Kamis, 06 Februari 2014

In Memoriam, KH. Abdul Rosyid Effendi, BA.

In Memoriam, KH. Abdul Rosyid Effendi, BA.

IMG00313-20100421-1350Wakil Talqin TQN Suryalaya
Oleh :  Handri Ramadian
Tulisan ini diterbitkan dalam rangka mengenang jasa-jasa Kiyai Haji Abdul Rosyid Effendi, BA. Beliau adalah seorang khodam Waly Mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN) Pondok Pesantren Suryalaya Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin (Pangersa Abah Anom) yang diangkat dan dikukuhkan menjadi wakil talqin pada 16 Oktober 1994. Medan dakwah beliau terpusat di DKI Jakarta dan sekitarnya, namun beliau juga sering mengunjungi ikhwan-akhwat TQN Suryalaya di luar DKI Jakarta, bahkan sampai ke Birmingham, Inggris.
Kiyai Haji  Abdul Rosyid Effendi,BA., lahir di Cijeruk, Bogor 12 Nopember 1939. Putra Bapak Haji Marzuki ini hidup dalam lingkungan keluarga yang religious. Uwaknya adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Cibalung di Kampung Lengis, Cijeruk-Bogor.
Sementara ayahnya merantau ke Jakarta, Effendi kecil dirawat oleh ibunya di Cijeruk. Pada usia lima tahun ibunda tercintanya wafat. Lalu ia dirawat oleh uwaknya di lingkungan pesantren. Selain mengenyam pendidikan umum di bangku SD dan SMP, Effendi kecil menimba ilmu agama pada uwaknya di Pesantren. Tidak heran, selama pendidikan dasar ini ia mampu menguasai berbagai disiplin ilmu Islam, seperti fiqih, tauhid, ilmu alat (nahwu & sharaf) dan lain-lain.
Selepas pendidikan SMP, ia merantau ke Jakarta, menemui keluarga ayahnya di bilangan Jatinegara, Jakarta Timur. Lalu ia masuk SMA Wedatama Jakarta. Selama hidup di Jakarta, ia tidak mau berpangku tangan. Sambil sekolah ia berusaha keras mencari uang untuk keperluan hidupnya sehari-hari dengan menjadi agen koran dan majalah.
Tamat dari SMA, beliau mengajukan lamaran ke Badan Pusat Intelijen (BPI) yang iklan lowongan kerjanya ada di salah satu surat kabar yang ia jual. Keuntungan berpihak padanya, ia diterima bekerja di lingkungan Badan Pusat Intelijen pada tahun 1960. Karirnya diawali di bagian kendaraan. Tugas sehari-harinya mengurusi surat-surat kendaraan.
Pasca peristiwa G 30 S/PKI pada tahun 1965 BPI bermertafosis dengan nama-nama yang berbeda. Pada 1968 menjadi  Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) yang dirintis oleh Letjen Yoga Soegama dan memimpinnya sejak November 1968-Maret 1969. Letjen Yoga sempat meninggalkan jabatan Kepala Bakin sehubungan dengan tugas di PBB. Lalu pada 1974-1989 Letjen Yoga kembali menjabat Kepala BAKIN.
Sambil bekerja di BAKIN, Effendi muda mengembangkan bakat dakwahnya. Pamannya yang pengurus masjid di kawasan Prumpung turut andil dalam mengembangkan bakat Effendi. Pelan-pelan Effendi menjadi penceramah di majlis-majlis ta’lim.  Demikian pula di kantor tempat ia mencari nafkah. Effendi aktif bergerak dalam bidang kerohaniahan sehingga ia dipercaya duduk dalam kepengurusan Pengajian BAKIN.
Melihat bakat dakwah yang besar dalam diri Effendi, salah satu pimpinan BAKIN, Bapak Hadi Saiful Anwar yang saat itu menjabat Direktur Keuangan mendukung penuh kegiatan Effendi. Beliau pula lah yang mempercayakan kegiatan dakwah masjid BAKIN untuk dipegang oleh Effendi. Dari kegiatan dakwahnya di Masjid BAKIN akhirnya semakin meluas. Pelan-pelan beliau mulai dakwah di lingkungan keluarga dan tetangga karyawan dan pejabat BAKIN.
Selain itu Efendi membentuk grup tahlil yang anggotanya terdiri dari karyawan-karyawan BAKIN. Grup itu dibentuk dalam rangka menyediakan bantuan personel tahlilan kepada keluarga karyawan dari tingkat sopir hingga jenderal yang tertimpa musibah kematian.
Tahun 1962, Effendi menikah dengan gadis pilihannya yang cantik, Ida Saodah. Mereka hidup dalam mahligai rumah tangga yang sakinah. Dari hasil pernikahan mereka, lahirlah tiga putra dan tiga putri, yaitu Herlina Susanti, Abdul Syafei (wafat usia 3 tahun), Nurita Hasanah, Abdul Hakim AlHady,  Abdul Rozak Taufiq  dan Dian Nur’aini.
Dukungan keluarga terhadap kegiatan dakwah sama besarnya, Umi Ida Saodah menyarankan suami tercintanya untuk kuliah di bidang dakwah. Atas saran istrinya, Effendi kemudian kuliah di Fakultas Dakwah Universitas Islam Asy-Syafi’iyah, hingga memperoleh gelar sarjana muda (BA).
Tahun 1978 keluarga kecil Kiayi Muda Effendi dan Umi Ida Saodah pindah dari Prumpung ke Komplek Perumahan Karyawan BAKIN di Pasar Minggu. Tiga tahun kemudian keluarga tersebut diberikan kemampuan membeli sebuah rumah tidak jauh dari Komplek BAKIN. Rumah itulah yang hingga kini menjadi pusat kegiatan dakwahnya.
Tahun 1979, Kiyai Effendi yang masih aktif di BAKIN mendapat kepercayaan dari Kepala BAKIN untuk memantau perkembangan belajar salah satu putranya yang sedang mondok di Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Berkah tugas inilah, kemudian Kiyai Effendi dipertemukan oleh Allah SWT dengan salah seorang wali-Nya, yakni Syekh Ahmad Shahibul Wafa Tajul ‘Arifin atau yang lebih dikenal dengan Abah Anom. Pada tahun itu juga Kiyai Effendi diberi talqin dzikir Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah oleh Abah Anom.
Hari-hari Kiayi Effendi sejak saat itu mulai diselimuti oleh rasa bahagia tiada terkira. Lisan dan qalbunya  perlahan-lahan mulai mendawamkan ingatan kepada Allah SWT. Bimbingan Waly Mursyid begitu terasa dan sangat intensif. Kiayi Effendi tidak ingin kebahagiaan yang dirasakannya hanya dinikmati sendiri. Perlahan beliau mulai berdakwah thariqah di lingkungan keluarga, warga dan kantornya. Rombongan demi rombongan ia antar ke Pondok Pesantren Suryalaya untuk belajar dzikir dari Abah Anom.
Berkah khidmah Kiayi Effendi kepada Abah Anom, perhatian Abah Anom kepada beliau sangat besar. Setiap berkunjung ke Ponpes Suryalaya selalu Abah Anom mengajak makan di ruang makan pribadinya, bahkan langsung memberikan makanan-makanan yang tersaji untuk Kiayi Effendi dan istrinya.  Kedekatan ini mengundang pertanyaan besar dari murid-murid senior Abah Anom. Pasti ada sesuatu di balik itu.
Pernah suatu waktu Kiayi Efendi berkunjung kepada Abah Anom di hari Jum’at. Saat itu beliau belum mendapatkan khirqah sebagai wakil talqin. Tiba-tiba Abah Anom memberikan ghamis berwarna biru kepada Kiyai Efendi. Sambil mengenakan ghamis itu, Abah Anom berkata, “Kiyai, hari ini jadi khatib, ya di Masjid!”
16 Oktober 1994, KH. Abdul Rasyid Effendi, BA bersama 14 orang muballigh lainnya diangkat dan dikukuhkan menjadi Wakil Talqin TQN Suyalalaya. Diantara yang diangkat menjadi Wakil Talqin seangkatan dengan beliau adalah KH. Zezen Zaenal Abidin Bazul Asyhab dari Sukabumi, Prof. DR. Juhaya S. Praja dari Bandung, KH. Arif Ichwani dari Bandung, Syekh Abdul Latif Deli dari Medan, KH. Ahmad Jahri Anwar dari Pekalongan, Drs. H.M. Thoha Abdurrahman dari Yogyakarta dan lain-lain.
Sejak hari bersejarah itu, tugas berat mulai menggelayut di pundak Kiayi Effendi. Kewajiban membantu Waly Mursyid memberikan pembinaan kepada ikhwan-akhwat TQN Suryalaya di DKI Jakarta telah menantang. Ini sesuatu yang surprise  bagi Kiayi Effendi dan keluarga. Tidak ada pemberitahuan pendahuluan sebelumnya. Semua terkejut. Bahkan orang-orang dekat Kiayi Effendi di BAKIN, seperti Jenderal Yoga Soegama dan Pak Hadi Saiful Anwar kaget campur haru, tidak menyangka Kiayi Effendi diberi amanah yang begitu besar. Demikian juga keluarga, mereka semua tidak ada yang tahu. Sehingga anak dan menantu tertuanya, Ibu Hj. Herlina Susanty dan H. Muhammad Usman baru menyusul keesokan subuh ke Ponpes Suryalaya setelah mendengar berita pengangkatan tersebut.
Di balik itu semua, ternyata ada cerita menarik. Sebelum pengangkatan terjadi, Aki Anta, murid senior Abah Anom menghadap kepada Abah Anom dan berkata,
“Abah, tadi malam saya mimpi, Abah Sepuh menuntun Pak Effendi”.
Lalu Abah Anom menjawab, “Miheulaan wae, Maneh!” (artinya, Mendahului terus, Kamu tuh!).
Lalu Aki Anta berkata lagi, “Iih, Abah! Ieu mah, laporan!” (artinya: Iih, Abah! Ini hanya laporan!).
Mungkin inilah, isyarat sebelum pengangkatan beliau menjadi wakil talqin.
DKI Jakarta sebelumnya telah memiliki wakil talqin, yakni KH. Abdul Syukur dari Condet. Hubungan Kiyai Efendi dengan KH. Abdul Syukur sangat dekat. Setiap kali pengajian manaqib IMG00311-20100421-1349di rumah Kiayi Effendi, KH. Abdul Syukur selalu datang dan memberikan talqin dzikir kepada jamaah baru. Namun beliau wafat pada tahun 1992.
Langkah-langkah pembinaan yang Kiayi Effendi lakukan adalah mengembangkan tempat-tempat manaqib di DKI Jakarta dan sekitarnya, dan mengirimkan ustadz-ustadz untuk memimpin dzikir khatam dan manaqib. Diantara para ustadz yang dibina oleh beliau adalah, Ust. Ma’ruf Ainur Rofiq, Ust. Yusuf, Ust. Rosyidi, Ust. Sirajudin dan H. Udin Syarifudin dan lain-lain.
Beliau juga membangkitkan program inabah dari rumah ke rumah. Korban-korban penyalahgunaan Narkoba dan zat addictif lainnya tidak ditampung dalam satu lokasi, melainkan mereka tetap tinggal di rumah masing-masing. Pihak Kiayi Effendi lah yang bergerak aktif mengirimkan ustadz-ustadz untuk memberikan terapi spiritual kepada para korban tersebut.
Kiayi Effendi dikenal dermawan oleh para koleganya. Terutama para wakil talqin. Setiap kali para wakil talqin mengadakan pertemuan di Ponpes Suryalaya, selalu saja ada bingkisan yang diberikan kepada mereka, walaupun tidak besar nilainya. Seperti, ballpoint, kaos dan lainnya.
Di mata para ikhwan TQN Jakarta, Kiayi Effendi adalah figur pemimpin yang berhasil. Semenjak beliau menjadi wakil talqin jumlah tempat manaqib tersebar di seluruh pelosok DKI Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi.
Di mata keluarga, Kiayi Effendi adalah figur yang sangat pendiam dan murah hati. Tidak banyak kata keluar dari lisan beliau. Seringkali beliau memberikan contoh perbuatan daripada kata-kata. Pendidikan agama terhadap anak-anaknya sangat keras dan ketat. Jiwa pemurahnya tercermin dari sikap menerima siapa saja yang datang kepadanya dan menampung mereka yang sedang mendapatkan kesusahan hidup untuk tinggal beberapa hari di rumahnya. Hingga mereka merasa tenang kembali dan siap menghadapi kenyataan yang telah Allah SWT berikan.
Umi Hj. Ida Saodah mengenang, “Kebahagiaan yang sangat besar yang saya rasakan semasa beliau menjadi khodam Abah Anom adalah saat setiap kali saya diajak mengunjungi Pangersa Abah Anom. Saya bisa dekat sekali dengan Pangersa Abah Anom. Setiap kali mendapatkan riyadhoh dari Abah, tentunya ada saja cobaan atau ujian yang datang menghampiri. Tatkala saya melaporkannya kepada Abah kondisi ujian tersebut, yang paling saya ingat adalah kata-kata beliau: ‘Jangan menghitung-hitung musibah, tetapi nikmat dari Allah yang lebih banyak.’ (Pangersa Abah berkata dalam bahasa Sunda : ‘Ulah ngitungan musibah, nikmat-Na Nu loba ka urang’)”
Saat-saat Menjelang Wafat
Beberapa hari menjelang wafatnya, Kiayi Effendi sempat membawa rombongan dari Bank Indonesia ke Ponpes Suryalaya. Saat bersilaturahim kepada Pangersa Abah Anom, biasanya jamaah yang bersilaturahim kepada Abah Anom, sambil bersalaman langsung meletakkan amplop kepada Abah di atas sorban yang menutupi sebagian tubuhnya, sebagai wujud rasa terimakasih murid kepada mursyidnya. Begitu juga Umi Ida dan Kiayi Effendi.
Ketika Umi Ida bersalaman dan memberikan amplop, Abah berprilaku biasa saja. Selanjutnya ketika Kiai Effendi bersalaman, amplop yang diberikan dipegang erat oleh Abah Anom dengan jari telunjuk dan ibu jari. Assitennya berusaha melepaskan pegangan erat ini hingga berulang kali, namun tak mampu juga terlepas. Akhirnya Umi Yoyoh (Istri Abah Anom) berujar, “Abah, amplopnya masukkan saja ke saku” baru pegangannya dilepaskan. Entah, ini isyarat apa.
Setelah pamit, Umi Ida merasakan perasaan lain. Kiayi Effendi terlihat sangat lelah saat perjalanan kembali ke Jakarta. Sepertinya ini adalah perjalanan jauh terakhir. Apa maksud Pangersa Abah memegang erat amplop tersebut. “Jangan-jangan itu adalah amplop terakhir Kiayi Effendi kepada Abah,” itulah getar perasaan yang timbul dalam batin Umi Ida.
Keesokan malamnya, malam Jum’at, ada manaqib di rumah putri keduanya, Mbak Nurita. Kiayi Effendi tetap hadir seperti biasa, namun belioau tidak kuasa bertugast. Dan menyerahkan prosesi manaqib kepada ustadz-ustadz yang hadir.
Hari Sabtu Shubuh, Kiayi Effendi terlihat sesak napas. Umi Ida sudah bersiap untuk melakukan shalat berjamaah dan menunggu Kiayi Effendi, namun tunggu punya tunggu beliau tak juga masuk untuk Shalat Shubuh. Saat Umi Ida menghampirinya ke ruang tengah, dijumpainya kondisi Kiayi Effendi sedang tersengal-sengal. Seketika itu juga Umi Ida memanggil anak dan menantunya, meminta pertolongan.
Dengan segera Kiyai Effendi dibawa ke RS Triadipa. Vonis dokter harus dirawat.Sehubungan dengan kondisi ruang inap yang tidak layak, perawatan kemudian dipindahkan ke RS Islam Cempaka Putih. Selama satu minggu beliau mendapatkan perawatan intensif dan diawasi oleh dokter ahli penyakit internis. Ternyata peralatan di RS Islam Cempaka Putih juga tidak memungkinkan untuk tindakan lanjutan atas penyakit Kiayi Effendi, lalu pihak RS berkonsultasi dengan salah seorang Profesor yang biasa menangani penyakit jenis tersebut. Akhirnya Kiayi Effendi dipindahkan ke RS Persahabatan Rawamangun.
Di RS Persahabatan, Kiyai Effendi langsung dimasukkan ke Ruang ICU untuk selanjutnya menunggu tindakan operasi. Dari kediaman beliau salah seorang anaknya berusaha berkomunikasi dengan Pangersa Abah Anom melalui salah satu asistennya. Anak beliau memohon untuk didoakan oleh Pangersa Abah, bahwa Kiayi Effendi akan dioperasi. Jawaban dari Pangersa Abah, “Gak usah, pulang saja!”
Mendapat jawaban tersebut, ia langsung menghubungi keluarga yang ada di RS. Di RS semua keluarga bingung atas informasi tersebut, sedangkan semuanya sudah dipersiapkan dan tinggal ambil tindakan. Peralatan semua sudah dibayar dengan harga yang tidak murah. Dalam kondisi bingung itu, tiba-tiba dari ruang operasi ada suara ketukan dari tim medis, isyarat agar salah seorang keluarga masuk ke ruang operasi.
Di hadapan anaknya, Kiayi Effendi berkata, “Barusan Abah hadir! Aku tidak usah dioperasi!”
Begitulah, pada akhir hayatnya, Kiayi Effendi banyak disibakkan karamah Waly Mursyid. Dan beliau batal diambil tindakan operasi. Akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhir pada 18 Mei 2005, didampingi dua wakil talqin, KH. Nur Anom Mubarok dan KH. Wahfiudin, diiringi lantunan Sholawat Bani Hasyim.
Selama persemayaman di kediamannya, tidak henti-hentinya orang-orang berbondong-bondong datang melayat dan memberikan penghormatan terakhir. Hampir seluruh ikhwan-akhwat TQN Suryalaya di Jakarta datang silih berganti berdzikir tahlil dan khataman serta melakukan shalat Jenazah. Terakhir beliau disholatkan di masjid tidak jauh dari kediamannya. Seluruh ruangan sholat penuh sesak. Masya Allah, begitu mulianya beliau di benak ikhwan-akhwat TQN Jakarta dan warga masyarakat umum.Jenazah beliau kemudian dibawa ke kawasan Cijeruk-Bogor, untuk dimakamkan di samping pusara ibunda tercintanya.
Panah sang Busur itu kini telah kembali, dijemput oleh para malaikat Allah. Bersiap menghadapi kenikmatan-kenikmatan selanjutnya di kehidupan alam ‘Uluwi.
(Hasil wawancara dengan Umi Hj. Ida Saodah pada 21 April 2010 jam 14.00 – 15.30 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar