Bahtsul Masail tentang Hukum Merokok Sejak awal abad XI
Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu, rokok dikenal dan membudaya
di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang hukum rokok
gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun
pribadi. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat
dihindari dan berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan
fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara mereka
menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian
lainnya lebih cenderung menfatwakan haram.
Kali ini dan di
negeri ini yang masih dilanda krisis ekonomi, pembicaraan hukum rokok mencuat
dan menghangat kembali. Pendapat yang bermunculan selama ini tidak jauh berbeda
dengan apa yang telah terjadi, yakni tetap menjadi kontroversi.
Kontroversi Hukum Merokok
Seandainya muncul
fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah
(pencurian), maka semua orang akan sependapat termasuk koruptor itu sendiri.
Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan
muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari
pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam tinjauan fiqh terdapat beberapa
kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak belakang.
Pada dasarnya
terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan
melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan
sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai berikut:
Al-Qur'an :
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.
البقرة: 195
Dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)
As-Sunnah :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ
ضِرَارَ. رواه ابن ماجه,
الرقم: 2331
Dari Ibnu 'Abbas ra,
ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada
diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR.
Ibnu Majah, No.2331)
Bertolak dari dua
nash di atas, ulama' sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat
adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu
membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam
hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi
rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini
merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan
berbagai argumennya.
Seandainya semua
sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi
relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian
pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka
akan sepakat pula dengan hukum haram.
Beberapa pendapat itu
serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.
Pertama ; hukum
merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat.
Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang
memabukkan.
Kedua ; hukum merokok
adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan
untuk dijadikan dasar hukum haram.
Ketiga; hukum merokok
adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat.
Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat
menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung
dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.
Tiga pendapat di atas
dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa
pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut berlaku secara
personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda
sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau
kwantitas yang dikonsumsinya. Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik
bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang 'Abdur Rahman
ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin
(hal.260) yang sepotong teksnya sebagai berikut:
لم يرد في التنباك
حديث عنه ولا أثر
عن أحد من السلف،
....... والذي يظهر أنه إن
عرض له ما يحرمه
بالنسبة لمن يضره في
عقله أو بدنه فحرام،
كما يحرم العسل على
المحرور والطين لمن يضره،
وقد يعرض له ما
يبيحه بل يصيره مسنوناً،
كما إذا استعمل للتداوي
بقول ثقة أو تجربة
نفسه بأنه دواء للعلة
التي شرب لها، كالتداوي
بالنجاسة غير صرف الخمر،
وحيث خلا عن تلك
العوارض فهو مكروه، إذ
الخلاف القوي في الحرمة
يفيد الكراهة
Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar
(ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. …
Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada
akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi
orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi
seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah
menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk
pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa
sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat
dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan
mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak
belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.
Senada dengan
sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam
Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:
إن التبغ ..... فحكم بعضهم بحله
نظرا إلى أنه ليس
مسكرا ولا من شأنه
أن يسكر ونظرا إلى
أنه ليس ضارا لكل
من يتناوله, والأصل في مثله
أن يكون حلالا ولكن
تطرأ فيه الحرمة بالنسبة
فقط لمن يضره ويتأثر
به. .... وحكم بعض أخر
بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما
عرف عنه من أنه
يحدث ضعفا فى صحة
شاربه يفقده شهوة الطعام
ويعرض أجهزته الحيوية أو
أكثرها للخلل والإضطراب.
Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena
memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah
benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap
orang yang mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi
bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak
negatifnya. Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh
karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan
menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.
Demikian pula apa
yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh
al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks,
sebagai berikut:
القهوة
والدخان: سئل صاحب العباب
الشافعي عن القهوة، فأجاب:
للوسائل حكم المقاصد فإن
قصدت للإعانة على قربة
كانت قربة أو مباح
فمباحة أو مكروه فمكروهة
أو حرام فمحرمة وأيده
بعض الحنابلة على هذا التفضيل.
وقال الشيخ مرعي بن
يوسف الحنبلي صاحب غاية
المنتهى: ويتجه حل شرب
الدخان والقهوة والأولى لكل
ذي مروءة تركهما
Masalah kopi dan
rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i ditanya mengenai kopi,
lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan
tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk
yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau
haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab
Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari
madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban
tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang
santun lebih utama meninggalkan keduanya.
Ulasan 'Illah (reason of law)
Sangat menarik bila
tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas ditelusuri lebih cermat.
Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat diurai dalam perbedaan pendapat
yang terasa semakin sengit mengenai hukum merokok. Benang ruwet dan rumit itu
adalah beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan 'illah atau alasan
hukum yang di antaranya akan diulas dalam beberapa bagian.
Pertama; sebagian
besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh.
Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa
mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran
kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar
dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak,
sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu
menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam
setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.
Kedua; berbeda dengan
pandangan sebagian besar ulama' terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang
yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi
(bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam
menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih
besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan
merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya.
Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar
itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram.
Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk
menetapkan hukum makruh.
Hal seperti ini
kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum
merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal,
ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah
setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi
haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian
ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.
Ketiga; hukum merokok
itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya
mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang mendasarinya. Dengan demikian,
pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang
dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau
makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena
mudaratnya tetapi kadarnya kecil.
Keempat; kalaulah
merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di
balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh
itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti
membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh
para perokok. Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup
besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup
besar, maka haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan,
hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena
kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.
KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar