Jumat, 18 Januari 2013

TIDAK CURANG DALAM PEKERJAAN


Menipu atau berlaku curang dalam pekerjaan adalah perbuatan yang
sangat dicela oleh agama. Diriwayatkan, suatu ketika Rasul pergi ke pasar dan
dijumpainya disana setumpuk makanan. Rasul memasukkan tangannya dalam
makanan tersebut, dan ternyata didalamnya basah. "Mengapa ini?", tanya Rasul
kepada si penjual. "Wahai Rasul, makanan itu tadi terkena hujan", jawab si
pemilik makanan. "Mengapa makanan yang basah tidak kamu taruh diatas
sehingga orang-orang bisa tahu". Rasulullah selanjutnya bersabda, "Siapa yang
menipu (berlaku curang), bukan termasuk golonganku".
Setiap manusia, pada dasarnya, sadar akan apa yang ia lakukan; apakah dia
telah berlaku jujur atau curang. Allah menjadikan manusia terpercaya atas dirinya
sendiri. Bila menipu, berarti menghianati agamanya, dirinya sendiri dan
masyarakatnya.
Para ulama menyatakan, siapa yang berlaku baik dalam pekerjaannya,
Allah berikan berkah dalam usahanya. Sedemikian, sehingga tanpa disadari, ia
menjadi orang yang berkecukupan. Sebaliknya, siapa yang menipu, niscaya
terbuka kejelekannya. Ia segera menjadi buah bibir masyarakat. Sesungguhnya,
Allah menjadikan kemiskinan dalam penipuan dan menjadikan berkah dalam
ketelitian dan kejujuran.
Sejak awal, para guru pembimbing thoriqot senantiasa menekankan agar
para murid berlaku jujur dalam pekerjaannya. Bahkan, para guru dari kalangan
Syadziliyah sangat menekankan soal pekerjaan ini. Abu Hasan As-Syadzili, tokoh
dan pemimpin thoriqot Syadzili mengatakan,
"Siapa yang bekerja keras dan tetap teguh dalam menjalankan perintah Allah, ia
berarti telah sempurna mujahadahnya".
Sedang Abu Al-Abbas Al-Mursi berkata;
"Bekerjalah. Jadikan alat tenunmu sebagai tasbih. Jadikan kapakmu sebagai
tasbih. Jadikan jahitmu sebagai tasbih dan jadikan pula perjalananmu sebagai tasbih".
     Bekerja adalah sesuatu yang wajib) sebagaimana sholat, puasa, haji dan
lain sebagainya. Ia termasuk bagian dan pendukung kekuatan iman. Laki-laki yang
tidak bekerja adalah sama seperti perempuan. Rasul sendiri membawa risalah
bukan dengan memerintahkan para shahabat meninggalkan pekerjaannya.
Sebaliknya, Rasul tetap memerintahkan mereka aktif pada apa yang telah
dilakukan. Rasul hanya memerintahkan mereka berbuat baik dan jujur dalam
pekerjaannya.
Karena itu, untuk menempuh jalan menuju Tuhan, guru pembimbing yang
sempurna adalah guru yang tetap menganjurkan para muridnya bekerja. Bukan
guru yang melarang muridnya bekerja untuk kemudian membimbing mereka
menuju Tuhan. Sesungguhnya, pekerjaan yang diperbolehkan agama tidak akan


Page 19 of 38

menghalangi seseorang untuk masuk dalam Hadlirat Ilahy. Berbeda dengan
pekerjaan-pekerjaan yang dilarang.
Bekerja sangat penting untuk menjaga keimanan, kehormatan dan
kemandirian. Sedemikian, sehingga orang mukmin yang bekerja adalah lebih baik
daripada guru thoriqot yang tidak mempunyai pekerjaan, yang makanannya hanya
mengharap dari pemberian sedekah dan penyaluran zakat masyarakat.
Orang yang bekerja mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding mereka
yang tidak bekerja. Pertama, ia makan dari hasil usahanya sendiri secara halal dan
suci, bukan dari sedekah atau zakat yang semua itu pada hakekatnya adalah harta
kotor. Kedua, ia terhindar dari anggapan bahwa dirinya adalah orang yang
berilmu, sehingga tidak akan muncul sikap sombong dan menganggap remeh
orang lain. Ketiga, orang yang bekerja akan terselamatkan dari ketidakjelasan
tentang sifat Allah, Rasul dan hukum-hukum-Nya. Keempat, bila terjerumus
dalam maksiat, ia akan mudah sadar dan mengerti, dan tidak meremehkan
kesalahan dengan jalan bahwa hal itu bisa dihapuskan dengan istighfar.
Demikianlah diantara kelebihan-kelebihan orang yang bekerja). Bahkan,
Ali Al-Khowash pernah menyatakan, orang yang makan dari hasil usahanya
sendiri, walau dari pekerjaan yang makruh, adalah masih lebih baik daripada
seorang ahli ibadah yang makan dengan mengharap pemberian dari orang lain.
Akan tetapi, perlu diingat, sebuah pekerjaan yang dilakukan untuk
menumpuk-numpuk harta dan demi kesombongan juga sangat dicela.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits,
"Siapa yang mencari harta secara halal, dengan maksud menumpuk-numpuknya
dan untuk kesombongan, Tuhan akan menemuinya di akherat kelak dengan kemurkaan-
Nya" (Hadits).
Imam Syafii menyatakan, mencari kelebihan dari perkara halal adalah
siksaan sebagaimana yang pernah diberikan Tuhan kepada para ahli tauhid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar