Kamis, 17 Januari 2013

Kisah Bid'ah hasanah Di Islamic Center Jakarta Utara


Ada kisah menarik berkaitan dengan bid’ah hasanah yang perlu diceritakan di
sini. Kisah ini pengalaman pribadi Ali Rahmat, laki-laki gemuk yang sekarang
tinggal di Jakarta Pusat. Beliau pernah kuliah di Syria setelah tamat dari Pondok
Pesantren Assunniyah Kencong, Jember. Ali Rahmat bercerita, “Pada
pertengahan 2009, kaum Wahhabi mengadakan pengajian di Islamic Center
Jakarta Utara. Tampil sebagai pembicara, Yazid Jawas dan Abdul Hakim Abdat,
dua tokoh Wahhabi di Indonesia.
 
Pada waktu itu, saya sengaja hadir bersama beberapa teman alumni Pondok
Pesantren Sidogiri Pasuruan, antara lain Ustadz Abdussalam, Ustadz Abdul
Hamid Umar dan Ustadz Mishbahul Munir. Ternyata, sejak awal acara, dua
tokoh Wahhabi itu sangat agresif menyampaikan ajarannya tentang bid’ah.
Setelah saya amati, Ustadz Yazid Jawas banyak berbicara tentang bid’ah.
Menurut Yazid Jawas, bid’ah hasanah itu tidak ada. Semua bid’ah pasti sesat
dan masuk neraka. Menurut Yazid Jawas, apapun yang tidak pernah ada pada
masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harus ditinggalkan, karena
termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.
 
Di tengah-tengah presentasi tersebut saya bertanya kepada Yazid Jawas. “Anda
sangat ekstrem dalam membicarakan bid’ah. Menurut Anda, apa saja yang
belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu pasti
bid’ah dan akan masuk neraka. Sekarang saya bertanya, Sayidina Umar bin al-
Khaththab memulai tradisi shalat tarawih 20 raka’at dengan berjamaah, Sayidina
Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, sahabat-sahabat yang lain
juga banyak yang membuat susunan-susunan dzikir yang tidak diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sekarang saya bertanya, beranikah Anda
mengatakan bahwa Sayidina Umar, Sayidina Utsman dan sahabat lainnya
termasuk ahli bid’ah dan akan masuk neraka?” Mendengar pertanyaan saya,
Yazid Jawas hanya terdiam seribu bahasa, tidak bisa memberikan jawaban. 
 
Setelah acara dialog selesai, saya menghampiri Yazid Jawas, dan saya katakan
kepadanya, “Bagaimana kalau Anda kami ajak dialog dan debat secara terbuka
dengan ulama kami. Apakah Anda siap?” “Saya tidak siap.” Demikian jawab
Yazid Jawas seperti diceritakan oleh Ali Rahmat kepada saya.
 
Kisah serupa terjadi juga di Jember pada akhir Desember 2009. Dalam daurah
tentang Syi’ah yang diadakan oleh Perhimpunan Al-Irsyad di Jember, ada
beberapa mahasiswa STAIN Jember yang mengikutinya. Ternyata dalam daurah
tersebut, tidak hanya membicarakan Syi’ah. Tetapi juga membicarakan tentang
bid’ah dan ujung-ujungnya membid’ah-bid’ahkan amaliah kaum Muslimin di
Tanah Air yang telah mengakar sejak beberapa abad yang silam.
 



Di antara pematerinya ada yang bernama Abu Hamzah Agus Hasan Bashori,
tokoh Salafi dari Malang. Dalam kesempatan tersebut, Agus menyampaikan
bahwa bid’ah itu sesat semua. Yang namanya bid’ah hasanah itu tidak ada. Apa
saja yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
harus kita tinggalkan, karena itu termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.
Demikian konsep yang dipaparkan oleh Agus.






 
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa dari Jember tadi ada yang
bertanya: “Kalau konsep bid’ah seperti yang Anda paparkan barusan, bahwa
semua bid’ah itu sesat, tidak ada bid’ah hasanah, dan bahwa apa saja yang tidak
ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam harus kami tinggalkan,
karena termasuk bid’ah. Sekarang bagaimana Anda menanggapi doa-doa yang
disusun oleh para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam? Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal
dalam sujud ketika shalat selama 40 tahun yang berbunyi:
  
 
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam
shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku,
kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi,
Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).
 
Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal
melakukannya selama empat puluh tahun. 
 
Demikian pula Syaikh Ibn Taimiyah, setiap habis shalat shubuh, melakukan
dzikir bersama, lalu membaca surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari
naik ke atas, sambil mengangkat kepalanya menghadap langit. Nah, sekarang
saya bertanya, menurut Anda, apakah para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal
dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli bid’ah, berdasarkan konsep bid’ah yang
Anda paparkan tadi? Karena jelas sekali, mereka melakukan sesuatu yang
belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
 
Mendengar pertanyaan tersebut Agus ternyata tidak mampu menjawab dan
malah bercerita tentang bid’ah hasanah Ibn Taimiyyah secara pribadi. Kisah ini
diceritakan oleh beberapa teman saya, antara lain Is dan AD yang mengikuti
acara daurah tersebut.
 
Demikianlah, konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi sangat lemah dan rapuh.
Tidak mampu dipertahankan di arena diskusi ilmiah. Konsep anti bid’ah hasanah
ala Wahhabi akan menemukan jalan buntu ketika dihadapkan dengan fakta
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melegitimasi amaliah-amaliah baru

yang dilakukan oleh para sahabat. Konsep tersebut akan runtuh pula ketika
dibenturkan dengan fakta bahwa para sahabat sepeninggal Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam banyak melakukan inovasi kebaikan dalam agama
sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar