Keyakinan yang paling mendasar
setiap Muslim adalah meyakini bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala Maha Sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan.
Allah subhanahu
wa ta‘ala Maha Suci dari menyerupai makhluk-Nya. Allah
subhanahu
wa ta‘ala juga Maha Suci dari tempat dan arah. Allah subhanahu wa
ta‘ala ada tanpa tempat.
Demikian keyakinan yang paling mendasar
setiap
Muslim Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Dalam ilmu akidah atau teologi, keyakinan
semacam ini dibahasakan, bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala memiliki
sifat
Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi, yaitu Allah subhanahu
wa ta‘ala wajib tidak
menyerupai
makhluk-Nya.
Ada
sebuah dialog yang unik antara seorang Muslim Sunni yang meyakini Allah
subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat,
dengan seorang Wahhabi
yang
berkeyakinan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala bertempat. Wahhabi berkata:
“Kamu ada pada suatu tempat. Aku ada pada suatu tempat.
Berarti setiap
sesuatu yang ada, pasti ada tempatnya. Kalau kamu berkata,
Allah ada tanpa
tempat,
berarti kamu berpendapat Allah tidak ada.” Sunni menjawab; “Sekarang
saya akan bertanya kepada Anda: “Bukankah
Allah telah ada tanpa tempat
sebelum diciptakannya tempat?” Wahhabi menjawab:
“Betul, Allah ada tanpa
tempat sebelum
terciptanya tempat.” Sunni berkata: “Kalau memang wujudnya
Allah
tanpa tempat sebelum terciptanya tempat itu rasional, berarti rasional pula
dikatakan,
Allah ada tanpa tempat setelah terciptanya tempat. Mengatakan Allah
ada
tanpa tempat, tidak berarti menafikan wujudnya Allah.”
Wahhabi berkata:
“Bagaimana seandainya saya berkata, Allah telah bertempat
sebelum
terciptanya tempat?” Sunni menjawab: “Pernyataan Anda mengandung
dua kemungkinan. Pertama, Anda mengatakan bahwa tempat itu bersifat azali
(tidak ada permulaannya), keberadaannya bersama wujudnya Allah dan bukan
termasuk makhluk
Allah. Demikian ini berarti Anda mendustakan firman Allah
subhanahu
wa ta‘ala:
“Allah-lah pencipta segala sesuatu.” (QS.
al-Zumar : 62).
Kemungkinan kedua, Anda berpendapat, bahwa Allah itu baru, yakni wujudnya
Allah
terjadi setelah adanya tempat, dengan demikian berarti Anda mendustakan
firman
Allah subhanahu wa ta‘ala:
__
|
“Dialah (Allah)
Yang Maha Awal (wujudnya tanpa permulaan) dan Yang Maha
Akhir
(Wujudnya tanpa akhir).” (QS. al-Hadid :
3).
Demikianlah dialog seorang Muslim Sunni dengan orang Wahhabi.
Pada
dasarnya, pendapat
Wahhabi yang meyakini
bahwa wujudnya Allah subhanahu
wa ta‘ala ada dengan tempat dapat menjerumuskan seseorang
keluar dari
keyakinan
yang paling mendasar setiap Muslim, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala
Maha
Suci dari segala kekurangan.
Tidak jarang,
kaum Wahhabi menggunakan ayat-ayat al-Qur’an untuk
membenarkan keyakinan
mereka, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat
di
langit. Akan tetapi, dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan
ayat-ayat
al-Qur’an yang sama.
Ulama
Maroko dan Wahhabi Tuna Netra
Al-Hafizh Ahmad bin Muhammad
bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah
ulama ahli hadits yang terakhir menyandang gelar al-hafizh (gelar kesarjanaan
tertinggi dalam bidang ilmu hadits). Ia memiliki kisah perdebatan yang sangat
menarik dengan kaum Wahhabi.
Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar, sebuah
autobiografi
yang melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut
ini.
“Pada tahun 1356 H ketika saya menunaikan ibadah haji, saya berkumpul
dengan
tiga orang ulama Wahhabi di rumah Syaikh Abdullah al-Shani’ di Mekkah
yang juga ulama Wahhabi
dari Najd. Dalam pembicaraan itu, mereka
menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits,
amaliahnya sesuai dengan hadits
dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal penetapan
ketinggian tempat Allah subhanahu
wa ta‘ala dan bahwa Allah subhanahu wa
ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan ideologi Wahhabi.
Mereka
menyebutkan beberapa
ayat al-Qur’an yang secara literal
(zhahir) mengarah
pada
pengertian bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai
keyakinan
mereka. Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata kepada mereka: “Apakah
ayat-ayat yang Anda sebutkan
tadi termasuk bagian dari al-Qur’an?” Wahhabi
menjawab: “Ya.” Saya berkata:
“Apakah meyakini apa yang menjadi
maksud
ayat-ayat tersebut
dihukumi wajib?” Wahhabi
menjawab: “Ya.” Saya berkata:
“Bagaimana
dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
_
|
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu
berada.” (QS. al-Hadid : 4).
14
Apakah
ini termasuk al-Qur’an?” Wahhabi tersebut menjawab: “Ya, termasuk al-
Qur’an.”
Saya
berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
“Tiada pembicaraan rahasia
antara tiga orang, melainkan Dia-lah
keempatnya….” (QS. al-Mujadilah : 7).
Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an juga?” Wahhabi itu
menjawab: “Ya, termasuk
al-Qur’an.” Saya berkata: “(Kedua ayat ini menunjukkan
bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala tidak ada di langit). Mengapa Anda menganggap
ayat-ayat yang Anda
sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa
Allah subhanahu
wa ta‘ala ada di langit lebih utama untuk diyakini dari
pada kedua ayat yang saya
sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala tidak ada di
langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah subhanahu wa
ta‘ala?” Wahhabi itu
menjawab: “Imam Ahmad mengatakan demikian.”
Saya berkata kepada mereka: “Mengapa
kalian taklid kepada Ahmad dan tidak
mengikuti dalil?” Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam.
Tak satu kalimat pun
keluar dari mulut mereka. Sebenarnya saya menunggu jawaban
mereka, bahwa
ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil,
sementara ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit
tidak boleh dita’wil.
Seandainya mereka menjawab demikian, tentu saja saya akan
bertanya kepada
mereka, siapa yang mewajibkan menta’wil
ayat-ayat yang saya sebutkan dan
melarang menta’wil ayat-ayat yang kalian sebutkan tadi?
Seandainya mereka mengklaim
adanya ijma’ ulama yang mengharuskan
menta’wil
ayat-ayat yang saya sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan
kepada mereka informasi beberapa
ulama seperti al-Hafizh
Ibn Hajar tentang
ijma’ ulama salaf untuk tidak menta’wil
semua ayat-ayat sifat dalam al-Qur’an,
bahkan yang wajib harus mengikuti pendekatan tafwidh (menyerahkan
pengertiannya kepada Allah subhanahu
wa ta‘ala).” Demikian
kisah al-Imam al-
Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dengan tiga ulama terhebat
kaum
Wahhabi.
Dialog
Terbuka di Surabaya dan Blitar
Pada tahun 2009, saya pernah terlibat
perdebatan sengit dengan seorang
Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya.
Beberapa bulan berikutnya saya
berdebat
lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar.
Ustadz tersebut berinisial AH pula,
|
15
tetapi lain orang. Dalam perdebatan tersebut
saya bertanya kepada AH:
“Mengapa
Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit?”
Menanggapi pertanyaan saya, AH menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang
menurut asumsinya
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di
langit. Lalu saya berkata:
“Ayat-ayat yang Anda sebutkan tidak secara tegas
menunjukkan
bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut para
ulama
memiliki 15 makna. Di samping itu, apabila Anda berargumentasi dengan
ayat-ayat
tersebut, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain
yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala tidak ada di langit.
Misalnya
Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana
saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4). Ayat ini menegaskan bahwa Allah
subhanahu
wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan ada di langit. Dalam ayat lain
Allah
subhanahu wa ta‘ala berfirman:
“Dan Ibrahim
berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina),
yang
akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).
Dalam
ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya,
padahal
Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara
literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala bukan ada di
langit,
tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata demikian, AH tidak mampu
menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata: “Keyakinan bahwa
Allah subhanahu
wa ta‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:
___
|
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepada seorang budak
perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab:
“Allah
ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia
menjawab:
“Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada majikan
budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak
yang
mukmin.” (HR. Muslim).”
Setelah AH berkata demikian,
saya menjawab begini:
“Ada tiga tinjauan
berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan.
Pertama, dari aspek kritisisme
ilmu hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut
para ulama
tergolong hadits mudhtharib (hadits
yang simpang siur periwayatannya),
sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan
setiap
perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala.
Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi
bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.
Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut
dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebenarnya adalah bukan tempat,
tetapi kedudukan atau derajat Allah
subhanahu wa ta‘ala. Lalu orang tersebut
menjawab kedudukan Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di langit,
maksudnya Allah subhanahu
wa ta‘ala itu
Maha
Luhur dan Maha Tinggi.
Ketiga, apabila
Anda berargumen dengan hadits tersebut
tentang keyakinan
Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maka argumen Anda dapat
dipatahkan
dengan
hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa
ta‘ala
tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan
dalam
Shahih-nya:
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam
melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan
tangannya,
dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya apabila
salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia
sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di
antara dirinya
dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah
kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak
kakinya.”
(HR.
al-Bukhari [405]).
Hadits ini menegaskan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala ada di depan orang
yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits
riwayat Muslim,
karena hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab
demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia
merasa kewalahan
dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain
dengan
berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu
saya jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan
Allah ada di langit,
adalah ayat al-Qur’an. Kemudian
setelah argumen Anda kami patahkan,
Anda
beragumen
dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda
sekarang berdalil
dengan ijma’. Padahal
ijma’ ulama salaf sejak generasi
sahabat
justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu
Manshur
al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
__
|
17
“Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para
sahabat dan tabi’in) telah bersepakat
bahwa Allah tidak bertempat
dan tidak dilalui
oleh waktu.” (al-Farq
bayna al-
Firaq,
256).
Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah,
risalah
kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:
.
“Allah
subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”
Setelah saya menjawab demikian
kepada AH, saya bertanya kepada AH:
“Menurut
Anda, tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab: “Makhluk.” Saya
bertanya:
“Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada
di
mana?” AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh, dan termasuk pertanyaan
yang bid’ah.”
Demikian jawaban AH, yang menimbulkan tawa para hadirin
dari
semua kalangan
pada waktu itu. Kebetulan pada acara tersebut,
mayoritas
hadirin
terdiri dari kalangan Salafi, anggota jamaah AH.
Demikianlah, cara dialog orang-orang Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat
menjawab pertanyaan, mereka tidak akan menjawab, aku tidak tahu,
sebagaimana tradisi
ulama salaf dulu. Akan tetapi mereka akan menjawab,
“Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa
pertanyaan
Allah subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam,
telah ditanyakan oleh para sahabat
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa
pertanyaan tersebut
bid’ah atau tidak boleh. Al-Imam
al-Bukhari meriwayatkan
dalam
Shahih-nya:
____
|
“Imran bin Hushain
radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Aku berada bersama
Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman
dan berkata:
“Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang
permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab:
“Allah telah ada dan tidak ada sesuatu
apapun
selain
Allah.” (HR. al-Bukhari [3191]).
Hadits
ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Allah
subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk
tempat. Al-Imam
al-Tirmidzi
meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
|
18
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di
manakah Tuhan kita sebelum
menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab:
“Allah ada tanpa sesuatu apapun yang
menyertainya.
Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu.
Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa
Yazid bin Harun berkata,
maksud hadits tersebut,
Allah ada tanpa sesuatu
apapun yang menyertai (termasuk
tempat). Al-Tirmidzi berkata:
“hadits ini
bernilai
hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).
Dalam setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi,
pasti
kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi
mengajukan argumen
dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya
dipatahkan
dengan
ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, pasti kaum Sunni dengan mudahnya
mematahkan
argumen tersebut dengan hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni
berargumen dengan dalil rasional,
pasti Wahhabi tidak dapat membantah
dan
menjawabnya. Keyakinan
bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala ada tanpa tempat
adalah keyakinan
kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat
dan
tabi’in.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya
tempat. Dan keberadaan Allah
sekarang,
sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak
bertempat).”
(al-Farq bayna al-Firaq, 256).
Syaikh
al-Syanqithi dan Wahhabi Tuna Netra
Ketika orang-orang Wahhabi memasuki Hijaz dan membantai
kaum Muslimin
dengan alasan bahwa mereka telah syirik,
sebagaimana yang telah dikabarkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam sabdanya, “Orang-orang Khawarij
akan membunuh
orang-orang yang beriman
dan membiarkan para penyembah
berhala.”
Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka.
Mereka
menyembelih Syaikh Abdullah al-Zawawi, guru para ulama madzhab al-
Syafi’i, sebagaimana layaknya menyembelih kambing.
Padahal usia beliau
sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh al-Zawawi
yang juga sudah memasuki
usia
senja juga mereka sembelih.
19
Kemudian
mereka memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak
berdebat tentang
tauhid, Asma Allah subhanahu wa ta‘ala dan sifat-sifat-Nya.
Ulama yang setuju dengan pendapat mereka akan dibebaskan. Sedangkan
ulama yang membantah pendapat
mereka akan dibunuh
atau dideportasi dari
Hijaz.
Di antara ulama yang diajak berdebat
oleh mereka adalah Syaikh Abdullah
al-
Syanqithi, salah seorang ulama kharismatik yang dikenal hafal Sirah Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sedangkan dari pihak Wahhabi yang mendebatnya,
di antaranya
seorang ulama mereka yang buta mata dan buta hati. Kebetulan
perdebatan berkisar
tentang teks-teks al-Qur’an
dan hadits yang berkenaan
dengan
sifat-sifat Allah subhanahu wa ta‘ala. Mereka bersikeras bahwa teks-teks
tersebut harus diartikan secara literal dan tekstual, dan tidak boleh diartikan
secara
kontekstual dan majazi.
Si
tuna netra itu juga mengingkari adanya majaz dalam al-Qur’an. Bahkan lebih
jauh lagi, ia menafikan
majaz dalam bahasa Arab, karena taklid buta kepada
pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Lalu Syaikh Abdullah
al-Syanqithi
berkata
kepada si tuna netra itu:
“Apabila Anda berpendapat bahwa majaz itu tidak ada dalam al-Qur’an, maka
sesungguhnya
Allah subhanahu wa ta‘ala telah berfirman dalam al-Qur’an:
____
|
“Dan barangsiapa yang buta di dunia ini,
niscaya di akhirat (nanti) ia akan
lebih
buta
(pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. al-Isra’ : 72).
Berdasarkan ayat di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang
tuna netra di dunia, maka di akhirat nanti akan menjadi
lebih buta dan lebih
tersesat, sesuai dengan pendapat
Anda bahwa dalam al-Qur’an tidak ada
majaz?”
Mendengar sanggahan
Syaikh al-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu
pun tidak mampu menjawab.
Ia hanya berteriak
dan memerintahkan anak
buahnya
agar Syaikh al-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian
si tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi al-Syanqithi dari
Hijaz. Akhirnya
ia pun dideportasi ke Mesir. Kisah ini dituturkan oleh al-Hafizh
Ahmad
al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar.
Al-Imam
al-Bukhari dan Ta’wil
Kalau kita mengamati dengan seksama, perdebatan orang-orang Wahhabi
dengan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, akan mudah kita simpulkan,
bahwa kaum Wahhabi seringkali mengeluarkan vonis hukum tanpa memiliki
dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.
Bahkan tidak jarang,
pernyataan mereka dapat menjadi
senjata untuk memukul
balik pandangan
mereka
sendiri. Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan bercerita kepada saya.
“Ada
sebuah pesantren di kota Siantar, Siamlungun, Sumatera Utara. Pesantren
itu bernama
Pondok Pesantren Darus Salam. Setiap tahun, Pondok tersebut
mengadakan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengundang
sejumlah
ulama dari berbagai daerah termasuk Medan dan Aceh. Acara puncak
biasanya ditaruh
pada siang hari. Malam harinya
diisi dengan diskusi.
Pada
Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tahun 2010 ini saya dan beberapa
orang
ustadz diminta sebagai pembicara dalam acara diskusi. Kebetulan diskusi
kali ini membahas tentang
Salafi apa dan mengapa, dengan judul Ada Apa
Dengan
Salafi?
Setelah presentasi tentang aliran Salafi selesai, lalu tibalah sesi tanya jawab.
Ternyata dalam sesi tanya jawab ini ada orang yang berpakaian gamis
mengajukan
keberatan dengan pernyataan saya dalam memberikan keterangan
tentang Salafi,
antara lain berkaitan
dengan ta’wil. Orang Salafi tersebut
mengatakan:
“Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab. Sudah barang tentu
harus
kita fahami sesuai dengan bahasa Arab pula”. Pernyataan orang Salafi itu,
saya dengarkan
dengan cermat. Kemudian
dia melanjutkan keberatannya
dengan berkata:
“Ayat-ayat al-Qur’an itu tidak perlu dita’wil dan ini pendapat
Ahlussunnah”.
Setelah diselidiki, ternyata pemuda Salafi itu bernama
Sofyan. Ia berprofesi
sebagai guru di lembaga
As-Sunnah, sebuah lembaga
pendidikan orang-orang
Wahhabi atau Salafi. Mendengar
pernyataan Sofyan yang terakhir, saya
bertanya:
“Apakah Anda yakin bahwa al-Imam al-Bukhari itu ahli hadits?” Sofyan
menjawab:
“Ya, tidak diragukan lagi, beliau seorang ahli hadits.”
Saya bertanya:
“Apakah al-Bukhari penganut
faham Ahlussunnah Wal-
Jama’ah?”
Sofyan menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Apakah al-Albani seorang ahli
hadits?”
Sofyan menjawab: “Ya, dengan karya-karya yang sangat banyak dalam
bidang
hadits, membuktikan bahwa beliau juga ahli hadits.” Saya berkata: “Kalau
benar al-Bukhari menganut Ahlussunnah, berarti
al-Bukhari tidak melakukan
ta’wil.
Bukankah begitu keyakinan Anda?” Sofyan menjawab: “Benar begitu.”
Saya berkata:
“Saya akan membuktikan kepada Anda, bahwa al-Bukhari juga
melakukan ta’wil .” Sofyan berkata: “Mana buktinya?” Mendengar
pertanyaan
Sofyan, saya langsung membuka
Shahih al-Bukhari tentang
ta’wil yang beliau
lakukan dan memberikan photo copynya kepada anak muda itu. Saya berkata:
“Anda
lihat pada halaman ini, al-Imam al-Bukhari mengatakan:
|
21
Artinya, “Bab tentang ayat : Segala sesuatu akan hancur kecuali
Wajah-Nya,
artinya
Kekuasaan-Nya.”
Nah,
kata wajah-Nya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya
kekuasaan-Nya.
Kalau begitu al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat
ini. Berarti,
menurut logika Anda, al-Bukhari seorang
yang sesat, bukan
Ahlussunnah. Anda setuju bahwa al-Bukhari bukan Ahlussunnah dan pengikut
aliran
sesat?”.
Mendengar pertanyaan saya, Sofyan hanya terdiam. Sepatah
katapun tidak
terlontar dari lidahnya. Kemudian
saya berkata: “Kalau begitu, sejak hari ini,
sebaiknya Anda jangan memakai
hadits al-Bukhari sebagai
rujukan. Bahkan
Syaikh
al-Albani, orang yang saudara puji itu, dan orang-orang Salafi memujinya
dan
menganggapnya lebih hebat dari al-Imam al-Bukhari sendiri. Al-Albani telah
mengkritik al-Imam
al-Bukhari dengan kata-kata
yang tidak pantas.
Al-Albani
berkata: “Pendapat
al-Bukhari yang melakukan
ta’wil terhadap ayat di atas ini
tidak
sepatutnya diucapkan oleh seorang Muslim yang beriman”. Inilah komentar
Syaikh
Anda, al-Albani tentang ta’wil al-Imam al-Bukhari ketika menta’wil ayat:
Secara tidak langsung, seolah-olah al-Albani mengatakan bahwa ta’wilan al-
Imam al-Bukhari tersebut pendapat orang kafir. Kemudian
saya mengambil
photo copy buku fatwa al-Albani dan saya serahkan
kepada anak muda Salafi
ini.
Ia pun diam seribu bahasa. Demikian kisah yang dituturkan oleh Syafi’i Umar
Lubis dari Medan, seorang
ulama muda yang kharismatik dan bersemangat
dalam
membela Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Ta’wil
Imam Ahmad bin Hanbal
Ta’wil tehadap
teks-teks mutasyabihat telah dilakukan oleh para ulama salaf, di
antaranya Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Akan
tetapi kaum Wahhabi sering kali mengingkari fakta-fakta tersebut dengan
berbagai
macam alasan yang tidak ilmiah dan selalu dibuat-buat. Seorang teman
saya, berinisial AD menceritakan pengalamannya ketika berdialog dengan AM,
tokoh Wahhabi
kelahiran Sumatera yang sekarang tinggal
di Jember. AD
bercerita
begini.
“Sekitar bulan Maret tahun 2010 lalu, saya mengikuti
suatu acara di Jakarta
Selatan. Acara tersebut diadakan
oleh salah satu ormas Islam di Indonesia.
Dalam acara itu, ada seorang pemateri
Wahhabi yang berasal
dari Sumatera
dan saat ini tinggal
di Jember. Di antara materi yang disampaikannya adalah
persoalan ta’wil.
Dalam pandangannya, ta’wil atas ayat-ayat
mutasyabihat tidak
boleh dilakukan. Sehingga dengan asumsi demikian, ia meyakini bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala itu bertempat atau berada di atas ‘Arasy. Dia menggunakan
ayat
al-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa (QS. Thaha : 5).
Lalu saya mengajukan beberapa ayat lain yang justru menunjukkan kalau Allah
subhanahu wa ta‘ala tidak ada di atas ‘Arasy.
Akibatnya, terjadiah dialog sengit
antara saya dengan Ustadz lulusan Madinah
tersebut. Lalu setelah
itu, saya
membeberkan fakta dan data-data
akurat bahwa tradisi
ta’wil sudah biasa
dilakukan oleh ulama salaf. Salah satunya
adalah ta’wil yang dilakukan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal atas ayat wa ja’a rabbuka wal malaku shaffan-shaffa
(QS.
al-Fajr : 22). Imam Ahmad mentakwil ayat tersebut dengan ja’a tsawabuhu
wa qhadha’uhu (datangnya pahala dan ketetapan Allah subhanahu wa ta‘ala).
Setelah itu, Ustadz Ali Musri mencari
ta’wil Imam Ahmad tersebut di software
Maktabah Syamilah.
Setelah dia menemukannya, dia membacakan komentar
Imam
al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara ‘alaih (sanad ini tidak
ada nodanya
alias bersih) yang menunjukkan bahwa sanadnya memang shahih.
Ternyata, aneh sekali, Ustadz tersebut tertawa
dan menganggap bahwa
komentar atau penilaian al-Baihaqi yang berupa redaksi
hadza al-isnad la
ghubara ’alaih tersebut sebagai
shighat (redaksi) yang menunjukkan atas
kelemahan suatu sanad. Saya juga heran, mengapa Ustadz lulusan Madinah
tersebut tidak begitu memahami
istilah-istilah yang biasa dipakai oleh para ahli
hadits. Ia tidak mengerti
bahwa pernyataan al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-
isnad la ghubara ’alaih bermakna bahwa sanad riwayat
ini tidak ada nodanya
sama sekali,
alias shahih. Sayangnya, berhubung waktu yang disediakan oleh
panitia dan moderator telah habis, saya tidak bisa membantah dan
mengomentari kembali
pernyataan pemateri itu.” Demikian kisah AD, kepada
saya
secara pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar