Kamis, 17 Januari 2013

CERDAS DALAM BERMAZDAB


Mayoritas kaum Muslimin mengikuti pola bermadzhab dalam menjalankan
kehidupan beragama sehari-hari. Di Indonesia, kaum Muslimin mengikuti
madzhab al-Imam al-Syafi’i dalam bidang fiqih, madzhab Abu al-Hasan al-Asy’ari
dalam bidang akidah dan madzhab Hujjatul Islam al-Ghazali dan Abu al-Hasan
al-Syadzili dalam bidang tashawuf. Demikian seperti dijelaskan oleh
Hadlratusysyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah.
Namun demikian pola bermadzhab ini tidak jarang disalahpahami oleh mereka
yang anti madzhab. Menurut mereka, ketika seseorang itu mengikuti madzhab
suatu imam, maka ia harus mengikutinya 100 % dari A sampai Z. Tentu saja
langkah seperti ini tidak tepat dan tidak ada dalam logika beragama.
Dalam sebuah dialog terbuka di Masjid al-Mujahidin, Denpasar, seorang
Wahhabi mengatakan kepada kami, “Kalau Anda memang mengikuti madzhab
al-Imam al-Syafi’i, seharusnya Anda tidak usah tahlilan dan selamatan selama 7
hari kematian. Karena al-Imam al-Syafi’i sendiri berpendapat bahwa pahala
bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit.” Demikian gugatan orang
Wahhabi tadi terhadap kami.
Dalam mengikuti pola bermadzhab dengan mengikuti madzhab salah satu imam
mujtahid, misalnya mayoritas umat Islam Indonesia mengikuti madzhab al-Syafi’i,
tidak berarti kita menyembah al-Imam al-Syafi’i, dengan artian mengikuti seluruh
pendapat beliau 100 % mulai dari A sampai Z. 
Para ulama kita, yang menuntun kita mengikuti madzhab al-Imam al-Syafi’i
mengajarkan agar kita bermadzhab secara selektif dan korektif. Hal ini yang kita
istilahkan dengan madzhab secara manhaji, atau bermadzhab dengan cerdas.
Al-Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, murid terbaik dan penyebar
madzhab al-Imam Abu Hanifah, menyelisihi gurunya (Abu Hanifah) dalam 2/3
madzhab. Akan tetapi keduanya tetap dianggap sebagai pengikut dan penyebar
madzhab Hanafi. Para ulama pengikut madzhab Maliki, dalam banyak masalah
menyelisihi pendapat Imam Malik bin Anas, sang pendiri madzhab sendiri.
Namun mereka tetap dianggap sebagai pengikut madzhab Maliki.



76
Dalam madzhab al-Syafi’i sendiri, para ulama sepakat bahwa ketika terjadi
perbedaan pendapat antara qaul qadim (pendapat lama), yaitu hasil ijtihad beliau
ketika masih tinggal di Iraq, dengan qaul jadid (pendapat baru), yaitu hasil ijtihad
beliau setelah tinggal di Mesir di akhir hayatnya, harus mengikuti qaul jadid
sesuai dengan pesan al-Imam al-Syafi’i sendiri. Akan tetapi sekitar dalam 12
masalah para ulama kita mengharuskan mengikuti qaul qadim, karena setelah
dikaji dan diteliti, qaul qadim itu lebih kuat dalilnya dalam 12 masalah tersebut.
Hal ini bukan berarti kita keluar dari madzhab al-Imam al-Syafi’i. Tetapi mengikuti
madzhab beliau dalam ijtihad yang kita pandang benar dan kuat dalil-dalilnya.
Kaitannya dengan pengiriman hadiah pahala tahlilan kepada mayit, memang ada
riwayat yang sangat populer dari al-Imam al-Syafi’i, bahwa beliau berpendapat,
hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayit. Namun sebagian
besar pengikut madzhabnya, berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan al-
Qur’an sampai kepada mayit. Pendapat ini sesuai dengan pendapat al-Imam
Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Oleh karena itu, siapapun tidak bisa menggugat
pengikut madzhab al-Syafi’i yang melakukan tradisi pengiriman hadiah pahala
bacaan al-Qur’an dan lain-lain kepada mayit, selama mereka mengikuti pendapat
lain yang dipandang lebih kuat dalilnya.
Perlu diketahui bahwa al-Imam al-Syafi’i hanya berpendapat bahwa hadiah
pahala bacaan al-Qur’an saja yang tidak sampai kepada mayit. Sedangkan
hadiah pahala selainnya, seperti selamatan (sedekah), shalawat, tahlil, tasbih,
tahmid, shalat, haji dan lainnya, al-Imam al-Syafi’i berpendapat sampai. Oleh
karena itu, hadiah pahala selamatan selama tujuh hari, menurut al-Syafi’i
pahalanya bisa sampai kepada mayit.

Kitab al-Ibanah Karya al-Asy’ari
Gugatan serupa juga saya terima dalam sebuah diskusi di Surabaya. Seorang
tokoh Salafi dari Malang berkata: “Anda mengikuti madzhab al-Asy’ari, tetapi
mengapa Anda tidak mengikuti pendapat al-Asy’ari yang terdapat dalam kitab al-
Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah?”
Pada waktu itu saya jawab: “Bahwa kitab al-Ibanah yang ada sekarang tidak
memiliki sanad yang shahih kepada al-Imam al-Asy’ari. Bahkan dari beberapa
edisi kitab al-Ibanah yang ada, misalnya al-Ibanah yang diterbitkan oleh kaum
Wahhabi di Saudi Arabia, edisi yang diterbitkan Dr. Fauqiyah Husain dan edisi
al-Ibanah yang dikutip oleh al-Hafizh Ibn ‘Asakir al-Dimasyqi dalam kitab Tabyin
Kidzb al-Muftari, terjadi perbedaan yang cukup serius. Sementara kitab al-Ibanah
yang Anda jadikan dasar gugatan kepada kami para pengikut madzhabnya,
adalah kitab al-Ibanah edisi terbitan kaum Wahhabi di Saudi Arabia. Jadi kitab al-



77
Ibanah itu hampir mirip Bibel, semua edisi yang beredar, tidak ada yang sama,
pasti terjadi perbedaan.
Dan seandainya, kitab al-Ibanah yang ada tersebut memang shahih sanad-nya
kepada al-Imam al-Asy’ari, kami para pengikut madzhabnya tidak berkewajiban
mengikutinya. Bukankah para ulama Asya’irah telah memilih pendapat lain yang
berbeda dengan al-Ibanah tersebut (seandainya memang shahih). Hal ini sesuai
dengan logika yang berlaku dalam ilmu hadits. Menurut al-Hafizh al-Dzahabi
dalam Siyar A’lam al-Nubala’ (juz 16, hal. 405), jika terdapat suatu hadits, sanad-
nya shahih, akan tetapi para ulama mujtahid tidak ada yang mengamalkannya,
maka kita tidak boleh mengamalkan hadits tersebut. Jadi, hadits shahih saja,
posisinya harus tidak diamalkan, ketika tidak seorang pun dari kalangan ulama
mujtahid tidak mengamalkannya dalam ijtihad mereka. Apalagi hasil ijtihad
seorang ulama seperti al-Imam al-Asy’ari. Ketika semua ulama pengikutnya tidak
memakai, kita juga tidak memakai.”
Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali berkata dalam kitabnya, Bayan Fadhl ‘Ilm
al-Salaf ‘ala ‘Ilm al-Khalaf (hal. 57): 
“Adapun para imam dan fuqaha ahli hadits, mereka mengikuti hadits shahih di
mana pun berada, apabila hadits tersebut diamalkan oleh para sahabat dan
generasi sesudahnya, atau diamalkan oleh sekelompok mereka. Adapun hadits
shahih yang disepakati ditinggalkan oleh kaum salaf, maka tidak boleh
diamalkan. Karena mereka tidak meninggalkan hadits tersebut, melainkan
setelah mengetahui bahwa hadits tersebut memang tidak diamalkan. Umar bin
Abdul Aziz berkata: “Ikutilah pendapat yang sesuai dengan pendapat orang-
orang sebelum kalian, karena mereka lebih tahu dari pada kalian.”
Meninggalkan Hadits Shahih
Setelah saya menyampaikan pernyataan di atas, bahwa hadits yang shahih
sekalipun, ketika tidak seorang pun dari kalangan ulama mujtahid
mengamalkannya, maka kita tidak boleh mengamalkan. Ada salah seorang
Salafi bertanya, “Mengapa kita harus memilih pendapat seluruh ulama yang tidak
mengamalkan hadits tersebut, padahal hadits tersebut shahih?”.
Syaikh Ibn Taimiyah, menulis sebuah kitab berjudul Raf’u al-Malam ‘an al-
Aimmah al-A’lam. Dalam kitab tersebut Ibn Taimiyah mengemukakan sepuluh
alasan, mengapa seorang mujtahid terkadang menolak mengamalkan suatu
hadits dan memilih berijtihad sendiri. Menarik untuk dikemukakan di sini, setelah
memaparkan sepuluh alasan tersebut, Syaikh Ibn Taimiyah berkata begini:
“Dalam sekian banyak hadits yang ditinggalkan, boleh jadi seorang ulama
meninggalkan suatu hadits karena ia memiliki hujjah (alasan) yang kita tidak


  

78
mengetahui hujjah itu, karena wawasan keilmuan agama itu luas sekali, dan kita
tidak mengetahui semua ilmu yang ada dalam hati para ulama. Seorang ulama
terkadang menyampaikan alasannya, dan terkadang pula tidak
menyampaikannya. Ketika ia menyampaikan alasannya, terkadang sampai
kepada kita, dan terkadang tidak sampai. Dan ketika alasan itu sampai kepada
kita, terkadang kita tidak dapat menangkap alasan yang sesungguhnya (maudhi’
ihtijajihi), dan terkadang dapat menangkapnya.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Raf’u al-
Malam ‘an al-Aimmah al-A’lam, hal. 35).

Hadits Shahih Pasti Madzhabku
Dalam sebuah diskusi di Denpasar, ketika membicarakan pendapat al-Imam al-
Syafi’i tentang bid’ah, di mana beliau membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah
hasanah dan bid’ah sayyi’ah, Ustadz Husni Abadi, seorang tokoh Wahhabi
menggugat kepada kami: “Kita harus mengikuti hadits shahih. Bukan mengikuti
ulama. Al-Imam al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa
madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku)”.
Maksud pernyataan Ustadz Husni tersebut, hadits shahih menyatakan bahwa
bid’ah itu tidak terbagi menjadi dua. Sementara pendapat al-Syafi’i yang
membagi bid’ah menjadi dua bertentangan dengan hadits shahih tersebut. Oleh
karena itu, sesuai dengan pesan al-Syafi’i sendiri yang mengatakan, “apabila
suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah madzhabku”, Husni mengajak kami
meninggalkan pembagian bid’ah menjadi dua dan mengikuti pendapat yang
mengatakan bahwa bid’ah itu tidak terbagi-bagi.
Tentu saja asumsi Ustadz Husni tersebut tidak dapat dibenarkan. Tidak ada
korelasi antara pernyataan al-Imam al-Syafi’i di atas dengan pendapat beliau
yang membagi bid’ah menjadi dua.
Para ulama menjelaskan, bahwa maksud perkataan al-Imam al-Syafi’i, “Idza
shahha al-hadits fahuwa madzhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits
itulah madzhabku)”, adalah bahwa apabila ada suatu hadits bertentangan
dengan hasil ijtihad al-Imam al-Syafi’i, sedangkan al-Syafi’i tidak tahu terhadap
hadits tersebut, maka dapat diasumsikan, bahwa kita harus mengikuti hadits
tersebut, dan meninggalkan hasil ijtihad al-Imam al-Syafi’i. Akan tetapi apabila
hadits tersebut telah diketahui oleh al-Imam al-Syafi’i, sementara hasil ijtihad
beliau berbeda dengan hadits tersebut, maka sudah barang tentu hadits tersebut
memang bukan madzhab beliau. Hal ini seperti ditegaskan oleh al-Imam al-
Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 1/64.


79
Oleh karena demikian, para ulama menyalahkan al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jarud,
seorang ulama ahli hadits bermadzhab al-Syafi’i, di mana setiap ia menemukan
hadits shahih bertentangan dengan hasil ijtihad al-Imam al-Syafi’i, Ibn al-Jarud
langsung mengklaim bahwa hadits tersebut sebenarnya madzhab al-Syafi’i,
berdasarkan pesan al-Syafi’i di atas, tanpa meneliti bahwa hadits tersebut telah
diketahui atau belum oleh al-Imam al-Syafi’i. Al-Imam al-Hafizh Ibn Khuzaimah
al-Naisaburi, seorang ulama salaf yang menyandang gelar Imam al-Aimmah
(penghulu para imam) dan penyusun kitab Shahih Ibn Khuzaimah, ketika
ditanya, apakah ada hadits yang belum diketahui oleh al-Syafi’i dalam ijtihad
beliau? Ibn Khuzaimah menjawab, “Tidak ada”. Hal tersebut seperti diriwayatkan
oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitabnya yang sangat populer al-Bidayah wa al-
Nihayah (juz 10, hal. 253).

Dialog Syaikh al-Nabhani dengan Rasyid Ridha
Terkadang kelompok yang anti madzhab menggugat kita dengan pendapat sang
pendiri madzhab atau para ulama dalam madzhab yang kita ikuti, seakan-akan
mereka lebih konsisten dari kita dalam bermadzhab. Kaum Wahhabi ketika
menggugat kita agar meninggalkan tahlilan dan selamatan tujuh hari selalu
beralasan dengan pendapat al-Imam al-Syafi’i yang mengatakan bahwa hadiah
pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit, atau pendapat kitab
I’anah al-Thalibin yang melarang acara selamatan tahlilan selama tujuh hari.
Padahal selain al-Imam al-Syafi’i menyatakan sampai.
Kita kadang menjadi bingung menyikapi mereka. Terkadang mereka menggugat
kita karena bermadzhab, yang mereka anggap telah meninggalkan al-Qur’an dan
Sunnah. Dan terkadang mereka menggugat kita dengan pendapat imam
madzhab dan para ulama madzhab. Padahal mereka sering menyuarakan anti
madzhab.
Pada dasarnya kelompok anti madzhab itu bermadzhab. Hanya saja madzhab
mereka berbeda dengan madzhab mayoritas kaum Muslimin. Ketika mereka
menyuarakan anti tawassul, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Ibn
Taimiyah dan Ibn Abdil Wahhab al-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang
bertawassul, mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para sahabat,
seluruh ulama salaf dan ahli hadits. 
Ketika mereka menyuarakan shalat tarawih 11 raka’at, maka sebenarnya mereka
mengikuti pendapat Nashiruddin al-Albani, seorang tukang jam yang beralih
profesi menjadi muhaddits tanpa bimbingan seorang guru, dengan belajar secara
otodidak di perpustakaan. Sedangkan kaum Muslimin yang tarawih 23 raka’at,



mengikuti Sayidina Umar, para sahabat dan seluruh ulama salaf yang saleh yang
tidak diragukan keilmuannya. 
Ketika mereka menyuarakan anti madzhab, maka sebenarnya mereka mengikuti
Rasyid Ridha, Muhammad Abduh dan Ibn Abdil Wahhab. Sedangkan kaum
Muslimin yang bermadzhab, mengikuti ulama salaf dan seluruh ahli hadits.
Demikian pula ketika mereka menyuarakan anti bid’ah hasanah, maka
sebenarnya mereka mengikuti madzhab Rasyid Ridha dan Ibn Abdil Wahhab al-
Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang berpendapat adanya bid’ah hasanah,
mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Khulafaur Rasyidin, para
sahabat, ulama salaf dan ahli hadits.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, termasuk orang pertama yang sangat
kencang menyuarakan anti madzhab, dengan menulis karyanya al-Wahdat al-
Islamiyyah fi al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Akan tetapi, secara terus terang, ia
mengikuti pemikiran Syaikh Muhammad Abduh al-Gharabili. Kedua nama ini,
Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, serta Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab al-Najdi, pendiri aliran Wahhabi, sebenarnya yang menjadi imam
madzhab beberapa aliran dan kelompok keagamaan yang anti madzhab di
Indonesia. 
Ada dialog menarik untuk dikutip di sini, berkaitan dengan bermadzhab. Yaitu
dialog antara Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani al-Syafi’i, seorang ulama besar
yang sangat populer, dengan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang ulama
Salafi yang menyuarakan anti madzhab. 
Dalam mukaddimah kitab al-’Uqud al-Lu’luiyyah fi al-Madaih al-Nabawiyyah,
Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani berkata: “Ketika saya berkumpul dengan
Syaikh Rasyid Ridha, saya berdialog dengannya tentang pribadi Syaikh
Muhammad Abduh, gurunya. Saya berkata: 
“Kalian menjadikan Syaikh Muhammad Abduh sebagai panutan dalam agama
kalian, dan kalian mengajak manusia untuk mengikuti kalian. Ini jelas tidak
benar. Syaikh Muhammad Abduh itu bukan orang yang konsisten memelihara
kewajiban-kewajiban agama. Ia tidak sah menjadi panutan dalam agama.
Sebagaimana dimaklumi dan diakui oleh semua orang, Abduh seringkali
meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Saya sendiri pernah menemaninya
dari pagi hari sampai menjelang maghrib, di rumah seorang laki-laki yang
mengundang kami di Jabal Lebanon. Abduh tidak shalat zhuhur dan ashar,
tanpa ada uzur. Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat saya shalat zhuhur dan
ashar, tetapi ia tidak melakukannya.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha mengakui bahwa Abduh
memang sering meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Akan tetapi Rasyid


81
Ridha masih membelanya dengan memberikan jawaban: “Barangkali madzhab
beliau membolehkan jama’ shalat di rumah (fi al-hadhar).” 
Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karena jama’ shalat itu hanya
dibolehkan dalam bepergian, ketika turun hujan dan sedang sakit menurut
sebagian imam mujtahid, antara zhuhur dan ashar, serta antara maghrib dan
isya’, sebagaimana hadits shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tidak
seorang pun dari kalangan ulama berpendapat bahwa zhuhur dan ashar boleh
dijama’ dengan maghrib dan isya’. Oleh karena itu, kami sulit menerima jawaban
Rasyid Ridha.


Saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pula Syaikh Muhammad Abduh
tidak pernah menunaikan ibadah haji ke baitullah di tanah suci, padahal ia
mampu melakukannya. Dengan kemampuan yang ia miliki, berupa kekuatan fisik
dan finansial, ia seringkali pergi ke Paris, London dan negara-negara Eropa
lainnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menunaikan ibadah haji,
padahal negaranya dekat dengan Makkah. Jadi tidak diragukan lagi, bahwa ia
telah memikul dosa yang sangat besar dan meninggalkan salah satu rukun
Islam”.
Lalu saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Semua orang sepakat bahwa
Syaikh Muhammad Abduh dan gurunya, Syaikh Jamaluddin al-Afghani, masuk
dalam organisasi Masoni. Organisasi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan
agama Islam. Bahkan organisasi ini menolak semua agama, anti semua
pemerintahan, baik keagamaan maupun yang bukan. Bagaimana mungkin
Syaikh Muhammad Abduh menjadi panutan dalam agama Islam, padahal ia
seorang Masoni. Demikian pula gurunya.”
Mendengar pertanyaan saya, Syaikh Rasyid Ridha menjawab: “Saya kan tidak
ikut organisasi Masoni.”
Saya berkata: “Seandainya kalian berkata bahwa Syaikh Muhammad Abduh itu
seorang filosof Islam, seperti halnya Ibn Sina dan al-Farabi, tentu kami dapat
menerima, meskipun kenyataannya tidak demikian. Karena hal itu tidak
berdampak negatif pada kami dan agama kami. Adapun ketika ia termasuk
orang yang paling fasiq sebab meninggalkan rukun-rukun Islam, lalu kalian
berpendapat bahwa ia seorang imam (panutan) dalam agama Islam, tentu hal ini
merupakan kemungkaran yang tidak akan diterima oleh orang yang berakal.”
Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha berkata: “Kami tidak
menganggap Syaikh Muhammad Abduh seperti Ibn Sina. Akan tetapi kami
menganggapnya seperti al-Imam al-Ghazali.”


Rasyid Ridha ini memang orang yang sesat dan keras kepala. Ia mengakui kalau
Muhammad Abduh itu meninggalkan shalat dan haji serta menjadi anggota
Masoni. Tetapi, ia masih menyamakannya dengan al-Imam al-Ghazali.
Sebenarnya, setiap orang dari kelompok Wahhabi atau anti madzhab ini,
meyakini bahwa dirinya lebih hebat dari pada al-Imam al-Ghazali. Karena
kelompok mereka, baik yang besar maupun yang kecil, semuanya mengklaim
sebagai mujtahid muthlaq. Sedangkan al-Ghazali sendiri tidak mengklaim
sebagai mujtahid muthlaq, sebagaimana beliau jelaskan dalam Ihya’ ‘Ulum al-
Din.
Orang-orang Wahhabi atau anti madzhab itu, masing-masing menganggap
dirinya selevel imam madzhab yang empat radhiyallahu anhum. Perasaan ini
begitu menancap dalam benak mereka. Nasehat tidak akan mempan bagi
mereka. Mereka selalu berusaha agar orang lain mengikuti mereka, menjadi
mujtahid muthlaq. Demikian komentar Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani
dengan disederhanakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar