Bid’ah
hasanah adalah persoalan yang tidak
pernah selesai dibicarakan. Hal ini
di samping
karena banyak inovasi
amaliah kaum Muslimin yang tercover dalam
bingkai bid’ah hasanah, juga karena adanya kelompok minoritas
umat Islam
yang sangat kencang menyuarakan tidak adanya bid’ah hasanah dalam Islam.
Akhirnya kontroversi bid’ah hasanah ini selalu menjadi
aktual untuk dikaji dan
dibicarakan. Toh walaupun sebenarnya khilafiyah tentang pembagian
bid’ah
menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah,
tidak perlu terjadi.
Karena
di samping dalil-dalil Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang
menunjukkan adanya bid’ah hasanah
cukup banyak dan sangat kuat, juga
karena konsep bid’ah hasanah
telah diakui sejak generasi sahabat
pada masa
Khulafaur Rasyidin.
Namun apa boleh dikata, kelompok
yang anti bid’ah
hasanah
tidak pernah bosan dan lelah untuk membicarakannya.
Dalam sebuah diskusi dengan tema Membedah
Kontroversi Bid’ah, yang
diadakan oleh MPW Fahmi Tamami Provinsi
Bali, di Denpasar,
pada bulan Juli
2010,
saya terlibat dialog cukup tajam dengan beberapa tokoh Salafi yang hadir
dalam acara tersebut. Dalam acara itu, saya menjelaskan, bahwa pembagian
bid’ah menjadi
dua, bid’ah hasanah
dan bid’ah sayyi’ah,
merupakan keharusan
dan keniscayaan dari pengamalan sekian banyak hadits Rasulullah shallallahu
alaihi
wa sallam yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif
(mu’tabar).
Karena meskipun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Jabir bin Abdullah berkata,
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad.
Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah
itu
kesesatan.” (HR. Muslim [867]).
Termyata
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
“Jarir bin Abdullah al-Bajali
radhiyallahu anhu berkata,
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang memulai
perbuatan baik dalam
Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya
serta pahala orang-orang yang
melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka.
Dan
barangsiapa
yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan
memperoleh dosanya
dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya
tanpa
dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).
Dalam hadits pertama, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan,
bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang
memulai perbuatan
baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya
dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian,
hadits kedua jelas membatasi
jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin
dhalalah (setiap
bid’ah adalah sesat)”
sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-
Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi shallallahu alaihi wa
sallam menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan
yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut
pernah
dicontohkan
dan pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau
belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Di sisi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seringkali
melegitimasi beragam
bentuk inovasi amaliah
para sahabat yang belum pernah
diajarkan oleh beliau. Misalnya
berkaitan dengan tatacara
ma’mum masbuq
dalam
shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini:
“Abdurrahman
bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, bila seseorang datang terlambat beberapa
rakaat mengikuti shalat
berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat
kepadanya
tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan
mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu,
kemudian masuk ke
dalam shalat berjamaah bersama
mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal
datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah
rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk
dalam
shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat,
maka Mu’adz segera
mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah
Rasulullah shallallahu
alaihi
wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal
yang
berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam
menjawab: “Mu’adz
telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam
riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
“Mu’adz
telah memulai
cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah
cara shalat yang
harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi
Syaibah
dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan
al-Hafizh
Ibn Hazm al-Andalusi).
Hadits ini menunjukkan bolehnya
membuat perkara baru dalam ibadah,
seperti
shalat atau lainnya, apabila
sesuai dengan tuntunan
syara’. Dalam hadits ini,
Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menegur
Mu’adz dan tidak pula berkata,
“Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum
bertanya
kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan
Mu’adz sesuai
dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam. Dalam
hadits
lain diriwayatkan:
“Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu anhu berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama
Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata:
“sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki
di belakangnya berkata:
“rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban
mubarakan fih”. Setelah
selesai
shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu
menjawab: “Saya”.
Beliau bersabda: “Aku telah melihat
lebih 30 malaikat
berebutan
menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).
Kedua sahabat
di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah
diterimanya
dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu menambah bacaan dzikir
dalam
i’tidal. Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenarkan perbuatan
mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang
pahala yang mereka lakukan,
karena
perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal itu tempat
memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafizh
Ibn Hajar al-’Asqalani
menyatakan
dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya
membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut
tidak menyalahi dzikir
yang ma’tsur
(datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam),
dan bolehnya
mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.
Seandainya hadits “kullu bid’atin
dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”,
bersifat
umum
tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan
melarang
setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup.
Selanjutnya
pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah,
juga dilakukan
oleh para sahabat
Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
termasuk
Khulafaur
Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
26
“Abdurrahman
bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan
aku
pergi
ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid
berpencar-pencar dalam sekian kelompok.
Ada yang shalat sendirian. Ada juga
yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar radhiyallahu anhu
berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam,
tentu
akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab.
Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama
Umar bin al-Khaththab, dan
mereka
melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal
itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di
akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”.
Pada waktu itu, orang-orang
menunaikan
tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari [2010]).
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan shalat tarawih
secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian
meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap
malam.
Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula
pada
masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu. Kemudian Umar radhiyallahu
anhu mengumpulkan mereka untuk melakukan
shalat tarawih pada seorang
imam
dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan
ini tergolong
bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau mengatakan:
“Sebaik-baik
bid’ah adalah ini”. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
“Al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu anhu berkata:
“Pada masa Rasulullah shallallahu
alaihi
wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at
pertama dilakukan setelah
imam duduk di atas mimbar. Kemudian
pada masa Utsman,
dan masyarakat
semakin banyak,
maka beliau menambah
adzan ketiga di atas Zaura’,
yaitu
nama
tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari [916]).
Pada
masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan
Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar.
Pada masa
Utsman, kota Madinah semakin
luas, populasi penduduk
semakin meningkat,
sehingga
mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir
ke mimbar.
Lalu Utsman menambah
adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’,
tempat di Pasar Madinah,
agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan
shalat Jum’at,
sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada
pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah,
tetapi
bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar
pula
menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin
yang
sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.
Selanjutnya,
beragam inovasi dalam amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh
para sahabat
secara individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa
sahabat seperti
Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, al-
Hasan
bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah-nya ketika menunaikan ibadah
haji
berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa
sallam.
Para ulama ahli hadits seperti al-Hafizh al-Haitsami meriwayatkan dalam
Majma’ al-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan al-Hasan al-Bashri
melakukan
shalat
Qabliyah dan Ba’diyah shalat idul fitri dan idul adhha.
Berangkat dari sekian banyak hadits-hadits shahih di atas, serta perilaku
para
sahabat,
para ulama akhirnya berkesimpulan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua,
bid’ah
hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Al-Imam al-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri
madzhab
al-Syafi’i berkata:
___
|
“Bid’ah
(muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang
menyalahi al-Qur’an
atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut
bid’ah dhalalah
(tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi
al-
Qur’an,
Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi,
Manaqib
al-Syafi’i, 1/469).
Pernyataan al-Imam
al-Syafi’i ini juga disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-
Harrani dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (juz. 20,
hal.
163).”
Setelah saya memaparkan penjelasan di atas, Ustadz Husni Abadi, pembicara
yang mewakili
kaum Salafi pada waktu itu, tidak mampu membantah dalil-dalil
yang saya ajukan. Anehnya
ia justru mengajukan dalil-dalil lain yang menurut
asumsinya menunjukkan tidak adanya bid’ah hasanah. Seharusnya dalam
sebuah
perdebatan, pihak penentang (mu’taridh) melakukan bantahan terhadap
dalil-dalil
yang diajukan oleh pihak lawan, sebagaimana
diterangkan dalam ilmu
Ushul
Fiqih. Apabila pihak penentang tidak mampu mematahkan dalil-dalil pihak
lawan,
maka argumentasi pihak tersebut harus diakui benar dan shahih.
Ustadz Husni Abadi berkata:
“Ustadz, dalam soal ibadah kita tidak boleh
membuat-buat sendiri.
Kita terikat dengan kaedah al-ashlu
fil-ibadah al-buthlan
hatta yadulla
al-dalil ‘ala al-’amal,
(hukum asal dalam sebuah ibadah adalah
batal,
sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya)”.
Mendengar pernyataan Ustadz Husni, saya menjawab: “Kaedah
yang Anda
sebutkan tidak dikenal dalam ilmu fiqih. Dan seandainya kaedah yang Anda
sebutkan ada dalam ilmu fiqih, maka kaedah tersebut
tidak menolak adanya
bid’ah
hasanah. Karena Anda tadi mengatakan, bahwa dalam soal ibadah tidak
boleh
membuat-buat sendiri. Maksud Anda tidak boleh membuat bid’ah hasanah.
Lalu Anda berargumen dengan kaedah, hukum asal dalam sebuah ibadah
adalah
batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya.
Tadi
sudah kami buktikan, bahwa bid’ah hasanah banyak sekali dalilnya. Berarti,
kaedah Anda membenarkan mengamalkan bid’ah hasanah, karena dalilnya
jelas.”
HA berkata:
“Ustadz, dalam surat al-Maidah, ayat 3 disebutkan:
___
|
.
“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan
bagimu
nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”
Ayat
di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang
yang melakukan
bid’ah hasanah berarti
berasumsi bahwa Islam belum
sempurna,
sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”
Saya menjawab:
“Ayat 3 dalam surat al-Maidah
yang Anda sebutkan
tidak
berkaitan dengan
bid’ah hasanah. Karena
yang dimaksud dengan
penyempurnaan
agama dalam ayat tersebut,
seperti dikatakan oleh para ulama
tafsir,
adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan kaedah-
kaedah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut,
tidak boleh
melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah
shallallahu
alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu
Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih
secara
berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua
kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya
yang diterangkan dalam kitab-kitab
hadits.
Dalam hal ini tak seorang pun dari
kalangan sahabat yang menolak hal-
hal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi. Jadi, ayat yang
Anda sebutkan
tidak ada kaitannya
dengan bid’ah hasanah.
Justru bid’ah
hasanah masuk dalam kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya terdapat
dalam
sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan perilaku para
sahabat.”
HA
berkata: “Ustadz, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan
dalil
bid’ah hasanah.
Karena hadits tersebut
jelas membicarakan sunnah Rasul
shallallahu alaihi wa sallam.
Bukankah redaksinya berbunyi,
man sanna fil
Islaam sunnatan
hasanatan. Di samping
itu, hadits tersebut
mempunyai latar
belakang, yaitu anjuran sedekah.
Dan sudah maklum bahwa sedekah
memang
29
ada
tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Ustadz jadikan
dalil
bid’ah hasanah tidak proporsional.”
Saya menjawab:
“Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali
tersebut
kita harus berpikir jernih dan teliti.
Pertama, kita harus tahu bahwa yang
dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara
lughawi (bahasa).
Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah
mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku
dan perbuatan, baik
perbuatan
yang diridhai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak
bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a
‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir (segala
sesuatu
yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan,
perbuatan
maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits
seperti
ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam
teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali
tersebut dimaksudkan dengan Sunnah
Rasul
shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian
hadits tersebut
akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks
hadits tersebut
ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna
sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat
berikutnya yang berbunyi
man sanna
sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut
kita maksudkan
pada Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam
terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa
Sunnah
Rasul shallallahu alaihi wa sallam itu ada yang hasanah (baik) dan ada
yang sayyi’ah
(jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu,
para
ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil
islam sunnatan
hasanatan, membatasi jangkauan
makna hadits kullu bid’atin
dhalalah,
karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.
Selanjutnya,
alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-
wurud) hadits tersebut berkaitan
dengan anjuran sedekah,
maka alasan ini
sangat lemah sekali.
Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita
kenal kaedah,
al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi
la bi-khusush al-sabab,
(peninjauan dalam makna
suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat,
bukan melihat pada
konteksnya
yang khusus).”
HA berkata:
“Ustadz, menurut al-Imam
Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada.
Yang
namanya bid’ah itu pasti sesat.”
Saya menjawab:
“Maaf, Anda salah dalam mengutip
pendapat al-Imam Ibn
Rajab
al-Hanbali. Justru al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya
saja beliau tidak mau menamakan bid’ah hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau
namakan Sunnah.
Jadi hanya perbedaan
istilah saja. Sebagai
bukti, bahwa Ibn
Rajab menerima
bid’ah hasanah, dalam kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam
fi
Syarth
Khamsin Haditsan min Jamawi’ al-Kalim, beliau mengutip pernyataan al-
Imam
al-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua. Dan seandainya al-Imam Ibn
|
30
Rajab memang berpendapat seperti
yang Anda katakan,
kita tidak akan
mengikuti beliau,
tetapi kami akan mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam
dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ah hasanah.”
HA
berkata: “Ustadz, dalil-dalil yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti
dari
Khalifah Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah hasanah.
Karena mereka termasuk Khulafaur
Rasyidin. Dan Rasulullah shallallahu alaihi
wa
sallam telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin, dalam hadits
‘alaikum bisunnati
wa sunnatil khulafair
rasyidin al-mahdiyyin (ikutilah
sunnahku
dan sunnah Khulafaur Rasyidin
yang memperoleh petunjuk). Dengan demikian,
apa
yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.”
Saya menjawab:
“Ustadz Husni yang saya hormati,
menurut hemat kami
sebenarnya yang tidak mengikuti
Khulafaur Rasyidin itu orang yang menolak
bid’ah hasanah
seperti Anda. Karena Khulafaur Rasyidin
sendiri melakukan
bid’ah hasanah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita
mengikuti Khufaur
Rasyidin. Sementara Khulafaur
Rasyidin melakukan bid’ah
hasanah. Berarti
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita
melakukan bid’ah hasanah. Dengan demikian kami yang berpendapat dengan
adanya
bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dan Khulafaur Rasyidin.
Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur
Rasyidin dengan melakukan
bid’ah
hasanah
sebanyak-banyaknya.”
HA berkata:
“Ustadz Idrus, kalau Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid’atin
dhalalah maknanya
terbatas dengan artian bahwa sebagian
bid’ah itu sesat,
bukan
semua bid’ah, lalu apakah Anda akan mengartikan
teks berikutnya, yang
berbunyi wa kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang sama, bahwa
sebagian
kesesatan itu masuk neraka, bukan semuanya. Apakah Ustadz berani
mengartikan
demikian?”
Saya menjawab:
“Ustadz Husni yang saya hormati,
dalam mengartikan atau
membatasi jangkauan
makna suatu ayat atau hadits,
kita tidak boleh mengikuti
hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an
dan Sunnah pula. Para
ulama
mengartikan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan arti sebagian besar
bid’ah itu sesat, karena ada sekian banyak hadits yang menuntut
demikian.
Sedangkan berkaitan
teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap
kesesatan itu di neraka),
di sini kami tegaskan, bahwa selama kami tidak
menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan
maknanya, maka kami akan
tetap
berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh atau sebagian dalam
sebuah
teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil,
ya al-Qur’an dan Sunnah.
Jadi membatasi
jangkauan makna dalil, dengan dalil pula, bukan dengan hawa
nafsu.”
Demikianlah dialog saya dengan Ustadz Husni Abadi, di Denpasar pada
akhir
Juli 2010 yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar