Kamis, 17 Januari 2013

OTORITAS ULAMA


Pada tahun 2009, saya terlibat perdebatan sengit di Surabaya dengan seorang
tokoh Salafi dari Malang, berinisial AH. Di bagian awal buku yang
dipromosikannya pada waktu itu, ia menulis, bahwa madzhab al-Asy’ari
merupakan sumber pemikiran liberal. Saya merasa heran dengan asumsi
murahan AH yang mengatakan bahwa pemikiran liberal sumbernya dari
madzhab al-Asy’ari. Logika dan paradigma apa yang dijadikan barometer untuk
menilai madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal. 
 
Seandainya ada seseorang berpendapat bahwa ajaran Islam itu sumber
kejahatan pencurian dan perzinahan, karena ia melihat dalam kitab-kitab tafsir
ada beberapa ayat yang turun berkaitan dengan sahabat Nabi shallallahu alaihi
wasallam yang mencuri dan berzina, apakah AH akan menerima logika berpikir
seperti ini? Tentu saja dia tidak akan menerima.
 
Seandainya AH berkomunikasi terlebih dahulu dengan ulama-ulama Wahhabi
yang menjadi gurunya di Saudi Arabia, mungkin ia tidak akan menulis tuduhan
keji seperti itu. Karena para ulama Wahhabi sendiri mengakui, bahwa mayoritas
ulama dari berbagai bidang, seperti ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli sejarah,
gramatika dan lain-lain mengikuti madzhab al-Asy’ari. 
 
AH sepertinya tidak pernah membaca sejarah bahwa para ulama yang berhasil
membabat habis kelompok Mu’tazilah sampai punah pada akhir abad keenam
Hijriah adalah para ulama pengikut madzhab al-Asy’ari. Dalam sejarah pemikiran
Islam, Mu’tazilah merupakan aliran yang dikenal paling tangguh dan hebat dalam
arena dialog dan perdebatan. Mu’tazilah juga dikenal sebagai aliran yang
mendahulukan akal daripada nash (teks) al-Qur’an dan Sunnah. Di tangan
Mu’tazilah, teks-teks al-Qur’an dan hadits menjadi berkurang nilai sakralitasnya
karena harus dikoreksi terlebih dahulu dengan perisai rasio dan nalar. AH juga
sepertinya tidak tahu sejarah, bahwa ilmu filsafat yang dianggap sebagai sumber
pemikiran liberal dalam Islam, menjadi terkapar untuk selama-lamanya dari
ranah intelektual kaum Muslimin setelah dibabat habis oleh Hujjatul Islam al-
Ghazali dengan kitabnya Tahafut al-Falasifah. Dari sini layakkah AH menuduh
madzhab al-Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal? Bukankah lebih layak kalau
dikatakan bahwa liberalisme sumbernya dari Wahhabi. 
 
Sebagaimana dimaklumi, di antara ciri khas liberalisme, adalah upaya
desakralisasi otoritas ulama. Ketika pendapat dan hasil ijtihad ulama diajukan
kepada kaum liberal, maka dengan serta merta mereka akan menolaknya
dengan alasan para ulama juga manusia biasa seperti halnya mereka. Kaum
Wahhabi juga demikian, ketika pendapat dan hasil ijtihad ulama diajukan kepada
mereka, maka sudah barang tentu mereka akan menolaknya, dengan bahasa
yang terkadang lebih halus, “kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”.
Bahasa yang mengesankan bahwa hasil ijtihad ulama tidak mengikuti al-Qur’an
dan Sunnah.
 
Memang tidak aneh kalau orang Wahhabi seperti AH menuduh madzhab al-
Asy’ari sebagai sumber ajaran liberal. Bukankah pendiri aliran Wahhabi sendiri,
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi telah mengatakan bahwa kitab-
kitab fiqih merupakan sumber ajaran syirik. Dalam kitab al-Durar al-Saniyyah fi
al-Ajwibah al-Najdiyyah (kumpulan fatwa-fatwa ulama Wahhabi sejak Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, sang pendiri aliran Wahhabi), yang
dihimpun oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad al-Najdi al-Wahhabi, juz 3
hal. 59, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengeluarkan statemen yang
cukup ekstrem bahwa ilmu fiqih merupakan sumber kesyirikan. Sedangkan para
ulama fuqaha yang menulis kitab-kitab fiqih, ia samakan dengan syetan-syetan
manusia dan jin. Astaghfirullah.
 

Tidak Perlu Mengikuti Ulama
 
Kejadian itu agak mirip dengan kejadian berikutnya. Suatu ketika, saya mengisi
pengajian di daerah Kesiman Denpasar Timur Bali. Setelah saya memaparkan
tentang dalil-dalil bid’ah hasanah dari al-Qur’an dan hadits, lalu saya mengutip
pendapat para ulama sejak Khulafaur Rasyidin yang mengakui dan
mengamalkan bid’ah hasanah, tiba-tiba seorang Wahhabi angkat bicara dengan
nada emosi. Ia berkata begini: “Kita tidak perlu mengikuti imam ini maupun imam
itu. Kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah saja, titik. Setelah Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam tidak ada orang yang perlu kita ikuti.” Demikian
perkataan orang Wahhabi tersebut dengan suara berapi-api dan nada suara
tinggi.
 
Orang Wahhabi ini sepertinya tidak tahu, bahwa yang memberikan otoritas
kepada ulama agar diikuti oleh umat Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah. Ketika
kita mengikuti ulama, itu bukan berarti kita meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah.
Akan tetapi kita justru mengikuti al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan
pemahaman para ulama yang lebih mengerti dari pada kita. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman dalam al-Qur’an al-Karim:
  
 “Bertanyalah kamu kepada para ulama apabila kamu tidak tahu.” (QS. al-Nahl:
43 dan al-Anbiya’: 7).
 


  

 


36
Dalam ayat di atas, al-Qur’an memerintahkan kita agar bertanya kepada para
ulama ketika kita tidak tahu. Al-Qur’an tidak memerintahkan kita membuka-buka
lembaran-lembaran al-Qur’an dan kitab-kitab hadits ketika kita tidak tahu. Dalam
ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
  
 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan Ulil-
Amri di antara kamu.” (QS. al-Nisa’ : 59).
 
Dalam ayat di atas, al-Qur’an menuntun kita agar mengikuti Ulil Amri. Yang
dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat tersebut adalah para ulama yang
mendalam ilmunya. Dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda: 
_

 
“Semoga Allah membuat elok pada orang yang mendengar sabdaku, lalu ia
mengingatnya, kemudian menyampaikannya seperti yang pernah didengarnya.
Karena tidak sedikit orang yang menyampaikan suatu hadits dariku tidak dapat
memahaminya.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Tidak sedikit orang yang
memperoleh suatu hadits dari seseorang lebih memahami daripada orang yang
mendengar hadits itu secara langsung dariku.” (HR. al-Tirmidzi (2580, 2581 dan
2583), Abu Dawud (3175); Ibn Majah (226) dan lain-lain).
 
Hadits tersebut menunjukkan bahwa di antara sahabat Rasul shallallahu alaihi
wasallam yang mendengar hadits dari beliau secara langsung, ada yang kurang
memahami terhadap makna-makna yang dikandung oleh hadits tersebut. Namun
kemudian ia menyampaikan hadits itu kepada murid-muridnya yang terkadang
lebih memahami terhadap kandungan maknanya. Pemahaman lebih, terhadap
kandungan hadits tersebut menyangkut penggalian hukum-hukum dan masalah-
masalah yang nantinya disebut dengan proses istinbath atau ijtihad. Dari sini
dapat dipahami, bahwa di antara sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam ada
yang kurang mengerti terhadap maksud suatu hadits daripada murid-murid
mereka. Dan murid-murid mereka yang memiliki pemahaman lebih terhadap
hadits tadi disebut dengan mujtahid. Mujtahid inilah yang menjadi fokus
pembicaraan dalam hadits shahih berikut ini:
  
37
 “Apabila seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka ia
memperoleh dua pahala. Dan apabila melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya keliru,
maka ia memperoleh satu pahala.” (Al-Bukhari [6805]).
 



Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak semua sahabat Nabi
shallallahu alaihi wasallam yang memiliki penguasaan mendalam terhadap
susunan bahasa Arab mampu mengeluarkan fatwa. Dan kesimpulan ini akan
semakin kelihatan dengan jelas, apabila kita perhatikan kitab-kitab mushthalah
al-hadits yang disusun oleh para hafizh (gelar kesarjanaan tertinggi dalam
bidang studi ilmu hadits), di sana akan kita dapati bahwa para mufti dari
kalangan sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak sampai sepuluh orang.
Ada yang mengatakan hanya enam orang. Tetapi sebagian ulama ada yang
mengatakan bahwa sekitar dua ratus orang sahabat Nabi shallallahu alaihi
wasallam yang telah mencapai derajat mujtahid.
 
Dialog Syaikh Al-Buthi dan Syaikh Al-Albani
 
Ada sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah
di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh
Wahhabi dari Yordania. Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda
memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung
dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam
mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-
Qur’an dan Sunnah.”
 
Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu
Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk
diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah
setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?” Al-Albani
menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu
ada zakatnya?” Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya
inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-
kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.” Al-Albani menjawab: “Hai
saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab
dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini
untuk membahas masalah lain”. 
 
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik
kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus
atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian
mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?” Al-
Albani menjawab: “Ya.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda,
semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para



imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan
melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika,
seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab
dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
 
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu
muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid.
Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih
yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah,
antara taklid dan ijtihad.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?” al-
Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.” Syaikh
al-Buthi bertanya; “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang
mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?” al-Albani menjawab:
“Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
 
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?” Al-Albani
menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan
Allah padanya.” Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda
mengikuti qira’ah-nya siapa di antara qira’ah yang tujuh?” Al-Albani menjawab:
“Qira’ah Hafsh.” Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh
saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?” Al-Albani
menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
 
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja,
padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah
Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang datang
dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara mutawatir.” Al-Albani menjawab:
“Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan
membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.” 
 
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab al-Syafi’i, juga
tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah
memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam al-
Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam,
maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda
membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak
mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan
muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada
Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-
pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya.
Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia
juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?” Al-
Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu
madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
 


Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar
demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa
jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan
demikian?” Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.” Syaikh al-Buthi berkata:
“Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam
buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram.
Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab
saja itu dihukumi kafir.” Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan
menjawabnya.
 
Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang
didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah
Tuhaddid al-Syari’at al-Islamiyyah. Dialog tersebut menggambarkan, bahwa
kaum Wahhabi melarang umat Islam mengikuti madzhab tertentu dalam bidang
fiqih. Tetapi ajakan tersebut, sebenarnya upaya licik mereka agar umat Islam
mengikuti madzhab yang mereka buat sendiri. Tentu saja mengikuti madzhab
para ulama salaf, lebih menenteramkan bagi kaum Muslimin. Keilmuan,
ketulusan dan keshalehan ulama salaf jelas diyakini melebihi orang-orang
sesudah mereka.
 

Hadits Ikhtilaf Ummati Rahmatun
 
Dalam tradisi bermadzhab, perbedaan pendapat merupakan sebuah
keniscayaan dan termasuk khazanah kekayaan fiqih kaum Muslimin. Dewasa ini,
seiring dengan merebaknya aliran Wahhabi, yang cenderung memaksakan
pendapatnya kepada orang lain agar diikuti, disebarluaskan wacana bahwa
mengikuti madzhab fiqih yang ada merupakan salah satu bentuk kesyirikan dan
dilarang dalam agama. Demikian asumsi mereka.






 
Dalam sebuah diskusi di Mushalla al-Fitrah, Monang Maning Denpasar, ada
seorang Wahhabi melakukan protes dengan berkata: “Ustadz, kita tidak perlu
mengikuti ulama atau para imam madzhab. Bukankah para imam madzhab itu
pendapatnya berbeda-beda. Ustadz harus mengetahui bahwa hadits ikhtilafu
ummati rahmatun (perbedaan umat Islam itu merupakan rahmat Allah) itu hadits
mursal yang kualitasnya lemah atau dha’if”. Demikian pernyataan orang
Wahhabi tadi yang belakangan diketahui berinisial HA.
 
Pada waktu itu saya menjawab: “Memang hadits ikhtilafu ummati rahmatun,
termasuk hadits dha’if. Akan tetapi substansinya terdapat dalam hadits-hadits
yang shahih. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Ibn Umar
radhiyallahu ‘anhu yang berkata: “Sepulangnya dari peperangan Ahzab,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 
  
“Nabi mendera orang yang minum khamr sebanyak empat puluh kali. Abu Bakar
mendera empat puluh kali pula. Sedangkan Umar menderanya delapan puluh
kali. Dan kesemuanya adalah sunnah. Akan tetapi, empat puluh kali lebih aku
sukai.” (HR. Muslim (3220) dan Abi Dawud (3384).
 
Dalam hadits ini, Ali bin Abi Thalib menetapkan bahwa dera empat puluh kali
yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan Abu Bakar,
sedang dera delapan puluh kali yang dilakukan oleh Umar kepada orang yang
minum khamr, keduanya sama-sama benar. Hadits ini menjadi bukti bahwa
perbedaan pendapat di antara sesama mujtahid dalam bidang fiqih, tidak tercela,
bahkan eksistensinya diakui berdasarkan hadits tersebut. Seorang ulama salaf
dari generasi tabi’in, al-Imam al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar al-Shiddiq
berkata:
  
_

 
“Perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam merupakan rahmat bagi manusia.” (Jazil al-Mawahib, 21).
 
Khalifah yang shaleh, Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhu juga berkata:
  
 
“Aku tidak gembira seandainya para sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam tidak berbeda pendapat. Karena seandainya mereka tidak berbeda
pendapat, tentu tidak ada kemurahan dalam agama.” (Jazil al-Mawahib, 22).
 
Paparan di atas menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan sahabat
telah terjadi sejak masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan ternyata
perbedaan tersebut dilegitimasi oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan
menjadi rahmat bagi umat Islam sebagaimana diakui oleh ulama salaf yang
saleh. Wallahu a’lam.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar