Kamis, 17 Januari 2013

Hakekat Istighatsah dan Tawassul


Para ulama seperti al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki menegaskan bahwa
tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna
dan hakekat yang sama. Mereka mendefinisikan tawassul -dan istilah-istilah lain
yang sama- dengan definisi sebagai berikut:
“Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan)
kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan
(ikram) keduanya”. (Al-Hafizh al-’Abdari, al-Syarh al-Qawim, hal. 378).
Sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon kepada
seorang nabi atau wali untuk mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya
dengan keyakinan bahwa nabi atau wali itulah yang mendatangkan manfaat dan
menjauhkan bahaya secara hakiki. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini
kemudian membuat mereka menuduh orang yang ber-tawassul kafir dan
musyrik. Padahal hakekat tawassul di kalangan para pelakunya adalah
memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan)
kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menyebut nama seorang nabi atau
wali untuk memuliakan keduanya.
Ide dasar dari tawassul ini adalah sebagai berikut. Allah subhanahu wa ta’ala
telah menetapkan bahwa biasanya urusan-urusan di dunia ini terjadi
berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat. Sebagai contoh, Allah subhanahu
wa ta’ala sesungguhnya Maha Kuasa untuk memberikan pahala kepada
manusia tanpa beramal sekalipun, namun kenyataannya tidak demikian. Allah
subhanahu wa ta’ala memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-
hal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”. (QS. al-
Baqarah : 45).
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

   

 


 “Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (Allah)”. (QS. al-Ma’idah :
35). 
Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala cara yang dapat mendekatkan diri
kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya, carilah sebab-sebab tersebut,
kerjakanlah sebab-sebab itu, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mewujudkan
akibatnya. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan tawassul dengan para
nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba.
Padahal Allah subhanahu wa ta’ala Maha Kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa
sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan ber-tawassul dengan
para nabi dan wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala.
Jadi, tawassul adalah sebab yang dilegitimasi oleh syara’ sebagai sarana
dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para nabi dan
wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau mereka sudah
meninggal. Karena seorang mukmin yang ber-tawassul, tetap berkeyakinan
bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara
hakiki kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Para nabi dan para wali tidak lain
hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan
ketinggian derajat mereka. Ketika seorang nabi atau wali masih hidup, Allah
subhanahu wa ta’ala yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula
setelah mereka meninggal, Allah subhanahu wa ta’ala juga yang mengabulkan
permohonan seorang hamba yang ber-tawassul dengan mereka, bukan nabi
atau wali itu sendiri. Sebagaimana orang yang sakit pergi ke dokter dan
meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
meskipun keyakinannya pencipta kesembuhan adalah Allah subhanahu wa
ta’ala, sedangkan obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat adalah contoh
sabab ‘âdi (sebab-sebab alamiah), maka tawassul adalah sabab syar’i (sebab-
sebab yang diperkenankan syara’).
Syaikh Majdi Ghassan Ma’ruf al-Husaini, seorang ulama Ahlussunnah Wal-
Jama’ah dari Lebanon bercerita, “Suatu ketika seorang Wahhabi dengan
beraninya berkata kepada saya, “Mengapa kalian selalu ber-istighatsah dengan
mengucapkan “Ya Muhammad”. Ucapkan saja “Ya Allah”, tanpa perantara!”
Saya bertanya, “Kalau Anda terserang sakit kepala, apa yang Anda lakukan?” Ia
menjawab: “Saya minum dua tablet obat sakit kepada”. 
Saya berkata: “Mengapa Anda melakukan itu? Bukankah Allah itu Maha
Penyembuh? Mengapa Anda tidak langsung saja berdoa kepada Allah, “Ya
Allah, ya Syafi isyfini (Ya Allah, Dzat Yang Maha Penyembuh, sembuhkanlah
aku)”. Mengapa Anda membuat perantara dan sebab musabab untuk
kesembuhan antara anda dengan Allah? Kalau anda minum dua tablet obat
tersebut sebagai perantara kesembuhan Anda, maka kami Ahlussunnah Wal-


65
Jama’ah menjadikan Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai perantara
kami, dan beliaulah perantara yang paling agung.” Akhirnya, Wahhabi tersebut
tidak dapat menjawab.
Debat Publik di Melbourne Australia
Abdurrahman Dimasyqiyat adalah salah satu tokoh Wahhabi kelahiran Lebanon.
Nama lengkapnya Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyat. Karya-karyanya
mulai populer di kalangan Wahhabi Indonesia. Bahkan banyak pula tulisannya
yang dipublikasikan melalui program software Maktabah Syamilah. Tetapi dari
kalangan Wahhabi sendiri tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya
Abdurrahman Dimasyqiyat.
Masa lalunya penuh dengan skandal. Di setiap tempat yang pernah
disinggahinya, ia selalu bikin ulah. Lidahnya selalu menghujat umat Islam,
generasi salaf (terdahulu) maupun generasi khalaf (terkemudian). Kerjanya,
merubah ajaran agama. Mencela para kekasih Allah subhanahu wa ta’ala.
Menyerang orang-orang saleh. Kebiasaannya, mencela orang-orang yang baik.
Ia lupa bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman dalam hadits qudsi,
“Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku deklarasikan perang
terhadapnya.”
Akibat ulahnya, akhirnya orang-orang banyak tahu kebusukan masa lalunya.
Petualangannya dengan wanita-wanita cantik dan kegemarannya mengikuti para
biduanita menjadi obrolan dari mulut ke mulut. Banyak pula yang membicarakan
kisah-kisah kelamnya ketika di Universitas al-Azhar Cabang Lebanon dulu,
dalam pemeriksaan yang suaranya direkam -rekamannya masih ada sampai
sekarang, dan saksi-saksinya masih hidup-, di mana dalam rekaman itu ia
mengakui telah melakukan perbuatan asusila, yaitu melakukan homo sex, yang
dituduhkan kepadanya. Akibatnya, ia pun dikeluarkan dari Azhar Lebanon pada
tahun 1972.
Kasus itu, diakuinya sendiri. Abdurrahman Dimasyqiyat tidak menepis kejadian
itu. Ia tidak menutup-nutupi aib dirinya. Bahkan tanpa merasa malu ia berterus
terang telah melakukannya. Seakan-akan ia bangga dengan perbuatannya.
Dengan enteng ia berkata, “Pada waktu itu aku masih belum baligh, catatan
amal masih belum berlaku bagiku”. 
Tentu saja pengakuan seperti ini tidak aneh dari seseorang yang telah memutus
hubungan dengan kerabatnya. Menyakiti kedua orang tuanya. Selalu gagal
mencari pekerjaan yang mendatangkan hasil yang halal di Lebanon dan di
Perancis.



Akhirnya, apa boleh dikata, Abdurrahman Dimasyqiyat menjulur-julurkan
lidahnya di belakang uang logam dan dolar sebagai penulis bayaran kaum
Wahhabi. Ia memulung sisa-sisa makanan di bawah meja orang-orang gendut
berperut besar dan berhati keras sekeras batu. Yaitu kaum Musyabbihah (kaum
yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dan kaum anti tawassul.
Di antara mukjizat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sabda beliau
yang memperingatkan umatnya agar berhati-hati dengan kaum Wahhabi
sebelum kemunculan mereka. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Kepala kekafiran muncul di arah timur.” Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam menunjuk ke arah timur, daerah Najd, dan bersabda: “Fitnah
akan muncul dari sana, fitnah akan muncul dari sana, dan diucapkannya sampai
tiga kali”. Kedua hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Akhirnya semua orang tahu siapa sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat.
Identitasnya terungkap di Swedia. Ia melarikan diri dari perdebatan setelah
menyetujui kesepakatan pada waktu yang dijanjikan. Kemudian ia mengira
bahwa pengikut kebenaran melupakannya begitu saja ketika ia di Australia.




Ternyata Abdurrahman Dimasyqiyat menyetujui debat publik bersama Syaikh
Salim Alwan al-Hasani. Namun kemudian Dimasyqiyat takut, ragu-ragu dan
berupaya menghindar. Sementara pengikutnya melakukan teror dan ancaman.
Akan tetapi takdir Allah subhanahu wa ta’ala pasti terjadi. Akhirnya perdebatan
terjadi. Kebenaran tampak dan kebatilan sirna. Sesungguhnya kebatilan pasti
sirna.
Abdurrahman Dimasyqiyat telah berkali-kali diminta melalui radio dan surat
kabar, agar siap berdebat. Namun ia selalu melarikan diri. Akhirnya ia pun
terpaksa datang karena takut malu. Ia datang ke aula Universitas Melbourne
pada tanggal 9 November 1994. Di aula itu telah disiapkan meja untuk Syaikh
Salim Alwan dan Syaikh Abdurrahman al-Harari. Di depannya ada meja yang
disiapkan untuk Abdurrahman Dimasyqiyat dan dua orang temannya. Di tengah
meja itu ada mimbar untuk moderator.
Yang menarik perhatian, pada waktu itu Abduraahman Dimasyqiyat membawa
komputer yang sering digunakannya untuk mengeluarkan dalil-dalilnya yang
lemah. Sepertinya ia memang tidak hapal teks dan tidak menguasai banyak
persoalan. Kemampuannya hanya mengulang-ulang pernyataan orang yang
menjadi sutradara di belakangnya, yaitu kaum Wahhabi.
Perdebatan dimulai. Syaikh Salim melontarkan pertanyaan kepada Abdurrahman
Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi menghukumi bahwa memanggil orang yang
tidak ada di depannya atau memanggil orang mati (nida’ al-ghaib aw al-mayyit),
seperti berkata “Ya Muhammad, atau ya Rasulallah (wahai Muhammad atau
wahai Rasulullah)”, itu syirik akbar (besar) sebagaimana ditetapkan oleh Ibn



Abdil Wahhab al-Najdi dalam kitab al-Ushul al-Tsalatsah. Sekarang, ini al-Imam
al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad, bahwa Abdullah bin Umar
pada suatu hari kakinya mengalami mati rasa. Lalu ada orang berkata kepada
beliau, “Sebutkan orang yang paling Anda cintai.” Lalu Ibn Umar berkata, “Ya
Muhammad (Wahai Muhammad)”. Maka seketika itu kakinya sembuh.
Apakah kalian kaum Wahhabi akan mencabut pendapat kalian. Dan ini yang
kami kehendaki. Atau kalian akan memutuskan bahwa Abdullah bin Umar, al-
Imam al-Bukhari, para perawi al-Bukhari, dan bahkan Ibn Taimiyah yang kalian
sebut Syaikhul Islam, dan al-Albani pemimpin kalian, mereka semuanya kafir.
Coba renungkan inkonsistensi Wahhabi ini. Pendapat mereka dapat
mengkafirkan pemimpin-pemimpin mereka sendiri, yaitu Ibn Taimiyah dan al-
Albani, bahkan mengkafirkan seluruh umat Islam, antara lain sahabat Abdullah
bin Umar, dan sahabat-sahabat lainnya.”
Mendengar pertanyaan Syaikh Salim, mulailah serangkaian kebohongan
Abdurrahman Dimasyqiyat. Setelah Syaikh Salim mengajukan pertanyaan
tersebut, Dimasyqiyat kebingungan. Lalu ia berkata: “Lafal “Ya Muhammad”,
hanya terdapat dalam naskah cetakan kitab al-Adab al-Mufrad yang di-tahqiq
Ustadz Kamal al-Hut. Dalam naskah-naskah lain, yang ada hanya lafal
“Muhammad”, tanpa “Ya” untuk memanggil.”
Mendengar pernyataan Dimasyqiyat, Syaikh Salim segera mengeluarkan
beberapa naskah al-Adab al-Mufrad yang dicetak oleh percetakan-percetakan
lain. Ternyata, semuanya sepakat memakai redaksi “Ya Muhammad”. Sehingga
hal tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat.
Kemudian, Dimasyqiyat semakin terkejut, ketika Syaikh Salim memperlihatkan
naskah kitab al-Kalim al-Thayyib karangan Ahmad bin Taimiyah al-Harrani,
panutan kaum Wahhabi yang mereka sebut Syaikhul Islam. Di mana dalam kitab
tersebut Ibn Taimiyah menyebutkan hadits Ibn Umar di bawah judul, “Bab yang
diucapkan seseorang ketika kakinya mati rasa”. Naskah ini dicetak oleh kaum
Wahhabi dan dikoreksi oleh Nashiruddin al-Albani, pemimpin mereka yang
kontradiktif, yang menganggap perbuatan Ibn Umar itu syirik dan menentang
tauhid.
Dimasyqiyat telah berusaha mengingkari lafal “Ya” yang terdapat dalam hadits
Ibn Umar dengan redaksi “Ya Muhammad”. Dimasyqiyat berkata, bahwa ia telah
mencari lafal “Ya”, ternyata tidak menemukannya.
Akhirnya Syaikh Salim berkata: “Al-Albani, pemimpin kalian yang kontradiktif,
berkata dalam al-Kalim al-Thayyib hal. 120 dalam mengomentari hadits “Ya
Muhammad” yang disebutkan dan dianjurkan oleh Ibn Taimiyah untuk
diamalkan, sebagaimana terbaca dari judul kitabnya al-Kalim al-Thayyib (kalimat-



kalimat yang baik). Al-Albani berkata: “Kami memilih menetapkan “Ya”, karena
sesuai dengan sebagian manuskrip yang kami temukan.”
Anda telah gagal wahai Dimasyqiyat. Kami menuntut Anda berdasarkan
pimpinan-pimpinan Anda yang kontradiktif, di mana al-Albani menemukan
manuskrip yang di dalamnya terdapat lafal “Ya Muhammad”, lalu dia anggap
menentang tauhid dan termasuk perbuatan syirik menurut asumsinya. Coba
Anda lihat (hal. 16 kitab al-Kalim al-Thayyib), yang dicetak di percetakan al-
Syawisy al-Wahhabi dengan nama al-Maktab al-Islami, ta’liq (komentar)
Nashiruddin al-Albani, pemimpin Wahhabi yang kontradiktif. Pernyataan al-
Albani menjadi dalil yang menggugat Anda dan dia sendiri.
Kemudian Syaikh Salim memperlihatkan naskah tersebut dan berkata kepada
Abdurrahman Dimasyqiyat: “Aku ulangi pertanyaanku lagi kepada Anda, untuk
mengingatkan bahwa Ibn Taimiyah menyebut atsar (hadits) ini dan
menetapkannya. Ia tidak menjadikannya sebagai kesyirikan dan kekufuran.
Bagaimana komentar Anda. Adakalanya Anda mengatakan bahwa Abdullah bin
Umar, al-Bukhari sampai pimpinanmu, Ibn Taimiyah adalah orang-orang sesat
dan kafir. Atau Anda mencabut pendapat Anda.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat menjadi gagap. Ia tidak menjawab
pertanyaan. Tetapi beralih pada tema-tema lain. Lalu Syaikh Salim
mengingatkan kepada hadirin, bahwa Dimasyqiyat menghindar dari jawaban.
Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya yang tadi dengan
pertanyaan tambahan. Yaitu riwayat hadits seorang tuna netra yang diajari oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar berdoa, “Ya Muhammad,
sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhanku dengan perantara
dirimu.” Hal ini agar dilakukan bukan di hadapan Rasul shallallahu alaihi
wasallam. Hadits ini shahih, riwayat al-Thabarani dan lainnya. Al-Thabarani dan
lainnya juga menilainya shahih.



Syaikh Salim berkata: “Apakah Anda berasumsi wahai Abdurrahman, bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengajarkan kesyirikan, dan bahwa
sahabat yang menjadi perawi hadits tersebut serta al-Imam al-Thabarani
mengajarkan kesyirikan? Jelas ini tidak mungkin”. Mendapat pertanyaan
tersebut, tampak sekali Abdurrahman Dimasyqiyat lemah, di mana moderator
mengingatkan bahwa ia berupaya beralih dari jawaban, dan kelemahannya jelas
sekali.
Di tengah dialog tersebut, Abdurrhman Dimasyqiyat mengakui bahwa ia telah
menulis beberapa kitab untuk membantah al-Muhaddits al-Habasyi. Akan tetapi
ia menerbitkannya dengan memakai nama orang lain, seakan-akan mereka yang
menulisnya. Di antaranya kitab al-Radd ‘ala Abdillah al-Habasyi, karya penulis
palsu Abdullah al-Syami.



Anehnya, laki-laki ini menghendaki agar orang-orang percaya sama dia. Padahal
ia mengakui sendiri telah berbuat bohong dan merekayasa dengan menulis buku
yang dinisbatkan kepada nama-nama fiktif.
Setelah itu, Syaikh Salim mengulangi menyebut hadits laki-laki tuna netra
tersebut yang isinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan
menghadapkan diriku kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu, Muhammad, nabi
pembawa rahmat”, serta menyebutkan para hafizh yang menilainya shahih.
Ternyata Abdurrhman Dimasyqiyat juga mengakui bahwa hadits tersebut shahih.
Lalu Syaikh Salim berkata: “Bagaimana kalian melarang manusia bertawassul
dengan Rasul shallallahu alaihi wasallam bukan di hadapannya, padahal Rasul
shallallahu alaihi wasallam telah mengajarkan laki-laki tuna netra tadi untuk
bertawassul dengan beliau bukan di hadapannya? Apakah kalian akan mencabut
keyakinan kalian. Atau kalian mengira bahwa kalian lebih pandai dari pada
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Wahhabi yang berperilaku aneh itu
kebingungan. Ia kemudian berbicara banyak, tetapi tidak berkaitan dengan topik
pertanyaan.
Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya, serta mengingatkan hadirin
bahwa Dimasyqiyat melarikan diri dari jawaban.
Di sini, Abdurrahman Dimasyqiyat mengalihkan pembicaraan pada kebohongan
lain. Ia bermaksud mencela Syaikh al-Harari, untuk menutupi kegagalannya. Ia
berkata kepada Syaikh Salim: “Bagaimana Syaikh Abdullah men-tahqiq kitab,
yang di dalamnya terdapat redaksi bahwa sebagian auliya berkata kepada
sesuatu “kun fayakuun”, tanpa menentang redaksi tersebut, serta mengingatkan
rusaknya redaksi tersebut. Kitab tersebut telah dicetak dan saya punya
kopiannya.”




Mendengar pernyataan tersebut, moderator melakukan intervensi, dan meminta
kopian itu agar isinya bisa diperlihatkan kepada hadirin. Ternyata semua yang
hadir terkejut. Karena sampul kitab tersebut membuktikan kebohongan
Dimasyqiyat. Kitab tersebut bukan di-tahqiq oleh Syaikh Abdullah. Kitab tersebut
justru di-tahqiq dan dikoreksi oleh orang lain, bernama Husain Nazhim al-
Hulwani, dan diberi kata pengantar oleh Syaikh Muhammad al-Hasyimi, bukan
Syaikh al-Harari.
Di sini, untuk menambah jelas kelemahan dan keanehan ahli bid’ah ini, Syaikh
Salim berkata kepada Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi mengkafirkan orang
yang mengusap mimbar Nabi shallallahu alaihi wasallam atau makam Nabi
shallallahu alaihi wasallam. Kalian mengklaim mengikuti golongan Hanabilah,
berpegang teguh dengan madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal. Padahal Ahmad
bin Hanbal berkata, “Boleh mengusap mimbar Nabi shallallahu alaihi wasallam,
dan pusar yang ada di mimbar itu.” Bahkan Ibn Taimiyah berkata dalam kitab
yang dinamakannya Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim (hal. 367 terbitan Mathabi’ al-
Majd al-Tijariyyah), “Ahmad dan lainnya memberikan keringanan dalam
mengusap mimbar dan pusar mimbar itu yang merupakan tempat duduk dan
tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Bagaimana pendapat kalian? Apakah kalian mengkafirkan al-Imam Ahmad, di
mana kalian mengklaim mengikuti madzhabnya? Atau kalian mengkafirkan Ibn
Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul Islam? Bukankah ini sebuah inkonsistensi?”
Mendengar pertanyaan ini, Dimasyqiyat yang ahli bid’ah itu tidak bisa menjawab.
Ia tampak sekali kelemahannya. Lebih-lebih setelah Syaikh Salim menambah
penjelasan dengan menyebut kutipan al-Mirdawi al-Hanbali bahwa Ibrahim bin
Ishaq al-Harbi, seorang imam mujtahid berkata: “Disunnatkan mencium hujrah
(makam) Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Untuk mengalihkan persoalan, dan menjaga raut mukanya, yang tampak sangat
pucat sekali, Dimasyqiyat bertanya kepada Syaikh Salim tentang firman Allah
subhanahu wa ta’ala:

“Allah Yang Maha Pengasih ber-istawa terhadap ‘Arsy.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Syaikh Salim menjelaskan persoalan tersebut
dengan sejelas-jelasnya. Beliau memaparkan pendapat Ahlussunnah Wal-
Jama’ah mengenai hal itu, bahwa istiwa’ Allah subhanahu wa ta’ala terhadap
‘Arsy bukan seperti istiwa’-nya makhluk. Istiwa’ dalam ayat tersebut, bukan
diartikan duduk dan bukan pula menetap. Akan tetapi istiwa’ tersebut adalah
suatu makna yang layak bagi Allah subhanahu wa ta’ala, yang tidak menyerupai
makna istiwa’ ketika disandarkan kepada makhluk, sebagaimana dalam
perkataan al-Imam Ahmad bin Hanbal, “Allah ber-istawa sebagaimana yang
diceritakan dalam al-Qur’an, bukan seperti yang terlintas dalam benak manusia.”
Meskipun Mu’tazilah sama dengan Ahlussunnah dalam menafsrikan istiwa’
dengan makna menguasai (al-qahr) dalam ayat ini, maka hal tersebut tidak bisa
dibuat alasan mencela Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Bukankah Mu’tazilah juga
mengucapkan kalimat la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah). Apakah
Ahlussunnah harus meninggalkan kalimat tersebut karena Mu’tazilah
mengucapkannya? Tentu saja tidak.



 


71
Setelah perdebatan berjalan dua jam. Sementara penjelasan Syaikh Salim
sangat bagus dan jitu. Sedangkan Dimasyqiyat, tidak mampu memberikan
jawaban. Untuk menutupi rasa malu, Abdurrahman Dimasyqiyat diam. Kemudian
para pengikut dan teman-teman Dimasyqiyat berdiri melakukan kerusuhan dan
tindakan yang anarkis secara kolektif. Sehingga sebagian hadirin meminta
mereka menghentikan tindakan brutal tersebut.
Setelah mereka tidak mengindahkan pengumuman, akhirnya para hadirin
menekan mereka dan polisi mengumumkan selesainya acara. Akhirnya mereka
mulai meninggalkan aula Universitas Melbourne. Pada waktu itu, sebagian kaum
Wahhabi berhasil merusak kamera yang merekam acara dialog. Akan tetapi,
untung kaset rekamannya masih utuh dan dapat dipublikasikan sampai
sekarang. 

Bersama Syaikh Syu’aib al-Arnauth
Dialog ini adalah pengalaman pribadi Syaikh Walid al-Sa’id, seorang ulama
Ahlussunnah di Timur Tengah, dengan Syaikh Syu’aib al-Arnauth, seorang
ulama Damaskus, yang terpengaruh ajaran Wahhabi.
Syaikh Walid al-Sa’id bercerita. “Suatu hari saya mendatangi Syu’aib al-Arnauth
di kantornya untuk berdiskusi tentang masalah tawassul dan istighatsah. Setelah
saya bertemu dengannya, saya berbicara kepadanya tentang masalah tawassul
dan saya ajukan hadits riwayat al-Thabarani.
Syu’aib al-Arnauth berkata, “Hadits ini membolehkan bertawassul dengan Nabi
shallallahu alaihi wasallam ketika masa hidupnya.”
Saya berkata: “Hadits al-Thabarani membolehkan bertawassul dengan Nabi
shallallahu alaihi wasallam ketika masa hidupnya dan sesudah meninggalnya.
Demikian pula hadits Bilal bin al-Harits al-Muzani yang mendatangi makam Nabi
shallallahu alaihi wasallam dan bertawassul dengannya sesudah wafatnya Nabi
shallallahu alaihi wasallam.”
Ia berkata: “Hadits ini dha’if.”
Aku berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih
sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Demikian
pula Ibnu Katsir menilainya shahih.”
Ia berkata: “Ibnu Hajar berkata, hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan
sanad yang shahih kepada Malik al-Dar. Sedangkan Malik al-Dar ini seorang



72
perawi yang majhul (tidak diketahui kualitasnya). Jadi Malik al-Dar ini tidak dapat
dijadikan hujjah dalam periwayatan hadits.”
Aku berkata: “Malik al-Dar ini diangkat oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab
sebagai Bendahara Baitul Mal kaum Muslimin. Berarti menurut Anda, Khalifah
Umar mengangkat seorang laki-laki yang tidak jelas kualitasnya, apakah dia
dipercaya atau tidak, sebagai Bendahara negara?”
Mendengar sanggahan saya ini, ia terdiam dan tidak dapat menjawab. Akhirnya
dia berbicara lagi kepada saya, “Secara pribadi saya berpendapat, dalam
masalah tawassul ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jadi saya tidak
menentang terhadap orang yang melakukannya. Adapun ber-istighatsah dengan
selain Allah, hukumnya jelas haram. Seorang makhluk tidak boleh ber-
istighatsah dengan sesama makhluknya.”
Aku berkata, “Kalau Anda berpendapat bahwa istighatsah terhadap sesama
makhluk dilarang, lalu bagaimana pendapat Anda tentang hadits yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya dari jalur Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:





_

“Sesungguhnya Matahari akan mendekat pada hari Kiamat, sehingga keringat
akan sampai pada separuh telinga. Maka ketika manusia dalam kondisi
demikian, mereka beristighatsah (meminta pertolongan) dengan Nabi Adam.”
(HR. al-Bukhari [1475]).
Syu’aib berkata: “Hadits ini berkaitan dengan istighatsah ketika para nabi itu
masih hidup, dan memang dibolehkan ber-istighatsah dengan mereka. Adapun
sesudah mereka meninggal, maka tidak boleh ber-istighatsah dengan mereka.”
Aku berkata: “Kalau begitu, Anda berpendapat boleh ber-istighatsah dengan
para nabi ketika mereka masih hidup?” Ia menjawab: “Ya.”
Aku berkata: “Tolong jelaskan dalil ‘aqli atau dalil syar’i yang melarang ber-
istighatsah dengan para nabi sesudah mereka meninggal dunia!”
Ia berkata: “Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya
yang sedang aku tahqiq dan belum diterbitkan. Hadits tersebut adalah begini,
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:



“Sesungguhnya tidak boleh beristighatsah denganku. Beristighatsah hanya
kepada Allah.”
Aku berkata: “Kalau bergitu pernyataan Anda paradoks. Anda tadi berkata ketika
saya sampaikan hadits Ibnu Umar (riwayat al-Bukhari), bahwa ber-istighatsah
dengan para nabi ketika mereka masih hidup, itu boleh. Sekarang Anda
menyampaikan hadits kepada saya, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam
ketika masa hidupnya besabda, bahwasanya tidak boleh ber-istihgatsah
denganku.”
Ia berkata, “Maaf, hadits ini dha’if. Jadi tidak dapat dijadikan hujjah.” Ternyata
hadits yang disampaikannya, ia ralat sendiri dan ia akui sebagai hadits dha’if.
Kemudian ia berkata kepadaku: “Coba aku berikan contoh seorang imam di
antara imam madzhab yang empat yang mendatangi suatu makam atau seorang
wali untuk ber-tabarruk atau ber-istighatsah dengannya.”
Saya berkata: “Al-Khathib al-Baghdadi telah meri-wayatkan dalam Tarikh
Baghdad dengan sanad yang shahih, bahwa al-Imam al-Syafi’i berkata: “Saya
senantiasa bertabarruk dengan Abu Hanifah. Saya selalu mendatangi
makamnya setiap hari dengan berziarah. Apabila saya memiliki hajat, saya
shalat dua raka’at, lalu saya datangi makamnya, saya berdoa kepada Allah
tentang hajatku di sisi makam itu, sehingga tidak lama kemudian hajatku
terkabul.”
Ia berkata dengan berteriak, “Riwayat ini tidak shahih. Dari mana Anda dapatkan
riwayat ini?”
Kebetulan kitab Tarikh Baghdad ada di belakang punggungnya. Saya berkata
kepadanya, “Tolong ambilkan kitab itu.” Setelah kitab tersebut diserahkan
kepada saya, saya bukakan riwayat tersebut dalam kitab itu dan saya perlihatkan
kepadanya. Setelah ia melihat riwayat tersebut, ia merasa heran dan berkata
kepada salah seorang pembantunya, “Tolong kualitas para perawi hadits ini
dikaji.”
Dari sikapnya ini, tampak sekali, kalau ia telah mendidik orang-orang di
sekitarnya berani melakukan koreksi terhadap hadits. Padahal mereka tidak
punya kapasitas untuk itu. Kemudian pembantu itu datang menghampiri. Setelah
beberapa lama masuk ke dalam, pembantu itu pun kembali dan berkata
kepadanya dengan suara agak pelan, “Semua perawi hadits ini tsiqah (dapat
dipercaya).”
Lalu saya berkata kepadanya, “Bagaimana hasil temuan Anda tentang semua
perawi hadits ini?”

 www.pustakaaswaja.web.id



74
Ia menjawab: “Semua perawinya dapat dipercaya kecuali seorang perawi yang
belum saya temukan data biografinya. Dengan demikian hadits ini dha’if, karena
ada seorang perawi yang tidak diketahui kualitasnya.”
Saya berkata: “Bagaimana Anda menghukumi hadits ini dha’if, berdasarkan
alasan, Anda tidak menemukan data biografi seorang perawinya. Padahal dalam
kaedah disebutkan, “Tidak menemukan data, tidak menjadi bukti bahwa data
tersebut memang tidak ada.” Dia berkata: “Apa maksud kaedah ini?”
Saya berkata: “Apabila Anda tidak menemukan data seorang perawi, itu bukan
berarti perawi itu dinilai tidak diketahui kualitasnya dan dha’if.”
Ia berkata: “Kalau Anda bisa menemukan data perawi ini, saya kasih nilai
sepuluh.” Lalu ia berkata: “Saya sekarang sibuk, jadi tidak mungkin meneliti data
perawi ini.” Lalu ia bertanya siapa namaku. Saya menjawab: “Namaku Walid al-
Sa’id, murid Syaikh al-Harari.”
Demikianlah pandangan kaum Wahhabi yang mengkafirkan orang yang
bertawassul dengan nabi atau wali. Pendapat mereka, selain rapuh, tidak
memiliki dasar dari al-Qur’an dan hadits, juga berimplikasi pada pengkafiran
terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para sahabat, para ulama salaf
dan seluruh umat Islam selain golongannya. Na’udzu billah min dzalik.
Pandangan Wahhabi akan rapuh ketika dihadapkan dengan fakta, bahwa
tawassul dengan nabi yang sudah wafat telah diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, para sahabat, generasi salaf, ahli hadits dan kaum
Muslimin. Ihdina al-shirath al-mustaqim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar