan ceramah dari
seorang ustadz di Masjid namun yang dibicarakan oleh ustadz tersebut hanyalah seputar tema
bid’ah dan bid’ah saja. Selesai acara Syaikh Ali menemuinya lalu mengatakan  “muka anda juga
bid’ah”. Dari cerita tersebut maka saya menyimpulkan bahwa beliau, Syaikh Ali bukanlah
seorang wahhabi. Salah seorang teman saya juga berhasil merekam video taushiyahnya dari awal
hinggal akhir. Dan apabila anda ingin melihat videonya sebagai bukti bisa hubungi saya. Semoga
Syaikh Ali yang di maksud dalam buku ini bukan Syaikh Ali yang pernah yang temui di Makassar.
Wallahu a’lam 


Dalam diskusi di Mushalla al-Fitrah, Jl. Gunung Mangu, Monang Maning
Denpasar, pada akhir Juli 2010, ada seorang Wahhabi berinisial HA berkata:
“Ustadz, Rasulullah SAW tidak pemah mengumpulkan para sahabat, lalu
membaca Surat Yasin secara bersama-sama. Oleh karena itu, berarti tradisi
Yasinan itu bid'ah dan tidak boleh dilakukan." Demikian kata HA dengan suara
agak berapi-api.

Pernyataan HA tersebut saya jawab: "Sesuatu yang tidak pemah dikerjakan
oleh Rasulullah SAW, atau para sahabat dan ulama salaf itu belum tentu
dilarang atau tidak boleh. Berdasarkan penelitian terhadap hadits-hadits Nabi
SAW, al-Hafizh Abdullah al-Ghumari menyimpulkan, bahwa sesuatu yang
ditinggalkan oleh Rasulullah SAW mengandung beberapa kemungkinan:

Pertama, Nabi SAW meninggalkannya karena tradisi di daerah beliau
tinggal. Nabi SAW pernah disuguhi daging biawak yang dipanggang. Lalu Nabi
M bermaksua menjamahnya dengan tangannya. Tiba-tiba ada orang berkata


87

kepada beliau: "Itu daging biawak yang dipanggang." Mendengar perkataan itu,
Nabi SAW tidak jadi memakannya. Lalu beliau ditanya, "Apakah daging tersebut
haram?" Beliau menjawab: "Tidak haram, tetapi, daging itu tidak ada di daerah
kaumku, sehingga aku tidak selera." Hadits ini terdapat dalam Shahih al-Bukhari
dan Muslim.

Kedua, Nabi SAW meninggakannya karena lupa. Suatu ketika Nabi SAW
lupa meninggalkan sesuatu dalam shalat. Lalu beliau ditanya, "Apakah terjadi
sesuatu dalam shalat?" Beliau menjawab: "Saya juga manusia, yang bisa lupa
seperti halnya kalian. Kalau aku lupa meninggalkan sesuatu, ingatkan aku."

Ketiga, Nabi SAW meninggalkannya karena khawatir diwajibkan atas
umatnya. Seperti Nabi SAW meninggalkan shalat tarawih setelah para sahabat
berkumpul menunggu untuk shalat bersama beliau.

Keempat, Nabi SAW meninggalkannya karena memang tidak pemah
memikirkan dan terlintas dalam pikirannya. Pada mulanya Nabi SAW berkhutbah
dengan bersandar pada pohon kurma dan tidak pemah berpikir untuk membuat
kursi, tempat berditi ketika khutbah. Setelah sahabat mengusulkannya, maka
beliau menyetujuinya, karena dengan posisi demikian, suara beliau akan lebih
didengar oleh mereka. Para sahabat juga mengusulkan agar mereka membuat
tempat duduk dari tanah, agar orang asing yang datang dapat mengenali beliau,
dan temyata beliau menyetujuinya, padahal belum pernah memikirkannya.

Kelima, Nabi M meninggalkannya karena hal tersebut masuk dalam
keumuman ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-haditsnya, seperti sebagian besar
amal-amal mandub (sunnat) yang beliau tinggalkan karena sudah tercakup
dalam firman Allah :
"Lakukanlah kebaikan, agar kamu menjadi orang-orang yang beruntung."
(QS. al-Hajj: 77).

Keenam, Nabi SAW meninggalkannya karena menjaga perasaan para
sahabat atau sebagian mereka. Nabi bersabda kepada Aisyah: "Seandainya
kaummu belum lama meninggalkan kekufuran, tentu Ka'bah itu aku bongkar lalu
aku bangun sesuai dengan fondasi yang dibuat oleh Nabi Ibrahim karena orang-
orang Quraisy dulu tidak mampu membangunnya secara sempuma." Hadits ini
terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Nabi SAW tidak merekonstruksi
Ka'bah karena menjaga perasaan sebagian sahabatnya yang baru masuk Islam
dari kalangan penduduk Makkah.

Kemungkinan juga Nabi SAW meninggalkan suatu hal karena alasan-
alasan lain yang tidak mungkin diuraikan semuanya di sini, tetapi dapat diketahui
dari meneliti kitab-kitab hadits. Belum ada suatu hadits maupun atsar yang

 |
88
menjelaskan bahwa Nabi SAW meninggalkan sesuatu karena hal itu
diharamkan. Demikian pernyataan al- Hafizh Abdullah al-Ghumari dengan
disederhanakan.

Berkaitan dengan membaca al-Qur'an atau dzikir secara bersama, al-Imam
al-Syaukani telah menegaskm dalam kitabnya, al-Fath al-Rabbai fi Fatawa al-
Imam al-Syaukani sebagai berikut:
“Ini adalah himpunan ayat-ayat al-Qur'an ketika melihat pertanyaan ini. Dalam
ayat-ayat tersebut tidak ada pembatasan dzikir dengan cara mengeraskan
atau memelankan, meninggikan atau merendahkan suara, bersama-sama
atau sendirian. Jadi ayat-ayat tersebut memberi pengertian anjuran dzikir
dengan semua cara tersebut.” (Syaikh al-Syaukani, Risalah al-Ijtima’ ‘ala al-
Dzikir wa al-Jahr bihi, dalam kitab beliau al-Fath al-Rabbani min Fatawa al-
Imam al-Syaukani, hal 5945). 

Pernyataan al-Syaukani di atas, adalah pernyataan seorang ulama yang
mengerti al-Qur'an, hadits dan metode pengambilan hukum dari al-Qur'an dan
hadits. Berdasarkan pernyataan al-Syaukani di atas, membaca al-Qur'an
bersama-sama tidak masalah, bahkan dian|urkan sesuai dengan ayat-ayat al-
Qur’an yung menganjurkan kita memperbanyak dzikir kepada Allah dengan cara
apapun.

Mengapa Membaca Usholli
Pembicaraan mengenai bid'ah hasanah di Mushalla Baitul Mustaqim
Jimbaran Bali, pada 25 Juli 2010, membawa pada pembicaraan mengenai
hukum membaca ushalli ketika setiap akan shalat. Seorang teman berbicara,
"Mengapa kita membaca ushalli? Apakah Rasulullah SAW pernah melakukannya
ketika akan menunaikan shalat?" Menjawab pertanyaan ini, saya menjelaskan:
"Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW mengucapkan kata
Ushalli ketika akan shalat. Para ulama fuqaha yang menganjurkan membaca
Ushalli juga tidak beralasan bahwa Rasulullah SAW telah melakukannya. Dasar
filosofi mengapa para ftiqaha menganjurkan membaca Ushalli adalah demikian:

Pertama, Rasulullah SAW bersabda, “innama al-a’malu binniyat (segala
perbuatan itu tergantung pada niatnya"). Hadits ini menjadi dalil wajibnya niat
ketika kita akan menunaikan ibadah. Kedua, setelah redaksi hadits tersebut, ada
redaksi, "wainnama likulli imri'in ma nawa (seseorang hanya akan memperoleh
apa yang telah diniatinya)". Hal ini menunjukkan bahwa ketika ibadah itu memiliki
beberapa macam yang berbeda, maka harus dilakukan ta'yin (penentuan) dalam
niat. Misalnya shalat fardhu itu ada lima, zhuhur, ashar, maghrib, isya' dan
shubuh. Dari sini, seorang yang akan menunaikan shalat fardhu, harus
menentukan shalat fardhu apa yang akan ia lakukan. Ketiga, secara
kebahasaan, niat itu diistilahkan dengan bermaksud melakukan sesuatu
bersamaan dengan bagian awal pelaksanaannya.



89
Seseorang tentunya akan merasa kesulitan untuk melakukan niat di dalam
hati bersamaan dengan awal pelaksanaan shalat. Sedangkan mengucapkan niat
sebelum melakukan takbiratul ihram, dapat membantu konsentrasi hati dalam
melakukan niat shalat fardhu yang disertai ta'yin di atas. Dari sini kemudian para
ulama,; fuqaha menganjurkan mengucapkan niat sebelum mengucapkan
takbiratul ihram, agar ucapan niat tersebut; membantu konsentrasi hati ketika
takbiratul ihram ilakukan. Para ulama fuqaha mengatakan, dianjurkan
mengucapkan niat dengan lidah, agar lidah dapat membantu hati (liyusa’ida al-
lisan al-qalba) dalam melakukan niat.

Di sisi lain, Rasulullah SAW juga pernah mengucapkan niat dengan lidah ketika
akan menunaikan ibadah haji. 
"Dari sahabat Anas RA berkata, saya mendengar Rasulullah SAW
mengucapkan, labbaika aku sengaja mengerjakan umrah dan haji . (HR.
Muslim)

Dengan demikian mengucapkan niat dalam shalat dapat dianalogikan dengan
pengucapan niat dalam ibadah haji." 
Wallahu a'lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar