Kamis, 06 Februari 2014

Dzikir Obat Semua Masalah (Lanjutan)

Dzikir Obat Semua Masalah (Lanjutan)

Cannabis_sativa_radix_topviewTahap dzikir berikutnya adalah dzikir sebagai kontemplasi (murâqabah) atau kesadaran ilahiah. Jika pada makna pertama, dzikir itu masih berupa pelafadzan (talaffudz) di lisan maupun dalam qalbu, untuk memperoleh rasa (dzauq) akan keberadaan Allah, kedekatan, kebersamaan hingga kebersatuan kita dengan Dzat-Nya.
Pada makna kedua ini, dzikir telah melebur sedemikian rupa dalam diri, lahir maupun batin, dan menjadi kesadaran intelektual akan keberadaan, kehadiran dan peran Allah dalam semua hal ihwal kehidupan. Kesadaran intelektual ini terpancar dari kesadaran ruhani/spiritual akan Allah swt. Target dzikir ini adalah untuk memahami sebab, makna, tujuan dan hikmah dari setiap hal-ihwal kehidupan ini, termasuk setiap persoalan yang tengah melilit. Dari sini, akan menjadi terang hakikat setiap persoalan, serta siapa diri kita di hadapan Allah swt. Maka qalbu pun akan menjadi tenang.
اَلَابِذِكْرِاللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
Ingatlah, hanya dengan berdzikir kepada Allah qalbu akan menjadi tenang” (QS. Ar-Ra’du:28)
Untuk mengamalkan dzikir ini, selain qalbu, kita pun melibatkan akal/pikiran. Menurut Imam al-Ghazali dalam Al-Hikmah fî Makhluqâtillâh, upaya tafakkur (berpikir/merenung) untuk menggali rahasia dan hikmah kehidupan alam semesta ini demi mengenal keagungan Allah, ialah di antara jalan untuk mengokohkan keyakinan dan meraih derajat muttaqîn.
Perpaduan dzikir talaffudz dan murâqabah ini akan menggiring kita pada kesadaran penuh, bahwa kita itu bukan siapa-siapa, sekedar ciptaan Allah, yang diberi kemampuan sekedarnya untuk menghamba kepada-Nya, (Adz-Dzāriyāt:56). Menghamba tidak hanya dalam bentuk ketaatan menjalankan ibadah ritual, tapi juga memasrahkan dan menggantungkan seluruh hidup kepada-Nya. Tak ada satu kedipan mata pun yang luput dari kehendak, perencanaan dan pengaturan Allah.
Semua persoalan dan musibah itu dari Allah, berjalan di atas pengaturan Allah, dan solusinya pun adalah dari-Nya. Tugas kita selaku makhluk dan hamba hanya menjalaninya saja dengan penuh kerelaan dan keyakinan, serta berusaha menyelesaikan semampunya. Imam Al-Ghazali menasehati dalam Ayyuhā al-Walad, kita harus optimis dan berusaha sekuat kemampuan menghadapi setiap persoalan. Karena ini menjadi syarat turunnya rahmat Allah swt. Secara lahir kita memutar otak membanting tulang, secara batin kita berpasrah diri kepada-Nya.
Dzikir sebagai kesadaran juga berarti, setiap kata, sikap dan tindakan kita, menjadi ekspresi penghambaan kita kepada-Nya (diniatkan ibadah). Tak ada ruang dalam benak, tak ada jeda dalam sesaatpun, kata, sikap atau tindakan kita untuk selain Allah.
Juga berarti senantiasa sadar bahwa, hidup ini tiada lain adalah perjalanan ruhani yang panjang menuju hadirat Allah. Dunia ini hanyalah satu dan sekian alam yang harus dilewati  dalam perjalanan tersebut. Semua yang kita miliki, nikmati, rasakan saat ini di sini hanya sekedar bekal perjalanan yang akan habis atau ditinggalkan.
Demikianlah, penyebutan nama Allah dalam qalbu dan lisan harus dapat membuahkan kesadaran ilahiah semacam ini. Agar dzikir bisa menjadi penawar getirnya kehidupan. Tapi ini memang bukan perkara mudah. Maka setidaknya kita perlu melakukan dua hal: pertama, mau mencari/belajar tentang hakekat dan hikmah-hikmah kehidupan; kedua, berguru kepada orang shaleh yang memiliki kemampuan irsyâd (membimbing) serta patuh kepadanya.
Seorang guru-mursyid akan membimbing kita dalam mengamalkan dzikir, menggali hikmah-hikmahnya, dan mendayagunakan kekuatannya untuk mendekat kepada Allah. Ketika sudah dekat dengan Allah, apa lagi yang dirisaukan? Seorang guru-mursyid, Imam Al-Ghazali mengibaratkan, layaknya seorang petani. Dia merawat, menyirami dan menjaga ladangnya dari hama agar bisa memanen hasil yang baik.
Oleh.Cecep Zakarias El Bilad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar