Tahlilan
terambil dari kosa kata tahlil, yang dalam bahasa Arab diartikan dengan
mengucapkan kalimat
la ilaha illallah.
Sedangkan tahlilan, merupakan
sebuah
bacaan
yang komposisinya terdiri dari beberapa ayat al- Qur'an, shalawat, tahlil,
tasbih
dan tahmid, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang masih hidup
maupun sudah meninggal, dengan prosesi bacaan yang lebih sering dilakukan
secara kolektif
(berjamaah), terutama dalam hari-hari tertentu
setelah kematian
seorang Muslim.
Dikatakan tahlilan, karena porsi kalimat
la ilaha illallah
dibaca
lebih
banyak dari pada bacaan- bacaan yang lain.
Terdapat sekian banyak persoalan
atau gugatan terhadap
tradisi tahlilan yang
datangnya dari kaum Wahhabi.
Dalam sebuah dialog di Besuk Kraksaan
Probolinggo, sekitar
tahun 2008, ada seseorang bertanya:
"Siapa penyusun
tahlilan
dan sejak kapan tradisi tahlilan berkembang di dunia Islam?"
Pada
waktu itu saya menjawab, "Bahwa sepertinya sampai saat ini belum pernah
dibicarakan dan diketahui mengenai
siapa penyusun bacaan tahlilan dengan
komposisinya yang khas itu. Mengingat, dari sekian banyak buku tahlilan
yang
terbit,
tidak pernah dicantumkan nama penyusunnya."
Akan tetapi berkaitan dengan tradisi tahlilan,
itu bukan tradisi
Indonesia atau
Jawa.
Kalau kita menyimak fatwa Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani, tradisi tahlilan
telah berkembang sejak sebelum abad ketujuh Hijriah,
Dalam kitab Majmu'
Fatawa
Syaikh al-Islam Ibn Taimiah disebutkan:
"Syaikh al-Islam
Ibn Taimiyah ditanya,
tentang seseorang yang memprotes ahli
dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, "Dzikir kalian ini bid'ah,
mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid'ah". Mereka memulai dan
menutup dzikirnya
dengan al-Qur'an, lalu mendo’akan kaum Muslimin yang
masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara
tasbih,
tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illa billaah) dan
shalawat kepada Nabi SAW. Lalu Ibn Taimiyah menjawab:
"Berjamaah dalam
berdzikir, mendengarkan al-Qur'an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk
qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-
Bukhari, Nabi SAW bersabda,
"Sesungguhrrya Allah memiliki
banyak Malaikat
yang
selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan
sekumpulan orang yang berdzikir
kepada Allah, maka mereka memanggil,
"Silahkan sampaikan
hajat kalian", lanjutan
hadits tersebut terdapat
redaksi,
"Kami menemukan
mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu"... Adapun
memelihara rutinitas
aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat,
membaca'a
91
Qur'an, berdzikir
atau berdoa, setiap pagi dan sore serta padi sebagian
waktu
malam dan lain-lain, hal ini merupakan
tradisi Rasulullah SAW dan hamba-
hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn
Taimiyah,
juz 22, hal. 520)
.
Dalam
sebuah diskusi di Denpasar Bali, ada seorang Wahhabi berkata: "Bahwa
Tradisi
selamatan tujuh hari itu mengadopsi dari orang-orang Hindu. Sudah jelas
kita
tidak boleh meniru-niru orang Hindu."
Pernyataan orang Wahhabi ini tentu saja tidak wajar. Ada perbedaan
antara
tradisi Hindu dengan Tahlilan.
Dalam tradisi Hindu, selama tujuh hari dari
kematian, biasanya
diadakan ritual selamatan
dengan hidangan makanan
yang
diberikan kepada para pengunjung, disertai dengan acara sabung ayam,
permainan
judi, minuman keras dan kemungkaran lainnya.
Sedangkan
dalam tahlilan, tradisi kemungkaran seperti itu jelas tidak ada. Dalam
tradisi
Tahlilan, diisi dengan bacaan al-Qur'an, dzikir bersama kepada Allah SWT
serta selamatan
(sedekah) yang pahalanya
dihadiahkan kepada mayit. Jadi,
antara
kedua tradisi tersebut jelas berbeda.
Sedangkan berkaitan
dengan acara tujuh hari yang juga menjadi
tradisi Hindu,
dalam Islam sendiri, tradisi
selamatan tujuh hari telah ada sejak generasi
sahabat
Nabi SAW.. Al-Imam Sufyan, seorang ulama salaf berkata: "Dari Sufyan,
bahwa
Imam Thawus berkata, "Sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji
di dalam kubur selama tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf)
menganjurkan bersedekah makanan untuk keluarga
yang meninggal selama
tujuh hari. tersebut." (HR al-Imam Ahmad dalam al-Zuhd
al-Hafizh Abu Nu'aim,
dalam
Hilyah al-Auliya’ juz 4, hal 11 dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-
'Aliyah,
juz5, hal 330).
Riwayat di atas menjelaskan bahwa tradisi selamatan
selama tujuh hari telah
berjalan sejak generasi sahabat
Nabi Sudah barang tentu, para sahabat dan
genetaj
salaf tidak mengadopsinya dari orang Hindu. Karena orang-orang Hindu
tidak
ada di daerah Arab.
Dan
seandainya tradisi selamatan tujuh hari tersebut diadopsi dari tradisi Hindu,
maka hukumnya
jelas tidak haram, bahkan bagus untuk dilaksanakan,
mengingat
acara dalam kedua tradisi tersebut sangat berbeda. Dalam selamatan
tujuh hari, kaum Muslimin
berdzikir kepada Allah. Sedangkan orang Hindu
melakukan
kemungkaran. Dalam hadits shahih Rasulullah bersabda:
92
"Dari
Ibn Mas'ud Rasulullah SAW bersabda: "Orang yang berdzikir kepada Allah
di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat
dengan orang yang sabar di
antara kaum yang melarikan
diri dari medan peperangan." (HR. al-Thabarani
dalam al-Mu’jam
al-Kabir dan al-Mu’jam
al-Ausath. Alhafizh al-Suyuthi menilai
hadits
tersebut shahih dalam al-Jami’ al-Shaghir).
Dalam acara tahlilan selama tujuh hari kematian, kaum Muslimin berdzikir
kepada
Allah, ketika pada hari tersebut orang
Hindu melakukan sekian banyak
kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi
tahlilan itu. Dan seandainya
tasyabuh dengan orang Hindu dalam selamatan tujuh hari tersebut
dipersoalkan, Rasulullah SAW telah mengajarkan kita cara menghilangkan
tasyabuh
(menyerupai orang-orang ahlul kitab) yang dimakruhkan dalam agama,
Dalam
sebuah hadits shahih, Rasulullah SAW bersabda:
“Ibn Abbas berkata: "Setelah Rasulullah SAW berpuasa
pada hari Asyura dan
memerintahkan kaum Muslimin juga berpuasa, mereka berkata: “Wahai
Rasulullah, hari Asyura itu diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani."
Rasulullah SAW menjawab: "Kalau begitu, tahun depan, kita berpuasa
pula
tanggal sembilan." Ibn Abbas berkata:
'Tahun depan belum sampai ternyata
Rasulullah
SAW telah wafat" (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Dalam hadits di atas, para sahabat
menyangsikan perintah puasa pada hari
Asyura, di mana hari tersebut juga diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan
Nasrani. Sementara
Rasulullah SAW telah menganjurkan umatnya
agar selalu
menyelisihi (mukhalafah) orang-orang Yahudi dan Nasrani. Temyata
Rasulullah
memberikan petunjuk,
cara menyelisihi mereka,
yaitu dengan berpuasa
sejak
sehari sebelum
Asyura, yang disebut
dengan Tasu'a', sehingga
tasyabbuh
tersebut
menjadi hilang.
Dalam sebuah acara di Denpasar Bali, ada juga orang Wahhabi
yang
mempersoalkan; "Bagaimana dengan pendapat madzhab
al-Syafi'i yang
mengatakan bahwa pemberian hidangan
makanan terhadap orang yang
berta'ziyah
dihukumi bid'ah madzmumah. Hal tersebut berarti juga meninggalkan
sunnah, di mana yang dianjurkan justru orang yang berta'ziyah itu memberi
hadiah
makanan kepada keluarga mayit. Apakah tidak sebaiknya tradisi tersebut
kita
hilangkan?"
Dalam hal tersebut saya menjawab, bahwa sebenarnya dalam tradisi tahlilan
selama tujuh hari, kaum Muslimin tidak meninggalkan sunnah.
Mereka telah
melakukan
sunnah, di mana para tetangga dan sanak famili yang berta'ziyah, itu
membawa
makanan, ada yang berupa beras, ada yang berupa lauk pauk, uang
dan lain sebagainya. Jadi kaum Muslimin
di Indonesia tidak meninggalkan
sunnah.
93
Sedangkan tradisi
suguhan makanan dari keluarga mayit kepada para
penta'ziyah, dalam hal ini madzhab al- Syafi'i berpendapat bid'ah madzmumah.
Tetapi kita harus ingat, bahwa dalam ini ada pendapat lain di kalangan
ulama,
yaitu madzab generasi salaf seperti telah diceritakan sebelumnya dari Imam
Thawus. Disamping
itu, ada riwayai
dari Sayyidina Umar bin al-Khaththab RA,
bahwa ketika beliau akan wafat berwasiat
agar orang-orang yang berta’ziyah
disuguhi makanan.
Al-Hafizh Ibn Hajar berkata dalam kitabnya al-Mathalib al’-
Aliyah:
"Al-Ahnaf
bin Qais berkata, “Aku pernah mendengar Umar RA berkata: “Apabila
seseorang dari suku Quraisy
memasuki satu pintu, pasti orang lain akan
mengikutinya.”
Aku tidak mengerti maksud perkataan ini, sampai akhirnya Umar
RA ditikam,
lalu beliau berwasiat
agar Shuhaib yang menjadi Imam Shalat
selama tiga hari dan agar menyuguhkan makanan pada orang-orang yang
ta’ziyah. Setelah
orang-orang pulang dari mengantarkan jenazah
Umar RA,
ternyata hidangan
makanan telah disiapkan, tetapi mereka tidak jadi makan,
karena duka cita yang tengah menyelimuti mereka.” (HR. Ahmad bin Mani’
dalam
al-Musnad dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal.
328).
Dengan demikian, masalah suguhan makanan dari keluarga
mayit kepada para
penta'ziyah masih
ada pendapat lain yang membolehkan, dan tidak
menganggapnya bid'ah madzmumah. Kita tidak mungkin
memaksakan orang
lain
konsisten dcngan satu madzhab secara penuh. Al-Imam Ahmad bin Hanbal
berkata:
"Seorang faqih tidak sebaiknya, memaksa orang lain mengikuti madzhabnya."
(Ibn
Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar'iyyah juz 1 hal 187, dan Syaikh al-Albani,
al-Radd
al-Mufhim, hal 9 dan 147).
Dalam sebuah diskusi di Jember, ada juga seorang
teman yang agak
terpengaruh Wahhabi
menggugat, "Dengan adanya
tradisi tahlilan,
menyebabkan mereka yang melakukan
tahlilan meninggalkan sunnah,
seperti
tidak shalat berjamaah karena tahlilan. Bahkan ada juga, untuk acara tahlilan,
keluarga duka cita sampai mencari hutangan
segala. Apakah sebaiknya
hal ini
tidak
menjadi problem?" Demikian teman tersebut menggugat.
Gugatan
teman ini sebenarnya tidak substansial Karena banyak juga orang yang
tahlilan, tetapi temp rajin berjamaah. Jadi tahlilan, tidak menghalangi jamaah.
Bahkan di sebagian daerah di Jember,
acara tahlilan selama tujuh hari
dilaksanakan setelah
shalat zhuhur. Di Pasuruan, dilaksanakan setelah shalat
isya'.
Tergantung daerah masing-masing. Karena dalam tradisi tahlilan memang
tidak
ada ikatan waktu.
|
Sedangkan terkait
dengan sebagian orang yang memaksakan diri dengan
mencati hutangan
uang untuk acara tahlilan, ini sebenarnya bukan problem
tahlilannya. Banyak juga orang yang sampai mencari hutangan
untuk
kesenangan
keluarganya, dan bukan untuk tahlilan."
Ada juga orang Wahhabi
yang menggugat tahlilan
dengan berkata: "Dalam
bacaan tahlilan
terdapat bid'ah, yaitu susunan bacaannya
yang belum pernah
dicontohkan
oleh Rasulullah SAW."
Menanggapi hal tersebut, kita menjawab, bahwa berkaitan dengan susunan
bacaan
dan dalam tahlilan yang terdiri dari beberapa macam dzikir, mulai dari Al-
Qur’an, shalawat,
tahlil, tasbih, tahmid dan lain-lain, hal tersebut tidak ada
larangan dari Rasulullah SAW. Bahkan dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW
juga
mencampur antara bacaan al-Qur'an dengan do’a seperti diriwayatkan oleh
al-Thabarani dalam kitab al-Du’a’.
Dari kalangan ulama salaf seperti
al-Imam
Ahmad
bin Hanbal, menyusun dzikiran campuran antara ayat al-Qur’an dan lain-
lain seperti
diriwayatkan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam Zadul Ma’ad.
Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar