Taubat, secara etimologis, adalah meninggalkan, yakni meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang terlarang untuk kemudian menggantinya dengan
perbuatan yang terpuji,
menurut syariat. Taubat mempunyai tahapan-tahapan.
Tahap pertama, seseorang harus bertaubat dari --melakukan-- dosa-dosa besar,
kemudian bertaubat dari dosa kecil, perkara makruh, dan perbuatan yang
kurang
baik. Selanjutnya, secara berurutan, bertaubat dari anggapan-anggapan bahwa
dirinya adalah orang baik, bertaubat
dari anggapan bahwa dirinya termasuk
kekasih Tuhan, bertaubat dari anggapan bahwa dirinya telah benar dalam
melakukan taubat, dan bertaubat dari segala kehendak hati yang tidak di ridlai
Allah. Puncaknya, seseorang bertaubat
dari lupa bermusyahadah (mengingat)
kepada
Allah, walau sekejap.
Cara taubat, pada dasarnya, cukup dengan
menyesali dan mengakui dosa-
dosa yang dilakukan. Ini seperti yang terjadi dengan taubat nabi Adam ketika ia
i
terlanjur melakukan perbuatan yang dilarang. Adapun sebagian ulama ada yang
|
menyatakan bahwa taubat harus disertai dengan niat yang kuat untuk tidak
ii
mengulangi lagi, penyataan itu adalah hasil
ijtihad. Sebab,
orang yang benar-
|
benar menyesal tentu tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.
Dengan taubat yang sungguh-sungguh, segala kesalahan dan dosa yang
berhubungan dengan Tuhan akan diampuni. Begitu pula tindakan dzalim
terhadap diri sendiri, kecuali syirik dan segala yang berhubungan dengan sesama
manusia. Untuk yang disebut
terakhir, Allah tidak akan mengampuni selama
orang yang
bersangkutan belum meminta maaf
kepada orang yang disalahi.
Al-Matbuli meletakkan
masalah taubat ini dalam bahasan pertama, karena
taubat adalah sesuatu yang sangat penting. Taubat adalah pondasi
dari segala
perbuatan manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tanpa dilandasi
taubat
yang baik dan benar, seseorang yang
ingin menggapai Tuhan adalah
seperti
orang yang
membangun rumah
megah
diatas tanah labil dan goyah. Akan mudah
hancur. Sebaliknya, siapa yang benar taubatnya berarti
kuat pondasinya. Karena
itu,
sebagian ulama menyatakan,
“Siapa yang memperkuat taubatnya, Allah akan menjaganya dari segala yang
merusak
--kesucian—amalnya”.
Demikianlah,
taubat mempunyai kedudukan
dan pengaruh yang sangat
besar
bagi amal-amal manusia selanjutnya. Ia sebanding dengan
zuhud yang akan
menjaga
manusia dari segala sesuatu yang bisa menghalangi
kedekatannya kepada
Allah. Karena itu, bila seseorang tidak benar cara taubatnya, maka hal itu justru
akan menjatuhkan dan menghancurkan maqam (kedudukannya disisi Allah) yang
lain. Apa yang telah dilakukannya menjadi ringkih seperti
bangunan rumah
dengan hanya susunan bata tanpa perekat semen.
Muhammad
ibn Inan menyatakan, siapa yang benar cara taubatnya
maka
itu akan bisa meningkatkan kedudukannya disisi Tuhan. Sebaliknya, siapa yang
Page
6 of 38
tidak
benar cara taubatnya, maka semuanya
hanya omong kosong). Ia tidak
akan
mampu menjaga keinginan-keinginan nafsunya,
bahkan ia tidak akan mampu
menjaga
pikiran-pikiran kotornya, walau saat melakukan shalat. Allah swt sendiri
memerintahkan kepada Rasul dan umatnya untuk bertaubat dengan benar dan
lurus.
Firman-Nya.
“Tetaplah
kamu pada jalan yang benar --dalam
bertaubat-- sebagaimana yang
diperintahkan,
dan orang-orang yang bertaubat bersamamu” (QS.
Hud, 112).
Ali al-Khawash juga menyatakan, siapa yang benar dan sungguh-sungguh
melakukan taubat dan zuhud, akan tergapai semua kedudukan (maqam) dan
perbuatannya
menjadi baik. Karena itu, seseorang yang
ingin menggapai
kedudukan
tinggi disisi Tuhan, hendaknya selalu
meneliti dirinya; apakah ia telah
melakukan hukum-hukum Tuhan? Apakah anggota badannya; mata,
kaki, tangan
dan
lisannya telah melaksanakan sesuatu
yang diperintahkan Allah? Bila
mendapati dirinya telah melakukannya dengan benar, maka bersyukurlah tetapi
jangan merasa telah baik. Sebaliknya, bila mendapati
dirinya masih berlumuran
dosa dan kesalahan, segeralah istighfar dan menyesalinya kemudian bersyukur
kepada Allah bahwa ia belum terlanjur
dalam perbuatan yang lebih parah dan
Allah belum memberikan
adzab atau penyakit.
Sebab, badan yang melakukan
maksiat berhak menerima siksaaan.
Selain itu, untuk mencapai Allah, seseorang juga harus meninggalkan
pengaruh dunia. Allah swt sendiri tidak pernah memperhatikan dunia sejak
penciptaannya, karena ketidaksukaannya. Rasulullah pernah menyatakan,
“Cinta harta dan kedudukan
mudah menimbulkan sifat munafiq, sebagaimana
air
mudah menumbuhkan sayur-sayuran”.
Imam al-Tsaury menyatakan, seandainya seseorang beribadah dengan
menjalankan semua perintah-Nya tetapi dalam hatinya masih terbetik
rasa cinta
pada
dunia, maka di akherat kelak akan di
umumkan,
“Inilah fulan yang sewaktu
di
dunia mencintai sesuatu yang
tidak disenangi Allah”. Mendengar
pengumuman
itu, wajahnya seakan terkelupas saking malunya.
Yang
dimaksud cinta dunia disini adalah menggunakan sarana harta dunia
secara berlebihan; melebihi ketentuan
syareat. Abu Hasan Ali ibn Muzayyin
pernah menyatakan, seandainya kalian “mensucikan” seseorang
sehingga
menjadikannya
sebagai al-shiddiq, tetapi dalam
hati orang tersebut masih terbetik
cinta dunia, maka
Allah tidak akan memperdulikannya. Ia tidak punya kedudukan
disisi
Tuhan.
Bagaimana jika harta yang ada tersebut
dipersiapkan untuk memberi
nafkah
pada keluarga dan familinya? “Sama saja”, jawab Abu
Hasan. Kebanyakan
ahli tarikat
rusak adalah karena dalam hatinya ada rasa senang terhadap
kemewahan dan kenikmatan dunia. Melimpahnya harta untuk memberi nafkah
terhadap
keluarga dan famili, sebenarnya, tidak salah. Akan tetapi,
hati yang telah
kerasukan
cinta dunia akan bisa menghalangi bahkan memutuskan hubungan dia
dengan Tuhan.
Sejalan
dengan hal itu, Abu Hasan As-Syadzili
menyatakan, seorang murid
(orang yang menempuh jalan Tuhan) tidak akan bisa naik derajatnya manakala
Page
7 of 38
belum benar-benar mencintai Tuhan, dan Tuhan tidak akan menerima cintanya
selama ia belum bisa meninggalkan pengaruh dunia dan bayangan kenikmatan
surga. Cinta Tuhan kepadanya
tergantung seberapa besar seseorang
mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia, untuk mencintai-Nya.
Karena itu, untuk menuju kepada-Nya, pertama kali, seseorang harus
meninggalkan dan mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia. Ketika masuk
tarikat, yaitu ketika
berbaiat kepada guru pembimbing (mursyid), seseorang harus
benar-benar telah mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia. Jika tidak, yaitu
jika dalam hatinya
masih bersemayam nafsu-nafsu duniawi, ia akan terlempar.
Karena itu, dalam tarikat, pertama kali yang diajarkan dan ditanamkan pada
murid haruslah sikap zuhud. Sebab, orang yang tidak zuhud tidak akan bisa
membangun sesuatu di akherat. Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Siapa
yang menghendaki akherat, ia harus zuhud dunia.
Siapa yang menghendaki Allah,
ia harus zuhud akherat.
Siapa yang dalam hatinya
masih ada cinta dunia;
kedudukan, perkawinan, pakaian,
makanan dan sebagainya, ia bukanlah
pecinta
akherat.
Ia masih mengikuti nafsunya”.
Sejalan dengan itu, Abu Abdullah
al-Maghribi menyatakan, orang fakir
yang tidak banyak melakukan amal masih lebih baik daripada
ahli ibadah tetapi
bergelimang harta. Amal yang sedikit
dari orang fakir --yang tidak tersibukkan
dunia— bahkan lebih baik daripada
amal yang menggunung dari seseorang yang
hatinya sibuk memikirkan dunia. Abu al-Mawahib al-Syadzili juga menyatakan,
ibadah yang disertai cinta dunia hanya melelahkan hati dan badan. Ia kelihatan
banyak padahal
sedikit. Ia hanya tampak banyak menurut orang yang
melakukannya. Ibadah yang seperti itu bagai
raga
tanpa nyawa, kosong tanpa isi.
Karena itu, banyak kita saksikan orang yang berpuasa,
shalat malam dan haji,
tetapi
tidak pernah merasakan manisnya beribadah karena tidak ada cahaya zuhud
dalam hatinya.
Apa
yang dimaksud zuhud? Zuhud adalah mengosongkan
hati dan pikiran
dari
pengaruh dunia. Namun, hal ini bukan berarti seseorang harus mengosongkan
tangannya dari menguasai harta. Sebab, Allah dan Rasul-Nya)
tidak pernah
melarang umatnya melakukan
transaksi dan berbisnis. Tidak pernah seorangpun
dilarang untuk melakukan
hal tersebut.
Akan tetapi,
sebagian sahabat
dan tabiin memang banyak yang
meninggalkan sama sekali dan menampakkan ketidaksukaannya terhadap urusan
dan kemewahan
dunia. Hal itu dimaksudkan agar orang
kebanyakan (awam) mau
dan
bisa mengikuti mereka. Mereka khawatir,
dengan kehidupan yang mewah dan
bergelimang harta, orang awam yang
tidak mengerti akan terjebak dalam
masalah
dunia ini; menjadi lupa terhadap
Tuhan, ketika mengikuti laku para shahabat.
Sesungguhnya, orang yang sempurna (insân al-kâmil) tidak akan
tersibukkan oleh
apapun
kecuali Allah, walau bergelimang
harta. Berbeda dengan orang
awam.
Karena itu, hati-hatilah bila melihat orang besar yang menjadi panutan
hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Jika khawatir bahwa hal itu akan
dianut masyarakat
tanpa tahu maksud yang sebenarnya, maka ia harus
Page
8 of 38
diperingatkan. Tentu saja, kemewahan dan kekayaan orang besar tersebut dari
harta
halal. Bila dari harta haram, maka
ia harus “disingkirkan”.
Dengan demikian, zuhud adalah melepaskan
hati dari pengaruh dunia.
Maksudnya, ia tidak bersikap kikir terhadap peminta dan tidak tersibukkan oleh
kegiatan-kegiatan
duniawi sehingga lupa pada Tuhan [.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar