Pada tahun 2009, saya terlibat perdebatan sengit di Surabaya
dengan seorang
tokoh Salafi dari Malang,
berinisial AH. Di bagian awal buku yang
dipromosikannya pada waktu itu, ia menulis,
bahwa madzhab al-Asy’ari
merupakan sumber pemikiran liberal.
Saya merasa heran dengan asumsi
murahan AH yang mengatakan bahwa pemikiran liberal
sumbernya dari
madzhab al-Asy’ari. Logika dan paradigma
apa yang dijadikan
barometer untuk
menilai
madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal.
Seandainya ada seseorang berpendapat bahwa ajaran Islam itu sumber
kejahatan pencurian
dan perzinahan, karena ia melihat
dalam kitab-kitab tafsir
ada
beberapa ayat yang turun berkaitan dengan sahabat Nabi shallallahu alaihi
wasallam yang mencuri dan berzina, apakah AH akan menerima logika berpikir
seperti
ini? Tentu saja dia tidak akan menerima.
Seandainya AH berkomunikasi terlebih
dahulu dengan ulama-ulama Wahhabi
yang menjadi
gurunya di Saudi Arabia, mungkin
ia tidak akan menulis tuduhan
keji
seperti itu. Karena para ulama Wahhabi sendiri mengakui, bahwa mayoritas
ulama
dari berbagai bidang, seperti ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli
sejarah,
gramatika
dan lain-lain mengikuti madzhab al-Asy’ari.
AH sepertinya tidak pernah membaca
sejarah bahwa para ulama yang berhasil
membabat habis kelompok Mu’tazilah sampai punah pada akhir abad keenam
Hijriah
adalah para ulama pengikut madzhab al-Asy’ari. Dalam sejarah pemikiran
Islam,
Mu’tazilah merupakan aliran yang dikenal paling tangguh dan hebat dalam
arena dialog dan perdebatan. Mu’tazilah juga dikenal
sebagai aliran yang
mendahulukan akal daripada nash (teks) al-Qur’an
dan Sunnah. Di tangan
Mu’tazilah, teks-teks
al-Qur’an dan hadits menjadi berkurang
nilai sakralitasnya
karena harus dikoreksi terlebih
dahulu dengan perisai
rasio dan nalar. AH juga
sepertinya
tidak tahu sejarah, bahwa ilmu filsafat yang dianggap sebagai sumber
pemikiran liberal
dalam Islam, menjadi
terkapar untuk selama-lamanya dari
ranah intelektual kaum Muslimin setelah
dibabat habis oleh Hujjatul Islam al-
Ghazali dengan kitabnya Tahafut
al-Falasifah. Dari sini layakkah AH menuduh
madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal? Bukankah
lebih layak kalau
dikatakan
bahwa liberalisme sumbernya dari Wahhabi.
Sebagaimana dimaklumi, di antara ciri khas liberalisme, adalah upaya
desakralisasi otoritas
ulama. Ketika pendapat
dan hasil ijtihad
ulama diajukan
kepada kaum liberal, maka dengan serta merta mereka akan menolaknya
dengan alasan para ulama juga manusia biasa seperti halnya mereka. Kaum
Wahhabi
juga demikian, ketika pendapat dan hasil ijtihad ulama diajukan kepada
mereka, maka sudah barang tentu mereka akan menolaknya, dengan bahasa
yang terkadang
lebih halus, “kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”.
Bahasa yang mengesankan bahwa hasil ijtihad ulama tidak mengikuti al-Qur’an
dan
Sunnah.
Memang tidak aneh kalau orang Wahhabi
seperti AH menuduh
madzhab al-
Asy’ari sebagai
sumber ajaran liberal.
Bukankah pendiri aliran Wahhabi sendiri,
Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab al-Najdi telah mengatakan bahwa kitab-
kitab fiqih merupakan sumber ajaran syirik.
Dalam kitab al-Durar
al-Saniyyah fi
al-Ajwibah al-Najdiyyah (kumpulan fatwa-fatwa ulama Wahhabi sejak Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, sang pendiri aliran Wahhabi), yang
dihimpun oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad al-Najdi
al-Wahhabi, juz 3
hal. 59, Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab mengeluarkan statemen
yang
cukup
ekstrem bahwa ilmu fiqih merupakan sumber kesyirikan. Sedangkan para
ulama fuqaha yang menulis
kitab-kitab fiqih, ia samakan dengan syetan-syetan
manusia
dan jin. Astaghfirullah.
Tidak
Perlu Mengikuti Ulama
Kejadian itu agak mirip dengan kejadian
berikutnya. Suatu ketika, saya mengisi
pengajian di daerah Kesiman
Denpasar Timur Bali. Setelah saya memaparkan
tentang dalil-dalil bid’ah hasanah dari al-Qur’an dan hadits, lalu saya mengutip
pendapat para ulama sejak
Khulafaur Rasyidin yang mengakui dan
mengamalkan
bid’ah hasanah, tiba-tiba seorang Wahhabi angkat bicara dengan
nada
emosi. Ia berkata begini: “Kita tidak perlu mengikuti imam ini maupun imam
itu. Kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah saja, titik. Setelah
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam tidak ada orang yang perlu kita ikuti.”
Demikian
perkataan orang Wahhabi tersebut
dengan suara berapi-api dan nada suara
tinggi.
Orang Wahhabi
ini sepertinya tidak tahu, bahwa yang memberikan otoritas
kepada
ulama agar diikuti oleh umat Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Ketika
kita
mengikuti ulama, itu bukan berarti kita meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah.
Akan tetapi kita justru mengikuti al-Qur’an
dan Sunnah sesuai dengan
pemahaman
para ulama yang lebih mengerti dari pada kita. Allah subhanahu wa
ta’ala
berfirman dalam al-Qur’an al-Karim:
“Bertanyalah
kamu kepada para ulama apabila
kamu tidak tahu.” (QS. al-Nahl:
43 dan
al-Anbiya’: 7).
|
36
Dalam ayat di atas, al-Qur’an memerintahkan kita agar bertanya
kepada para
ulama
ketika kita tidak tahu. Al-Qur’an tidak memerintahkan kita membuka-buka
lembaran-lembaran
al-Qur’an dan kitab-kitab hadits ketika kita tidak tahu. Dalam
ayat
lain, Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan
Ulil-
Amri
di antara kamu.” (QS. al-Nisa’ : 59).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an menuntun
kita agar mengikuti
Ulil Amri. Yang
dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat tersebut adalah para ulama yang
mendalam ilmunya.
Dalam hadits shahih,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
_
|
“Semoga Allah membuat elok pada orang yang mendengar
sabdaku, lalu ia
mengingatnya, kemudian
menyampaikannya seperti yang pernah didengarnya.
Karena tidak sedikit orang yang menyampaikan suatu hadits dariku tidak dapat
memahaminya.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Tidak sedikit orang yang
memperoleh suatu hadits dari seseorang lebih memahami daripada
orang yang
mendengar
hadits itu secara langsung dariku.” (HR. al-Tirmidzi (2580, 2581 dan
2583),
Abu Dawud (3175); Ibn Majah (226) dan lain-lain).
Hadits tersebut
menunjukkan bahwa di antara sahabat
Rasul shallallahu alaihi
wasallam
yang mendengar hadits dari beliau secara langsung, ada yang kurang
memahami
terhadap makna-makna yang dikandung oleh hadits tersebut. Namun
kemudian ia menyampaikan hadits itu kepada murid-muridnya yang terkadang
lebih memahami
terhadap kandungan maknanya.
Pemahaman lebih, terhadap
kandungan
hadits tersebut menyangkut penggalian hukum-hukum dan masalah-
masalah yang nantinya disebut
dengan proses istinbath
atau ijtihad. Dari sini
dapat dipahami,
bahwa di antara sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam ada
yang kurang mengerti terhadap
maksud suatu hadits daripada murid-murid
mereka. Dan murid-murid mereka yang memiliki
pemahaman lebih terhadap
hadits tadi disebut dengan mujtahid. Mujtahid
inilah yang menjadi
fokus
pembicaraan
dalam hadits shahih berikut ini:
37
“Apabila seorang hakim melakukan ijtihad,
lalu ijtihadnya benar, maka ia
memperoleh dua pahala. Dan apabila melakukan
ijtihad, lalu ijtihadnya keliru,
maka
ia memperoleh satu pahala.” (Al-Bukhari [6805]).
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tidak semua sahabat Nabi
shallallahu alaihi wasallam yang memiliki penguasaan mendalam terhadap
susunan bahasa Arab mampu mengeluarkan fatwa. Dan kesimpulan ini akan
semakin kelihatan
dengan jelas, apabila
kita perhatikan kitab-kitab mushthalah
al-hadits yang disusun oleh para hafizh (gelar kesarjanaan tertinggi dalam
bidang studi ilmu hadits),
di sana akan kita dapati bahwa para mufti dari
kalangan sahabat
Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak sampai sepuluh
orang.
Ada yang mengatakan hanya enam orang. Tetapi sebagian
ulama ada yang
mengatakan bahwa sekitar dua ratus orang sahabat Nabi shallallahu alaihi
wasallam
yang telah mencapai derajat mujtahid.
Dialog
Syaikh Al-Buthi dan Syaikh Al-Albani
Ada sebuah perdebatan yang menarik tentang
ijtihad dan taqlid,
antara Syaikh
Muhammad
Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah
di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh
Wahhabi dari Yordania. Syaikh al-Buthi bertanya:
“Bagaimana cara Anda
memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung
dari
al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Al-Albani menjawab:
“Aku membandingkan antara pendapat semua imam
mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-
Qur’an
dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi
bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu
Anda
simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk
diperdagangkan,
maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah
setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun
lagi?” Al-Albani
menjawab:
“Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu
ada zakatnya?” Syaikh al-Buthi berkata:
“Saya hanya bertanya.
Yang saya
inginkan,
Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-
kitab tafsir,
hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.” Al-Albani
menjawab: “Hai
saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan
mudah yang bisa dijawab
dengan
seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini
untuk
membahas masalah lain”.
Mendengar
jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik
kalau memang begitu. Sekarang
saya bertanya, apakah setiap Muslim harus
atau
wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian
mengambil pendapat
yang paling sesuai dengan al-Qur’an
dan Sunnah?” Al-
Albani menjawab:
“Ya.” Syaikh al-Buthi
bertanya: “Maksud jawaban
Anda,
semua orang memiliki kemampuan
berijtihad seperti yang dimiliki oleh para
imam madzhab?
Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan
melebihi kemampuan
ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika,
seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab
dengan
barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
Al-Albani menjawab:
“Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi
tiga, yaitu
muqallid (orang yang taklid),
muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid.
Orang
yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih
yang
lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah,
antara
taklid dan ijtihad.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?” al-
Albani
menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.” Syaikh
al-Buthi bertanya;
“Apakah ia berdosa
kalau seumpama mengikuti
seorang
mujtahid
saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?” al-Albani menjawab:
“Ya,
ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi
bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?” Al-Albani
menjawab:
“Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan
Allah padanya.”
Syaikh al-Buthi bertanya:
“Dalam membaca al-Qur’an, Anda
mengikuti qira’ah-nya siapa di antara qira’ah yang tujuh?” Al-Albani
menjawab:
“Qira’ah
Hafsh.” Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh
saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti
qira’ah yang berbeda-beda?” Al-Albani
menjawab:
“Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi
bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti
qira’ah Hafsh saja,
padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah
Hafsh. Kewajiban
Anda justru membaca
al-Qur’an sesuai riwayat
yang datang
dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara mutawatir.” Al-Albani
menjawab:
“Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan
membaca
al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi
berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab al-Syafi’i, juga
tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah
memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam al-
Syafi’i. Apabila
Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam,
maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga
Anda
membaca al-Qur’an
dengan semua qira’ah
itu. Kalau Anda beralasan tidak
mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan
muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya
kepada
Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid
harus berpindah-
pindah
dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya.
Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab
saja, ia
juga
tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?” Al-
Albani
menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu
madzhab
dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi
berkata: “Jawaban Anda ini persoalan
lain. Dan memang benar
demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang
muqallid itu berdosa
jika
menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan
demikian?” Al-Albani
menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata:
“Tetapi
isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam
buku tersebut
disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya
haram.
Bahkan dalam bagian lain buku tersebut,
orang yang menetapi
satu madzhab
saja itu dihukumi kafir.”
Menjawab pertanyaan tersebut,
al-Albani kebingungan
menjawabnya.
Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi
dengan al-Albani, yang
didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar
Bid’ah
Tuhaddid al-Syari’at al-Islamiyyah. Dialog tersebut
menggambarkan, bahwa
kaum
Wahhabi melarang umat Islam
mengikuti madzhab tertentu dalam
bidang
fiqih. Tetapi ajakan tersebut,
sebenarnya upaya licik mereka agar umat Islam
mengikuti madzhab
yang mereka buat sendiri. Tentu saja mengikuti
madzhab
para ulama salaf, lebih menenteramkan bagi kaum Muslimin.
Keilmuan,
ketulusan dan keshalehan ulama salaf jelas diyakini melebihi
orang-orang
sesudah
mereka.
Hadits
Ikhtilaf Ummati Rahmatun
Dalam tradisi
bermadzhab, perbedaan pendapat
merupakan sebuah
keniscayaan
dan termasuk khazanah kekayaan fiqih kaum Muslimin. Dewasa ini,
seiring dengan merebaknya aliran Wahhabi, yang cenderung memaksakan
pendapatnya kepada orang lain agar diikuti,
disebarluaskan wacana bahwa
mengikuti
madzhab fiqih yang ada merupakan salah satu bentuk kesyirikan dan
dilarang
dalam agama. Demikian asumsi mereka.
Dalam sebuah diskusi di Mushalla al-Fitrah, Monang Maning Denpasar,
ada
seorang Wahhabi
melakukan protes dengan berkata: “Ustadz,
kita tidak perlu
mengikuti ulama atau para imam madzhab.
Bukankah para imam madzhab itu
pendapatnya berbeda-beda. Ustadz harus mengetahui bahwa hadits ikhtilafu
ummati
rahmatun (perbedaan umat Islam itu merupakan rahmat Allah) itu hadits
mursal yang kualitasnya lemah atau dha’if”.
Demikian pernyataan orang
Wahhabi
tadi yang belakangan diketahui berinisial HA.
Pada waktu itu saya menjawab: “Memang
hadits ikhtilafu ummati rahmatun,
termasuk hadits dha’if. Akan tetapi substansinya terdapat dalam hadits-hadits
yang
shahih. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Ibn Umar
radhiyallahu ‘anhu yang berkata:
“Sepulangnya dari peperangan Ahzab,
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Nabi mendera orang yang minum khamr sebanyak empat puluh
kali. Abu Bakar
mendera empat puluh kali pula. Sedangkan
Umar menderanya delapan
puluh
kali. Dan kesemuanya adalah sunnah. Akan tetapi, empat puluh kali lebih aku
sukai.”
(HR. Muslim (3220) dan Abi Dawud (3384).
Dalam hadits ini, Ali bin Abi Thalib menetapkan bahwa dera empat puluh kali
yang dilakukan
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan Abu Bakar,
sedang dera delapan puluh kali yang dilakukan oleh Umar kepada orang yang
minum khamr, keduanya sama-sama
benar. Hadits ini menjadi bukti bahwa
perbedaan
pendapat di antara sesama mujtahid dalam bidang fiqih, tidak tercela,
bahkan eksistensinya diakui berdasarkan hadits tersebut. Seorang
ulama salaf
dari generasi
tabi’in, al-Imam al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar al-Shiddiq
berkata:
_
|
“Perbedaan pendapat
di kalangan sahabat
Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam
merupakan rahmat bagi manusia.” (Jazil al-Mawahib, 21).
Khalifah
yang shaleh, Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu juga berkata:
“Aku
tidak gembira seandainya para sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam tidak berbeda pendapat.
Karena seandainya mereka tidak berbeda
pendapat,
tentu tidak ada kemurahan dalam agama.” (Jazil al-Mawahib, 22).
Paparan
di atas menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan sahabat
telah terjadi
sejak masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Dan ternyata
perbedaan tersebut
dilegitimasi oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
dan
menjadi rahmat bagi umat Islam sebagaimana diakui oleh ulama salaf yang
saleh.
Wallahu a’lam.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar