Ali
al-Murshifi menyatakan bahwa seorang murid tidak akan bisa
mencapai maqam tinggi, hingga ia mampu meninggalkan perkara
mubah untuk
kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan sunnah.
Perbuatan mubah, menurut Ali Al-Khowash, pada dasarnya
adalah
diciptakan
hanya sebagai "selingan"
atau tempat istirahat bagi manusia, setelah
melakukan beban berat yang diberikan Tuhan. Hal ini disebabkan, pada diri
manusia memang
ada rasa bosan. Bila tidak, Allah
tidak akan memberikan hukum
mubah pada manusia; sebagaimana malaikat
yang tidak kenal bosan. Mereka
selalu
bertasbih kepada Allah, tanpa rasa bosan).
Karena itu, para ulama menyatakan, orang yang menggunakan
rukhshoh
(keringanan hukum yang diperbolehkan; perkara
mubah), tidak akan
mendapatkan apa-apa dalam jalan thoriqot.
Dalam thoriqot, para guru pembimbing
biasanya menuntut para muridnya
untuk sedapat
mungkin meninggalkan perkara
mubah. Minimal mengurangi,
untuk kemudian menggantinya
dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Hal ini
dimaksudkan
untuk meningkatkan kedudukannya disisi Allah. Bila seseorang
tidak menemukan bentuk ketaatan
sebagai pengganti mubah, maka dalam
perbuatan mubah tersebut;
seperti makan dan minum, harus diniatkan
untuk
sesuatu yang baik. Misalnya,
makan agar kuat ibadah dan bercakap-cakap untuk
menghilangkan kemasaman muka
terhadap teman.
Para guru juga menuntut para murid, untuk tidak tidur kecuali setelah
sangat kantuk, tidak makan kecuali setelah sangat lapar, tidak berbicara kecuali
ada
kebutuhan, dan lain-lain. Ini dimaksudkan,
agar murid mendapat pahala
dari
semua perbuatannya.
Selain itu, para guru juga menuntut
para murid agar tidak sampai mimpi
basah --karena
pikiran-pikiran yang muncul sebelumnya--, tidak menselonjorkan
kaki,
tidak istirahat kecuali pada saat sangat lelah dan tidak makan makanan yang
disenangi walau itu diperbolehkan. Sebab, semua itu bisa menghalangi seseorang
untuk
naik pada kedudukan yang lebih tinggi. Dalam
kitab Zabur difirmankan;
"Hai Daud. Peringatkan kaummu dari makan makanan yang mereka senangi.
Sesungguhnya,
hati yang dikendalikan kesenangan (syahwat)
menghalangi hubungannya
dengan
Aku".
Bila makan
makanan yang disenangi bisa menolak seseorang dari Hadlirat
Ilahy,
maka begitu pula dengan menselonjorkan kedua kaki tanpa ada
kebutuhan
yang sangat.
Keduanya termasuk suul-adab (tidak
baik).
Ali
Al-Khowash pernah menyatakan, seorang murid tidak akan mencapai
maqom siddiq kecuali dengan menambah pengagungannya dalam melaksanakan
perintah dan menjauhi
larangan Tuhan; melaksanakan sunnah seolah wajib,
meninggalkan makruh sebagaimana haram dan meninggalkan perkara haram
sebagaimana kekufuran. Setelah
itu, meniatkan semua perbuatan
mubahnya
Page
10 of 38
untuk
kebaikan, sehingga mendapat pahala. Misalnya, tidur siang
dengan niat agar
kuat
sholat malam, makan makanan yang enak untuuk mengobati keinginan nafsu
ketika sulit diajak ibadah,
menggunakan pakaian bagus demi memperlihatkan
nikmat Allah dan lain-lain. Jadi bukan untuk
bersombong-sombong.
Sejalan dengan itu, Abu Hasan As-Syadzili pernah berkata kepada para
muridnya;
"Makan dan minumlah kalian
dari makanan dan minuman yang enak. Tidurlah diatas
kasur
yang empuk. Dan berpakaianlah dengan pakaian yang bagus. Bila saat memakai,
kalian mengucapkan "Al-Hamdulillah", maka seakan ikut bersyukur
pula seluruh
anggota
badan”.
Ini berbeda
bila kalian makan dari makanan roti kasar, minum air asin,
tidur pada tempat yang kotor dan berpakaian dengan pakaian
murahan. Saat
mengucapkan "Al-Hamdulillah", hati masih
ada rasa 'protes' dan mengerutu.
Padahal, kalau ia mengerti hakekatnya, memprotes dan mengerutu adalah lebih
besar dosanya
daripada bersenang-senang dengan kenikmatan dunia. Sebab,
bersenang-senang berarti
masih dalam batas melakukan
sesuatu yang
diperbolehkan, sedang menggerutu dan benci berarti
melakukan sesuatu
yang
dilarang".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar