Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW bermula pada masa pemerintahan
Bani Taimiyah, kemudian dilanjuti pada masa pemerintahan Khalifah Bani Abbas
oleh penguasa AlHaramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) Sultan Salahuddin
Al Ayyubi (SoultanSaladin).Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau
570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub, setingkat Gubernur dengan pusat
kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo),Mesir, dan daerah kekuasaannya
membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Perintah merayakan
Maulid ini disampaikan pertama kali pada musim Haji 579 H (1183Masehi). Sebagai
penguasa dua tanah suci kala itu, atas persetujuan Khalifah Bani Abbas di
Baghdad, Sultan mengimbau agar seluruh jamaah haji seluruh dunia jika kembali
ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat
Islam dimana saja berada. Maksud Sultan Salahuddin merayakan tradisi ini selain
bentuk cintanya pada Rasul juga sebagai cara membangkitkan semangat juang umat
Islam yang kala itu kehilangan semangat juang dan persaudaraan ukhuwah ketika
terjadi perang salib. Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman
Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut
ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi
Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan
yang menyemarakkan syiar agama, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang
terlarang. Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada
peringatan Maulid Nabiyang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan
sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa
yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti
kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di
kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi. Penyair Ahmad Syauqi menggambarkan
kelahiran Nabi Mulia itu dalam syairnya yang indah: “Telah dilahirkan seorang
Nabi, alam pun bercahaya, sang waktu pun tersenyum dan memuji”. Tradisi Maulid
Nabi di Tanah Jawa Bagi sebagian orang Islam tradisi merayakan Maulid Nabi
Muhammad SAW merupakan sebagai salah satu bentuk pengejewantahan rasa cinta
umat kepada Rasul Nya. Di tanah Jawa sendiri tradisi ini telah ada sejak zaman
walisongo, pada masa itu tradisi Maulid Nabi dijadikan sebagai sarana dakwah
penyebaran agama Islam dengan menghadirkan berbagai macam kegiatan yang menarik
masyarakat. Pada saat ini tradisi Maulid/Mauludan di Jawa disamping sebagai
bentuk perwujudan cinta umat kepada Rasul juga sebagai penghormatan terhadap
jasa-jasa Walisongo.
Sebagian masyarakat Jawa merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i ataual-Burdah atau dalam istilah orang Jakarta dikenal dengan rawi. Barzanji dan Diba’i adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Sedangkan Al-Burdah adalah kumpulan syair-syair pujian kepada Rasulullah SAW yang dikarang oleh Al-Bushiri. Berbagai macam acara dibuat untuk meramaikan acara ini, lambat laun menjadi bagiandari adat dan tradisi turun temurun kebudayaan setempat. Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten. Istilah ini berasal dari stilasi lidah orang Jawa atas kata syahadatain, yaitu dua kalimatsyahadat. Perayaan umumnya bersifat ritual penghormatan (bukan penyembahan)terhadap jasa para wali penyebar Islam, misalnya upacara Panjang Jimat yaitu upacara pencucian senjata pusaka peninggalan para wali. Di Cirebon upacara Panjang Jimat di fokuskan di dua tempat yaitu Keraton Kasepuhandan Astana Gunung Jati. Di Jogjakarta dan Surakarta di masing-masing keraton denganacaranya Grebeg Mulud. Pada zaman kesultanan Mataram perayaan Maulid Nabidisebut Gerebeg Mulud. Kata “Gerebeg” artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di Garut, terdapat upacara Ngalungsur yaitu proses upacara ritual dimana barang-barang pusaka peninggalan Sunan Rohmat (Sunan Godog/Kian Santang) setiap setahun sekali dibersihkan atau dicuci dengan air bunga-bunga dan digosok dengan minyak wangi supaya tidak berkarat, di fokuskan di desa Lebak Agung, Karangpawitan. Di Banten kegiatan di fokuskan di Masjid Agung Banten. ditempat lain diantaranya tempat-tempat ziarah makam para wali. Di beberapa tempat kadang-kadang perayaan ini dijadikan ajang berkumpulnya paratokoh masyarakat dan sesepuh setempat, seperti kyai, bangsawan/elang, dan tidakketinggalan para jawara dari berbagai paguron untuk saling bersilaturahim, untuk membicarakan berbagai macam hal yang menyangkut daerah setempat. Tapi hal ini jarang diekspos karena sifatnya yang non formal, sehingga tidak banyak masyarakat yang mengikuti.
Sebagian masyarakat Jawa merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i ataual-Burdah atau dalam istilah orang Jakarta dikenal dengan rawi. Barzanji dan Diba’i adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Sedangkan Al-Burdah adalah kumpulan syair-syair pujian kepada Rasulullah SAW yang dikarang oleh Al-Bushiri. Berbagai macam acara dibuat untuk meramaikan acara ini, lambat laun menjadi bagiandari adat dan tradisi turun temurun kebudayaan setempat. Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten. Istilah ini berasal dari stilasi lidah orang Jawa atas kata syahadatain, yaitu dua kalimatsyahadat. Perayaan umumnya bersifat ritual penghormatan (bukan penyembahan)terhadap jasa para wali penyebar Islam, misalnya upacara Panjang Jimat yaitu upacara pencucian senjata pusaka peninggalan para wali. Di Cirebon upacara Panjang Jimat di fokuskan di dua tempat yaitu Keraton Kasepuhandan Astana Gunung Jati. Di Jogjakarta dan Surakarta di masing-masing keraton denganacaranya Grebeg Mulud. Pada zaman kesultanan Mataram perayaan Maulid Nabidisebut Gerebeg Mulud. Kata “Gerebeg” artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di Garut, terdapat upacara Ngalungsur yaitu proses upacara ritual dimana barang-barang pusaka peninggalan Sunan Rohmat (Sunan Godog/Kian Santang) setiap setahun sekali dibersihkan atau dicuci dengan air bunga-bunga dan digosok dengan minyak wangi supaya tidak berkarat, di fokuskan di desa Lebak Agung, Karangpawitan. Di Banten kegiatan di fokuskan di Masjid Agung Banten. ditempat lain diantaranya tempat-tempat ziarah makam para wali. Di beberapa tempat kadang-kadang perayaan ini dijadikan ajang berkumpulnya paratokoh masyarakat dan sesepuh setempat, seperti kyai, bangsawan/elang, dan tidakketinggalan para jawara dari berbagai paguron untuk saling bersilaturahim, untuk membicarakan berbagai macam hal yang menyangkut daerah setempat. Tapi hal ini jarang diekspos karena sifatnya yang non formal, sehingga tidak banyak masyarakat yang mengikuti.
Pandangan Ulama NU Para ulama NU memandang peringatan Maulid
Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun
termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam.
Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zamanNabi tidak ada namun
sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan,
tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri
sering membacanya), mau’izhah hasanah pada acara temanten dan Muludan. Dalam
Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda:
“Siapamenghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya di Hari
Kiamat.”Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang
menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar