Ada kisah menarik berkaitan
dengan bid’ah hasanah
yang perlu diceritakan di
sini. Kisah ini pengalaman pribadi Ali Rahmat,
laki-laki gemuk yang sekarang
tinggal
di Jakarta Pusat. Beliau pernah kuliah di Syria setelah tamat dari Pondok
Pesantren Assunniyah Kencong, Jember. Ali Rahmat bercerita, “Pada
pertengahan 2009, kaum Wahhabi
mengadakan pengajian di Islamic Center
Jakarta
Utara. Tampil sebagai pembicara, Yazid Jawas dan Abdul Hakim Abdat,
dua
tokoh Wahhabi di Indonesia.
Pada waktu itu, saya sengaja hadir bersama beberapa
teman alumni Pondok
Pesantren Sidogiri
Pasuruan, antara lain Ustadz Abdussalam, Ustadz Abdul
Hamid Umar dan Ustadz Mishbahul Munir. Ternyata, sejak awal acara, dua
tokoh Wahhabi
itu sangat agresif
menyampaikan ajarannya tentang
bid’ah.
Setelah saya amati, Ustadz Yazid Jawas banyak berbicara
tentang bid’ah.
Menurut Yazid Jawas, bid’ah hasanah itu tidak ada. Semua bid’ah pasti sesat
dan masuk neraka. Menurut
Yazid Jawas, apapun yang tidak pernah ada pada
masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harus ditinggalkan, karena
termasuk
bid’ah dan akan masuk neraka.
Di
tengah-tengah presentasi tersebut saya bertanya kepada Yazid Jawas. “Anda
sangat ekstrem
dalam membicarakan bid’ah.
Menurut Anda, apa saja yang
belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu pasti
bid’ah
dan akan masuk neraka. Sekarang saya bertanya, Sayidina Umar bin al-
Khaththab
memulai tradisi shalat tarawih 20 raka’at dengan berjamaah, Sayidina
Utsman menambah
adzan Jum’at menjadi
dua kali, sahabat-sahabat yang lain
juga banyak yang membuat
susunan-susunan dzikir yang tidak diajarkan
oleh
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. Sekarang saya bertanya, beranikah Anda
mengatakan bahwa Sayidina Umar, Sayidina Utsman dan sahabat
lainnya
termasuk ahli bid’ah dan akan masuk neraka?” Mendengar
pertanyaan saya,
Yazid
Jawas hanya terdiam seribu bahasa, tidak bisa memberikan jawaban.
Setelah
acara dialog selesai, saya menghampiri Yazid Jawas, dan saya katakan
kepadanya,
“Bagaimana kalau Anda kami ajak dialog dan debat secara terbuka
dengan ulama kami. Apakah Anda siap?” “Saya tidak siap.” Demikian
jawab
Yazid
Jawas seperti diceritakan oleh Ali Rahmat kepada saya.
Kisah serupa terjadi juga di Jember pada akhir Desember 2009. Dalam daurah
tentang Syi’ah yang diadakan
oleh Perhimpunan Al-Irsyad
di Jember, ada
beberapa
mahasiswa STAIN Jember yang mengikutinya. Ternyata dalam daurah
tersebut, tidak hanya membicarakan Syi’ah. Tetapi juga membicarakan tentang
bid’ah dan ujung-ujungnya membid’ah-bid’ahkan amaliah kaum Muslimin
di
Tanah
Air yang telah mengakar sejak beberapa abad yang silam.
Di antara pematerinya ada yang bernama
Abu Hamzah Agus Hasan Bashori,
tokoh Salafi dari Malang.
Dalam kesempatan tersebut,
Agus menyampaikan
bahwa
bid’ah itu sesat semua. Yang namanya bid’ah hasanah itu tidak ada. Apa
saja yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
harus kita tinggalkan, karena itu termasuk
bid’ah dan akan masuk neraka.
Demikian
konsep yang dipaparkan oleh Agus.
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang
mahasiswa dari Jember tadi ada yang
bertanya: “Kalau konsep bid’ah seperti yang Anda paparkan
barusan, bahwa
semua
bid’ah itu sesat, tidak ada bid’ah hasanah, dan bahwa apa saja yang tidak
ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam harus kami tinggalkan,
karena termasuk
bid’ah. Sekarang bagaimana
Anda menanggapi doa-doa
yang
disusun oleh para sahabat
yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu
alaihi wa sallam? Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal
dalam
sujud ketika shalat selama 40 tahun yang berbunyi:
“Al-Imam
Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam
shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa,
“Ya Allah ampunilah
aku,
kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi,
Manaqib
al-Imam al-Syafi’i, 2/254).
Doa seperti
itu sudah pasti tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal
melakukannya
selama empat puluh tahun.
Demikian pula Syaikh Ibn Taimiyah, setiap habis shalat shubuh, melakukan
dzikir bersama,
lalu membaca surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari
naik ke atas, sambil mengangkat kepalanya
menghadap langit. Nah, sekarang
saya
bertanya, menurut Anda, apakah para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal
dan
Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli bid’ah, berdasarkan konsep bid’ah yang
Anda paparkan
tadi? Karena jelas sekali, mereka melakukan sesuatu
yang
belum
pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
Mendengar pertanyaan tersebut Agus ternyata
tidak mampu menjawab
dan
malah bercerita
tentang bid’ah hasanah
Ibn Taimiyyah secara pribadi. Kisah ini
diceritakan oleh beberapa teman saya, antara lain Is dan AD yang mengikuti
acara
daurah tersebut.
Demikianlah,
konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi sangat lemah dan rapuh.
Tidak
mampu dipertahankan di arena diskusi ilmiah. Konsep anti bid’ah hasanah
ala Wahhabi
akan menemukan jalan buntu ketika dihadapkan dengan fakta
bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melegitimasi amaliah-amaliah baru
yang dilakukan
oleh para sahabat.
Konsep tersebut akan runtuh pula ketika
dibenturkan dengan fakta bahwa para sahabat
sepeninggal Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam banyak melakukan
inovasi kebaikan dalam agama
sebagaimana
diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar