Ziarah Kubur, Membaca ayat-ayat Al-Qur’an, Talqin
dan Tahlil untuk orang yang
telah wafat
Daftar isi Bab 5 ini diantaranya:
|
· Dalil-dalil Ziarah kubur
· Ziarah kubur bagi wanita
· Adab berziarah dan berdo’a didepan pusara Rasulallah saw.
· Dalil-dalil yang melarang ziarah
kubur dan jawabannya.
· Pembacaan Al-Qur’an di kuburan untuk orang yang telah
wafat
· Keterangan dari Ustadz Quraish Shihab
· Pahalanya membaca Al-Qur’an
· Amalan orang hidup yang bermanfaat bagi si mayyit
· Kehidupan ruh-ruh manusia yang telah wafat
· Talqin (mengajari dan memberi
pemahaman/peringatan) mayyit yang baru dimakamkan
· Tahlilan/Yasinan
· Keterangan singkat tentang Haul (peringatan tahunan)
· Dalil-dalil orang yang membantah dan jawabannya
· Pahala sedekah untuk orang yang telah wafat
· Pahala Puasa dan Sholat untuk orang yang telah wafat
· Pahala Haji untuk orang yang telah wafat
· Membangun masjid disisi kuburan
· Memberi penerangan terhadap kuburan
· Membangun kubbah diatas kuburan
|
Sebelum saya mencantumkan dalil-dalil ziarah kubur, pembacaan ayat Al-Qur’an
disana dan lain sebagainya, ingin mengupas sedikit mengenai kewajiban umat
muslim bagi saudaranya kaum muslim yang sudah wafat. Sudah tentu hampir setiap
saudara kita muslim mengetahui bahwa mayat tersebut harus dimandikan,
dishalatkan dan diantarkan sampai keliang kubur. Ini adalah merupakan fardhu
kifayah (kewajiban bila telah dilakukan oleh sebagian orang, maka gugurlah
kewajiban seluruh muslimin).
Dengan adanya keterangan-keterangan
berikut ini, Insya Allah cukup jelas bagi kita bahwa ziarah kubur, membaca ayat
suci al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan pada si mayit dan sebagainya, itu
semua menurut tuntunan syariat Islam yang benar serta diamalkan oleh para
salaf dan ulama-ulama pakar.
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori
dan Muslim dari Abu Hurairah sebagai berikut :
اَنَّ النَّبِيَّ .صَ. كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِِ
الْمُتَوَفَّّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْألُ هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِـهِ فَضْلا ؟
فَاِنْ حُدَِّث اَنَّهُ تَرَكَ
وَفَاءً صَلَّى, وَاِلاَّ قَاَل لِلْمُسْـلِمِيْنَ (صَلُّوْا عَلَى
صَاحِبِكُمْ)(رواه البخاري و مسلم)
“Bahwa seorang laki-laki yang meninggal
dalam keadaan berhutang disampaikan beritanya pada Nabi saw. Maka Nabi saw.
menanyakan apakah ia ada meninggal kan kelebihan buat membayar hutangnya. Jika
dikatakan bahwa ia ada meninggal kan harta untuk membayarnya, maka beliau
menyalatkannya. Jika tidak beliau akan memerintahkan kaum muslimin;
‘Shalatkanlah teman sejawatmu’ “.
Begitu juga masih banyak hadits yang
menyebutkan pahala-pahala orang yang menyalatkan mayat dan mengantarkannya
sampai keliang kubur.
Shalat jenazah juga mempunyai
rukun-rukun yang dapat mewujudkan hakikatnya, hingga bila salah satu rukun
tersebut tak terpenuhi, maka ia dianggap kurang sempurna oleh syara’. Jumlah
rukun-rukun tersebut menurut ahli fiqih ada delapan. Sudah tentu yang pertama
niat, takbir dan terakhir salam, sebagaimana syarat dari semua macam shalat.
Dan diantara rukun-rukun tersebut yaitu do’a untuk si mayat
tersebut.
Sebagaimana sabda Nabi saw. yang
diriwayatkan oleh Abud Daud dan Baihaqi serta disahkan oleh Ibnu Hibban sebagai
berikut :
اِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ
فَأَخْلِصُوْا لَهُ الدُّعَاء(رواه أيو داود والبيهقي وابن الحبّان وصححه)
“Jika kamu menyalatkan jenazah, maka berdo’alah untuknya dengan tulus
ikhlas”.
Disamping itu banyak juga riwayat
hadits Rasulallah saw. yang mengajarkan kita kalimat-kalimat do’a
yang diucapkan dalam shalat jenazah tersebut. Rasulallah saw. menganjurkan pada
kaum muslimin yang masih hidup untuk menyalatkan yang mana do’a itu sebagai salah satu rukun
daripadanya pada saudaranya muslim-muslimah yang
wafat. Ini membuktikan bahwa semua amalan-amalan tersebut diantaranya do’a pengampunan dan lain sebagainya sangat bermanfaat baik bagi si mayat khususnya maupun
kaum muslimin yang menyalatinya. Juga menunjukkan bahwa kita harus do’a
mendo’akan sesama kaum muslimin baik waktu masih hidup atau sudah wafat. Jadi
bukan sesat mensesatkan, kafir mengafirkan antara sesama muslimnya. Do’a itu
tidak hanya dianjurkan pada waktu shalat jenazah saja, tapi untuk setiap waktu
baik setelah shalat wajib atau dalam hidup sehari-hari, sebagaimana banyak
hadits yang mengungkapkan hal tersebut dan ayat-ayat Qur’an yang menyebutkan
do’a-do’a yang diucapkan oleh manusia untuk pribadi mereka sendiri dan untuk
muslimin lainnya.
Dalil-dalil Ziarah Kubur
Setelah kita membaca keterangan
mengenai sholat Jenazah yang semuanya berkaitan dengan orang yang telah wafat,
mari kita sekarang meneliti dalil-dalil ziarah kubur dan pembacaan Al-Qur’an
dikuburan. Ziarah kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw., sebagaimana hadits
dari Sulaiman bin Buraidah yang diterima dari bapaknya, bahwa Nabi saw bersada:
كُنْتُ نَهَيْتُكُم عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ,
فَزُورُوهَا, وَفِي
رِوَايَةٍ فَإنَّهَا تُذَكِّرُكُم..
بالآخرة
“Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, namun kini
berziarahlah kalian!. Dalam riwayat lain; ‘(Maka siapa yang ingin berziarah
kekubur, hendaknya berziarah), karena sesungguhnya (ziarah kubur) itu
mengingat- kan kalian kepada akhirat’. (HR.Muslim)
Juga ada hadits yang serupa diatas
tapi berbeda sedikit versinya dari Buraidah ra. bahwa Nabi saw. bersabda :
“Dahulu saya melarang kalian menziarahi kubur, sekarang
telah diizinkan dengan Muhammad untuk berziarah pada kubur ibunya, karena itu
berziarah lah ke perkuburan sebab hal itu dapat mengingatkan pada akhirat”. (HR.
Muslim (lht.shohih Muslim jilid 2 halaman 366 Kitab al-Jana’iz), Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i,
Ahmad).
Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Umm meriwayatkan
hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulallah saw. bersabda :
“Saya pernah melarang kamu berziarah kubur, maka
berziarahlah padanya dan jangan kamu mengatakan ucapan yang mungkar [Hajaran]”. (Tartib Musnad Imam Syafi’i, pembahasan tentang
sholat, bab ke 23 ‘Sholat jenazah dan hukum-hukumnya’ hadits nr. 603 jilid 1
hal. 217)
Dari hadits-hadits diatas jelaslah bahwa Nabi saw. pernah
melarang ziarah kubur namun lantas membolehkannya setelah turunnya pensyariatan
(lega- litas) ziarah kubur dari Allah swt Dzat Penentu hukum (Syari’
al-Muqaddas).
Larangan Rasulallah saw. pada
permulaan itu, ialah karena masih dekatnya masa mereka dengan zaman jahiliyah,
dan dalam suasana dimana mereka masih belum dapat menjauhi sepenuhnya
ucapan-ucapan kotor dan keji. Tatkala mereka telah menganut Islam dan merasa
tenteram dengannya serta mengetahui aturan-aturannya, di-izinkanlah mereka oleh
syari’at buat menziarahinya. Dan anjuran sunnah untuk berziarah itu berlaku
baik untuk lelaki maupun wanita. Karena dalam hadits ini tidak
disebutkan kekhususan hanya untuk kaum pria saja.
Dalam kitab Makrifatul as-Sunan
wal Atsar jilid 3 halaman 203 bab ziarah kubur disebutkan bahwa Imam
Syafi’i telah mengatakan: “Ziarah kubur hukumnya tidak apa-apa (boleh).
Namun sewaktu menziarahi kubur hendak- nya tidak mengatakan hal-hal yang
menyebabkan murka Allah”.
Al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak
Ala as-Shahihain jilid 1 halaman 377 menyatakan: “Ziarah kubur merupakan
sunnah yang sangat ditekankan”. Hal yang sama juga dapat kita jumpai dalam
kitab-kitab para ulama dan tokoh Ahlusunah seperti Ibnu Hazm dalam kitab
al-Mahalli jilid 5 halaman 160; Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab
Ihya’ Ulumuddin jilid 4 halaman 531; Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab al-Fikh
alal Madzahibil Arba’ah jilid 1 halaman 540 (dalam penutupan kajian ziarah
kubur) dan banyak lagi ulama Ahlusunah lainnya. Atas dasar itulah Syeikh
Manshur Ali Nashif dalam kitab at-Tajul Jami’ lil Ushul jilid 1 halaman
381 menyatakan: “Menurut mayoritas Ahlusunah dinyatakan bahwa ziarah kubur
adalah sunnah”.
Disamping itu semua, masih ada lagi
hadits Nabi saw. yang memerintahkan ziarah kubur tersebut tapi saya hanya ingin
menambahkan dua hadits lagi dengan demikian lebih jelas buat pembaca
bahwa ziarah kubur dan pemberi- an salam terhadap ahli kubur itu adalah sunnah
Rasulallah saw.
Masih ada lagi hadits Nabi saw. yang
memerintahkan ziarah kubur tersebut tapi saya hanya ingin menambahkan dua
hadits lagi dengan demikian lebih jelas buat pembaca bahwa ziarah kubur dan
pemberian salam terhadap ahli kubur itu adalah sunnah Rasulallah saw.
Hadits dari Ibnu Abbas berkata:
Ketika Rasulallah saw. melewati perkuburan di kota Madinah maka beliau
menghadapkan wajahnya pada mereka seraya mengucapkan: ‘Semoga salam
sejahtera senantiasa tercurah atas kalian wahai penghuni perkuburan ini, semoga
Allah berkenan memberi ampun bagi kami dan bagi kalian. Kalian telah mendahului
kami dan kami akan menyusul kalian’. (HR.Turmudzi)
Hadits dari Aisyah ra.berkata:
كَانَ النَّبِي .صَ. كُلَّمَا كَانَ لَيْلَتَهَا يَخْرُجُ
مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ إلَى الْبَقِيْعِ فَيَقُوْلُ:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَ ار قَوْمٍ
مُؤْمِنِينَ, وَاَتَاكُمْ مَا تُوْعَدُوْنَ غَدًا مُؤَجِّلُوْنَ,
وَاِنَّا اِنْشَا ءَ اللهُ بِكُمْ
لاَحِقُوْنَو اللهُمَّ اغْفِرْ ِلاَهْلِ بَقِيْعِ الْفَرْقَدْ (رواه المسلم)
“Adalah Nabi saw. pada tiap malam gilirannya keluar pada
tengah malam kekuburan Baqi’ lalu bersabda: ‘Selamat sejahtera padamu tempat
kaum mukminin, dan nanti pada waktu yang telah ditentukan kamu akan menemui apa
yang dijanjikan. Dan insya Allah kami akan menyusulmu dibelakang. Ya Allah
berilah ampunan bagi penduduk Baqi’ yang berbahagia ini’”. (HR. Muslim).
Ziarah kubur bagi wanita
Golongan madzhab Wahabi/Salafi (pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab) dan pengikutnya melarang wanita ziarah kubur berpegang
kepada kalimat hadits yang diriwayatkan dikitab-kitab as-Sunan –kecuali Bukhori
dan Muslim– yaitu “Allah melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi
kubur” (Lihat kitab Mushannaf Abdur Razzaq jilid 3 halaman 569).
Sebenarnya hadits ini telah dihapus (mansukh) dengan riwayat-riwayat tentang ‘Aisyah ra.
menziarahi kuburan saudaranya yang diungkapkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab
Sunan al-Kubra, Abdurrazaq dalam kitab Mushannaf, al-Hakim an-Naisaburi dalam
kitab Mustadrak Alas Shahihain dan hadits riwayat Imam Muslim (lihat catatan
pada halaman selanjutnya ).
Riwayat-riwayat itu, nampak sekali pertentangan antara dua
bentuk riwayat dimana satu menyatakan bahwa perempuan akan dilaknat jika
melakukan ziarah kubur namun yang satunya lagi menyatakan bahwa Rasulallah saw.
telah memerintahkan umatnya untuk menziarahi kubur, yang mana perintah ini
mencakup lelaki dan perempuan.
Jika kita teliti lebih detail lagi, ternyata sanad hadits
diatas “Allah melaknat perempuan-perempuan yang menziarahi kubur” melalui tiga
jalur utama: Hasan bin Tsabit, Ibnu Abbas dan Abu Hurairah [ra].
Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibnu Majah jilid 1 halaman 502
menukil hadits tersebut melalui ketiga jalur diatas.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal
jilid 3 menukil hadits tersebut melalui dua jalur saja yaitu Hasan bin Tsabit
(Lihat jilid 3 halaman 442) dan Abu Hurairah (Lihat jilid 3 halaman 337/356).
At-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 2 halaman
370 hanya menukil dari satu jalur yaitu Abu Hurairah saja.
Abu Dawud dalam kitab Sunan Abu Dawud jilid 3 halaman 317
hanya menukil melalui satu jalur yaitu Ibnu Abbas saja.
Sedangkan Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan hadits itu
sama sekali. Begitu juga tidak ada kesepakatan di antara para penulis kitab
as-Sunan dalam menukil hadits tersebut jika dilihat dari sisi jalur sanad
haditsnya. Ibnu Majah, Imam Ahmad bin Hanbal dan Turmudzi sepakat meriwayatkan
melalui jalur Abu Hurairah. Sedang dari jalur Hasan bin Tsabit hanya dinukil
oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad saja dan jalur Ibnu Abbas dinukil oleh Abu Dawud
dan Ibnu Majah.
Dari jalur pertama yang berakhir pada Hassan bin Tsabit
–yang dinukil oleh Ibnu Majah dan Imam Ahmad– terdapat pribadi yang bernama
Abdullah bin Utsman bin Khatsim. Semua hadits yang diriwayatkan olehnya
dihukumi tidak kuat. Hal itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Daruqi dari
Ibnu Mu’in. Ibnu Abi Hatim sewaktu berbicara tentang Abdullah bin Utsman tadi menyatakan
bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Utsman tidak dapat dijadikan
dalil. An-Nasa’i dalam menjelaskan kepribadian Ibnu Usman tadi mengatakan: “Ia
sangat mudah meriwayatkan (menganggap remeh periwayatan .red) hadits” (Lihat
kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 459). Dan melalui jalur tersebut juga
terdapat pribadi seperti Abdurrahman bin Bahman. Tidak ada yang meriwayatkan
hadits darinya selain Ibnu Khatsim. Ibnu al-Madyani mengatakan: “Aku tidak
mengenal pribadinya” (Lihat kitab Mizan al-I’tidal jilid 2 halaman 551).
Dari jalur kedua yang berakhir pada Ibnu Abbas ra terdapat
pribadi seperti Abu Shaleh yang aslinya bernama Badzan.
Abu Hatim berkata tentang dia: “Hadits-hadits dia tidak
dapat dipakai sebagai dalil”. An-Nasa’i menyatakan: “Dia bukanlah orang yang
dapat dipercaya”. Ibnu ‘Adi mengatakan: “Tak seorang pun dari para pendahulu
yang tak kuketahui dimana mereka tidak menunjukkan kerelaannya (ridho) terhadap
pribadinya (Badzan)” (Lihat kitab Tahdzib al-Kamal jilid 4 halaman 6).
Dari jalur ketiga yang berakhir pada Abu Hurairah ra
terdapat pribadi seperti Umar bin Abi Salmah yang an-Nasa’i mengatakan tentang
dirinya: “Dia tidak kuat (dalam periwayatan .red)”. Ibnu Khuzaimah mengatakan:
“Haditsnya tidak dapat dijadikan dalil”. Ibnu Mu’in mengatakan: “Dia orang yang
lemah”. Sedangkan Abu Hatim menyatakan: “Haditsnya tidak dapat dijadikan dalil”
(Lihat kitab Siar A’lam an-Nubala’ jilid 6 halaman 133).
Mungkin karena sanad haditsnya tidak sehat inilah akhirnya
Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan hadits tadi. Bukankah dua karya
besar itu memiliki gelar shahih sehingga terhindar dari hadits-hadits yang
tidak jelas sanadnya? Melihat hal-hal tadi maka hadits pelarangan ziarah kubur
buat perempuan di atas tadi tidak dapat dijadikan dalil pengharaman.
Salah seorang ulama madzhab Wahabi/Salafi yang bernama
Nashiruddin al-Albani ahli hadits Wahabi pernah menyatakan tentang hadits pelaknatan penziarah
wanita tadi dengan ungkapan berikut ini :
“Di antara sekian banyak hadits tidak kutemui hadits-hadits
yang menguat- kan hadits tadi. Sebagaimana tidak kutemui hadits-hadits lain
yang dapat memberi kesaksian atas hal tersebut. Hadits ini adalah penggalan
dari hadits: “Laknat Allah atas perempuan-perempuan yang menziarahi kubur dan
orang-orang yang menjadikannya (kuburan) sebagai masjid dan tempat yang terang
benderang” yang disifati sebagai hadits lemah (Dza’if). Walau pun sebagian
saudara-saudara dari pengikut Salaf (baca:
Wahabi) suka menggunakan hadits ini sebagai dalil. Namun saya nasehatkan kepada
mereka agar tidak menyandarkan hadits tersebut kepada Nabi. Karena
hadits itu adalah hadits yang lemah” (Lihat kitab Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah wa Atsaruha as-Salbi fil
Ummah halaman 260).
Tetapi sayangnya sampai sekarang bisa kita lihat dan alami
kaum wanita pelaksana haji di Makkah dan Madinah, masih tetap
dilarang oleh ulama Madzhab Wahabi untuk berziarah di kuburan Baqi’ (Madinah)
dan di Ma’la (di Makkah) untuk menziarahi makam para keluarga dan sahabat
Rasulallah saw.. Mereka menvonis saudara-saudara mereka sesama muslim dengan
sebutan penghamba Kubur (Quburiyuun),
bahkan mereka berkepala keras menyatakan bahwa ziarah kubur bagi perempuan
adalah haram menurut ajaran Rasulallah saw dan para Salaf Sholeh ? (Dikutip
dari website Salafy, 13 Feb 2007 ) .
Menurut ahli fiqh, adanya hadits
yang melarang wanita ziarah kubur, ini karena umumnya sifat wanita itu ialah
lemah, sedikitnya kesabaran sehingga mengakibatkan jeritan tangis yang
meraung-raung (An-Niyahah) menampar pipinya sendiri dan perbuatan-perbuatan jahiliyah
dikuburan itu yang mana ini semua tidak dibenarkan oleh agama Islam. Begitu
juga sifat wanita senang berhias atau mempersolek dirinya sedemikian rupa atau
tidak mengenakan hijab sehingga dikuatirkan –dengan campur baurnya antara
lelaki dan wanita– mereka ini tidak bisa menjaga dirinya dikuburan itu sehingga
menggairahkan para ziarah kaum lelaki.
Hal tersebut dipertegas dalam kitab
I’anatut Thalibin jilid 2/142. Begitupun juga Al-Hafidz Ibnu Arabi (435-543H),
pensyarah hadits Turmudzi dalam mengomentari masalah ini berkata :
‘Yang benar adalah bahwa Nabi saw. membolehkan
ziarah kubur untuk laki-laki dan wanita. Jika ada sebagian orang menganggapnya makruh
bagi kaum wanita, maka hal itu dikarenakan lemahnya kemampuan wanita itu untuk
bersikap tabah dan sabar sewaktu berada diatas pekuburan atau dikarenakan
penampilannya yang tidak mengenakan hijab (menutup auratnya) dengan sempurna .’
Kalimat semacam diatas juga dinyatakan dalam kitab at-Taajul
Jami’ lil Ushul jilid 2 halaman 381, atau kitab Mirqotul Mafatih karya Mula Ali
Qori jilid 4 halaman 248.
Rasulallah saw. membolehkan dan bahkan menekankan kepada
umatnya untuk menziarahi kubur, hal itu berarti mencakup kaum perempuan juga.
Walau dalam hadits tadi Rasulallah saw. menggunakan kata ganti (Dhamir) lelaki, namun hal itu tidak lain dikarenakan
hukum kebanyakan (Taghlib) pelaku ziarah tersebut adalah dari kaum
lelaki. Ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Mula Ali Qori dalam kitab
Mirqotul Mafatih jilid 4 halaman 248 dan at-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih
jilid 3 halaman 372 hadits ke-1056.
Kalaupun kita harus berbicara tentang jumlah obyek yang
diajak bicara (mukhatab), terbukti dalam tata
bahasa Arab walau ada seribu perempuan dan lelaki hanya segelintir saja
jumlahnya maka kata ganti yang dipakai untuk berbicara kepada semua –yang
sesuai dengan tata bahasa yang baik dan benar– yang hadir tadi adalah
menggunakan kata ganti lelaki. Dan masih banyak ulama Ahlusunah lain yang
menyatakan pembolehan ziarah kubur oleh kaum perempuan.
Jadi kesimpulannya ialah ziarah
kubur itu tidak dianjurkan untuk wanita bila para wanita diwaktu
berziarah melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama atau dimakruhkan
seperti yang tersebut diatas, tapi kalau semuanya ini bisa dijaga dengan baik,
maka tidak ada halangan bagi wanita tersebut untuk berziarah kubur seperti
halnya kaum lelaki. Dengan demikian bukan ziarah kuburnya yang dilarang, tetapi
kelakuan wanita yang berziarah itulah yang harus diperhatikan.
Mari kita lanjutkan dalil-dalil
mengenai ziarah kubur bagi wanita:
Imam Malik, sebagian golongan
Hanafi, berita dari Imam Ahmad dan kebanyakan ulama memberi keringanan bagi
wanita untuk ziarah kubur. Mereka berdasarkan sabda Nabi saw. terhadap Aisyah
ra. yang diriyatkan oleh Imam Muslim. Beliau saw. didatangi malaikat Jibril as.
dan disuruh menyampaikan kepada Aisyah ra.sebagai berikut :
إنَّ رَبَّك بِأمْرِك أنْ تَـأتِيَ
أهْلَ البَقِيْع وَتَسْتَغْفِرِلَهُمْ
“Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu
untuk menziarahi para penghuni perkuburan Baqi’ untuk engkau mintakan ampun
bagi mereka”
Kata Aisyah ra; Wahai Rasulallah,
Apa yang harus aku ucapkan bila berziarah pada mereka? Sabda beliau saw.
:
قُوْلِيْ: السَّـلاَمُ عَلََى أهْـلِ
الدِّيَـارِ مِنَ المُؤْمِنـِيْنَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ الله
المُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالمُسْتَأخِرِيْنَ, وَإنَّا إنْشَاءَ الله بِكُمْ
لآحِقُوْنَ
‘Ucapkanlah; salam atasmu wahai
penduduk kampung, dari golongan mukminin dan muslimin. Semoga Allah melimpahkan
rahmat-Nya pada kita bersama, baik yang telah terdahulu maupun yang
terbelakang, dan insya Allah kami akan menyusul kemudian’ “.
Untuk lebih jelasnya hadits yang dimaksud
diatas adalah bahwasanya Nabi saw. bersabda pada Aisyah ra :
“Jibril telah datang padaku seraya
berkata: ‘Sesungguhnya Tuhanmu menyuruhmu untuk menziarahi para penghuni
perkuburan Baqi’ untuk engkau mintakan ampun bagi mereka.’ Kata Aisyah; ‘Wahai Rasulallah, apa
yang harus aku ucapkan bagi mereka? Sabda beliau saw: ‘Ucapkanlah:
Semoga salam sejahtera senantiasa tercurah bagi para penduduk perkuburan ini
dari orang-orang beriman dan orang-orang Islam, semoga Allah merahmati
orang-orang kami yang terdahulu maupun yang terkemudian, insya Allah kamipun
akan menyusul kalian’ “. (HR.Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan:
‘Semoga salam sejahtera
senantiasa tercurahkan bagi para penghuni perkuburan dari orang-orang beriman
dan Islam, dan kamipun insya-Allah akan menyusul kalian, kami berharap semoga
Allah berkenan memberi keselamatan bagi kami dan kalian’.
Juga riwayat dari Abdullah bin Abi
Mulaikah, bahwa pada suatu hari Aisyah datang dari pekuburan, maka dia bertanya
:
“Ya Ummul Mukminin, darimana anda?
Ujarnya: Dari makam, saudaraku Abdurrahman. Lalu saya tanyakan pula: Bukankah
Nabi saw. telah melarang ziarah kubur? Benar, ujarnya, mula-mula Nabi melarang
ziarah kubur, kemudian menyuruh menziarahinya”. ( Adz-Dzahabi dalam kitab Sunan al-Kubra jilid 4 halaman
131, Abdur Razaq dalam kitab Mushannaf Abdurazaq jilid 3 halaman 572/574
dan dalam kitab Mustadrak alas Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi
jilid 1 halaman 532 hadits ke-1392). adz-Dzahabi telah menyatakan kesahihannya
sebagaimana yang telah tercantum dalam catatan kaki yang ia tulis dalam
kitab Mustadrak karya al-Hakim an-Naisaburi tersebut. (Lihat: Mustadrak
al-Hakim an-Naisaburi Jil:1 Hal: 374)
Dalam
kitab-kitab itu juga diriwayatkan bahwa Siti Fathimah Az-Zahrah ra, puteri
tercinta Rasulullah saw. hampir setiap minggu dua atau tiga kali menziarahi
para syuhada perang Uhud, khususnya paman beliau Sayyidina Hamzah ra.
Aisyah ra. melakukan penziarahan tersebut berarti apa yang
dilakukan Aisyah adalah sebaik-baik dalil dalam mengungkap hakekat hukum pen-
ziarah kubur dari kalangan perempuan. Hal itu dikarenakan selain Aisyah sebagai
istri Rasulallah saw. yang bergelar ummul mukminin (ibu kaum mukmin) sekaligus
sebagai Salaf Sholeh. Karena Salaf Sholeh tidak hanya dikhususkan buat sahabat
dari kaum lelaki saja, namun mencakup kaum perempuan juga (shahabiyah).
Hadits dari Anas bin Malik berkata:
“Pada suatu hari Rasulallah saw. berjalan melalui seorang wanita yang sedang
menangis diatas kuburan. Maka Nabi saw. bersabda: ‘Bertaqwalah kepada
Allah dan sabarlah’. Dijawab oleh wanita itu: ‘Tinggalkanlah aku
dengan musibah yang sedang menimpaku dan tidak menimpamu !’ Wanita itu tidak
tahu kepada siapakah dia berbicara. Ketika dia diberitahu, bahwa orang yang
berkata padanya itu adalah Nabi saw., maka ia segera datang ke rumah Nabi saw.
yang kebetulan pada waktu itu tidak dijaga oleh seorangpun. Kata wanita itu:
‘Sesungguhnya saya tadi tidak mengetahui bahwa yang berbicara adalah engkau
ya Rasulallah. Sabda beliau saw.: “Sesungguhnya kesabaran itu hanyalah pada
pukulan yang pertama dari datangnya musibah’. (HR Bukhori dan Muslim)
Lihat hadits terakhir diatas ini,
Rasulallah saw. melihat wanita tersebut dipekuburan dan tidak melarangnya
untuk berziarah, hanya dianjurkan agar sabar menerima atas kewafatan anaknya
(yang diziarahi tersebut).
Muhibbuddin at-Thabari pun dalam
kitabnya yang berjudul ar-Riyadh an-Nadhirah jilid 2 halaman 330
menyebutkan bahwa: “ Suatu saat, ketika Umar bin Khatab (Khalifah kedua ) ra.
bersama beberapa sahabatnya pergi untuk melaksanakan ibadah haji di tengah jalan
ia berjumpa dengan seorang tua yang meminta tolong kepadanya. Sepulang dari
haji kembali ia melewati tempat dimana orang tua itu tinggal dan menanyakan
keadaan orang tua tadi. Penduduk daerah itu mengatakan: ‘Ia telah meninggal
dunia’. Perawi berkata: Kulihat Umar bergegas menuju kuburan orang tua itu
dan di sana ia melakukan shalat. Kemudian dipeluknya kuburan itu sambil
menangis”.
Nah, insya Allah keterangan diatas
itu jelas bahwa ziarah kubur itu sunnah dan berlaku bagi lelaki maupun wanita.
Yang lebih heran lagi kami pernah mendengar dari saudara muslim bahwa ada orang
yang pergi ke tanah suci untuk menunaikan Haji atau Umrah tapi tidak mau ziarah
pada junjungan kita Rasulallah saw., karena hal ini dianggap bid’ah.
Mungkin saudara-saudara kita itu mendapat kesalahan informasi tentang ziarah
kubur. Kita telah membaca keterangan diatas banyak hadits shohih Rasulallah
saw. yang menganjurkan kaum muslimin untuk berziarah, memberi salam dan berdo’a
untuk si mayit pada waktu sholat jenazah dan berziarah tersebut, dengan tujuan
agar kita lebih mengingat pada Allah swt. dan akhirat.
Dengan adanya hadits-hadits dan
wejangan para ulama pakar diatas itu menunjukkan bahwa ziarah kubur adalah sunnah
Rasulallah saw. Kalau kita disunnahkan ziarah kubur pada kaum muslimin,
bagaimana kita bisa melupa kan ziarah kubur makhluk Ilahi yang paling mulya dan
taqwa Rasulallah saw. Tanpa beliau kita tidak mengetahui syariat-syariat Islam,
juga dengan berdiri dimuka makam beliau saw. kita akan lebih konsentrasi untuk
ingat pada Allah dan Rasul-Nya !.
Adab berziarah dan berdo’a di depan makam Rasulallah saw.
Sebagaimana yang telah kami singgung diatas bahwa adab
berziarah kekuburan orang muslimin yang diajarkan oleh Rasulallah sw. yaitu
meng- hadapkan wajahnya kekuburan itu kemudian memberi salam dan berdo’a..
Tetapi golongan Wahabi/Salafi yang menjaga disekitar makam Rasulallah saw. sering membentak orang-orang yang
sedang berziarah agar waktu berdo’a supaya menghadap ke kiblat.
Para ulama mengatakan, bahwa diperbolehkan bagi orang yang
berziarah kemakam Rasulallah saw., berdiri mengucapkan do’a mohon kepada Allah
swt. agar dikarunia kebajikan dan kebaikan apa saja yang diinginkan dan tidak
harus menghadap kearah kiblat (Ka’bah). Berdiri seperti ini bukan bid’ah,
bukan perbuatan sesat dan bukan pula perbuatan syirik. Para ulama telah menfatwakan
masalah itu bahkan ada diantara mereka yang memandangnya mustahab/baik.
Masalah tersebut pada mulanya berasal dari peristiwa yang
dialami oleh Imam Malik bin Anas ra., yaitu ketika beliau mendapat tegoran dari
Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur di dalam masjid Nabawi di Madinah. Ketika itu
Imam Malik menjawab: “Ya Amirul-Mu’minin, janganlah anda bersuara keras didalam
masjid ini, karena Allah swt. telah mengajarkan tatakrama kepada ummat ini
dengan firman-Nya: ‘Janganlah kalian memperkeras suara kalian (dalam
berbicara) melebihi suara Nabi….dan seterusnya’ (QS.Al-Hujurat:2). Allah
swt. juga memuji sejumlah orang dengan firman-Nya : ‘Sesungguhnya mereka
yang melirihkan suaranya dihadapan Rasulallah…dan seterusnya’ (QS.Al-Hujurat:3).
Begitu juga Allah swt. mencela sejumlah orang dengan firman-Nya : ‘Sesungguhnya
orang-orang yang memanggil-manggilmu dari luar kamar…dan seterusnya’.
(QS.Al-Hujurat :4).
Rasulallah saw. adalah tetap mulia, baik selagi beliau masih
hidup maupun setelah wafat. Mendengar jawaban itu Abu Ja’far terdiam, tetapi
kemudian bertanya: ‘Hai Abu ‘Abdullah (nama panggilan Imam Malik), apakah aku
harus berdo’a sambil menghadap Kiblat, atau menghadap (pusara) Rasulallah
saw.?’. Imam Malik menjawab: ‘ Mengapa anda memalingkan muka dari beliau saw.,
padahal beliau saw. adalah wasilah anda dan wasilah Bapak anda, Adam as.,
kepada Allah swt. pada hari kiamat kelak ?. Hadapkanlah wajah anda kepada
beliau saw. dan mohonlah syafa’at beliau, beliau pasti akan memberi syafa’at
kepada anda di sisi Allah swt. Allah telah berfirman: ‘Sesungguhnya jikalau
mereka ketika berbuata dhalim terhadap dirinya sendiri (lalu segera)
datang menghadapmu (Muhammad saw.)…dan seterusnya’ (QS. An-Nisa:64)
“ . (Kisah ini diriwayatkan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dengan isnadnya yang terdapat
didalam kitabnya Al-Ma’ruf Bisy-Syifa Fit-Ta’rif pada bab Ziarah.)
Banyak ulama yang menyebut peristiwa/riwayat diatas ini.
Ibnu Taimiyyah sendiri menuturkan apa yang pernah
diriwayatkan oleh Ibnu Wahb mengenai Imam Malik bin Anas. “Tiap saat ia (Imam
Malik) mengucapkan salam kepada Nabi saw., ia berdiri dan menghadapkan wajahnya
ke arah pusara Nabi saw., tidak kearah kiblat. Ia mendekat, mengucapkan
salam dan berdo’a, tetapi tidak menyentuh pusara dengan tangannya” (dari
Iqtidha-us Shiratul-Mustaqim halaman 397).
(Mengenai riwayat menyentuh pusara silahkan baca bab Tawassul/Tabarruk
di buku ini—pen).
Imam Nawawi didalam kitabnya yang berjudul Al-Idhah Fi
Babiz-Ziyarah mengetengahkan juga kisah itu. Demikian juga didalam Al-Majmu
jilid VIII halalam 272.
Al-Khufajiy didalam Syarhusy-Syifa menyebut, bahwa
As-Sabkiy mengata- kan sebagai berikut: “ Sahabat-sahabat kami menyatakan,
adalah mustahab jika orang pada saat datang berziarah ke pusara Rasulallah saw.
menghadapkan wajah kepadanya (Rasulallah saw) dan membelakangi Kiblat,
kemudian mengucapkan salam kepada beliau saw., beserta keluarganya (ahlu-bait
beliau saw.) dan para sahabatnya, lalu mendatangi pusara dua orang sahabat
beliau saw. (Khalifah Abubakar dan Umar –radhiyallhu ‘anhuma). Setelah itu lalu
kembali ketempat semula dan berdiri sambil berdo’a “. (Syarhusy-Syifa jilid III
halaman 398).
Lihat pula Mafahim Yajibu An Tushahhah, oleh
As-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki Al-Hasani, seorang ulama di Tanah Suci,
Makkah.
Dengan demikian tidak ada ulama yang mengatakan cara
berziarah yang tersebut diatas adalah haram, bid’ah, sesat dan lain sebagainya,
kecuali golongan Wahabi dan pengikutnya.
Dalil-dalil yang melarang ziarah kubur
dan jawabannya.
Golongan yang melarang ziarah kubur menukil dalil-dalil
sebagai berikut :
Fatwa Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj as-Sunah jilid
2 halaman 441 menyatakan: “Semua hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan
menziarahi kuburnya merupakan hadits yang lemah (Dzaif),
bahkan dibikin-bikin (Ja’li) ”.
Dan dalam kitab yang berjudul at-Tawassul wal Wasilah
halaman 156 kembali Ibnu Taimiyah mengatakan: “Semua hadits yang berkaitan
dengan ziarah kubur Nabi adalah hadits lemah, bahkan hadits bohong”. Ungkapan
Ibnu Taimiyah ini diikuti secara fanatik oleh semua ulama Wahabi, termasuk
Abdul Aziz bin Baz dalam kitab kumpulan fatwanya yang berjudul Majmuatul
Fatawa bin Baz jilid: 2 halaman 754, dan banyak lagi ulama-ulama Wahabi
lainnya.
Disamping dalil diatas mereka juga berdalih dengan beberapa
ayat al-Qur’an dan hadits yang sama sekali tidak bisa diterapkan kepada
kaum muslimin. Dalil mereka yang disandarkan pada ayat 84 dari surat at-Taubah,
dimana Allah swt berfirman: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan
(jenazah) seorang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo’akan)
di kuburnya”.
Kaum pengikut Wahabi menganggap bahwa ayat itu membuktikan
akan pelarangan ziarah kubur secara mutlak. Padahal, mayoritas
ulama Ahlusunah yang menafsirkan ayat tadi dengan tegas menyatakan bahwa
ayat itu berkaitan dengan kuburan kaum munafik, bukan kaum
muslim, apalagi kaum mukmin. Jadi ayat tersebut tidak berlaku jika penghuni
kubur itu adalah seorang muslim dan mukmin sejati, apalagi jika penghuni kubur
tadi tergolong kekasih (Wali) Allah swt..
Al-Baidhawi
dalam kitab Anwarut Tanzil jilid 1 halaman 416 dan al-Alusi dalam
kitab Ruhul Ma’ani jilid 10 halaman 155 dalam menafsirkan ayat tadi
menyatakan bahwa ayat itu diturunkan untuk penghuni kubur yang tergolong kaum
munafik dan kafir.
Bagaimana mungkin kelompok Wahabi memutlakkannya yang
berarti mencakup segenap kaum muslimin secara keseluruhan, termasuk mencakup
kuburan wali Allah? Apakah kaum Wahabi telah menganggap bahwa segenap kaum
muslimin dihukumi sama dengan kaum kafir dan munafik? Apakah hanya yang
meyakini akidah Wahabi yang dianggap muslim dan monoteis (Muwahhid) sejati? Pikiran semacam itu adalah pikiran
yang dangkal sekali.
Kita ingin bertanya lagi pada golongan pengingkar itu; “Bagaimana
dengan argumentasi hadits-hadits diatas dan hadits-hadits lainnya yang tercantum
dalam kitab-kitab standart dan karya para ulama terkemuka Ahlusunah wal
Jama’ah? Dalam kitab-kitab hadits disebutkan bahwa Nabi saw. bukan hanya tidak
melarang umatnya untuk menziarahi kubur, bahkan beliau menganjurkan hal
tersebut, guna mengingat kematian dan akherat! Hal itu dikarenakan dengan
ziarah kubur manusia akan mengingat akhirat. Dan dengan itu akan meniscayakan
manusia beriman untuk semakin ingat dengan Tuhannya. Malah beliau saw.
mengajarkan kepada kita bagaimana adab atau cara berziarah!! Begitu juga
beberapa fatwa para Imam madzhab fikih Ahlusunah wal Jama’ah yang membuktikan
bahwa ziarah kubur diperbolehkan.
Apakah Ibnu Taimiyyah dan golongan Wahabi serta pengikutnya
akan meragukan keshahihan Sahih Muslim dan para perawi lainnya yang tersebut
diatas, sehingga mereka mengatakan bahwa legalitas hadits ziarah kubur
merupakan kebohongan? Jika menziarahi kuburan muslim
biasa saja diper- bolehkan secara syariat lantas apa alasan mereka mengatakan
bahwa menziarahi kubur manusia agung seperti Muhammad Rasulullah saw. yang
merupakan kekasih sejati Allah pun adalah kebohongan?
Beranikah golongan pengingkar itu menvonis Umar bin Khatab
ra. yang shalat dan menangis di depan kuburan orang tua itu sebagai seorang
yang musyrik? Beranikah mereka mengatakan bahwa ummul mukminin Aisyah ra. dan
Umar bin Khattab ra. telah melakukan hal yang tanpa dalil (bid’ah)? Beranikah golongan pengingkar ini mengatakan
bahwa shalat, berdo’a dan tangisan Umar bin Khatab di sisi kuburan orang tua
tadi merupakan perbuatan Syirik? Mungkinkah khalifah kedua dan ummul mukiminin
Aisyah melakukan syirik, perbuatan yang paling dibenci oleh Allah?
Bukankah mereka berdua adalah tokoh dari Salaf Sholeh yang
konon ajaran- nya akan dihidupkan kembali oleh pengikut Wahabi, lantas mengapa
mereka ini berfatwa tidak sesuai dengan ajaran mereka berdua, dan tidak sesuai
dengan ajaran Rasulallah saw.?
Jika benar bahwa kelompok Wahabi memiliki misi untuk
menghidupkan kembali ajaran Salaf Sholeh maka hendaknya mereka membolehkan
berziarah kubur, melaksanakan shalat di sisi kuburan dan atau menangis di
samping kubur sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab (khalifah kedua)!
Ada lagi dari golongan pengingkar yang melarang
ziarah kemakam Nabi saw. dengan alasan hadits berikut ini: “Jangan susah-payah
bepergian jauh kecuali ke tiga buah masjid; Al-Masjidul-Haram, masjidku
ini (di Madinah) dan Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina)”.
Sebenarnya hadits diatas ini berkaitan
dengan masalah sembahyang jadi bukan masalah ziarah kubur. Yang
dimaksud hadits tersebut ialah ‘jangan bersusah-payah bepergian jauh hanya
karena ingin bersembahyang di masjid lain, kecuali tiga masjid yang disebutkan
dalam hadits itu’. Karena sembahyang disemua masjid itu sama pahalanya kecuali
tiga masjid tersebut. Makna ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal yaitu Rasulallah saw. pernah bersabda:
“Orang tidak perlu bepergian jauh
dengan niat mendatangi masjid karena ingin menunaikan sholat didalamnya,
kecuali Al-Masjidul-Haram(di Makkah), Al-Masjidul- Aqsha (di Palestina) dan
masjidku (di Madinah)” Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa
hadits ini terkenal luas (masyhur) dan baik.
Hadits yang semakna diatas tapi sedikit
perbedaan kalimatnya yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra. dan dipandang sebagai
hadits baik dan masyhur oleh Imam Al-Hafidz Al-Haitsami yaitu :
“Orang tidak perlu berniat hendak
bepergian jauh mendatangi sebuah masjid karena ingin menunaikan sholat didalamnya
kecuali Al-Masjidul-Haram, Al-Masjidul-Aqsha (di Palestina) dan masjidku ini (di
Madinah)” . (Majma’uz-Zawa’id jilid 4/3). Dan beredar banyak hadits yang
semakna tapi berbeda versinya.
Dengan demikian hadits-hadits diatas ini semuanya berkaitan
dengan sholat bukan sebagai larangan untuk berziarah kubur kepada
Rasulallah saw. dan kaum muslimin lainnya!
Ada lagi pikiran yang aneh dari golongan pengingkar yang
mengatakan bahwa ziarah kubur dilarang pada masa awal perkembangan Islam karena
masalah ini memang akan bisa menjatuhkan orang dalam bahaya kesyirikan dan
kondisi keimanan seseorang. Jadi sebagai tindakan hati-hati
sangatlah wajar jika kita kaum muslimin untuk tidak melakukan ziarah
kubur.
Lebih lanjut kata mereka; Sering
terjadi kekeliruan waktu Ziarah Kubur umpamanya: Mengkhususkan waktu-waktu
tertentu untuk berziarah (bulan Sya’ban, idul Fithri dll), berdo’a kepada
penghuni kubur, menyembelih binatang di sisi kuburan yang ditujukan
kepada si mayit, sujud, membungkuk ke arah kuburan, kemudian mencium dan
mengusapnya, shalat di atas kuburan. Ini semua tidak diperbolehkan kecuali
shalat jenazah dan Nabi saw. bersabda, (Janganlah kalian sholat di atas kubur),
menaburkan bunga-bunga dan pelepah pepohonan di atas pusara kubur. Adapun apa
yang dilakukan Nabi saw. ketika meletakkan pelepah kurma di atas kubur adalah
kekhususan untuk beliau dan berkaitan dengan perkara ghaib, karena Allah
memperlihatkan keadaan penghuni kubur yang sedang disiksa, mempunyai
persangkaan bahwa berdo’a di kubur itu lebih terkabulkan sehingga harus memilih
tempat tersebut, memakai sandal ketika memasuki pekuburan, duduk di atas kubur
dan lain sebagainya.
Jawabannya:
Pemikiran-pemikiran seperti diatas dari golongan pengingkar
sebagai alasan untuk mengharamkan ziarah kubur adalah tidak berdasarkan
dalil dari Sunnah Rasulallah saw., tidak lain berdasarkan pikiran dan logika
mereka sendiri. Begitu juga
bila pemikiran diatas dijadikan alasan untuk melarang ziarah kubur
maka hal itu akan berbenturan dengan hadits-hadits shohih Rasulallah saw. yang membolehkan
dan menganjurkan ziarah kubur, memberi salam dan berdo’a untuk dimuka makam
ahli kubur, dan lain sebagainya (baca keterangan diatas dan selanjutnya pada
bab ziarah kubur ini dan lihat juga bab tawassul/tabarruk dll. dibuku ini).
Hadits Nabi saw. tadi ‘Dahulu saya melarang ziarah
kubur, namun kini
berziarahlah….’. jelas sekali bagi orang yang mau berpikir hukum yang lama yaitu ‘larangan
ziarah kubur’ akan terhapus/mansukh dengan hukum yang baru yaitu ‘diperbolehkannya’
ziarah tersebut. Mengapa golongan pengingkar ini selalu takut-takut sendiri
orang jatuh kedalam kesyirikan bila berziarah kekuburan ?Sedangkan manusia yang
paling taqwa dan mulia disisi Allah swt. Muhammad Rasulallah saw. telah
menganjurkannya!!
Apakah beliau saw. akan menganjurkan
sesuatu amalan yang berbau kesyirikan atau kemungkaran atau mengakibatkan
kesyirikan ? Apakah para sahabat Nabi saw. yang mulia dan tokoh dari para Salaf
Sholeh serta para ulama pakar yang berziarah kemakam Rasulallah saw., kemakam
para sholihin serta bertawassul dan bertabarruk (baca bab tawassul/tabarruk
dibuku ini) kepada mereka tidak mengerti hukum syari’at Islam ?, dan hanya
ulama dari pengikut madzhab Wahabi saja yang memahaminya ?
Waktu-waktu tertentu untuk berziarah: Rasulallah saw. tidak pernah
mewajib kan maupun melarang waktu-waktu tertentu untuk berziarah kubur,
orang boleh berziarah pada waktu apapun baik itu malam, pagi, siang hari dan
pada bulan Sya’ban, Idul Fihtri dan lain sebagainya. Dimana dalilnya bahwa
Rasulallah saw. melarang ziarah kubur pada waktu-waktu tertentu? Kenapa justru
golongan pengingkar ini yang melarangnya?
Dalam syari’at Islam telah
menyatakan adanya bulan, hari yang mulia umpama bulan-bulan Hurum/suci
(Muharram, Dzul-Kiddah, Dzul-Hijjah, Rajab) begitu juga bulan Sya’ban,
Ramadhan, hari Kamis, Jum’at dan lain sebagainya (mengenai hal ini silahkan
baca keterangan pada bab nishfu Sya’ban, majlis dzikir dan lainnya pada halaman
lain dibuku ini atau dikitab-kitab ulama ahli fiqih). Pada bulan dan hari itu
Allah swt. lebih meluaskan Rahmat dan Ampunan-Nya kepada makhluk yang berdo’a, beramal
sholeh dan mengharapkan Rahmat dan Ampunan Ilahi.
Disamping bulan-bulan atau hari-hari
biasa kaum muslimin berziarah ke pekuburan, mereka juga lebih memanfaatkannya
pada bulan dan hari yang mulia untuk beramal sholeh diantaranya berziarah
kekuburan kerabatnya atau para sholihin. Jadi tidak ada diantara kaum muslimin
yang berfirasat hanya (khusus) pada bulan atau hari tertentu orang dibolehkan
berziarah, ini tidak lain hanya pikiran dan karangan golongan pengingkar
sendiri!!
Apakah mereka ini tahu hukumnya
dalam Islam orang yang mengharamkan sesuatu amalan yang halal dan menghalalkan
suatu amalan yang haram? Kalau sudah mengetahui hukumnya mengapa kok masih
sering berani menghukumi setiap amalan yang tidak sepaham dengannya
sebagai amalan haram, syirik dan lain sebagainya? Ingat firman Allah swt.dalam surat
An-Nahl:116; “ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut
oleh lidahmu secara dusta ‘Ini halal dan in haram’ untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah…sampai akhir ayat”
Golongan pengingkar ini sering
mengharamkan suatu amalan yang tidak sepaham dengan mereka dengan alasan bahwa
Nabi saw. atau para sahabat tidak pernah melakukan mengapa kita melakukan hal
itu. Kaedah seperti inilah yang sering digembar-gemborkan oleh mereka. Padahal
kalau kita teliti firman Allah swt. yang telah kami kemukakan sebelumnya dalam
surat Al-Hasyr :7 :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka
ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka
berhentilah (mengerjakan nya).
(QS. Al-Hasyr :7). Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan
sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah
saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak
dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
‘Dan apa saja yang tidak pernah
dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw yang
diriwayatkan oleh Bukhori:
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا
مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka
lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka
jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak
mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا
فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak
pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Begitu juga syari’at Islam telah menyatakan adanya kehidupan
ruh-ruh orang mu’min yang telah wafat dialam barzakh (bisa mengerjakan
sholat, bisa menghadiri tempat kuburnya, terbang kemana-mana menurut
kehendaknya, berdo’a kepada Allah swt. untuk para kerabatnya yang masih hidup,
mendengar omongan orang yang hidup dan lain sebagainya baca keterangan selanjutnya
dibab ini dan pada bab tawassul/tabarruk dibuku ini). Kalau ruhnya orang mu’min
biasa saja bisa berbuat demikian apalagi dengan Ruhnya Rasulallah saw. para
Nabi, para wali, dan kaum sholihin!! Dengan adanya hadits-hadits itu, disamping
para penziarah berdo’a kepada Allah swt. untuk ahli kubur (bukan
berdo’a kepada ahli kubur tetapi untuk ahli
kubur) juga bertawassul, bertabarruk dengan penghuni kubur agar penghuni kubur
itu ikut berdo’a kepada Allah swt.untuk penziarah itu.
Menaburkan bunga, menanam pelepah pohon: Dengan adanya hadits-hadits tentang kehidupan
ruh-ruh itu itu, para penziarah ada yang menaburkan bunga diatas kuburan
tidak lain hanya sebagai penghormatan atau kecintaan kepada ahli kubur itu,
sebagaimana orang yang masih hidup yang sering antara satu dan lain memberi
bunga untuk penghormatan. Itu semua tidak ada salahnya, selama penghormatan
kepada manusia baik yang hidup maupun yang telah mati tidak dibarengi dengan keyakinan bahwa obyek yang
dihormati itu memiliki sifat ketuhanan.
Sedangkan menaruh atau menanam pelepah
diatas kuburan juga tidak ada salahnya, Nabi saw. sendiri telah mencontohkannya
didalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan lain-lain dari Ibnu
‘Abbas ra. Dalam hadits itu Nabi saw. …minta pelepah pucuk kurma lalu
dibelahnya satu ditanamkannya kepada satu kubur dan satu lagi pada kubur yang
lain dengan berdo’a semoga mereka berdua diberi keringanan (dari siksa
kubur) selama pelepah ini belum kering.
Dengan adanya hadits itu ummat beliau
saw. juga mencontoh perbuatan beliau saw. menanamkan pelepah pohonan diatas
kubur sambil berdo’a kepada ahli kubur. Dalam hadits itu Nabi saw. tidak melarang
atau menyuruh umatnya untuk berbuat seperti beliau saw., tapi bila ada kaum
muslimin yang meniru perbuatan beliau saw. tidak lain karena beliau saw.
sebagai contoh dari umatnya. Malah ada hadits shohih yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhori bahwa Buraidah Aslami berpesan agar pada kuburnya
ditanamkan dua pucuk kurma. Ada juga riwayat hadits bahwa binatang-binatang dan
pepohonan itu selalu bertasbih kepada Allah swt.
Pertanyaan sekarang terhadap golongan pengingkar, mengapa
mereka mengharamkan perbuatan itu sedangkan Nabi saw. tidak melarang
bila ada ummatnya yang meniru perbuatannya tersebut? Mana dalilnya dari Nabi saw. bahwa orang tidak boleh
menaburkan bunga atau menanam pelepah diatas kuburan? Apakah Buraidah Aslami
waktu berwasiat itu tidak mengerti hukum syari’at Islam?
Berdiri secara khidmat, atau
berbuat tawadhu’ (rendah diri) dan sopan dihadapan kuburan itu
tidak ada salahnya selama perbuatan itu sebagai penghormatan/ta’dim saja
terhadap ahli kubur dan bukan sebagai ibadah. Begitu juga mencium atau
mengusap-usap kuburan tidak ada salahnya selama niatnya sebagai tabarruk /
pengambilan barokah (baca bab tawassul/ tabarruk). Apakah golongan pengingkar
ini masih ingat ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sujudnya para
malaikat kepada Adam as. dan sujudnya saudara-saudara Yusuf as. kepada
Nabi Yusuf as. Semua ahli tafsir mengatakan bahwa sujud diayat itu sebagai sujud
penghormatan bukan sebagai ibadah kepada obyek yang dihormati.
Kalau sujud disitu tidak
dicela oleh Allah swt. karena tidak lain hanya merupakan penghormatan mengapa
golongan pengingkar berani mengharamkan sampai mensyirikkan orang yang
berdiri khidmat dan lain sebagainya dihadapan kuburan Rasulallah saw., para
sahabat atau para sholihin lainnya? Semua amalan itu tergantung dari
niatnya….(hadits shohih), kalau niat orang itu untuk menghormat kepada ahli
kubur, maka tidak ada masalah nya, tetapi kalau niatnya beribadah kepada
kuburan, maka inilah yang tidak dibolehkan oleh syari’at. Sama halnya orang
yang rukuk dan sujud dimuka bangunan dari batu yaitu Ka’bah, bila dia rukuk
atau sujud menganggap sebagai ibadah kepada Ka’bah maka akan hancurlah
keimanannya, karena ibadah hanya ditujukan kepada Allah swt.!!.
Bila ada penziarah kubur
berkeyakinan bahwa ahli kubur (obyek yang diziarahi) itu bisa merdeka
(tanpa izin Allah swt.) memberi syafa’at pada penziarah kubur, keyakinan inilah
yang dilarang oleh agama. Jadi sekali lagi semua itu terletak pada keyakinan
seseorang. Kita tidak boleh mengharam- kan ziarah kubur karena perbuatan
perorangan/individu yang berkeyakinan salah itu. Karena ziarah kubur ini
sejalan dengan hukum syari’at Islam !
Maka dari itu janganlah seenaknya sendiri tanpa dalil agama yang jelas anda mensyirikkan
seseorang karena melihat secara lahir perbuatan orang tersebut, karena
anda tidak mengetahui keyakinan di hati setiap orang !! Ingatlah hadits
riwayat Muslim (Shahih Muslim Bab 41 no. 158 dan
hadits yang sama no.159) bahwa Usamah bin Zaid ra membunuh seorang pimpinan
Laskar Kafir yang telah terjatuh pedangnya, lalu dengan wajah tidak serius ia
(laskar kafir) mengucap syahadat, lalu Usamah membunuhnya. Betapa murkanya
Rasulallah saw. saat mendengar kabar itu.., seraya bersabda : Apakah engkau
membunuhnya padahal ia mengatakan Laa ilaaha Illallah !!? Lalu Usamah ra.
berkata: Kafir itu hanya bermaksud ingin menyelamatkan diri Wahai Rasulullah..,
maka beliau saw. bangkit dari duduknya dengan wajah merah padam dan membentak: Apakah
engkau telah belah sanubarinya hingga engkau tahu isi hatinya (perkataan
ini diulangi tiga kali)…..sampai akhir hadits ? Renungkanlah !
Allah swt. akan
mengabulkan do’a para hamba-Nya dimanapun dia berada, tetapi bila kita berdo’a
disekitar Ka’bah, Maqam Ibrahim dan tempat-tempat lain yang mulia disisi Allah
swt. termasuk juga disekitar
kuburan Rasulallah saw., kuburan para Nabi lainnya, para sahabat Rasulallah
saw. dan para kaum sholihin yang pribadi mereka dimuliakan oleh Allah swt. harapan cepat terkabulnya
do’a lebih besar daripada kalau kita berdo’a kepada Allah swt. dirumah atau
dipasar. Banyak riwayat yang menceritera- kan tempat-tempat mustajab do’a, jadi
tidak semua tempat sama !.
Memakai sandal di kuburan para ulama
berbeda pendapat hukumnya. Kebanyakan ulama berpendapat tak ada
salahnya berjalan di pekuburan dengan memakai terompah dan ada lagi ulama
yang memakruhkan memakai terompah yang mewah bila tidak ada
udzurnya (banyak duri dll).
Jureir bin Ibnu Hazim
berkata : ‘Saya melihat Hasan dan Ibnu Sirin berjalan diantara kubur-kubur
dengan memakai terompah’.
Hadits diriwayatkan oleh
Imam Bukhori, Muslim, Abu Daud dan Nasa’i dari Anas bin Malik ra. bahwa Nabi
saw. bersabda : “Seorang hamba bila ia telah diletakkan dalam kuburnya dan
teman-temannya telah berpaling, maka sesungguhnya ia (si mayyit) mendengar
bunyi terompah-terompah mereka”. Hadits ini sebagai alasan dibolehkannya
berjalan di kuburan memakai terompah. Karena tidaklah akan didengar bunyi
terompah itu jika tidak dipakai.!!
Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal telah menganggap makruh
memakai terompah Sibtit terompah mewah di pekuburan berdasarkan
riwayat Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Basyir bekas budak Nabi saw. yang berkata: ‘Rasulallah
saw. melihat seorang lelaki yang berjalan di pekuburan dengan berterompah, maka
sabdanya; ‘Hai orang yang berterompah Sibtit, lemparkanlah terompahmu
itu’!. Lelaki itu pun menoleh, dan demi dikenal nya Rasulallah saw. maka
ditanggalkannya terompahnya lalu dilemparkan-nya’.
Imam Ahmad mengatakan makruh
ialah jika tidak ada udzur. Maka jika terdapat sesuatu keudzuran
yang mengharuskan seseorang buat memakai terompah misalnya karena banyak duri
atau najis, lenyaplah hukum makruh itu !!
Berkata Khathabi:
‘Tampaknya hal itu dimakruhkan ialah karena menunjuk- kan kemewahan, sebab
terompah Sibtit itu biasanya dipakai oleh golongan mampu yang
bermewah-mewah’. Lalu katanya lagi : “Maka Keinginan Nabi saw. hendaklah
memasuki pekuburan itu dengan sikap tawadhu’ (rendah diri) dan
berpakaian seperti orang khusyu’ “.
Dengan adanya dalil-dalil diatas para pembaca bisa menilai
sendiri apakah benar komentar golongan pengingkar yang mengharamkan orang
yang pakai sandal di pekuburan?.Hukum
makruhnya saja masih belum mutlak!!
Duduk diatas kubur dianggap kurang
penghargaan terhadap penghuni kubur, maka dari itu para ulama berbeda pendapat
juga waktu menerangkan hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, Ahmad, Abu Daud dan lainnya dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw.
bersabda: ‘Lebih baik jika seseorang diantaramu duduk diatas bara panas
hingga membakar pakaian- nya dan tembus kekulitnya daripada ia duduk diatas
kubur’.
Dengan adanya hadits itu,
jumhur (pada umumnya) ulama ada yang memakruhkan hal itu, ada lagi yang
membolehkan dan ada lagi yang mengharamkan. Untuk mempersingkat
halaman marilah kita ambil dalil dari jumhur ulama yang memakruhkan.
Imam Nawawi berkata : ‘Melihat
gelagat ucapan Syafi’i dalam kitab Al-Umm, begitu pun golongan terbesar dari
kawan-kawan sealiran, dimakruhkan duduk dikubur, maksudnya larangan itu
adalah buat makruh, sebagaimana biasa terdapat dalam pengertian fukaha, bahkan
banyak diantara mereka yang menyatakannya dengan tegas’. Ulasnya pula: ‘Demikian
pula halnya pendapat jumhur ulama, termasuk didalamnya Nakh’i, Laits, Ahmad
dan Abu Daud’. Imam Nawawi melanjutkan; ‘Juga sama makruh hukumnya,
bertelekan diatasnya dan bersandar padanya’.
Sebaliknya Ibnu Umar dari
golongan sahabat, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik menyatakan tidak ada
salahnya (boleh) duduk di kubur. Sedangkan pendapat yang
mengharamkan ialah Ibnu Hazmin. Wallahu a’lam
( Keterangan diatas
mengenai memakai sandal dan duduk diatas kubur dinukil dari kitab Fiqih Sunnah
Sayyid Sabiq jilid 4 cet.pertama th 1978 hal.175 dan 181)
Sedangkan
hadits riwayat Imam Bukhori mengenai membina masjid diatas (bukan
disisi) kubur ialah: “Mereka (Yahudi dan Nasrani) itu, jika ada
seorang yang sholeh diantara mereka meninggal, mereka binalah diatas
makamnya sebuah masjid dan mereka buat didalamnya patung-patung….sampai akhir
hadits” dan hadits lainnya tentang sholat diatas kuburan, itu tidak
jelas apakah pelarangan (tempat ibadah dan arah kiblat) menjurus kepada hukum haram
ataupun hanya sekedar makruh (tidak sampai pada derajat haram) saja. Hal
itu dikarenakan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya (lihat kitab Shahih
al-Bukhari jilid 2 halaman 111) dimana beliau mengumpulkan hadits-hadits
semacam itu ke dalam topik “Bab apa yang dimakruhkan dari menjadikan masjid
di atas kuburan” (Bab maa yukrahu min ittikhodz al-Masajid ‘alal Qubur)
dimana ini meniscayakan bahwa hal itu sekedar pelarangan yang bersifat makruh
saja yang selayaknya dihindari, bukan mutlak haram. Begitu juga hadits diatas itu jelas makruh membina masjid atau sholat
diatas kuburan bukan disisi kuburan.
Larangan Nabi saw. dalam hadits tadi
dapat diambil suatu pelajaran bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah menjadikan
kuburan para nabi dan manusia sholeh dari mereka bukan hanya sebagai tempat
ibadah melainkan sekaligus sebagai kiblat (arah ibadah). Lainnya halnya
dengan orang muslimin yang mengambil tempat sholat disisi kuburan orang sholeh
hanya sebagai tabarrukan bukan sebagai arah kiblat.
Imam Syafi’i dalam kitabnya
Al Umm bab ‘Pekerjaan setelah penguburan’ mengatakan: “Saya memandang makruh
membangun masjid di atas kuburan, atau diratakan kemudian sholat diatasnya.
Namun apabila ia telah sholat, maka ia tidak mengapa, tapi ia telah berbuat
yang tidak baik”.
Kalau golongan pengingkar tetap
bersikeras mengharamkan sholat meng- hadap kuburan dan lain sebagainya
seperti yang telah dikemukakan, kami ingin bertanya kepada mereka: Dimana
letak kuburan Rasulallah saw. khalifah Abubakar dan khalifah Umar bin Khattab [ra],
apakah tidak terletak didalam masjid Nabawi? Mengapa ulama-ulama mereka yang
di Madinah membiarkan orang muslimin sholat dihadapan, dibelakang, disamping
kuburan tersebut? Malah kebanyakan kaum muslimin ingin sholat dekat atau
disekitar kuburan Rasulallah saw. dan dua sahabatnya itu, sebagai tabarrukan.
Keterangan lebih mendetail
masalah ini silahkan baca halaman selanjutnya mengenai membina masjid disisi
kuburan dan memberi penerangan dikuburan. Wallahu a’lam
Pembacaan Al-Qur’an di kuburan untuk
orang yang telah wafat
Hadits tentang wasiat Ibnu Umar ra yang
tertulis dalam syarah Aqidah Thahawiyah hal. 458 :
عَنِ إبْنِ عُمَر(ر) أوْصَى أنْ يُقْرَأ عَلَى قَبْرِهِ
وَقْتَ الدَفنِ بِفَوَاتِحِ سُوْرَةِ البَقَرَةِ وَخَوَاتِمِهَا
“Dari Ibnu Umar ra : “Bahwasanya
beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awal-awal
surat al-Baqarah dan akhirnya..”.
“Dari Ibnu Umar ra: “Bahwasanya
beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan
awal-awal surat al-Baqarah dan akhirnya..”.
Hadits ini menjadi pegangan Muhammad
bin Hasan dan Imam Ahmad bin Hanbal padahal Imam Ahmad ini
sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala amalan dari orang
yang hidup pada orang yang telah mati. Namun setelah beliau mendengar dari
orang-orang kepercayaan tentang wasiat Ibnu Umar ini beliaupun mencabut
pengingkar- annya itu (Mukhtasar Tazkirah Qurtubi hal. 25).
Ada hadits yang serupa dalam Sunan
Baihaqi dengan isnad Hasan:
“Bahwasanya Ibnu Umar menyukai agar
dibaca diatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat Al-Baqarah dan akhirnya”.
Perbedaan dua hadits terakhir diatas
ialah yang pertama adalah wasiat Ibnu Umar sedangkan yang kedua adalah
pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
Hadits dari Ibnu Umar ra. bahwa
Rasulallah saw.bersabda :”Jika mati seorang dari kamu, maka janganlah kamu
menahannya dan segeralah mem- bawanya kekubur dan bacakanlah Fatihatul Kitab
disamping kepalanya”. (HR. Thabrani dan Baihaqi)
Abu Hurairah ra.meriwayatkan
bahwasanya Nabi saw. bersabda :
“Barangsiapa yang berziarah di
kuburan, kemudian ia membaca ‘Al-Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhaakumut
takatsur’, lalu ia berdo’a Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan
firman-Mu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat penghuni kubur ini, maka mereka akan
menjadi penolong baginya (pemberi syafa’at) pada hari kiamat”.
Hadits-hadits diatas atau
hadits-hadits lainnya dijadikan dalil yang kuat oleh para ulama untuk
menfatwakan sampainya pahala pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang
telah wafat. Apa mungkin para sahabat Nabi seperti Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah
[ra] mengeluarkan kata-kata yang mengandung ilmu gaib (yaitu mengenai imbalan
pahala) tidak dari Rasulallah saw. atau meriwayatkan sesuatu amalan yang berbau
kesyirikan atau larangan dalam agama Islam? Mereka berdua adalah termasuk salah
satu tokoh dari golongan Salaf Sholeh, mengapa golongan pengingkar ini
menolaknya ?
Imam Nawawi dalam Syahrul
Muhadzdzib mengatakan: ‘Disunnahkan bagi orang yang berziarah kekuburan
membaca beberapa ayat Al-Qur’an dan berdo’a untuk penghuni kubur’.
Imam Nawawi menyimpulkan bahwa
membaca Al-Qur’an bagi arwah orang-orang yang telah wafat dilakukan juga oleh
kaum Salaf (terdahulu). Pada akhirnya Imam Nawawi mengutip penegasan Taqiyyuddin
Abul Abbas Ahmad bin Taimiyah (Ibnu Taimiyyah) sebagai berikut :
“Barangsiapa berkeyakinan bahwa
seorang hanya dapat memperoleh pahala dari amal perbuatannya sendiri, ia
menyimpang dari ijma’ para ulama dan dilihat dari berbagai sudut pandang
keyakinan demikian itu tidak dapat dibenarkan”.
Juga keterangan singkat yang
diungkapkan seorang ulama terkemuka di Indonesia Ustadz Quraish Shihab dalam
bukunya Fatwa-fatwa Seputar ibadah dan Muamalah halaman 27 mengenai ‘berdo’a
dan membacakan Al-Qur’an untuk orang mati’ adalah sebagai berikut :
“Berdo’a untuk kaum Muslimin yang
hidup atau yang sudah wafat adalah anjuran agama. Membaca Al-Qur’an juga
merupakan salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Hanya saja, terdapat
perbedaan paham di kalangan para ulama masalah bermanfaat atau tidaknya bacaan
itu bagi orang yang telah wafat. Memang, dalam kitab-kitab hadits, ditemukan
yang menganjurkan pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang akan atau telah wafat.
Diantara- nya, Abu Dawud meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Ma’qil bin Yasar,
menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Bacalah surat Yaa Sin untuk
orang-orang yang (akan atau sudah) mati (dari kaum Muslim)’.
Nilai keshohihan hadits diatas ini
dan semacamnya masih ada yang memper selisihkannya. Sekalipun ada golongan yang
mengatakan hadits-hadits tersebut lemah atau tidak ada sama sekali tidak ada
halangan untuk membaca ayat Al-Qur’an bagi orang yang akan wafat atau telah
wafat. Dikalangan para ulama hadits, dikenal kaidah yang menyatakan bahwa
hadits-hadits yang tidak terlalu lemah dapat diamalkan khususnya dalam bidang
fadhail (keutamaan) !
Para Ulama juga menyatakan bahwa
membaca Al-Qur’anpada
dasarnya dibenarkan oleh agama dan mendapat
pahala, kapan (kecuali orang yang sedang junub/haid–pen.) dan dimanapun berada
(kecuali di wc–pen.). Diantara perselisihan ulama itu adalah ‘Apakah dapat
diterima hadiah pahala bacaan tersebut oleh almarhum atau tidak! (Jadi
bukan masalah pembacaannya! –pen.)
Syekh Muhammad Al-Syarabashi dalam
bukunya Yas’alunaka mengutip pendapat Al-Qarafi dalam kitab Al-Furuq
bahwa kebaikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain yang telah meninggal
mencakup tiga kategori :
a). Disepakat tidak
bermanfaat: memberi pahala keimanan kepada orang yang telah wafat.
b). Disepakati bermanfaat:
seperti shodaqah yang pahalanya diberikan kepada orang telah wafat.
c) Diperselisihkan apakah
bermanfaat atau tidak: seperti menghajikan, berpuasa dan membaca Qur’an untuk
orang yang telah meninggal.
Sementara madzhab Abu Hanifah, Ahmad
bin Hanbal, berpendapat pahalanya dapat diterima oleh yang telah mati. Kemudian
Imam Al-Qarafi yang bermadzhab Maliki ini menutup keterangannya bahwa persoalan
ini (pahala untuk yang wafat), walaupun diperselisihkan, tidak wajar
untuk ditinggalkan dalam hal pengamalannya. Sebab, siapa tahu, hal itu
benar-benar dapat diterima oleh orang yang telah wafat, karena yang demikian
itu berada diluar jangkauan pengetahuan kita.
Perbedaan pendapat terjadi bukan
pada hukum boleh tidaknya membaca Al-Qur’an untuk orang yang akan atau
telah wafat, melainkan pada kenyataan sampai tidaknya pahala bacaan
itu kepada si mayit!“ Demikianlah keterang- an yang diungkapkan oleh Ustadz
Quraish Shihab dalam bukunya ‘Fatwa-fatwa seputar ibadah dan muamalah’.
Untuk mempersingkat halaman, penulis
ingin mengutip sebagian saja nama ulama-ulama pakar dan kitab mereka
yang mengakui sampainya hadiah pahala bacaan yang ditujukan untuk si mayit
diantaranya sebagai berikut:
“Imam Ahmad bin Hanbal; ulama-ulama
dalam madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i; Muhammad bin Ahmad al-Marwazi dalam kitab
Hujjatu Ahli Sunnah Wal-Jama’ah hal.15 ; Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil
Iz (Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 457); Dr. Ahmad Syarbasi ( Yasaluunaka
fid din wal-hayat 3/413 ); Ibnu Taimiyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat
jilid 1/442 ) ; Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat
jilid 1/442) juga Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh mengatakan bahwa
“Al-Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ “ sewaktu membahas ‘Bacaan
disamping kubur’ ; Al-Allamah Muhammad al-Arobi (Majmu’ Tsholatsi
Rosaail ) ; Imam Qurtubi ( Tazkirah Al-Qurtubi hal. 26 ) ; Imam
Sya’bi mengatakan: ‘Orang-orang Anshor jika ada diantara mereka yang wafat,
maka mereka berbondong-bondong kekuburnya sambil membaca Al-Qur’an disampingnya
(kuburan nya)’. Ucapan Syekh Sya’bi ini dikutip oleh Ibnul Qayyim dalam
kitabnya Ar-Ruh halaman 13; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa.
Dan masih banyak lagi ulama-ulama
berbeda madzhab yang membenarkan hadiah pahala bacaan ini. Jadi jelas
bagi kita setelah membaca dan meneliti kutipan pada lembaran sebelum dan
berikut ini banyak hadits Nabi saw. serta anjuran para sahabat dan
ulama-ulama pakar tentang dibolehkannya serta sampainya pahala amalan
orang yang masih hidup ditujukan kepada si mayyit. Disamping itu, semua
madzhab sepakat bahwa pembacaan Al-Qur’an akan mendapat pahala bagi
pembacanya kapan dan dimanapun, yang mana pahala itu selalu diharapkan oleh setiap
muslim.
Kita tidak boleh langsung menuduh semua
amalan yang menurut pendapat sebagian ulama haditsnya terputus, lemah, palsu, atau tidak ada
haditsnya dan sebagainya itu haram untuk diamalkannya. Kita harus
meneliti lebih jauh lagi bagaimana pendapat ulama lainnya dan harus meneliti
apakah amalan tersebut menyalahi atau keluar dari syariat yang telah
digariskan Islam atau tidak ?, bila tidak menyalahi syari’at Islam, boleh
dijalankan ! Apalagi amalan-amalan yang masih mempunyai dalil maka tidak ada
alasan orang untuk mengharamkan, mensesatkan atau membid’ahkan sesat
amalan-amalan tersebut karena tidak sependapat dengan mereka, menghukum suatu
amalan sebagai haram, harus mengemukakan dalil yang jelas dan shohih dari
Rasulallah saw.
Pahalanya membaca Al-Qur’an
Setelah keterangan singkat diatas
mengenai membaca Al-Qur’an untuk si mayyit dikuburan, marilah kita meneliti
dalil-dalil dan wejangan ulama pakar mengenai pahala orang yang membaca
ayat Al-Qur’an, juga anjuran-anjuran untuk membaca surat Yaasin, surat
Al-Ikhlas dan lainnya pada orang-orang yang akan atau sudah wafat. Dengan
demikian buat pembaca lebih jelas lagi bahwa bacaan yang dibaca
(didalam majlis-majlis dzikir termasuk tahlilan/ yasinan dan lainnya)
pasti akan mendapatkan pahala dari Allah swt., jadi bukan sebaliknya akan mendapat
dosa dan sebagainya sebagaimana yang dikatakan oleh golongan pengingkar .
Ibn Mas’ud ra
berkata: Rasulallah saw. bersabda:
عَنِ ابْنِ مَسْعُود(ر) ِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله.صَ. مَنْ قَرَأ حَرْفاً مِنْ كِتَابِ الله
فَلَهُ حَسَن,
وَالحَسَنَة بِعَشْرِ أمْثَالِهَا, لآ
أقوْلُ الم حَرْفٌ, بَلْ ألِفْ حَرْفٌ, وَلاَمْ حَرْفٌ وَمِيْم حَرْفٌ. (رواه
الترميذي)
“Siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka
mendapat hsanat/ kebaikan dan tiap hsanat mempunyai pahala berlipat sepuluh
kali. Saya tidak berkata: Alif lam mim itu satu huruf, tetapi Alif satu huruf,
lam satu huruf dan mim satu huruf”.(HR.
Attirmidzy).
Lihat Hadits ini siapa yang membaca
al-Qur’an akan dilipatkan pahala setiap hurufnya menjadi sepuluh kali. Pahala
apa yang akan diberikan Allah swt. setiap hurufnya itu tidak ada keterangan
yang jelas. Untuk lebih gampangnya kita ambil misal saja, bila pahala yang
diberikan Allah swt. untuk satu huruf tersebut misalnya sudah kita ketahui yaitu berupa satu pohon di surga dan Dia akan melipatkan
10x pahalanya berarti kita akan memperoleh 10 pohon untuk setiap hurufnya, jadi
kita bisa hitung sendiri berapa pohon yang akan kita peroleh hanya dengan
bacaan surat Fatihah saja??. Ingat Rahmat dan Kurnia Allah swt. tidak ada
batasnya. Jangan kita sendiri yang mem- batasinya !
Mari kita teruskan membaca
dalil-dalil mengenai pembacaan Al-Qur’an yang bermanfaat bagi orang yang akan
atau sudah wafat berikut ini :
‘Bacalah Yaa Siin bagi orang-orang yang (akan atau telah) meninggal diantara kalian (muslimin)’.
Riwayat serupa oleh Abu Hurairah
ra juga telah dicatat oleh Abu Ya’la dalam Musnad beliau dan Hafidz ibn
Katsir telah mengklasifikasikan rantai periwayatnya (sanadnya) sebagai
Hasan/baik (lihat Tafsiir Ibn Katsiir Juz 3 hal. 570).
Al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman
menjelaskan sebuah hadits riwayat Mi’qal bin Yasar bahwa Rasulallah saw.
bersabda :
مَنْ قَرَأ يَس إبْتِغَاء وَجْه
اللهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ , فَاقْرَؤُاهَاعِنْدَ
مَوْتَاكُمْ.
“Barangsiapa membaca Yaa Sin semata-semata demi keridhaan
Allah, ia memperoleh ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu. Karena itu
hendaklah kalian membacakan Yaa Sin bagi orang yang (akan atau telah) wafat diantara kalian (muslimin)”.
(Hadits ini disebutkan juga dalam Al-Jami’us Shaghier dan Misykatul
Mashabih).
Ma’aqal ibn Yassaar ra meriwayatkan
bahwa Rasulallah saw. bersabda;
“Yasin adalah kalbu (hati) dari Al-Qur’an. Tak seorang pun
yang membacanya dengan niat menginginkan Akhirat melainkan Allah akan
mengampuninya. Bacalah atas orang-orang yang
(akan dan telah) wafat diantaramu.” (Sunan Abu Dawud). Imam Hakim
mengklasifikasikan hadits ini sebagai Shohih/ Autentik, lihat Mustadrak
al-Haakim juz 1, halaman 565; lihat juga at-Targhiib juz 2 halaman 376.
Hadits yang serupa juga diriwayatkan
oleh Hafidz As–Salafi (Mukhtasar Al-Qurtubi hal. 26).
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan
dalam Musnad-nya dengan sanad dari Safwaan bahwa ia berkata: “Para
ulama biasa berkata bahwa jika Yaasin dibaca oleh orang-orang yang akan wafat,
Allah akan memudahkan maut itu baginya.” (Lihat tafsir Ibnu Katsir jild 3
halaman 571).
Dari Jund bin Abdullah ra. meriwayatkan
bahwa Nabi saw bersabda: “Barang siapa membaca Surat Yaasin pada malam hari
dengan niat mencari ridha Allah dosa-dosanya akan diampuni” (Imam Malik bin
Anas, dalam kitabnya Al Muwattha’). Ibnu Hibban menshohihkannya (lihat shohih
Ibn Hibban jilid 6 halaman 312, juga lihat At Targhiib jilid 2 hal. 377).
Lihat hadits ini pahala tertentu bacaan
Yaasin Allah swt akan mengampuni dosa-dosa si pembacanya. Manfaat pengampunan
ini yang selalu diharap- kan oleh setiap Muslimin !!
Riwayat serupa dari Abu Hurairah ra
juga dicatat oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya dan Ibnu Kathir telah mengklasifikasikan
rantai perawinya sebagai Hasan/baik. (Lihat tafsir Ibnu Katsir jilid 3
hal.570).
Syaikh Muhammad Al-‘Arabi At-Tibani,
seorang ulama Masjidil Haram dalam risalahnya yang berjudul Is’aful Muslimin
wal Muslimat bi Jawazil Qira’ah wa Wushulu Tsawabiha Lil Amwat mengatakan
membaca Al-Qur’an itu dapat sampai kepada arwah orang yang telah meninggal.
Juga mengenai fadhilah/pahala
membaca surat Al-Ikhlas, Abu Muhammad As-Samarkandy, Ar-Rafi’i dan
Ad-Darquthni, masing-masing menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw bahwa Rasulallah saw. bersabda:
Ma’aqal ibn Yassaar ra meriwayatkan
bahwa Rasulallah saw. bersabda;
مَنْ مَرَّ عَلَى المَقَبِرِ وَقَرَأ
قُلْ هُوَا الله اَحَدٌ إحْدَ عَشَرَةَ مَرَّةٌ, ثُمَّ وَهَـبَ أجْرُهَا
لِلأَمْوَاتِ , أعْطِي مِنَ الأجْرِ بِعددِ الأمْوَات
“Barangsiapa lewat melalui kuburan,
kemudian ia membaca ‘Qul Huwallahu Ahad’ sebelas kali dengan niat menghadiahkan
pahalanya pada para penghuni kubur, ia sendiri akan memperoleh pahala sebanyak
orang yang mati disitu (atau mendapat pahala yang diperoleh semua penghuni
kubur)”.
Berdasarkan riwayat surat Yaasin yang
cukup banyak maka ulama-ulama pakar atau orang-orang lainnya yang memegang
hadits-hadits ini, mengamal kannya baik secara individu atau berkelompok
sebagai amalan tambahan. Hadits-hadits diatas mengenai
keistemewa an dan pahala-pahala tertentu surat Yaasin.
Mari kita rujuk lagi
hadits-hadits mengenai pahala-pahala dan keistemewaan tertentu surat
Al-Qur’an selain surat Yaasin. Walaupun kita setiap hari membaca berulang-ulang
hanya satu surat saja dari Al-Qur’an tersebut akan tetap dapat pahala bagi yang
membacanya karena termasuk ayat Al-Qur’an dan tidak ada satu hadits atau ayat
ilahi yang melarang orang membaca hanya satu ayat dari Al-Qur’an.
Dan tidak ada satu orang pun dari kaum muslimin yang mengamalkan ini
berkeyakinan atau mengatakan bahwa Al-Qur’an itu hanya terdiri dari satu ayat
yang dibaca itu saja serta mengharus- kan/mewajibkan orang membaca hanya ayat
itu saja !
Golongan pengingkar ada yang mengatakan
bahwa Ibnul Qayyim berkata : “Barangsiapa membaca surat ini akan
diberikan pahala begini dan begitu semua hadits tentang itu
adalah Palsu ! Beliau dengan alasan bahwa orang-orang yang
memalsukan hadits-hadits itu telah mengakuinya sendiri bahwa tujuan mereka
membuat hadits palsu tersebut adalah agar manusia sibuk dengan membaca
surat-surat tertentu dari Al Qur’an serta menjauhkan mereka membaca isi
Al Quran yang lain ” !!!
Umpama saja Ibnul Qayyim benar berkata
demikian, ini juga bukan suatu dalil/hujjah untuk melarang
membaca ayat-ayat tertentu dari ayat Al-Qur’an, karena tidak sedikit
hadits yang menyebutkan keistemewaan tertentu dan pahala tertentu pada
ayat-ayat Al-Quran, dengan demikian pendapat Ibnul-Qayyim terbantah
dengan hadits-hadits tentang bacaan surat Yasin diatas dan surat-surat lain
berikut ini :
Hadits dari Abu Sa’id ra bahwa Nabi saw
bersabda: ‘Apakah kalian sanggup membaca sepertiga (1/3) Qur’an dalam satu
malam?’ Rupanya hal itu memang terasa berat bagi mereka, maka jawab mereka:
‘Siapa pula yang akan sanggup melakukan itu diantara kami, ya Rasulallah!’.
Maka sabda Nabi saw ’Allaahul wahidus shamad ’ maksudnya surat Al Ikhlas adalah sepertiga dari Al-
Qur’an”. (HR.Bukhori, Muslim dan An-Nasa’i)
Ada riwayat yang serupa dari Abu
Hurairah ra yang diriwayatkan oleh Muslim.
Lihat hadits diatas ini termasuk juga
sebagai pahala tertentu, siapa baca sekali surat Al-Ikhlas sudah memadai
seperti baca sepertiga ayat dari Al- Qur’an. Disini tidak berarti kita
mengharuskan dan hanya membaca surat Al-Ikhlas saja, seperti isu-isu belaka
golongan pengingkar ini !
Hadits dari Abu Sa’id Al Khudri ra
bahwa Nabi saw bersabda: ‘Adanya Rasulallah saw. berlindung dari gangguan
jin dan mata manusia dengan beberapa do’a, tetapi setelah diturunkan kepadanya
Almu’awwidatain (Surat Al-Falaq dan An-Naas), beliau saw. membaca keduanya itu dan meninggalkan
segala do’a-do’a lainnya’. (HR At Tirmidzi)
Hadits diatas ini menunjukkan dua surat
(Al-Falaq dan
An-Naas) mempunyai
keistemewaan tertentu juga, bisa menghalangi dan menolak gangguan jin dan mata
manusia. Juga mendapat pahala yang membacanya. Disini tidak berarti orang
mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Falaq dan An-Naas
saja dan kita hanya diharuskan membaca dua surat tersebut serta menjauhi ayat
Al-Qur’an lainnya !
Hadits dari Abu Mas’ud Al Badry ra
berkata, bersabda Nabi saw: ‘Siapa yang membaca dua ayat dari akhir surat
Al-Baqoroh pada waktu malam telah mencukupinya’. (HR.Bukhori dan Muslim).
Kata-kata telah mencukupinya dalam
hadits itu berarti ia telah terjamin keselamatannya dari gangguan syaithon pada
malam itu. Ini juga termasuk keistemewaan tertentu dari dua ayat terakhir dari
surat Al Baqoroh (yaitu dimulai dari Aamanar Rosuulu bimaa unzila ilaihi ayat
285…sampai akhir ayat al Baqoroh Disini tidak berarti orang mempunyai firasat
bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Baqoroh dan kita hanya diharuskan
membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya!
Hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulallah
saw bersabda: ‘Didalam Qur’an ada surat berisi tiga puluh ayat dapat membela
seseorang hingga diampunkan baginya yaitu Tabarokalladzi Biyadihil Mulku (surat Al-Mulk)’. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Hadits ini menunjukkan keistemewaan dan
pahala tertentu juga bahwa siapa yang membacanya akan dapat membelanya dan
mengampunkan dosanya ! Pahala pengampunan ini sangat diharapkan oleh semua kaum
muslimin. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya
terdiri dari surat Al-Mulk saja dan kita hanya diharuskan membaca surat
tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !
Hadits dari Abu Hurairah ra Nabi saw
bersabda: ‘Jangan kamu menjadikan rumahmu bagaikan kubur (hanya untuk tidur
belaka), sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan padanya surat
Al-Baqoroh’. (HR.Muslim)
Hadits ini juga mempunyai keistemewaan
tertentu Al-Baqoroh bisa mengusir setan dari rumah kita. Disini tidak berarti
orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Baqoroh
saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat
Al-Qur’an lainnya !
Hadits dari Abu Darda ra, Sabda
Rasulallah saw : ‘Siapa yang hafal sepuluh ayat dari permulaan surat
Al-Kahfi, akan terpelihara dari godaan fitnah Dajjal’. (HR.Muslim). Dalam
lain riwayat: ‘Sepuluh ayat dari akhir surat Al Kahfi’.
Hadits ini menunjukkan keistemewaan
tertentu yaitu siapa yang dapat menghafal dan membacanya dari ayat tersebut,
terhindar dari fitnahan Dajjal. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat
bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari 10 ayat dari surat Al-Kahfi saja dan kita
hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya!
Dan masih banyak lagi mengenai
keistemewaan dan pahala tertentu mengenai Ayat Kursi, ayat Al-Fatihah (Ummul
Kitab/ibunya Qur’an), mengenai keutamaan mengucapkan Laa ilaaha illallah,
membaca Tasbih, Takbir dan Sholawat atas Nabi saw. dan sebagainya yang tidak
saya sebutkan satu persatu disini. Juga pahala-pahala tertentu amalan-amalan
puasa, sholat dan sebagainya.
Apakah semua hadits-hadits
keistemewaan dan pahala tertentu tersebut diatas yang diriwayatkan oleh
perawi-perawi terkenal adalah hadits palsu ? Apakah dengan adanya hadits-hadits
tersebut, orang mempunyai firasat hanya harus membaca ayat-ayat tertentu
itu dan meniadakan ayat Al-Qur’an lainnya ? Sudah Tentu Tidak !
Pandangan yang demikian itu menunjukkan
kedangkalan ilmu serta kefanatikan golongan pengingkar ini terhadap fahamnya
sendiri sehingga semua hadits yang tidak sefaham dengan mereka dianggap tidak ada, palsu, lemah dan melarang dan lain
sebagainya ! Saya berlindung pada Allah swt.. dalam hal ini.
Amalan orang hidup yang bermanfaat bagi si mayit
Mari kita telaah lagi amalan orang
hidup yang bermanfaat bagi si mayit. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
dari Ibnu Abbas ra berkata:
وَعَنِ ابْنِ عَبَّـاسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُـمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ
فَيَقُوْمُ عَلَى جَنَـازَتِهِ
أرْبَعُوْنَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُوْنَ بِاللهِ شَيْئًا اِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللهُ
بِهِ (رواه مسلم)
Saya telah mendengar Rasulallah saw.
bersabda: ‘Tiada seorang muslim wafat, maka berdiri menyembahyangkannya
empat puluh (40) orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun,
melainkan dapat dipasti- kan Allah menerima syafa’at dan permintaan
ampun mereka itu’. (HR. Muslim)
Hadits dari Martsad bin Abdullah
Alyazani berkata:
وَعَنْ مَرْثََـدِ ابْنِ عَبْدِاللهِ
اليَزَنِيِّ
(ر) قَالَ: كَانَ مَالِكُ بْنُ هُبَيْرَةَ
اِذَا صَلَّى عَلَى الْجَنَازَةِ فَتَقَالَّ النَّاسَ
عَلَيْهَا جَزَّئَهُمْ ثَلاَثَةَ
أجْزَاءٍ ثًمَّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ
صُفُوْفٍ فَقَدْ أوْجَبَ (رواه ابو داود و الترميذي)
“Adalah Malik bin Hubairoh jika menyembahyangkan jenazah dan
melihat orang-orangnya hanya sedikit, maka dibagi mereka tiga (3) baris,
kemudian ia berkata: Rasulallah saw. bersabda: ‘Siapa yang disembahyangkan oleh tiga barisan, maka
telah dapat dipastikan’ ”. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Maksud kata-kata dapat dipastikan
dalam hadits itu ialah pasti diampunkan mayitnya dan Allah akan menerima
syafa’at dan permohon an mereka.
Hadits dari Abu Hurairah berkata: “Ada
seorang tukang sapu masjid, pada beberapa hari tidak terlihat oleh Rasulallah
saw. sehingga beliau bertanya tentang orang itu. Dijawab; Ia telah wafat. Nabi
bersabda: Mengapakah kamu tidak memberitahu padaku? Tunjukkan padaku
kuburannya. Maka orang-orang menunjukkan kepada Nabi saw. kuburan tukang sapu
itu, dan disitu Nabi sholat mayat (jenazah). Kemudian setelah sholat
bersabda: Sesungguhnya kubur-kubur ini tadi penuh kegelapan, dan Allah telah
menerangi padanya dengan sholatku pada mereka”. (HR.Bukhori, Muslim)
Hadits-hadits diatas ini menunjukkan
juga bahwa seorang yang telah wafat masih dapat tertolong oleh bantuan amalan
orang yang masih hidup, dan yang demikian ini terserah pada Allah, karena
rahmat Allah dan kurnia-Nya tidak terbatas. Juga hadits terakhir diatas
menunjukkan dibolehkannya orang yang ketinggalan sholat jenazah untuk bersholat
didepan kuburannya. Ini berlaku untuk semua muslimin karena dihadits itu tidak
disebutkan sholat jenazah ditempat kuburan tersebut hanya khusus berlaku
untuk Nabi saw. Beliau saw. adalah contoh bagi ummatnya, bila itu
dilarang atau khusus untuk beliau saja, maka beliau saw. pasti akan
memberitahunya ! Semuanya ini menunjukkan bahwa do’a itu
manfaatnya sangat banyak baik untuk orang yang masih hidup maupun yang sudah wafat.
Allah swt. sendiri telah menjanjikan siapa yang berdo’a kepada-Nya pasti akan
dikabulkannya. Firman-firman Allah swt. agar manusia selalu berdo’a baik untuk
dirinya maupun untuk lainnya : “Dan Tuhanmu berfirman; ‘Berdo’alah
kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan bagimu’ ”. (Al- Mu’min :60).
Firman-Nya: “Dan seandainya
hamba-hambaKu bertanya padamu (Muhammad) mengenai Aku, maka sesungguhnya
Aku ini Maha dekat. Aku akan mengabulkan permohonan dari orang yang
berdo’a, jika ia berdo’a pada-Ku”. (Al-Baqoroh : 186)
Juga firman Allah swt.: “Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka
berdo’a; Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dahulu dari kami ”. (Al-Hasyr:10)
Ibnu Hajr dalam kitabnya Khatimatul
Fatwa mengatakan bahwa manfaat terbesar yang dapat diperoleh dengan do’a
ialah orang yang berdo’a tidak akan dikecewakan sama sekali. Bila takdirnya
bergantung pada do’a, maka ia akan melihat manfaat do’anya, namun bila
takdirnya itu tidak bergantung pada do’a maka manfaat do’a adalah ganjaran
pahala, karena do’a termasuk ibadah.
Sedangkan hadits-hadits Rasulallah saw.
yang berkaitan dengan do’a berikut ini :
Hadits dari Salman Farisi bahwa
Rasulallah saw. bersabda; ‘Tidak dapat menolak gadha/takdir (Allah swt.)
kecuali do’a’, dan tidak bisa menambah umur kecuali kebaikan !” (HR.At-Tirmidzi).
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh
Bazzar dan Thabrani juga oleh Hakim yang menyatakan
isnadnya sah dari Aisyah ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda:
“Tidak mempan (tidak bisa menolak) sikap
berhati-hati terhadap takdir, sedang do’a itu akan memberi manfaat, baik
terhadap hal-hal yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Dan sungguh,
malapetaka itu turun, lalu disambut oleh do’a, maka bergulatlah keduanya sampai
hari kiamat”.
Maksud hadits itu ialah Allah swt. bisa
merubah takdir malapetaka yang akan dikenakan pada hamba-Nya
dikarenakan do’a hamba itu kepada-Nya.
Masih banyak lagi ayat Ilahi dan
hadits Rasulallah saw. mengenai do’a ini yang tidak bisa kami kemukakan
satu persatu disini. Kita dibolehkan berdo’a apa saja kepada Allah swt.
yang penting dalam kebaikan, tetapi bacaan atau kalimat do’a yang terbaik
ialah yang diajarkan oleh Rasulallah saw. termasuk disini ialah bacaan/kalimat
do’a pada waktu sholat jenazah atau waktu ziarah kubur. Sudah tentu dalam
sholat jenazah atau ziarah kubur kita dibolehkan membaca do’a selain yang
diajarkan oleh Rasulallah saw. yang terpenting semua ini terfokus (tertuju)
untuk mohon pengampunan bagi si mayat. (info: berdo’a pada waktu sholat banyak
ahli fiqih mengatakan harus berbahasa Arab, bila tidak bisa membatalkan
sholatnya).
Ini semua sunnah Rasulallah saw. serta
menunjukkan bahwa si mayit itu masih bisa menerima syafa’at dari amalan orang
lain yang masih hidup. Dengan demikian isi dan inti do’a dalam sholat
jenazah dan ziarah kubur ialah mohon ampunan untuk si mayit,
ampunan ini adalah salah satu syafa’at dan manfaat yang besar serta
selalu diharapkan oleh setiap muslimin.
Ingat sekali lagi, jangan melihat cara
atau bagaimana orang melakukan suatu amalan, tapi lihatlah apakah amalan
tersebut melanggar yang telah digariskan oleh syari’at Islam atau tidak?
Begitu juga halnya dalam majlis tahlilan/yasinan
(baca keterangan selanjut- nya) tujuan utama setelah membaca ayat-ayat
Al-Qur’an, tasbih, tahmid, sholawat pada Nabi saw. dan sebagainya adalah
membaca do’a pada Allah swt. khusus untuk si mayyit. Semua bacaan dzikir yang
dibaca dalam majlis ini sudah pasti akan mendapat pahala, banyak
hadits yang meriwayatkan- nya.
Kalau ada ulama yang mengatakan bahwa
membaca hal-hal tersebut berdosa, haram dan tidak mendapat pahala, ini hanya
fitnahan-fitnahan ulama dari kalangan orang yang tidak senang menghadiri
majlis dzikir tersebut, serta omongan mereka ini tidak berdasarkan dalil. Ingat
sekali lagi bahwa membaca dzikir dan do’a ini tidak diperlukan
waktu, tempat dan cara-cara tertentu yang disyariatkan, jadi bebas setiap
waktu hanya pembacaan Al-Qur’an-nya saja menurut para ulama ahli fiqih yang mempunyai syarat-syarat tertentu, umpamanya wanita yang sedang haidh
atau orang yang sedang junub (suami istri belum bersuci setelah berkumpul) itu
dilarang membaca ayat-ayat Al Qur’an.
Beliau saw. juga menganjurkan kita
untuk ziarah kubur dan mengajarkan kalimat-kalimat salam dan do’a untuk
ahli kubur tersebut. Disini tidak ada bedanya orang yang baru wafat atau
sudah lama wafat semuanya adalah mayit. Karena mayyit itu bisa mendengar
salam dan bacaan kita tersebut sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits
Rasulallah saw.. Pendengaran mereka itu lebih tajam dari pendengaran kita
yang masih hidup ini. Begitu juga tidak ada larangan dalam
syari’at untuk membacakan Al-Qur’an, dan berdo’a untuk mayat baik waktu
baru di kubur, waktu ziarah kubur maupun setiap waktu baik habis sholat
atau lainnya.
Kehidupan ruh-ruh manusia yang telah
wafat
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi dan
hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai ruh-ruh orang yang telah wafat.
Firman Allah swt.: “Janganlah kalian berkata; bahwa
orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup (dialam
lain), tetapi kalian tidak menyadarinya”.(Al-Baqarah : 154)
Dan firman-Nya: “Janganlah kalian mengira bahwa
orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati. Bahkan mereka itu hidup disisi
Tuhannya dan mereka memperoleh rizki (kenikmatan besar)” ( Ali Imran : 169)
Firman-Nya juga: “Mereka bertanya kepadamu (hai
Muhammad) tentang ruh. Jawablah : ‘Itu termasuk urusan Tuhanku’, dan
tidaklah kamu diberi ilmu (pengetahuan) melainkan sedikit” (Al Israa
: 85)
Dua firman Allah
diatas disamping menyebutkan orang-orang yang gugur dijalan Allah itu
tidak mati tetap hidup (ruhnya) mendapat kenikmatan, juga dalam
ayat-ayat itu tidak menyebutkan pembatasan yakni hanya ruh-ruh
orang-orang yang gugur dalam peperangan saja yang masih
hidup. Dengan demikian baik wafatnya itu waktu dalam peperangan sabil
maupun wafat diatas tempat tidur, ruh-ruh (jadi bukan jasadnya) ini semuanya
masih hidup dialam barzakh, makna yang demikian ini sejalan dengan
hadits-hadits Rasulallah saw. tentang ruh manusia yang telah wafat (baca
keterangan selanjutnya).
Malah ada riwayat waktu sahabat
selesai dari perang besar, mereka gembira tetapi Rasulallah saw. bersabda : Kita
sekarang selesai perang yang kecil dan menghadapi perang yang lebih besar.
Sahabat bertanya; Perang apakah itu Ya Rasulallah, beliau saw. menjawab ;
Memerangi hawa nafsu !
Firman Allah swt.: “Maka bagaimanakah (halnya
orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi
(Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai
saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (QS 4:41)
Firman-Nya juga; “Dan demikian (pula) Kami
telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat pertengahan (yang adil
dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan
agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu“
(QS 2:143)
Para Muthawwi’ sekitar makam Rasulallah
saw. di Madinah selalu berteriak-teriak kepada para penziarah dengan ucapan, ‘Wahai
haji, Rasul telah mati, berikan salam dan segera pergilah’ dan jika ada
yang sedikit berlama-lama dalam berziarah lantas diteriaki, ‘Wahai haji,
syirik…!!’. Bagi si pembaca bisa menyaksikan sendiri bila nantinya
berziarah ke makam Rasulallah saw.. Apa maksud kata-kata itu?.Apakah mereka ini
tidak memahami ayat-ayat ilahi diatas? Kalau golongan Wahabi mengatakan
Rasulallah sudah wafat, bagaimana beliau saw. mau menjadi saksi bagi ummatnya
yang setelah wafatnya beliau saw.? Tidak mungkin pula Nabi saw. dipanggil
sebagai seorang saksi atas apa yang tidak beliau ketahui atau tidak beliau
lihat!!
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal dalam Musnad-nya jilid III halaman 3 dari Abu ‘Amir, Abu ‘Amir
menerimanya dari ‘Abdulmalik bin Hasan Al-Haritsiy, ‘Abdulmalik menerimanya
dari Sa’id bin ‘Amr bin Sulaim, yang menuturkan sebagai berikut : “Saya
mendengar dari seorang diantara kita, namanya aku lupa, tetapi (menurut
ingatanku) ia bernama Mu’awiyah atau Ibnu Mu’awiyah. Ia menyampaikan hadits
dari Abu Sa’id Al-Khudri ra. yang mengatakan, bahwasanya Rasulallah saw. pernah
menyatakan ; ‘Seorang mayyit mengetahui siapa yang mengangkatnya, siapa yang
memandikannya dan siapa yang menurunkannya ke liang kubur’. Ketika dalam
suatu majlis Ibnu ‘Umar mendengar hadits tersebut ia bertanya; ‘Dari siapa anda
mendengar hadits itu’ ? Orang yang ditanya menjawab; ‘Dari Abu Sa’id
Al-Khudri’. Ibnu ‘Umarpergi untuk menemui Abu Sa’id, kepadanya ia bertanya;
‘Hai Abu Sa’id, dari siapakah anda mendengar hadits itu ?’ Abu Sa’id menjawab;
‘Dari Rasulallah saw.’ “.
Ibnul Qayyim didalam kitabnya Ar-Ruh menyatakan,
bahwa ruh Abubakar Ash-Shiddiq ra. tampak (setelah ia wafat) didalam suatu
peperangan bertempur bersama-sama pasukan muslimin melawan kaum musyrikin.
Ibnul-Wadhih pun dalam Tarikh-nya mengemukakan
kesaksian seorang yang melihat Rasulallah saw. (beliau saw.telah lama wafat)
membawa sebuah tombak pendek ikut berperang melawan musuh-musuh Ahlul-Bait
beliau di Karbala, medan perang tempat Al-Husain ra. gugur sebagai pahlawan
syahid.
Dalam hadits-hadits Nabi saw.
menerangkan bahwa ruh-ruh orang yang wafat itu hidup dialam barzakh, bisa
mendengar terompah-terompah kaki orang yang mengantarkan kekuburnya (HR
Bukhori, Muslim dan lain-lain), bisa mendo’akan kerabatnya dan sebagainya (HR
Ahmad dan Turmudzi dari Anas).
Rasulallah saw. juga bersabda bahwa arwah kaum
mu’minin bisa terbang kemana saja yang mereka kehendaki (dari Salman
Al-Farisy yang ditulis oleh Ibnul Qayyim ‘Mengenai soal ruh’ halaman
144, serta ada sabda Rasulallah saw. yang serupa juga diriwayatkan oleh Imam
Malik ra). Begitu juga mengenai adzab/siksa didalam kubur dan lain
sebagainya.
Agama Islam mewajibkan mempercayai
adanya alam ruh walaupun semua- nya ini belum terjangkau dengan akal
manusia. Semuanya ini telah dijelas- kan baik dalam ayat ilahi maupun sunnah
Rasulallah saw.. Hadits-hadits diatas ini (bisa melihat siapa yang
memandikannya, yang mengantarkan keliang kubur, bisa terbang kealam mana saja
yang dia dikehendaki dan lain sebagainya) juga menunjukkan dan memperkuat
kenyataan adanya kehidupan dialam ghaib (barzakh).
Didalam perang Badr pun banyak
sahabat Nabi saw. melihat sejumlah Malaikat turun dari langit, berpakaian jubah
dan serban berwarna kuning dan membawa pedang ditangan ikut berperang dipihak
pasukan muslimin. Riwayat ini juga menunjukkan bahwa ada manusia-manusia yang
bisa melihat Malaikat, yaitu orang-orang yang diberi ilmu dan dikarunia
kemuliaan khusus (karamah/keramat) diantara para waliyullah.
Mari kita teliti lagi hadits-hadits
mengenai orang-orang yang telah wafat berikut ini:
Hadits dari Anas bin Malik sebagai berikut :
عَنْ أنَسٍ بْنِ مَالِكٍ (ر) أنَّ رَسُوْلَ الله .صَ. تَرَكَ قََتـْلَى بَدْ ٍر ثَلاَثًا
ثُمَّ أتَاهُـمْ فَقَامَ عَلَيْهِمْ فَنَادَاهُمْ فَقَالَ:
يَا أبَا جَهَلٍ ابْنَ هِشَـامٍ يَا
أمَيَّةُ ابْنَ خَلَفٍ يَا عُتْبَةُ ابْنَ رَبِيْعَة يَا شَيْبَة ابْنَ رَبِيـْعَة
اَلَيْسَ قَدْ وَجَدْتُمْ
مَا وَعَد رَبُّكُمْ حَقـًّا فَاِنّيِ
قَدْ وَجَدْتُ مَا وَعَدَنِي رَبِّي حَقـًّا.فَسَمِعَ عُمَرُ قَوْلَ النَّبِي
فَقَالَ: يَا رَسُولَ الله
كَيْفَ يَسْمَعُوْا وَأنىِّ يُجِيبُوْا
جَيِِّفُوْا. قَالَ: وَالَّـذِي نَفْسِي بِيَدِهَ مَا أنْـتُمْ بِأسْمَعِ لِمَا
أقُوْلُ مِنْهُمْ
وَلَـكِنَّهُمْ لاَ يَقـدِرُوْنَ اَنْ
يَجِيْبُوا (رواه البخاري ومسلم)
“Bahwa Rasulallah saw. membiarkan
mayyit orang kafir yang terbunuh dalam peperangan Badar selama tiga hari.
Kemudian beliau saw mendatangi mereka lalu berdiri sambil menyeru mereka: ‘
Hai Abu Jahal bin Hisyam, Hai Umayyah bin Khalaf, Hai Utbah bin Rabi’ah, Hai
Syaibah bin Rabi’ah! Bukankah kamu telah mendapatkan janji Tuhanku sebagai
sesuatu yang benar (yakni kalah dan terbunuh). Sesungguhnya aku telah
mendapatkan janji Tuhanku sebagai sesuatu yang benar (yakni memperoleh
kemenangan)’ Umar bin Khattab ra mendengar ucapan Nabi saw. bertanya: ‘
Wahai Rasulallah, bagaimana mereka bisa mendengar dan bagaimana pula mereka
bisa menjawab sedangkan mereka telah menjadi bangkai ? Maka Rasulallah saw.
bersabda: ‘Demi zat yang diriku ada di tangan-Nya, tidaklah kamu memiliki
kemampuan mendengar yang melebihi mereka terhadap apa yang aku ucapkan, akan
tetapi mereka tidak mampu menjawab’ “. (HR.Bukhori, Muslim).
Lihat hadits terakhir diatas ini
yang mana Rasulallah saw. telah tegas menjawab pertanyaan Umar bin Khattab ra
bahwa mayyit itu bisa mendengar perkataan Nabi saw. malah pendengaran mereka
itu lebih tajam dari para sahabat yang hadir. Hadits ini menunjukkan
kebolehan kita untuk memanggil orang yang telah wafat dengan kata-kata Ya Fulan
( Hai anu) atau memanggil Ya Rasulalllah dan sebagainya. Begitu juga apa
salahnya kalau kita sering memanggil junjungan kita Muhammad saw. dengan kata-kata
Ya Rasulallah…? (silahkan baca bab tawassul dan tabarruk dalam website
ini)
Ada golongan yang senang memutar
balik makna hadits dari Anas bin Malik tersebut dengan mengatakan hal ini
karena Rasulallah saw. yang berkata kepada si mayyit bila selain beliau saw.
maka mayyit tersebut tidak akan bisa mendengar. Pikiran mereka semacam ini
sudah tentu salah karena yang pertama dalam hadits itu Rasulallah saw.
tidak mengatakan khusus untuk beliau mayyit tersebut bisa mendengar ucapannya,
sedangkan selain beliau mayyit itu tidak bisa mendengar. Bila demikian
Rasulallah saw akan menjawab terhadap Umar ‘mereka itu mendengar karena aku
yang berbicara padanya dan selain aku maka mereka tidak bisa mendengarnya’
tapi jawaban beliau saw. adalah: ‘tidaklah kamu memiliki kemampuan men-
dengar yang melebihi mereka terhadap apa yang aku ucapkan’..
Yang kedua; banyak hadits lain mengatakan
bahwa orang yang sudah dikuburkan itu dikembalikan ruhnya kedalam tubuhnya dan
dia bisa mendengar terompah para pengantar jenazahnya, bisa merasakan hidup
bahagia atau sengsara (adzab kubur) di-alam barzakh, dan lain sebagainya.
Dalam hadits lain Rasulallah saw. menyuruh kita menziarahi kubur dan
memberi salam kepada mereka. Tidak lain yang menjadikan semua mayyit bisa
mendengar dan sebagainya ini adalah Allah swt. dan tidak ada seorang pun yang
meragukan bahwa Allah swt. mampu melakukan yang demikian ini.
Telitilah hadits-hadits
Rasulallah baik yang telah kami kemukakan
maupun pada halaman berikut yang mana beliau saw. bisa menjawab semua salam
yang disampaikan kepadanya. Beliau saw. juga bisa berdo’a kepada Allah swt.
untuk kaum muslimin yang masih hidup dan lain sebagainya, walaupun beliau
saw. sudah wafat. Begitupun juga ruh kaum mukminin lainnya.
Hadits dari Abu Ya’la dalam mengemukakan persoalan Nabi
‘Isa as. dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Jika
orang berdiri diatas kuburku lalu memanggil ‘Ya Muhammad Rasulallah’ pasti
kujawab”. Hadits ini dikemukakan juga oleh
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Al-Mathalibil-Aliyah jilid 4/23 pada
bab : ‘Kehidupan Rasulallah saw. didalam kuburnya’.
Anas bin Malik ra meriwayatkan sebuah hadits, bahwa
Rasulallah saw. pernah menerangkan: “Para Nabi hidup didalam kubur mereka
dan mereka bersembahyang”. Hadits ini diketengahkan oleh Abu Ya’la dan
Al-Bazaar di dalam kitab Majma’uz- Zawaid jilid 8/211. Imam Al-Baihaqi
juga menge- tengahkan juga dalam bagian khusus dari risalahnya.
Anas bin Malik ra. juga mengatakan, bahwa Rasulallah
saw. pernah memberitahu para sahabatnya bahwa : “Para Nabi tidak dibiarkan
didalam kubur mereka setelah empat puluh hari, tetapi mereka bersembah-sujud
dihadapan Allah swt.hingga saat sangkala ditiup (pada hari kiamat)”
Al-Baihaqi menanggapi hadits ini dengan tegas mengatakan
: ‘Tentang kehidupan para Nabi setelah mereka wafat banyak diberitakan oleh
hadits-hadits shohih’. Setelah itu ia menunjuk kepada sebuah hadits shohih
yang meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. bersabda :“Aku melewati Musa (dalam
waktu Isra’) sedang berdiri sembahyang didalam kuburnya”.
Sebagaimana telah diketahui oleh kaum muslimin, bahwa
dalam perjalanan Isra’ Rasulallah saw. melihat Nabi Musa as.sedang berdiri
sholat, Nabi ‘Isa as.juga sedang berdiri sholat. Bahkan Rasulallah saw.
mengatakan bahwa Nabi ‘Isa as mirip dengan ‘Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafy.
Beliau saw. juga melihat Nabi Ibrahim as. sedang berdiri sholat dan Nabi ini
mirip dengan beliau saw. Setiba saat sholat berjama’ah beliaulah yang meng-
imami para Nabi dan Rasul sebelumnya. Usai sholat malaikat Jibril as berkata
kepada beliau saw.: ‘Ya Rasulallah, lihatlah, itu malaikat Malik, pengawal
neraka, ucapkanlah salam kepadanya’. Akan tetapi baru saja Rasulallah saw.
menoleh ternyata malaikat Malik sudah mengucapkan salam lebih dahulu.
Riwayat tentang Isra’ ini dapat kita
baca dalam Shohih Muslim yaitu riwayat yang berasal dari Anas bin Malik dan
diketengahkan oleh ‘Abdurrazzaq didalam Al-Mushannaf jilid 3/577.
Dalam Dala’ilun-Nubuwwah Al-Baihaqi
mengetengahkan sebuah hadits shohih dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulallah
saw. mengatakan setelah Isra’: “Pada malam Isra’ aku melihat Musa dibukit
pasir merah sedang berdiri sembahyang dalam kuburnya”. Hadits ini diketengahkan
juga oleh Muslim dan Shohihnya jilid 11/268.
Banyak hadits dari Rasulallah saw.
waktu beliau saw. Isra’ dan Mi’raj telah melihat para Nabi dan Rasul ; Musa as.
‘Isa as. Ibrahim as. Idris as., Yunus, Yusuf as. dan lain-lain. Ini juga
membuktikan bahwa para Nabi dan Rasul hidup dialam barzakh dengan
kemuliaan, keagungan dan keluhuran yang serba sempurna berkat karunia Allah
swt. dan mereka tetap bersembah sujud kepada Allah swt. Begitu juga dalam
riwayat Isra’ dan Mi’raj ini, setiap Rasulallah saw. bertemu para Rasul selalu
berdo’a kepada Allah swt. kebaikan dan kebajikan untuk Rasulallah saw. Dengan
demikian menunjuk kan bahwa orang yang telah wafat masih bisa juga berdo’a
kepada Allah swt. untuk orang yang masih hidup.
Sedangkan hadits-hadits Nabi saw. mengenai
pertanyaan dan siksa kubur diantaranya: Diriwayatkan oleh Muslim dari
Zaid bin Tsabit, diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Qatadah yang
diterimanya dari Anas bin Malik, diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan Ash Habus
Sunan dari Barra’ bin ‘Azib, dan yang tercantum dalam Musnad Imam Ahmad, dan
shohih Abu Hatim, diriwayatkan shohih Bukhori yang diterima dari Samurah bin
Jundub, diriwayatkan oleh Thahawi dari Ibnu Mas’ud, diriwayatkan oleh Nasa’i
dan Muslim yang diterima dari Anas, yang diriwayatkan oleh Nasa’I, Bukhori dan
Muslim dari Ibnu Umar. (Kami sengaja mencantumkan perawi-perawi nya saja
dan tak mencantumkan hadits-haditsnya karena cukup panjang sehingga memerlukan
halaman yang lebih banyak lagi. Bagi pembaca yang ingin mengetahui hadits
mengenai ruh-ruh dialam barzakh dan adzab kubur, lebih mudahnya silahkan rujuk
pada buku terjemahan bahasa Indonsia Fikih Sunnah Sayyid Sabiq jilid 4 dari
halaman 221).
Jadi jelas sekali banyak riwayat
hadits mengenai ruh-ruh dialam barzakh, mereka bisa tetap mendapat pahala, bisa
merasakan sedih dan bahagia dan sebagainya. Yang mana semuanya ini adalah
kekuasaan Ilahi yang kadang kala tidak terjangkau oleh pikiran manusia biasa,
yang belum diberi ilmu oleh Allah swt. mengenai hal itu. Dan dengan adanya
hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa ruh-ruh tersebut ada yang masih tetap di
alam kubur nya, sedih, bahagia, bisa juga terbang kemana-mana menurut
kehendaknya, dan lain sebagainya.
Nabi saw. mensunnahkan memohon ampun
bagi mayat pada waktu sholat jenazah, ziarah kubur dan waktu lainnya atau
berdo’a pada waktu selesai dimakamkan agar dikuatkan pendiriannya
sebagaimana hadits yang diterima dari Usman bin Affan diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan oleh Hakim yang menyatakan sahnya, juga oleh Al Bazzar.
كَانَ النَّبِي.صَ. إذَا فُرِغَ مِنَ الدَّْفْنِ المَيِّت
وَقَفَ عَلَيْهِ, فَقَالَ: إستَغْفِرُوا ِلأخِيْكُمْ وَسَلوُا لَهُ التَثبِـيْتَ
فَإنّـَهُ الأنَ يُسْألُ
(رواه ابو داود والحكم وصححه والبزار)
“Bila selesai menguburkan mayat,
Nabi saw., berdiri di depannya dan bersabda: Mohonkanlah ampun bagi saudaramu,
dan mintalah dikuatkan hatinya, karena sekarang ini ia sedang ditanya (oleh Malaikat Munkar dan Nakir)”.
Talqin
Dengan adanya ayat ilahi dan
hadits-hadits diatas dari Anas bin Malik mengenai mendengarnya gembong-gembong
kafir yang telah wafat atas ucapan Rasulallah saw. dan hadits terakhir diatas
dari Utsman bin Affan serta hadits-hadits lainnya tentang kehidupan ruh-ruh
manusia yang telah wafat. Banyak ulama pakar membolehkan bacaan Talqin (berarti
mengajari dan memberi pemahaman/ peringatan) dimuka kuburan mayyit yang baru
selesai dimakamkan yang akan berhadapan dengan malaikat Munkar dan Nakir untuk
menanyainya. Sudah tentu semua orang itu tergantung dari amal sholehnya waktu
dia masih hidup bukan hanya tergantung dari Talqin ini. Tapi ini bukan
berarti si mayyit tidak bisa mengambil manfa’at dari amalan orang yang masih
hidup (diantaranya Talqin ini), juga bukan berarti Allah swt. telah menutup
manfa’at amalan orang yang masih hidup pada si mayyit ini. (baca keterangan
amalan pahala yang manfaat bagi si mayyit pada buku ini). Rahmat, Kurnia dan
Ampunan Ilahi sangat luas sekali, janganlah kita sendiri yang
membatasinya !
Menurut istilah talqin ini
memiliki dua pengertian yaitu; Mengajarkan kepada orang yang akan wafat
kalimat tauhid yakini Laa ilaaha illallah yang kedua ialah: Mengingatkan
orang yang sudah wafat yang baru saja dikuburkan beberapa hal yang
penting baginya untuk menghadapi dua malaikat yang akan datang padanya.
Didalam kitab Fikih Sunnah (bahasa
Indonesia) oleh Sayyid Sabiq bab Hukum menalkinkan mayyit jilid 4
halaman 168-169 cetakan pertama 1978, cetakan (angka terakhir) 2019181716151413
diterbitkan oleh PT Alma’arif, dihalaman buku ini ditulis :
Dianggap sunnah oleh Imam Syafi’i
dan sebagian ulama lainnya menalkin- kan mayat yakni yang telah mukallaf, bukan
anak kecil setelah ia (mayit) dikuburkan,
berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dari Rasyid bin Sa’ad
dan Dhamrah bin Habib dan Hakim bin ‘Umeir (ketiga mereka ini adalah tabi’in yakni yang bertemu dengan para
sahabat dan tidak menjumpai Nabi saw.) kata mereka: “Jika kubur mayat itu telah selesai
diratakan dan orang-orang telah berpaling mereka menganggap sunnah mengajarkan
kepada mayat dikuburnya itu sebagai berikut: ‘ Hai Anu (nama si mayit
disebutkan), ucapkanlah Laa ilaaha illallah asyhadu allaa ilaaha illallah’,
sebanyak tiga kali ! Hai Anu, katakanlah; ‘Tuhanku ialah Allah, agamaku ialah
Islam dan Nabiku Muhammad saw.’ Setelah mengajarkan itu barulah orang
tadi berpaling “.
Riwayat dari tabi’in diatas ini ada
disebutkan juga oleh Hafidz dalam At-Takhlis dan beliau berdiam diri
mengenai hal itu.
Dan diriiwayatkan oleh Thabarani
dari Abu Umamah yang katanya sebagai berikut:
“Jika salah seorang diantara
saudaramu meninggal dunia, dan kuburnya telah kamu ratakan, maka hendaklah
salah seorang diantaramu berdiri dekat kepala kubur itu dan mengatakan : ‘Hai
Anu anak si Anu ! Karena sebenar nya ia (si mayit) bisa mendengarnya
tetapi tidak dapat menjawab. Lalu hendaklah dipanggilnya lagi ; Hai Anu anak si
Anu ! Maka mayit itu akan duduk lurus. Lalu dipanggilnya lagi ; Hai Anu anak si
Anu ! Maka ia (si mayit) akan menjawab ; Ajarilah kami ini ! Hanya kamu (orang-orang
yang masih hidup) tidak menyadarinya. Maka hendaklah diajarinya (sebagai
berikut) : ‘Ingatlah apa yang kaubawa sebagai bekal tatkala meninggalkan
dunia ini, yaitu mengakui bahwa tiada Tuhan, melainkan Allah, dan bahwa
Muhammad itu hamba dan utusan-Nya, dan bahwa engkau telah meridhoi Allah
sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan Al-Qur’an sebagai
Imam’. Maka Munkar dan Nakir akan saling memegang tangan sahabatnya dan
mengatakan : Ayolah kita berangkat ! Apa perlunya klita menunggu orang yang
diajari jawabannya yang benar ini ! Seorang lelaki bertanya: Ya Rasulallah,
bagaimana kalau ibunya tidak dikenal ?. Ujarnya (Nabi saw.) ‘Hubungkan
saja dengan neneknya Hawa dan katakan; Hai Anu anak Hawa ‘ “.
Berkata Hafidz dalam At-Talkhish :
‘Isnad hadits itu baik dan dikuatkan oleh Dhiya’ dalam buku Ahkam-nya.
Dan pada sanadnya terdapat: ‘Ashim bin Abdullah, seorang yang lemah. Berkata Haritsani
setelah mengemukakan hadits diatas ini: ‘Pada sanadnya terdapat sejumlah orang
yang tidak saya kenal’. Sedangkan kata Imam Nawawi: ‘Hadits ini walaupun lemah,
tapi dapat diterima’!
Para ulama hadits dan lain-lain
telah menyetujui sikap yang luwes dalam menerima hadits-hadits mengenai
keutamaan-keutamaan, anjuran-anjuran dan ancaman-ancaman. Apalagi ia telah
dikuatkan oleh keterangan-keterangan lain seperti hadits yang lalu; ‘..Dan
mohonlah agar hatinya dikuatkan’ (hadits yang diterima dari Usman bin Affan
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan oleh Hakim yang menyatakan sahnya, juga oleh Al
Bazzar). Dan wasiat dari ‘Amar bin Ash, sedang keduanya merupakan keterangan
yang sah. Dan hal ini (talqin) tetap dilakukan oleh penduduk Syria dari masa
‘Amr itu hingga sekarang.
Ada juga yang memakruhkan
(tidak mengafirkan atau membid’ahkan sesat) talqin ini diantaranya sebagian
golongan Maliki dan sebagian golongan Hanbali.
Untuk menyingkat halaman dibuku ini,
lebih mudahnya, maka saya anjurkan bagi pembaca yang ingin tahu mendetail
mengenai dalil-dalil dan wejangan para ulama pakar tentang pembolehan talqin
ini bisa membaca buku yang berjudul Argumentasi Ulama Syafi’iyah oleh
Ust.H.Mujiburrahman atau langsung merujuk kitab-kitab ulama yang disebutkan
dibuku itu.
Diantara ulama-ulama yang
membolehkan talqin ialah Imam Nawawi dalam kitabnya Majmu’ Syarah Muhazzab 5/303
dan kitabnya Al-Azkar hal.206 didalam kitab ini disebutkan juga nama ulama salaf
yang membolehkan talqin ; Syaikh Dr.Wahbah Zuhaily dalam kitabnya Al-Fighul
Islami 11/536 ; Syaikh Yusuf Ardubeli dalam kitabnya Al-Anwar 1/124
; Syaikh Khatib Syarbini dalam kitabnya Al-Iqna’/183 ; Syaikh Ibnu Hajar
Al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj 3/207; Imam Ramli dalam
kitabnya Nihayatul Muhtaj 3 /40. Dan masih ada lagi ulama pakar lainnya
yang membolehkan ini tallqin, tidak lain semuanya ini merupakan Fadha’ilul
A’mal amalan-amalan yang mengandung
keutamaan yang terdiri dari do’a-do’a dan dzikir .
Dengan demikian amalan Talqin sudah
dikenal dan diamalkan oleh para salaf serta ulama-ulama pakar dari zaman
dahulu. Bagi orang yang tidak mau mengamalkan hal ini karena mengikuti wejangan ulamanya itu silahkan karena hal ini bukan
amalan wajib, tapi janganlah mencela, mensesatkan, mengharamkan sampai-sampai
berani mensyirikkan orang yang mau mengamalkan talqin ini, karena mereka
ini juga mengikuti wejangan ulamanya. Hati-hatilah !! Ingat hadits-hadits
Rasulallah saw. yang telah
saya cantumkan didalam website ini mengenai orang yang mengafir kan
saudaranya mulsim.
Sekalipun ada golongan yang
mengatakan hadits-hadits mengenai talqin diatas adalah lemah atau tidak
ada sama sekali tidak ada halangan untuk mengamalkan amalan-amalan yang
mengandung keutamaan yang terdiri dari do’a-do’a dan dzikir. Sebagaimana kaidah
yang dikenal para ulama hadits diantaranya Ibnu Hajr dalam kitab Fathul
Mubin :32 yang mengatakan: “Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa hadits
lemah/dho’if boleh dipakai/diamalkan pada Fadha’ilul ‘Amal (amal-amal yang
mengandung keutamaan)”.
Mari kita lanjutkan mengenai ruh
manusia yang telah wafat dapat berdo’a, melihat para kerabatnya yang masih
hidup didunia.
Firman Allah swt. dalam At-Taubah :
105 :
“Dan katakanlah (hai Muhammad); Hendaklah kalian berbuat.
Allah dan Rasul-Nya serta kaum Mu’minin akan melihat perbuatan kalian. Kemudian
kalian akan dikembalikan kepada-Nya Maha Mengetahui segala yang ghaib dan yang
nyata, lalu oleh-Nya kalian akan diberitahukan apa yang telah kalian perbuat”.
Sekaitan dengan makna ayat diatas
ini, ada beberapa hadits Nabi yang menerangkan bahwa semua perbuatan kaum
Mu’minin akan dihadapkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. dan
kepada sanak-keluarga dan kaum kerabat yang telah wafat. Mereka yang telah meninggal
itu akan bersedih hati bila kerabat mereka yang didunia melakukan amalan-amalan
yang dilarang oleh Allah swt., sehingga mereka berdo’a pada Allah swt. agar
kerabatnya yang didunia mendapat hidayah dari Allah sebelum mereka wafat.
Mereka juga akan merasa bahagia bila mendengar amalan-amalan baik dari
kerabatnya yang didunia.
Ibnu Mas’ud ra menuturkan, bahwasanya Rasulallah saw.
telah menyata kan:
“Hidupku adalah suatu kebaikan bagi
kalian. Kalian akan memberitakan hadits-hadits dan akan diberitakan (periwayat-periwayat hadits).
Wafatku pun suatu kebaikan bagi kalian. Amal perbuatan kalian akan dihadapkan
kepada- ku. Tiap aku melihat yang baik, kupanjatkan puji syukur kepada Allah,
dan tiap aku melihat yang buruk akan kumohonkan ampunan-Nya bagi kalian”.
Hadits lainnya :
إنَّ
أعْمَالَـكُمْ تُعْرَضُ عَلََى اَقرَبَائِكُمْ مِنْ مَوْتَاكـُمْ فَإنْ رَأوْا
خَيْرًا فَرِحُوا بِهِ, وَإذَا رَأوا شَرًّا كَرِهُوْا (رواه ابن جرير
“Sesungguhnya perbuatanmu akan dihadapkan pada kaum
kerabatmu yang telah meninggal. Jika dilihatnya baik, maka mereka akan gembira,
dan jika dilihatnya jelek, mereka akan kecewa”. (Riwayat Ibnu Jarir dari Abu Hurairah)
Ibnu Katsir juga menerangkan bahwa amal perbuatan
orang-orang yang masih hidup diperlihatkan kepada sanak-keluarga dan kaum
kerabat yang telah wafat, dialam
barzakh. Kemudian ia mengetengahkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
At-Thayalaisi, berasal dari Jabir ra. yang menuturkan, bahwasanya Rasulallah
saw. telah menegaskan:
“Amal perbuatan kalian akan
diperlihatkan kepada sanak-keluarga dan kaum kerabat. Jika amal kalian itu baik
mereka menyambutnya dengan gembira. Jika sebaliknya mereka berdo’a; ‘Ya Allah
berilah mereka ilham agar berbuat baik dan ta’at kepada-Mu’ “.
Selanjutnya Ibnu Katsir mengetengahkan hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad berasal dari Anas bin Malik ra. yang
menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah menyatakan :
إِنَّ أعْمَالَـكُمْ تُعْرَضُ عَلََى اَقرَبَائِكُمْ
وَعَشَائِرِكُمْ مِنَ اللأمْوَاتِ فَإنْ كَاَن خَيْرًا إسْتَبـْشِرُوْا بِهِ,
وَإنْ كَانَ غَيْرَذَالِكَ قَالُوْا:
اللَّـهُمَّ لاَ تَمُتْهُمْ حَتىَّ تُهْدِيْـهِمْ كَمَا هَدَيْتَنَا. (رواه احمد و
الترميذي)
“Sesungguhnya amal perbuatanmu
akan dihadapkan kepada kaum kerabat dan keluargamu yang telah meninggal. Jika
baik, mereka akan gembira karenanya, dan jika tidak mereka akan memohon: ‘Ya
Allah, janganlah mereka diwafatkan sebelum mereka Engkau tunjuki, sebagaimana
Engkau telah menunjuki kami’“.(Riwayat Ahmad dan Turmudzi dari Anas)
Begitu juga masih banyak hadits yang
serupa tapi versinya berbeda. Tidak lain semuanya menunjukkan bahwa rahmat dan
karunia Allah ta’ala tidak ada batasnya. Jika kita tidak mempercayai kehidupan
selain dialam dunia saja, seperti yang disebutkan oleh ayat-ayat Ilahi dan
hadits-hadits Rasulallah saw., serta tidak mau tahu hal-hal ghaib maka kita
bukan tergolong sebagai orang yang beriman. Allah sendiri menerangkan bahwa urusan
ruh tersebut adalah urusan Allah swt., (Al-Israa : 85), karena ilmu manusia
yang sangat minim ini sangatlah sulit untuk menjangkau hal-hal yang ghaib,
kecuali orang-orang pilihan yang diberi ilmu oleh Allah swt. untuk
mengetahuinya.
Mungkin golongan pengingkar akan
mengatakan sebagaimana kebiasaan mereka bahwa hadits-hadits yang telah dikemukakan semuanya
tidak dapat dipercaya, bukan hadits shohih ! Baiklah, tetapi apakah mereka
ini dapat membuktikan atas dasar kesaksiannya sendiri bahwa hadits itu bohong
atau tidak shohih? Tidak lain mereka ini akan mengemukakan hadits atau
wejangan menurut pandangan ulama mereka mengenai masalah diatas. Apakah mereka hendak
memaksakan dan mewajibkan kepada orang lain supaya mempercayai atau mengikuti
ulama mereka mengenai ‘kebenar- annya hadits atau wejangan ulamanya ’ ?
Renungkanlah !
Banyak sekali contoh pada zaman
modern ini yang kita lihat dan dengar sendiri tentang kejadian yang menakjubkan
tapi tidak semua yang terjadi tersebut terjangkau oleh setiap akal manusia.
Begitu juga ayat-ayat Ilahi yang menerangkan kejadian-kejadian yang semuanya
masih diluar jangkau an akal manusia, seperti kejadian pada zaman Nabi Sulaiman
as. yang tercantum didalam surat An-Naml; 38-40, kejadian para pemuda yang
berada di gua Kahfi (Al-Kahfi: 9-12), juga mengenai orang yang dimatikan oleh
Allah swt. selama seratus tahun kemudian dihidupkannya kembali ( Al-Baqarah:
259) dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang tidak terjangkau dengan akal
manusia. Semua kisah ini adalah firman Ilahi yang harus kita imani/percayai walaupun belum bisa terjangkau
dengan akal manusia kecuali mereka yang telah diberikan ilmu oleh Allah swt. Wallahu a’lam .
Tahlilan/Yasinan (amalan atau hadiah
pahala untuk orang mati serta dalilnya)
Setelah kita membaca uraian diatas
mengenai amalan orang hidup yang bisa
bermanfaat bagi si mayit, pembacaan Al-Qur’an dikuburan, ruh-ruh kaum muslimin,
talqin dan lain sebagainya insya Allah jelas bagi pembaca bahwa amalan-amalan
yang dikerjakan saudara-saudara kita itu mempunyai dalil dan akar yang kuat.
Begitu juga dengan majlis dzikir tahlilan/yasinan yang sering kita
lihat, dengar atau kita alami sendiri terutama di Indonesia. Didalam majlis ini
diadakan pembacaan bersama ayat Al-Qur’an dan berdo’a yang ditujukan untuk
kita, kaum muslimin umumnya dan khususnya untuk saudara-saudara kita
muslimin yang baru wafat atau yang telah lama wafat. Tahlilan ini boleh
diamalkan baik secara berkumpul maupun perorangan.
Hal yang sama ini dilakukan juga
baik oleh ulama maupun orang awam dibeberapa kawasan dunia umpamanya: Malaysia,
Singapore, Yaman dan lainnya.
Memang berkumpul untuk membaca tahlilan
ini tidak pernah diamalkan pada zamannya Rasulallah saw. dan para sahabat. Itu
memang bid’ah (rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa baik), karena sejalan
dengan dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum
agama. Sifat rekayasa terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah
(secara massal), bukan terletak pada bacaan yang dibaca pada majlis tersebut.
Karena bacaan yang dibaca disana banyak diriwayatkan dalam hadits Rasulallah
saw. Tidak lain semuanya ini sebagai ijtihad para
ulama-ulama pakar untuk mengumpulkan orang dan mengamalkan hal tersebut.
Bacaan Tahlilan yang dibaca
di Indonesia, Malaysia, Singapora, Yemen ialah: Pertama-tama berdo’a dengan di-iringi niat
untuk orang muslimin yang telah lama wafat dan baru wafat tersebut, kemudian
disambung dengan bacaan
surat Al-Fatihah, surat Yaasin, ayat Kursi (Al-Baqoroh :255) dan beberapa ayat
lainnya dari Al-Qur’an, tahlil (Pengucapan Lailahaillallah) tasbih (Pengucapan
subhanallah), sholawat Nabi saw. dan sebagainya. Setelah itu ditutup dengan
do’a kepada Allah swt. agar pahala bacaan yang telah dibaca itu
dihadiahkan untuk orang-orang yang telah wafat terutama dikhususkan untuk orang
yang baru wafat itu, yang oleh karenanya berkumpulnya orang-orang ini untuk
dia. Juga berdo’a pada Allah swt. agar dosa-dosa orang muslimin baik yang masih hidup
maupun telah wafat diampuni oleh-Nya. Nah, dalam hal ini apanya yang
salah…? Allah swt. Maha Pengampun dan Dia telah berfirman akan mengabulkan
do’a sese- orang yang berdo’a pada-Nya !
Sedangkan mengenai
makanan-makanan yang dihidangkan oleh sipembuat hajat itu bukan masalah
pokok tahlilan ini tidak lain hanya untuk menggembirakan dan menyemarakkan
para hadirin sebagai amalan sedekah dan dan tidak ada paksaan ! Bila ada orang
yang sampai hutang-hutang untuk mengeluarkan jamuan yang mewah, ini
bukan anjuran dari agama untuk berbuat demikian, setiap orang boleh mengamalkan
menurut kemampuannya. Dengan adanya ini nanti dibuat alasan oleh golongan
pengingkar untuk mengharamkan tahlil dan makan disitu. Ini sebenarnya bukan
alasan yang tepat karena Tahlil tidak harus diharamkan atau ditutup karena
penjamuan tersebut. Seperti halnya ada orang yang ziarah kubur beranggapan
bahwa ahli kubur itu bisa merdeka memberi syafa’at pada orang tersebut
tanpa izin Allah swt., keyakinan yang demikian ini dilarang oleh agama. Tapi
ini tidak berarti kita harus mengharamkan atau menutup ziarah kubur
karena perbuatan perorangan tersebut. Karena ziarah kubur ini sejalan dengan
hukum syari’at Islam !
Sekali lagi penjamuan tamu
itu bukan suatu larangan, kewajiban dan paksaan, setiap orang boleh mengamalkan
menurut kemampu annya, tidak ada hadits yang mengharamkan atau melarang
keluarga mayyit untuk menjamu tamu orang-orang yang ta’ziah atau yang berkumpul
untuk membaca do’a bersama untuk si mayyit..
Imam Syafi’i dalam kitabnya
Al Umm mengatakan bahwa disunnahkan agar orang membuat makanan
untuk keluarga mayyit sehingga dapat menyenang kan mereka, yang mana hal ini
telah diriwayatkan dalam hadits bahwa Rasulallah saw. tatkala datang berita
wafatnya Ja’far bersabda; ‘Buatkanlah
makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang
menyibukkan’ (Tartib Musnad Imam Syafi’i,
pembahasan tentang sholat, bab ke 23 ‘Sholat jenazah dan hukum-hukumnya’ hadits
nr. 602 jilid 1 hal. 216)
Tetapi riwayat itu bukan
berarti keluarga si mayyit haram untuk mengeluar- kan jamuan kepada para
tamu yang hadir. Begitu juga orang yang hadir tidak diharamkan untuk menyuap
makanan yang disediakan oleh keluarga mayyit. Penjamuaan itu semua adalah
sebagai amalan sedekah dan suka rela terserah pada keluarga mayyit. Rasulallah
saw. sendiri setelah mengubur mayit pernah diundang makan oleh keluarga si
mayyit dan beliau memakan nya.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Abu dawud dan Baihaqi dari Ashim bin Kulaib dari ayah seorang sahabat Anshar,
berkata:
“Kami telah keluar menyertai Rasulallah
saw. mengiringi jenazah, maka kulihat Rasulallah saw. berpesan kepada penggali
kubur, kata beliau saw., ‘perluaslah arah kedua kakinya, perluaslah arah
kepalanya’. Ketika beliau pulang ditemuilah orang yang mengundang dari pihak
istrinya (istri mayyit),
beliaupun memenuhi undangan itu dan kami menyertainya lalu dihidangkan makanan,
maka beliau mengulurkan tangannya, kemudian hadirin mengulur- kan tangan
mereka, lalu mereka makan, dan aku melihat Rasulallah saw. mengunyah suapan di
mulutnya”.
Golongan pengingkar majlis tahlilan
ada juga yang mengatakan bahwa membaca Tahlilan/Yasinan dirumah si mayyit yang baru
wafat, diadopsi oleh para Da’i terdahulu dari upacara kepercayaan
Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut kepercayaan Animesme ruh-ruh keluarga
yang wafat akan datang kerumahnya masing-masing setelah pada hari 1-3-7 dan
seterusnya, dan ruh-ruh ini mengharap sajian-sajian dari keluarganya, bila
tidak mereka akan marah dan lain-lain. Setelah mereka masuk Islam, akidah yang
sama tersebut masih dijalankan golongan ini (repot untuk dihilangkannya). Maka
para Da’i penyebar pertama Islam di Indonesia
termasuk wali songo merubah
keyakinan mereka dan memasukkan ajaran-ajaran dzikir untuk orang yang telah
wafat itu. Jadi para Da’i/ahli dakwah ini tidak merubah adat mereka ini
tapi memberi wejangan agar mereka berkumpul tersebut membaca dzikir pada
Allah swt. dan berdo’a untuk si mayat, sedangkan sajian-sajian tersebut tidak
ditujukan pada ruh mayat tapi diberikan para hadirin sebagai sedekah/
peng hormatan untuk tamu !
Penafsiran golongan ini bahwa majlis
tahlilan sebagai adopsi dari Hindu yang tidak beragama Islam dan
mempunyai banyak Tuhan dan sebagainya ini ialah pemikiran yang tidak
benar serta dangkal sekali ! Penulis sejarah seperti ini adalah penulis
yang hanya mengarang-ngarang saja dan anti majlis dzikir. Pengarang ini tanpa
memperhatikan tulisan atau ucapannya sehingga dia telah menyamakan kaum
muslimin termasuk para Da’i, ulama
pakar maupun orang awam yang ikut
bercengkerama pada majlis tahlilan/ yasinan ini dengan orang-orang kafir
Hindu yang tidak bertauhid. Hati-hatilah !!
Para Da’i sebelum datang di Indonesia
sudah mengenal dan mengamalkan majlis dzikir, walaupun cara mereka mengamal
kan berbeda dengan kita yang di Indonesia tapi intinya sama mereka mengenal riwayat-riwayat yang
berkaitan dengan hadiah pahala amalan yang bermanfaat untuk
mayit. Semuanya ini (dzikiran, hadiah pahala amalan) sudah diterangkan
dalam hadits Rasulallah saw., wejangan para ulama pakar dari semua
madzhab Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad beberapa ratus tahun
sebelum para Da’i datang ke Indonesia.
Sedangkan cara pengamalan majlis
dzikir ini berbeda-beda tapi inti dan maknanya sama yaitu pembacaan doá dan
penghadiahan pahala bacaan ini kepada orang yang telah wafat. Ada
yang mengamalkannya sendirian/per-orangan saja dan ada yang mengamalkan
dengan mengumpulkan orang banyak untuk berdo’a bersama yang
ditujukan untuk si mayyit. Bertambah banyak orang yang berdo’a kepada
Allah swt. sudah tentu bertambah baik dan lebih besar syafa’at yang diterima
untuk si mayyit itu .
Didalam Islam kita dibolehkan serta
dianjurkan untuk berdakwah dengan cara apapun selama cara tersebut tidak keluar
dari garis-garis syariat akidah Islam. Dengan demikian para Da’i merubah keyakinan
orang-orang Hindu yang salah kepada yang benar yang sesuai dengan syari’at
Islam. Dakwah mereka ini sangat hebat sekali mudah diterima dan dipraktekan
oleh orang-orang yang fanatik dengan agama dan adatnya yang tadinya di Jawa 85 % beragama Hindu menjadi 85%
beragama Islam sehingga mereka memeluk agama
yang bertauhid satu !
Berdzikir pada Allah swt. itu boleh
diamalkan setiap detik, menit, hari, bulan dan lain-lain lebih sering
lebih baik. Dakwah yang bisa merubah adat buruk suatu kaum kepada
adat yang sejalan dengan syari’at Islam serta bernafaskan tauhid
adalah dakwah yang sangat baik sekali. Dengan demikian kaum itu
akan kembali kejalan yang benar yang diridhoi Allah swt. Jadi para Da’i waktu
itu bukannya mengadopsi adat-adat hindu sebagai mana pandangan golongan pengingkar tetapi mengajari pengikut adat Hindu
ini kepada jalan yang benar yang dibolehkan oleh syari’at Islam. Dalam hal
ini apanya yang salah….?
Sejarah mencatat juga bahwa penyebar
Islam yang pertama kali ke Indonesia dari Gujarat, Cina, Persia dan Iraq
dimulai pada permulaan abad ke-12 M ( jadi sebelum wali songo). Di negara
penyebar-penyebar Islam (para Da’i) yang pertama kali di Indonesia ini sudah
sering diadakan kumpulan/majlis dzikir dan peringatan-peringatan keagamaan
diantaranya peringatan hari lahir dan wafatnya Nabi saw. (silahkan baca bab
maulidin Nabi saw. dalam buku ini), peringatan kelahiran dan kewafatan Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib kw., peringatan kelahiran dan kewafatan Sayyidah
Fatimah Az-Zahra putri Muhammad saw. dan lain sebagainya, walaupun cara mereka
mengadakan peringatan-peringatan tersebut tidak persis atau sama dengan kita di
Indonesia, tapi inti dan maknanya sama memperingati, menghadiahkan pahala
bacaan dan mendo’akan orang-orang yang telah wafat.
Jadi majlis dzikir dan penghadiahan
pahala bacaan yang dibaca ini sudah diamalkan oleh para ulama pakar
sebelum penyebar-penyebar Islam ini datang ke Indonesia ! Hal yang sama
sering diamalkan juga oleh kaum muslimin dari berbagai madzhab: Madzhab Hanafi,
Maliki, Syafii dan sebagainya diseluruh dunia, yang mana pengikut
madzhab-madzhab ini sudah ada dimulai pertengahan abad ke 8 M atau sekitar
tahun 100 Hijriah yaitu mulai zamannya Imam Ja’far Shodiq ( 80-148 H/ 699-765
M) bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib
kw., yang mana Imam Hanafi, Imam Malik ra pernah berguru pada Imam Ja’far ini.
Tidak lain mengumpulkan orang untuk
peringatan keagamaan ini dan berkumpulnya orang-orang untuk membaca tahlil
adalah hasil ijtihad yang baik dari para ulama pakar, yang semuanya ini
tidak keluar dari garis yang telah ditentukan oleh syari’at. Amalan ini mereka
teruskan dan jalankan di negara kita yang mana sampai detik ini diamalkan oleh
sebagian besar kaum muslimin di Indonesia.
Malah sekarang bisa kita lihat bukan
hanya di negara kita saja, tetapi peringatan-peringatan Maulidin Nabi saw. dan
kumpulan majlis dzikir ini sudah menyebar serta dilaksanakan oleh sebagian
besar kaum muslimin diseluruh dunia dari berbagai madzhab (Hanafi, Maliki,
Syafii, dan lain-lain) diantaranya: Malaysia, Indonesia, Mesir, Irak, Iran,
Afrika, Turki, Yemen, Marokko, negara Saudi Arabia, Pakistan dan sebagainya.
Umpama saja, kita tolerans dan benarkan
sejarah yang ditulis oleh golongan pengingkar ini mengenai majlis tahlilan
tersebut, sekali lagi umpamanya diketemukan sejarah yang benar/authentik dari
zamannya para Da’i ke Indonesia yaitu meneruskan adat Hindu ini dengan mengarahkan kepada amalan-amalan
dzikir/tahlilan yang ditujukan untuk yang hadir dan si mayit apanya yang salah dalam hal ini ?
Para Da’i merubah dan mengarahkan adat
Hindu yang keliru ini yang
mempercayai akan marahnya ruh kerabat-kerabat mereka yang baru wafat bila
tidak diberi sajian-sajian kepada si mayyit ini selama 1-3-7 hari kepada adat yang dibolehkan dan sejalan
dengan syari’at Islam. Dengan demikian adat-adat hindu yang masih
dilakukan oleh orang-orang yang baru memeluk agama Islam/ muallaf ini,
diteruskan dengan bacaan-bacaan dzikir serta do’a-do’a pada Allah swt. yang
bisa bermanfaat untuk si mayyit. Sedangkan sajian-sajian yang biasanya oleh
kaum Hindu disajikan kepada ruh si mayyit, dirubah oleh para Da’i untuk
disajikan kepada para kerabat mereka atau kepada para hadirin yang
ada disitu.
Sedangkan waktu
pelaksanaan berdzikir dan berdo’a kepada Allah swt. untuk si mayyit
selama 1-3-7 hari atau lebih banyak hari lagi, ini semua
boleh diamalkan. Karena didalam syari’at Islam tidak ada larangan setiap waktu untuk berdzikir dan berdo’a kepada Allah swt. yang ditujukan baik
untuk orang yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Malah sebaliknya
banyak riwayat-riwayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang menganjurkan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk berdzikir dan berdo’a setiap saat, lebih
banyak waktu yang digunakan untuk berdzikir dan berdo’a itu malah lebih baik!!
Sekali lagi bahwa para Da’i waktu
itu bukannya mengadopsi adat-adat hindu sebagaimana pandangan golongan pengingkar tetapi mengajari pengikut adat
Hindu ini kepada jalan yang benar yang dibolehkan oleh syari’at Islam. Dua
kata-kata mengadopsi dan mengajari itu mempunyai arti yang
berbeda!
Jika pikiran golongan pengingkar yang
telah dikemukakan dituruti, beranikah mereka ini menuduh puasa sunnah
‘Asyura (10 Muharram) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dan beliau
anjurkan kepada para sahabatnya sebagai perbuatan meniru-niru orang Yahudi atau sebagai
adopsi dari kaum ini? Karena puasa sunnah ‘Asyura dianjurkan oleh Rasulallah
saw. setelah beliau melihat kaum Yahudi di Madinah puasa pada hari 10 Muharram
tersebut. Beliau saw. bertanya kepada kaum Yahudi mengapa mereka ini berpuasa
pada hari itu ? Mereka menjawab; Pada hari ini Allah swt. menyelamatkan nabi
mereka dan menenggelamkan musuh mereka. Kemudian Nabi saw. menjawab: Kami
lebih berhak memperingati Musa dari- pada kalian! (Nahnu aula bi muusaa
minkum).
Begitu juga Nabi saw. pernah ditanya
mengenai puasa sunnah setiap hari Senin, beliau saw. menjawab; ‘Pada hari
itu aku dilahirkan dan pada hari itu juga (Allah swt.) menurunkan wahyu
kepadaku’. Mengapa golongan pengingkar ini tidak menuduh puasa sunnah hari
Senin yang dilakukan Nabi saw. untuk memperingati hari kelahiran beliau dan
menghormati turunnya wahyu yang pertama, sebagai perbuatan meniru-niru golongan
Kristen yang memperingati hari kelahiran Yesus ?
Wahai golongan pengingkar, janganlah
kalian selalu mencari-cari alasan untuk melarang orang tahlilan dengan memasukkan
macam-macam riwayat atau sejarah yang mana semuanya ini tidak ada sangkut
pautnya dengan larangan agama untuk membaca tahlilan dan hanya menambah dosa
kalian saja !! Jadi selama ini yang mengatakan menurut ceritera bahwa tahlilan, yasinan adalah warisan atau adopsi dari kepercayaan
Animesme, Hindu atau Budha adalah tidak benar! Ini hanya sekedar Dongengan
Belaka yang diada-adakan oleh mereka yang anti majlis dzikir.
Mereka juga mengatakan seperti biasanya amalan-amalan tersebut adalah Bid’ah, Syirk dan sebagainya karena tidak
pernah dilakukan atau dianjurkan oleh Rasulallah saw., para sahabat
atau tabi’in, dan bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah sambil mengambil
dalil hanya dari beberapa bagian al-Qur’andan Sunnah yang sepaham dengan pikiran mereka dan meninggalkan serta melupakan dari surat-surat
Al-Qur’an dan Sunnah yang lainnya. Mereka lebih mengartikan Bid’ah secara
tekstual (bahasa) daripada secara Syari’at. (Baca keterangan mengenai Bid’ah).
Ingatlah saudara-saudaraku, mereka ini
berkumpul untuk berdzikir pada Allah swt. dengan niat dan tujuan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya yang mana dzikir ini sudah pasti
mendapat pahala karena banyak ayat ilahi dan hadits Rasulallah saw. mengenai pahala
bacaan-bacaan dzikir (tahmid, sholawat, takbir, tahlil dan lain-lain) yang
dibaca dimajlis-majlis tersebut (rujuklah pahala baca Al-Qur’an dan
sebagainya dibuku ini). Bila golongan yang tidak senang amalan tersebut serta
ingin menyerukan yang baik dan melarang yang munkar/jelek, laranglah
dan nasehatilah secara baik pada orang-orang yang melanggar agama yang
pelanggaran tersebut sudah disepakati oleh seluruh ulama madzhab Sunnah
tentang haramnya (pelacuran, peminum alkohol dan lain-lain). Janganlah selalu
menteror, mensesatkan atau mengharamkan majlis dzikir, tawassul, tabarruk dan
sebagainya yang semuanya mempunyai dalil.
Dan janganlah mudah mengafirkan
golongan muslimin yang berdosa tersebut selama mereka masih mentauhidkan Allah
swt. dan mengakui kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Camkanlah hadits
Rasulallah saw. yang mengecam orang yang menuduh muslimin sebagai kafir, fasiq,
munafik karena hanya amal perbuatan mereka tersebut !
Bila golongan pengingkar ini tidak mau
mengamalkan tawassul, tabarruk, ziarah kubur, kumpulan majlis dzikir dan sebagainya,
disebabkan mengikuti wejangan ulama-ulama mereka yang melarang hal tersebut, silahkan
dan itu adalah urusan mereka sendiri dan tidak ada kaum muslimin lainnya yang
mencela, mensesatkan mereka atau merasa rugi dalam hal ini, karena semuanya itu
amalan sunnah bukan wajib. Tapi janganlah, karena keegoisan dan
kefanatikannya pada wejangan ulamanya sendiri, menyuruh dan mewajibkan
muslimin seluruh dunia untuk tidak melaksanakan tawassul, tabarruk,
kumpulan dzikir bersama dan sebagainya, sampai-sampai berani mengkafirkan,
menghalalkan darahnya, mensesatkan dan memunkarkan mereka karena mengamalkan
hal-hal tersebut. Orang-orang yang mengamal kan kebaikan ini sebagai amalan
tambahannya serta mereka tidak mensyariatkan atau mewajibkan amalan-amalan
tersebut.
Pikiran mereka seperti itu juga akan
dibodohkan oleh muslimin, karena banyak wejangan ulama-ulama pakar yang
berkaitan dengan amalan-amalan diatas serta mereka ikut bercengkerama didalam
majlis-majlis tersebut ! Bagi non-muslim akan lebih mempunyai bukti atas
kelemahan muslimin dan mereka akan berpikiran bahwa agama Islam adalah agama
yang suka mencela, tidak toleransi, dengan sesama agamanya saja mereka
mensesatkan atau menghalallkan darahnya apalagi dengan kita yang non-muslim !
Perselisihan/perbedaan dalam hal
tersebut seharusnya diselesaikan secara baik oleh sesama ulama-ulama Islam,
sehingga bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan ummat Islam.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
perbedaan pendapat setiap manusia atau golongan itu selalu ada, tetapi bukan
untuk diperuncing atau dipertajam. Setiap golongan muslimin berdalil pada
Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw., tetapi berbeda cara penafsiran dan
penguraiannya. Alangkah baiknya kalau sesama muslim satu sama lain tidak
mengkafirkan, mensesatkan pada orang yang senang mengamalkan amalan-amalan
sunnah yang baik itu ! Begitupun juga kita harus saling toleransi baik antara
muslimin sesamanya atau antara muslimin dan non-muslimin (yang tidak memerangi
kita). Dengan demikian keharmonisan hidup akan terlaksana dengan baik.
Telah dikemukakan juga bahwa kita
dibolehkan mengeritik, mensalahkan akidah atau keyakinan suatu golongan
muslimin yang sudah jelas dan tegas dilarang oleh agama umpamanya;
menyembah berhala, mengatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai anak Allah swt.,
menyerupakan/tasybih Allah swt. dengan makhluk-Nya, tidak mempercayai adanya
Malaikat, menghalalkan makan babi, main judi, membolehkan orang meninggalkan
sholat wajib dengan sengaja dan sebagainya, ini semua sudah jelas bertentangan
dengan ajaran syariat Islam. Semoga kita semua diberi Taufiq oleh Allah swt.
Amin
Keterangan singkat mengenai Peringatan
Haul
Orang-orang Arab
Jahiliyyah setelah menunaikan haji mereka hanya bermegah-megahan tentang
kebesaran nenek moyangnya saja. Kemudian turun perintah Allah swt. agar mereka sebagaimana mereka menyebut-yebut nenek
moyangnya agar banyak berdzikir pada Allah swt.:
‘Apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu
menyebut-nyebut (membangga-bangga kan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah
lebih banyak dari itu’. (Al-Baqarah: 200)
Dalam ayat diatas ini, Allah swt. tidak
melarang adat mereka setiap tahun setelah usai haji menceriterakan
riwayat hidup dan membangga-bangga kan nenek moyangnya, hanya Allah swt.
menghendaki agar orang Arab Jahiliyyah disamping membangga-banggakan
tersebut juga banyak berdzikir pada Allah swt.!
Sebagian ulama mengatakan ayat ini bisa
dijadikan sebagai dalil diboleh- kannya orang-orang setiap tahun
memperingati para wali atau sholihin yang telah wafat (Haul). Karena
dalam peringatan ini para ulama akan menyebut- kan/mengumandangkan kepada
hadirin riwayat hidup para wali/sholihin yang diperingati ini,
kemudian diakhiri dengan berdo’a kepada Allah swt. agar amalan-amalan
para wali/sholihin ini diterima oleh Allah swt. dan para hadirin diberi
taufiq oleh Allah sehingga bisa mencontoh amal perbuatan para sholihin
yang terpuji, dimasa hidupnya mereka.
Kita juga telah membaca beberapa
riwayat mengenai ruh-ruh sedemikian besar artinya dan sedemikian tinggi
martabat yang dikaruniakan Allah swt. kepada para waliyullah khususnya dan
hamba Allah mukminin pada umum nya. Mereka bisa berdo’a pada Allah swt. baik
untuk para kerabatnya maupun para hadirin yang berziarah dimakam-makam mereka.
Ruh-ruh mereka bisa hadir dimakamnya atau ditempat lainnya yang mereka
kehendaki setiap waktu.
Dengan demikian peringatan Haul ini
banyak manfaat baik bagi orang yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Bagi
yang sudah wafat mendapat do’a dari jama’ah, fadhilah atau pahala
pembacaan Al-Qur’an yang ditujukan kepadanya. Sedangkan berkumpulnya jama’ah
(para hadirin) yang membaca do’a ini sudah tentu akan mendapat pahala, rahmat
dan berkah dari Allah swt., karena ziarah kubur pada orang muslim yang biasa
saja sudah termasuk sunnah Rasulallah saw. apalagi menziarahi para ulama, para
sholihin dan para wali yakni orang-orang yang dibanggakan, dipuji oleh Allah
swt. dan Rasul-Nya.
Jika haul yakni berkumpulnya orang banyak untuk ziarah dimuka
kuburan para wali sebagai bid’ah, itu sungguh merupakan
bid’ah mahmudah (bid’ah yang terpuji) atau bid’ah hasanah (bid’ah yang baik)
karena sejalan dengan kaidah hukum syari’at Islam (baca bab Bid’ah di buku
ini).Tidak ada alasan untuk menuduh penyelenggaraan Haul itu bid’ah dholalah
(bid’ah sesat) atau haram, selagi tuduhan itu tidak didasarkan pada
nash-nash Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. yang dengan tegas dan jelas
mengharamkan Haul. Mengharamkan sesuatu yang oleh syara’ tidak diharamkan,
apalagi jika tidak disertai dalil yang tegas dari Kitabullah dan Sunnah
Rasulallah, itu bukan lain hanyalah omong kosong dan semata-mata mengada-adakan
kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya dan sama sekali bukan dari ajaran agama
! Ingat ayat Allah swt. dalam surat Asy-Syuraa:21: “….mereka yang mensyari’atkan
sebagian dari agama sesuatu yang tidak di-izinkan Allah”.
Jadi sesuatu yang menurut asalnya (pada
dasarnya) halal tidak boleh diharamkan kecuali atas dasar dalil yang benar
dan jelas serta sejalan dengan penegasan Allah dan Rasul-Nya tentang
pengharamannya.
Banyak masalah ilmu figih yang tidak
menghapus sama sekali adat-adat Jahiliyyah. Nabi saw. meneliti adat-adat
Jahiliyyah yang baik dan tidak melanggar syari’at Islam itu boleh diamalkan
sedangkan adat Jahiliyyah yang buruk dan melanggar syari’at itu harus dihapus.
Umpama hal meminang dalam perkawinan, perceraian, masa iddah dan lain
sebagainya ini sudah ada pada zaman jahiliyyah jadi bukan masalah yang baru
dalam agama Islam. Rasulallah saw. meneliti kembali masalah-masalah tersebut
untuk bisa disesuaikan dengan hukum syari’at Islam.
Demikianlah sekelumit keterangan
mengenai peringatan Haul, sebagai tambahan setelah keterangan mengenai
tahlilan/yasinan. Semoga Allah swt. memberi petunjuk yang benar kepada kita
semua. Amin
Dalil-dalil orang yang membantah dan
jawabannya
Banyak orang salah mengartikan makna
beberapa hadits atau ayat ilahi berikut ini, dengan adanya salah penafsiran
tersebut mereka mudah mengharamkan atau mensesatkan amalan-amalan orang hidup
yang dituju- kan pahalanya untuk orang yang mati.
1. Hadits riwayat Muslim, Abu Dawud,
At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad :
عَنْ
أبِى هُرَيْرَة (ر)
أنَّ رَسُول الله .صَ. قَالَ: إذَا مَاتَ الإنسَانُ انْقَطَعَ
عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ:
صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ اَو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, اَووَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ (رواه
ابو داود)
‘Apabila seorang manusia meninggal
maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal : Sedekah jariyah, anak yang shalih
yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya’.
Mereka berkata: Kata-kata ingata’a
amaluhu (putus amalnya) pada hadits tersebut menunjukkan bahwa
amalan-amalan apapun kecuali yang tiga itu tidak akan sampai pahalanya
kepada mayyit !
Pikiran seperti itu adalah tidak tepat,
karena sebenarnya yang dimaksud hadits tersebut sangat jelas bahwa tiap
mayit telah selesai dan putus amal- nya, karena ia tidak diwajibkan lagi untuk
beramal. Tetapi ini bukan berarti putus pengambilan manfaat dari
amalan orang yang masih hidup untuk si mayit itu. Juga tidak ada keterangan
dalam hadits tersebut bahwa si mayyit tidak dapat menerima syafa’at,
hadiah bantuan do’a dan sebagainya dari orang lain selain dari anaknya yang
sholeh. Tidak juga berarti bahwa si mayit tidak bisa berdo’a untuk orang
yang masih hidup. Malah ada hadits Rasulallah saw.bahwa para Nabi dan
Rasul masih bersembah sujud kepada Allah swt.didalam kuburnya.
Dalam syarah Thahawiyah halaman 456
disebutkan: bahwa dalam hadits tersebut tidak dikatakan ingata’a intifa’uhu
(terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat) hanya disebutkan ingata’a
amaluhu (terputus amal- nya). Adapun amalan orang lain maka itu adalah
milik orang yang mengamal kannya, jika dia menghadiahkannya kepada si mayit,
maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi yang
sampai itu adalah pahala orang yang mengamalkan bukan pahala amal si
mayit itu.
Banyak hadits Nabi saw. yang berarti
bahwa amalan-amalan orang yang hidup bermanfaat bagi si mayit diantaranya ialah
do’a kaum muslimin untuk si mayit pada sholat jenazah dan sebagainya
(baca keterangan sebelumnya) yang mana do’a ini akan diterima oleh Allah swt., pelunasan
hutang setelah wafat, pahala haji, pahala puasa dan sebagainya (baca
haditsnya dihalaman selanjutnya) serta do’a kaum muslimin untuk sesama
muslimin baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat sebagaimana
yang tercantum pada ayat Ilahi Al-Hasyr.10 .
Begitu juga pendapat sebagian golongan
yang mengikat hanya do’a dari anak sholeh saja yang bisa diterima oleh
Allah swt. adalah pikiran yang tidak tepat baik secara naqli (nash) maupun aqli
(akal) karena hal tersebut akan bertentangan juga dengan ayat ilahi dan
hadits-hadits Nabi saw. mengenai amalan-amalan serta do’a seseorang yang
bermanfaat bagi si mayit maupun bagi yang masih hidup.
Mengapa dalam hadits ini dicontohkan do’a
anak yang sholeh karena dialah yang bakal selalu ingat pada orang
tuanya dimana orang-orang lain telah melupakan ayahnya. Sedangkan anak yang
tidak pernah atau tidak mau mendo’akan orang tuanya yang telah wafat itu
berarti tidak termasuk sebagai anak yang sholeh.
Dari anak sholeh ini si mayit sudah
pasti serta selalu (kontinu) menerima syafa’at darinya. Begitulah yang dimaksud
makna dari hadits ini, dengan demikian hadits ini tidak akan
berlawanan/berbenturan maknanya dengan hadits-hadits lain yang menerangkan akan
sampainya pahala amalan orang yang masih hidup (penebusan hutang, puasa, haji,
sholat dan lain-lain) yang ditujukan kepada simayit. Begitu juga mengenai
amal jariahnya dan ilmu yang bermanfaat selama dua hal ini masih diamalkan oleh
manusia yang masih hidup, maka si mayit selalu (kontinu) menerima juga syafa’at
darinya.
Kalau kita tetap memakai penafsiran
golongan pengingkar yang hanya membatasi do’a dari anak sholeh yang bisa sampai
kepada mayyit, bagaimana halnya dengan orang yang tidak mempunyai anak ? Apakah
orang yang tidak punya anak ini tidak bisa mendapat syafa’at/manfaat
do’a dari amalan orang yang masih hidup? Sekali lagi penafsiran
dan pembatasan hanya do’a anak sholeh yang bermanfa’at bagi si mayyit
adalah tafsiran yang salah, karena bertentangan dengan hadits-hadits shohih
mengenai amalan-amalan orang hidup yang bermanfaat buat si mayyit, diantaranya
do’a orang-orang muslimin pada waktu sholat jenazah.
Dalam Al-Majmu’ jilid
15/522 Imam Nawawi telah menghikayatkan ijma’ ulama bahwa
‘sedekah itu dapat terjadi untuk mayyit dan sampai pahalanya dan beliau
tidak mengaitkan bahwa sedekah itu harus dari seorang anak ’.
Hal yang serupa ini juga diungkapkan
oleh Syaikh Bakri Syatha Dimyati dalam kitab I’anatut Thalibin jilid
3/218 : ‘ Dan sedekah untuk mayyit dapat memberi manfaat kepadanya baik
sedekah itu dari ahli warisnya ataupun dari yang selainnya’
Juga hadits-hadits Nabi saw.
mengenai hadiah pahala Qurban diantaranya yang diriyayatkan oleh Muslim
dari Anas bin Malik ra:
عَنْ
أنَسِ (ر) عَنْ عَلِىّ (كَرَّمَهُ اللهُ وَجْهَه)
اَنَّهُ كَانَ يُضَحِّى بِكَبْشَيْنِ اَحَدُهُمَا عَنِ النَّبِى.صَ.
وَالآخَرُ
عَنْ نََفْسِهِ فَقِيْلَ لَهُ فَقَالَ اَمَرَنِي ِبهِ يَعْنِى النَّبِى
اَدَعُهُ اَبَدًا.
“Dari Anas bahwasanya Ali kw. berkorban dengan dua ekor
kambing kibas. Yang satu (pahalanya) untuk Nabi Muhammad saw.dan yang kedua
(pahalanya) untuk beliau sendiri. Maka ditanyakanlah hal itu kepadanya (Ali
kw.) dan beliau menjawab : ‘Nabi
saw.memerintahkan saya untuk melakukan hal demikian maka saya selalu memperbuat
dan tidak meninggalkannya‘ ”. (HR Turmudzi).
Aisyah ra mengatakan bahwasanya
Rasulallah saw. menyuruh didatangkan seekor kibas untuk dikorbankan. Setelah
didatangkan beliau saw. berdo’a :
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ
مُحَمَّدٍ وَمِنْ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
“Dengan nama Allah ! Ya, Allah terimalah (pahala korban ini)
dari Muhamad, keluarga Muhamad dan dari ummat Muhammad ! Kemudian Nabi
menyembelihnya”. (HR. Muslim)
Begitu juga hadits yang senada
diatas dari Jabir ra yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi yang
menerangkan bahwa ia pernah shalat ‘Iedul Adha bersama Rasulallah saw., setelah
selesai shalat beliau diberikan seekor domba lalu beliau menyembelihnya seraya
mengucapkan:
“Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah,
kurban ini untukku dan untuk umatku yang belum melakukan qurban”.
Tiga hadits diatas ini menunjukkan hadiah
pahala korban dari Sayyidina Ali kw untuk dirinya dan untuk Nabi saw.,
begitu juga pahala korban dari Nabi saw untuk para keluarganya dan bahkan untuk
segenap ummatnya. Hadits-hadits ini malah membolehkan hadiah pahala
amalan yang ditujukan kepada orang yang masih hidup yang belum sempat
berqurban, padahal orang yang hidup itu masih bisa beramal sendiri didunia ini.
Rasulallah saw. berdo’a kepada Allah swt. agar Dia menerima (pahala) qurban
untuk dirinya, keluarganya dan semua ummat muslimin.
Imam Nawawi dalam syarah Muslim
jilid 8/187 mengomentari hadits diatas ini dengan katanya :
‘Diperoleh dalil dari hadits ini bahwa seseorang boleh
berkorban untuk dirinya dan untuk segenap keluarganya serta menyatukan mereka
bersama dirinya dalam hal pahala. Inilah madzhab kita dan madzhab jumhur’.
Juga pengarang kitab Bariqatul Muhammadiyah
mengkomentari hadits diatas tersebut dengan katanya ;
‘Do’a Nabi saw. itu menunjukkan bahwa Nabi menghadiahkan pahala
korbannya kepada ummatnya dan ini merupakan pengajaran dari beliau bahwa
seseorang itu bisa memperoleh manfaat dari amalan orang lain. Dan mengikuti
petunjuk beliau saw. tersebut berarti berpegang dengan tali yang teguh’.
Juga sepakat kaum muslimin bahwa
membayarkan hutang dapat menggugur kan tanggungan mayyit walaupun pembayaran
tersebut dilakukan oleh orang yang lain yang bukan dari keluarga mayyit.
Hal yang demikian ini ditunjukkan oleh Abi Qatadah dimana beliau
menanggung hutang seorang mayyit sebesar dua dinar. Tatkala beliau telah
membayarkan yang dua dinar itu Nabi saw. bersabda : ‘Sekarang bisalah dingin
kulitnya’. (HR. Imam Ahmad).
Walaupun cukup banyak hadits yang
membolehkan amalan orang yang hidup (hadiah pahala dan lain-lain) yang berguna
untuk si mayit tanpa menyebutkan syarat-syarat tertentu, tapi masih ada saja
golongan yang berbeda pendapat mengenai hukumnya penghadiahan pahala ini. Ada golongan yang membedakan antara ibadah
badaniyah (jasmani) dan ibadah maliyah (harta).
Mereka berkata; pahala ibadah
maliyah seperti sedekah dan haji sampai kepada mayit, sedangkan
ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur’an tidak sampai. Mereka
berpendapat juga bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah
yang tidak bisa digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang
tidak boleh menyertakan ibadah tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini
sesuai dengan sabda Rasulallah saw.: ‘Seseorang tidak boleh melakukan shalat
untuk mengganti- kan orang lain, dan seseorang tidak boleh melakukan shaum
(puasa) untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu
hari sebanyak satu mud gandum?’ (HR An-Nasa’i)
Sebenarnya makna hadits terakhir ini
ialah: Misalnya si A malas untuk sholat Ashar maka si A minta pada Si B untuk
menggantikannya, inilah yang dilarang oleh agama. Karena orang yang masih
hidup harus menunaikan sholat dan puasa sendiri-sendiri tidak boleh
diwakilkan pada orang lain.
Begitu juga bila orang yang masih
hidup tidak mampu puasa lagi karena alasan-alasan tertentu yang dibolehkan agama
umpama sudah tua sekali atau mempunyai penyakit chronis dan lain sebagainya tidak boleh digantikan oleh orang
lain tetapi yang bersangkutan setiap harinya harus mengeluarkan sedekah untuk
memberi makan orang miskin satu mud ( ± 800 gram).
Dengan demikian hadits terakhir
diatas ini tidak tepat sekali untuk digunakan sebagai dalil melarang amalan ibadah
badaniyah yang pahala amalannya dihadiahkan kepada mayit. Karena cukup
banyak hadits Rasulallah saw. baik secara langsung maupun tidak langsung yang
membolehkan penghadiahan pahala amalan untuk orang yang telah wafat baik itu
berupa ibadah badaniyah maupun ibadah maliyah.(baca haditsnya pada halaman
berikut)
Ada golongan ulama yang berpendapat bahwa penghadiahan
pahala baik itu ibadah badaniyah maupun ibadah maliyah akan
sampai kepada simayyit umpama pembacaan Al-Qur’an, puasa, haji, pelunasan
hutang setelah wafat, sedekah dan lain-lainnya dengan mengqiyaskan hal ini
pada hadits-hadits Nabi saw mengenai sampainya pahala ibadah puasa, haji,
sholat, pelunasan hutang setelah wafat, do’a kaum muslimin untuk muslimin yang
telah wafat dan sebagainya.
Golongan ini berkata: “Pahala
adalah hak orang yang beramal, jika ia menghadiahkan kepada sesama muslim maka
hal itu mustahab/baik sebagai mana tidak adanya larangan menghadiahkan harta
untuk orang lain diwaktu hidupnya atau membebaskan hutang setelah wafatnya”.
Begitupun juga tidak ada
dalil jelas yang mengatakan pembacaan Al-Qur’an tidak akan sampai pada si
mayit. Jadi dengan banyaknya hadits dari Nabi saw. mengenai
sampainya pahala amalan atau manfaat do’a untuk si mayit bisa dipakai
sebagai dalil sampainya juga pahala pembacaan Al-Qur’an pada si mayit. Sayang
sekali kalau hal ini kita remehkan dan tinggalkan, karena Rahmat dan Karunia
Ilahi tidak ada batasnya.
2. Golongan pengingkar menyebutkan
beberapa dalil lagi untuk menolak hadiah pahala untuk si mayyit diantaranya :
Firman Allah dalam surat an-Najm ayat
39: ‘Tidaklah ada bagi seseorang itu kecuali apa yang dia usahakan’.
Mereka berkata: Bukankah ini
menunjukkan bahwa amal orang lain tidak akan bermanfaat bagi orang yang sudah
mati karena itu bukan usahanya. Dengan demikian dalam Islam tidak ada yang
dinamakan hadiah pahala !
Ayat tersebut dijadikan oleh mereka
sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala untuk si mayyit, ini juga
tidak tepat sekali. Dalam ayat ini Allah swt. tidak mengatakan juga
bahwa si mayit tidak dapat mengambil manfa’at kecuali dari usahanya
sendiri. Bila golongan ini konsekwen dan adil, maka dengan penafsiran mereka
seperti diatas ini, mereka juga harus mengatakan bahwa semua amalan
muslimin yang masih hidup (termasuk do’a) baik itu dari anaknya atau orang lain
tidak bisa memberi manfa’at atau syafa’at pada si mayit. Juga dengan penafsiran
mereka itu, mereka tidak bisa mengatakan; ‘amalan, do’a dari anak sholeh
atau dari seorang anak untuk orang tuanya saja yang bisa diterima tapi kalau
dari selain itu tidak bisa’.
Karena ayat ilahi (An-Najm :39) tersebut mengatakan: ‘Tidaklah
ada bagi seseorang itu kecuali apa yang dia usahakan’, tanpa tambahan atau
perkecualian kalimat…hanya/kecuali amalan seorang anak sholeh terhadap orang
tuanya yang telah wafat saja yang bisa diterima !
Dengan adanya penafsiran mereka dan
penolakannya yang tidak tepat ini, akan terjadi kontradiksi dengan
hadits-hadits Rasulallah saw. yang telah diakui keshohihannya oleh ulama-ulama
pakar masalah sampainya pahala amalan orang lain untuk si mayyit. (puasa,
shodaqah, haji, sholat, pembayar an hutang dan sebagainya).
Disamping itu banyak ulama-ulama pakar
yang telah menerangkan maksud ayat (An- Najm:39) tersebut diantaranya dalam
kitab Syarah Thahawiyah hal. 455 kita ambil garis besar intinya saja menerangkan: Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun akan
memperoleh banyak kawan dan sahabat, menikahi istri dan melahirkan anak,
melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta
dan suka padanya. Manusia yang banyak sahabat dan kawan yang cinta padanya itu
bila wafat akan memperoleh manfaat dari do’a para sahabat dan kawan-kawannya
tersebut (umpama pada waktu sholat jenazah, ziarah kuburnya dan
sebagainya–pen). Dalam satu penjelasan Allah swt. juga menjadikan iman sebagai
sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan do’a serta usaha dari kaum mukminin
yang lain. Merekapun akan berdo’a untuknya, itu semua adalah bekas dari
usahanya sendiri.
Ayat Al-Qur’an tidak menafikan adanya
kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat Al-Qur’an hanya
menafikan kepemilik-an seseorang terhadap usaha orang lain. Dua perkara
ini jelas berbeda. Allah swt. hanya menfirmankan bahwa orang itu tidak akan
memiliki kecuali apa yang dia usahakan sendiri. Adapun usaha orang lain,
maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, dia boleh
memberi-kannya kepada orang lain atau boleh menetapkannya untuk dirinya
sendiri. (jadi pada kata kata lil-insan pada ayat itu adalah lil-istihqaq
yakni menunjukkan arti ‘milik‘). Beginilah jawaban yang dipilih oleh pengarang
kitab Syarah Thahawiyah.
Sedangkan menurut ahli tafsir Ibnu
Abbas ra dalam menafsirkan ayat An- Najm : 39 adalah :
اَلْحَقُنَابِهِم هَذَا مَنْسُوْخُ الحُكْمِ فِي هَذِهِ
الشََّرِيْعَةِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى
ذُرِّيَّتَهُمْ فَاُدْخِل الأَبْنَاءُ
الجَنَّةَ بِصَلاَحِ الآبَاءِ
“Ini (ayat) telah dinaskh
(dikesampingkan) hukumnya dalam syari’at kita dengan firman Allah Ta’ala; ‘Kami
hubungkan dengan mereka anak-anak mereka’, maka dimasukkanlah anak (yang
beriman) kedalam surga berkat kebaikan yang diperbuat oleh bapaknya”.(Tafsir
Khazin jilid 4/223).
Firman Allah swt yang dimaksud oleh
Ibnu Abbas sebagai pengenyampingan surat An-Najm: 39 adalah surat At-Thur ayat
21 yang berbunyi sebagai berikut: “Dan orang-orang yang beriman dan
anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka Kami hubungkan anak cucu
mereka itu dengan mereka dan Kami tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal
mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”. (At-Thur
ayat 21)
Dengan demikian menurut Ibnu Abbas surat An-Najm; 39 itu sudah
dikesampingkan hukumnya, berarti sudah tidak bisa dimajukan sebagai dalil.
Kalau kita baca ayat At-Thur ini menunjukkan bahwa amalan-amalan datuk-datuk
kita yang beriman yang telah wafat, bisa memberi syafa’at bagi kerabatnya
yang beriman yang masih hidup. Nah, bukan hanya amalan-amalan orang yang
hidup saja yang bisa bermanfaat bagi si mayyit tetapi orang yang beriman
yang telah wafatpun bisa memberi syafa’at.Tidak lain ini semua
menunjukkan Rahmat dan Karunia Ilahi yang sangat luas sekali. Pikirkanlah!
3. Dalil lainnya dari golongan
pengingkar yaitu firman Allah swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang
kecuali dengan kesanggupannya.Bagi- nya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan
menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.
Mereka ini berkata : Bukankah ayat
ini menunjukkan bahwa usaha orang lain tidak akan didapatkan pahalanya dan
kejahatan orang lain tidak akan dipikulkan dosanya.
Pengertian yang seperti itu adalah
tidak benar sekali ! Karena dalam ayat itu juga tidak menafikan seseorang akan
mendapatkan manfaat dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan: Seorang
akan memperoleh harta dari usahanya sendiri. Ucapan ini bukan berarti dia tidak
bisa memperoleh harta yang bukan dari usahanya sendiri, karena bisa saja dia
memperoleh harta dari warisan orang tuanya, pemberian hadiah dari orang lain.
Lain halnya kalau ayat diatas mengandung pembatasan (hasr) umpama bunyi-
nya sebagai berikut :
اِلاَّ مَاكَسَبَتْ لَيْسَ لَهَا
“Tidak ada baginya kecuali
apa yang dia usahakan atau seseorang hanya bisa mendapat apa yang dia
usahakan”.
c). Mereka juga berdalil pada
firman Allah swt. dalam surat Yaasin ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali
terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Dengan berdalil dengan ayat ini
mereka meniadakan pahala dari orang lain, pikiran seperti ini juga tidak tepat
sekali karena dalam ayat ini jelas Allah swt juga tidak menafikan hadiah pahala
terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak
akan didzalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali
terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Dengan memperhatikan konteks ayat
tersebut dapatlah dipahami bahwa seseorang tidak akan disiksa sebab kejahatan
orang lain, jadi bukan berarti seseorang tidak bisa memperoleh pahala sebab
amal kebaikan orang lain (baca Syarah Thahawiyah hal. 456).
5. Golongan pengingkar ini juga
berkata bahwa membaca Al-Qur’an untuk mayyit tidak dikenal dan tidak diamalkan
oleh ulama-ulama salaf dan juga tidak ada petunjuk dari Nabi saw. lalu mengapa
hal itu dilakukan oleh orang-orang sekarang ? Juga kata mereka: Yang
sudah nyata-nyata disyariatkan adalah berdo’a untuk mayyit. Mengapa tidak itu
saja yang dilakukan tanpa harus capek-capek membaca Al-Qur’an, tahlil dan
dzikir terlebih dahulu…”.
Sebagaimana telah dikemukakan pada
bab Bid’ah dibuku ini bahwa Nabi saw. sendiri meridhoi amalan para
sahabatnya tentang tambahan bacaan dalam
sholat yang diamalkan oleh sahabat beliau saw yang mana amalan bacaan
tersebut tidak pernah adanya petunjuk sebelumnya dari Nabi saw.serta
tidak pernah sesudahnya diperintahkan oleh beliau saw.!
Tidak ada petunjuk Nabi saw. atau
tidak diamalkan oleh ulama-ulama salaf bukanlah sebagai satu dalil atau hujjah
untuk melarang dan mengharamkan hal ini apalagi mereka memutuskan
bahwa pahala bacaan tersebut tidak akan sampai pada si mayyit!!
Pikiran dan pertanyaan semacam
diatas ini juga bukan sebagai dalil atau hujjah untuk tidak
sampainya pahala bacaan. Kalau mereka mengakui hadits shohih mengenai sampainya
pahala haji, puasa dan do’a, maka apakah perbedaan yang demikian
itu dengan sampainya pahala membaca Al-Qur’an?
Janganlah kalian membatasi sendiri
Rahmat Ilahi karena Rahmat-Nya sangat luas sekali !!
“Rasulallah saw. waktu itu ditanya
mengenai haji untuk orang yang sudah wafat, puasa untuk orang yang sudah wafat
dan sedekah untuk orang yang sudah wafat, beliau mengizinkan semuanya ini dan
amalan-amalan tersebut akan sampai pada si mayit serta beliau saw. tidak
melarang untuk selain yang demikian. Lalu apakah perbedaan sampainya
pahala puasa yang semata-mata niat dan imsak dengan sampainya
pahala bacaan dan dzikir (yang diiringi dengan niat juga)?” ( Syarah
Aqidah Thahawiyah hal.457).
Orang yang membaca Al-Qur’an, tahlil
dan dzikir, sudah tentu akan mendapat pahala karena banyak sekali hadits yang
meriwayatkan pahala-pahala bacaan Al-Qur’an dan dzikir. Pahala itu adalah hak
milik orang yang berdzikir, kemudian dia berdo’a kepada Allah swt. agar
pahala yang dimiliki itu disampaikan kepada orang yang sudah wafat baik itu
orang tuanya, sanak kerabatnya atau orang lain. Dalam hal ini apanya yang
dilarang…?
Imam
Syaukani dalam Nailul Authar jilid 4/101 bersabda:
فَإِذَاجَازَ
الدُّعَاءُ لِلْمَيِّتِ بِمَا لَيْسَ لِلدَّاعِي فَلأنْ يَجُوْزَ بِمَاهُوَا لَهُ
أوْلَى
“Kalau boleh berdo’a untuk mayyit
dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh sipendo’a, maka tentu kebolehan
berdo’a untuk mayyit dengan sesuatu yang dimiliki oleh sipendo’a (yaitu
pahala)adalah terlebih utama”.
Jadi kita dibolehkan do’a apa saja
kepada Allah swt. walaupun isi do’a itu belum kita miliki sendiri umpamanya ‘Ya
Allah berikanlah pada dia seorang keturunan yang sholeh, rizki yang makmur dan
kesuksesan’ . Do’a seperti ini tidak ada yang membantah apalagi melarang
bahkan sangat dianjurkan. Jadi mengapa orang yang berdo’a untuk
menghadiahkan sesuatu yang telah dimiliki yaitu pahala, malah justru
dilarang ?
Hadits dari Auf bin Malik ia
berkata: Saya telah mendengar Rasulallah saw. bersabda –yakni ketika
menyalatkan jenazah– : ‘Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia,
maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah
kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari
segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah
untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang
lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan
peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka’. (HR Muslim).
Diterima dari Waila bin Asqa’
katanya; Nabi saw. menyalatkan seorang lelaki Islam bersama kami, maka saya
dengar beliau mengucapkan : “Ya Allah, sesungguhnya si Anu anak si Anu
adalah dalam tanggungan dan ikatan perlindungan-Mu, maka lindungilah ia dari
bencana kubur dan siksa neraka, sungguh Engkau Penepat janji dan Penegak
kebenaran. Ya Allah, ampunilah dia dan kasihanilah dia, karena sesungguhnya
Engkau Maha Pengampun lagi Penyayang”. (HR.Ahmad dan Abu Daud)
Rasulallah saw. yang mengajarkan
pada kita bacaan do’a dalam sholat jenazah diatas ini untuk si mayat yang mana
isi do’a tersebut belum semuanya dimiliki oleh si pendo’a sendiri dan do’a ini
toh akan bermanfaat pada si mayyit. Apa gunanya atau keistemewaannya
Rasulallah saw. mengajarkan dan menganjurkan agar muslimin membaca do’a-do’a
tersebut pada sholat jenazah kalau semuanya tidak ada manfa’at/syafa’at untuk
mayyit ?
Telah dikemukakan juga bahwa sunnah
berdo’a setelah mayit dikuburkan, Rasulallah saw. bersabda:
Dari Ustman bin ‘Affan ra berkata:
Adalah Nabi saw. apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri lalu
bersabda: ‘mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati
untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya !’. (HR Abu Dawud, oleh Hakim
yang menyatakan sahnya, juga oleh Al Bazzar). Wallahu a’lam.
Mari kita rujuk pendapat Ibnu
Taimiyah ulama yang diandalkan oleh golongan
pengingkar dalam tafsir Jamal jilid 4
bahwa beliau berkata :
“Barangsiapa meyakini bahwa seseorang tidak dapat mengambil
manfaat kecuali dengan amalnya sendiri, maka sungguh dia telah melanggar ijma’
dan yang demikian itu adalah batil ”. Ibnu
Taimiyyah juga memberi alasan-alasan dalam hal ini sebagai berikut :
a. Nabi saw. akan
memberi syafa’at terhadap orang-orang dipadang mahsyar dalam hal hisab dan
terhadap calon-calon penghuni surga dalam hal masuk kedalamnya. Dan nabi saw.
akan memberi syafa’at terhadap para pelaku dosa besar dalam hal keluar dari
neraka. Ini semua berarti seseorang mengambil manfaat dengan usaha orang lain.
b. Anak-anak orang
mukmin (yang wafat dalam keimanan) akan masuk surga dengan amal bapak mereka
(yang mukmin) dan ini juga berarti mengambil manfaat semata-mata amal
orang lain. (QS at-Thur : 21–pen.).
c. Orang yang duduk
dengan ahli dzikir akan diberi rahmat (ampunan) dengan berkah ahli dzikir itu
sedangkan dia bukanlah diantara mereka dan duduknya itupun bukan untuk dzikir
melainkan untuk keperluan tertentu, maka nyatalah bahwa orang itu telah
mengambil manfaat dengan amalan orang lain. (HR Bukhori, Muslim dari Abu
Hurairah, baca haditsnya pada bab Faedah majlis dzikir di buku ini–pen).
d. Shalat untuk
mayyit (baca: sholat jenazah) dan berdo’a untuk si mayyit didalam shalat
ini, adalah pemberian syafa’at untuk mayyit dengan shalatnya itu, ini juga
pengambilan manfaat dengan amalan orang lain yang masih hidup.
e. Alllah swt
berfirman pada Rasulallah saw : ‘Tidaklah Allah akan mengadzab/menyiksa
mereka sedangkan engkau masih ada diantara mereka’. ‘Kalaulah bukan
karena laki-laki yang mukmin dan wanita-wanita yang mukmin..’ (Al Fath:
25). ‘ Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia terhadap
sebagian yang lain niscaya rusaklah bumi ini’. (Al Baqarah :25). Dalam
ayat-ayat ini Allah swt mengangkat adzab/siksa (adzab umum—pen.) terhadap
sebagian manusia dengan sebab sebagian yang lain dan ini juga termasuk
pengambilan manfaat dengan amalan orang lain.
Demikianlah sebagian alasan-alasan
yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah mengenai pengambilan manfaat dari
amalan-amalan orang lain untuk si mayit. Sebenarnya masih banyak lagi alasan
Ibnu Taimiyah mengenai ini tapi penulis tidak cantumkan semua disini.
Juga kesimpulan Ibnul Qayyim dalam
kitab Al-Ulama wa aqwaaluhum fii sya’nil amwat wa ahwaalihim hal.36-37 :
“Nash-nash ini jelas menerangkan
sampainya pahala amalan untuk mayyit apabila dikerjakan oleh orang yang hidup
untuknya karena pahala itu adalah hak bagi yang mengamalkan, maka apabila dia
menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim tidaklah tercegah yang demikian itu
sebagaimana tidak tercegah orang yang menghadiahkan hartanya dimasa hidupnya
dan membebaskan piutangnya untuk seseorang sesudah matinya. Rasulallah saw.
menegaskan sampainya pahala puasa yang hanya terdiri dari niat dan tidak
makan minum yang semua itu hanya diketahui oleh Allah, maka sampainya
pahala bacaan yang merupakan amalan lisan yang didengar oleh telinga dan
disaksikan oleh mata adalah lebih utama”.
Dan masih banyak lagi dari golongan
ulama yang mengatakan bahwa do’a dan ibadah baik maliyah (harta) maupun
badaniyah (jasmani) bisa bermanfaat untuk mayit berdasarkan dalil-dalil
hadits Rasulallah saw.! Apakah golongang pengingkar berani menmunkarkan
ulama yang selalu mereka andalkan dan ambil makalah-makalah untuk membantah
amalan yang tidak sepaham dengannya ?
Mari kita rujuk dalil-dalil pahala
amalan yang bisa sampai kepada mayyit, diantaranya adalah :
Pahala sedekah untuk orang yang
sudah wafat.
Hadits dari Abu Hurairah :
عَنْ
أبِيْ هُرَيْرَة(ر)
أنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِي.صَ. : أنَّ أبِي مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً
وَلَمْ يُوْصى فَهَلْ يَكْفى عَنْهُ أنْ أتَصَدَّقَ عَنْهُ ؟ قَال َنَعَمْ
“Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah
saw.: ‘Ayah saya meninggal dunia, dan ada meninggalkan harta serta tidak
memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan ?’ Nabi
saw. menjawab : Dapat!” (HR Ahmad,
Muslim dan lain-lain)
Hadits dari Aisyah r.a.berkata:
عَنِ
عَائَشَة رَضِيَ الله عَنْهَا أنَّ رَجُلاً أتَى النَّبِى.صَ. وَقَالَ: إنَّ أمِّى افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا
وَلَم تُو
ص
وَأظُنُّهَا
لَو تَكَلَّمت تَصَدَّقَتْ اَفَلهَا اَجْرًا إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا ؟ قَالَ :
نَعَمْ
‘Seorang lelaki datang kepada Nabi saw. dan berkata: Ibuku
telah mati mendadak, dan tidak berwasiat dan saya kira sekiranya ia sempat
bicara, pasti akan bersedekah, apakah ada pahala baginya jika Aku bersedekah
untuknya? Jawab Nabi saw: Ya.’ (HR.Bukhori,
Muslim dan Nasa’i)
Hadits dari Sa’ad ibnu Ubadah ra.
bahwa ia pernah berkata : “Wahai Rasulallah, sesungguhnya Ummu Sa’ad telah
meninggal dunia, kiranya sedekah apa yang lebih utama untuknya?” Sabda beliau
saw.: ‘Air ‘. Maka Sa’ad menggali sebuah sumur, kemudian ia berkata: “Sumur ini
aku sedekahkan untuk Ummu Sa’ad”. (HR Abu Dawud, Ahmad dan Nasa’i)
Dari Ibnu
Abbas (rah). dia berkata :
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: تُوُفِّيَتْ أمُّ سَعْدِ ابْنِ
عُبَدََةَ وَهُوَغَائِبُ عَنْهَا
فـَقَالَ
يَا رَشُولُ الله إنَّ أمِّى تُوُفِّيَتْ وَاَنَاغَائِبٌ عَنْهَا أيَنفَعُهَا
شَيْئٌ إنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنـْهَا؟
قـَالَ
نَعَمْ, قَالَ فَإنِّي أشْهِدُكَ أنْ حَائِطي المِخْرَافُ صَدَقَةٌ عَنْهَا.
“Ibu Saad bin Ubadah meninggal dunia disaat dia (Saad bin
Ubadah) sedang tidak ada ditempat. Maka berkatalah ia : ‘Wahai Rasulallah! Sesungguhnya ibuku telah wafat
disaat aku sedang tidak ada disisinya, apakah ada sesuatu yang bermanfaat
untuknya jika aku sedekahkan ? Nabi menjawab; Ya ! Berkata Sa’ad bin Ubadah :
Saya persaksikan kepadamu (wahai Rasulallah) bahwa kebun kurma saya yang sedang
berbuah itu sebagai sedekah untuknya’.” (HR Bukhori, Turmudzi dan Nasa’i)
Hadits-hadits dan wejangan para
ulama yang tercantum dalam buku ini jelas menunjukkan bahwa amalan-amalan
sedekah orang yang masih hidup dan diniatkan pahalanya untuk orang yang sudah
wafat akan dapat membawa manfaat dan sampai pahalanya baginya.
Pahala Puasa dan Sholat.
Hadits dari Aisyah ra. Rasulallah
saw. bersabda:
عَنِ
عَائَشَة رَضِيَ الله عَنْهَا عَنِ النَّبِى قَالَ: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَام,
صَامَ عَنْهُ وَلِيُّـهُ.
‘Barang siapa yang wafat dengan mempunyai kewajiban
shaum (puasa) maka walinya berpuasa untuknya’. (Yang dimaksud wali disini yaitu kerabat- nya walaupun
bukan termasuk ahli waris). (HR.Bukhari dan Muslim, Abu Daud dan
Nasa’i )
Hadits dari Ibnu Abbas :
جَاءَ رَجُلٌ إلَى النَّبِى.صَ. فَقَالَ: يَا رَسُول الله انَّ أمِّي
مَا تَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمَ شَهْرَ فَأقـْضِيهِ عَنْهَا ؟
قَالَ لَوْ كَانَ عَلَى أمِّكَ
دَيْن أكَنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا ؟ قَالَ: نَعَم, قَالَ: فَدَيْنُ الله أحَقُّ أنْ
يُقْضَى.
“Seorang lelaki datang menemui Rasulallah saw. ia berkata :
‘Ya Rasulallah, ibuku meninggal dunia, sedang ia mempunyai kewajiban berpuasa
selama sebulan. Apakah saya wajib kadha atas namanya?’ Nabi saw.
berkata; Bagaimana jika ibumu mempunyai hutang, apakah akan kamu bayarkan
untuknya? ‘Benar’ jawabnya. Nabi berkata, maka hutang kepada Allah lebih layak
untuk dibayar!” (HR.Bukhori dan Muslim)
Hadits riwayat Daruquthni :
أنَّ
رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُول الله انَّهُ كَانَ لِى أبَوَان أبِرُّهُمَا فِي
حَيَاتِهِمَا فَكَيْفَ لِي بِرّهِمَا بَعْدَ مَوتِهِمَا ؟
فَقَـالَ
: انَّ مِنَ البِرِّ بَعْدَ المَوْتِ أنْ تُصَلّيَ لَهُمَا مَعَ صَلاَتِـكَ, وَأنْ
تَصُومُ مَعَ صيَاْمِكَ
“Bahwa seorang laki-laki bertanya : ‘Ya Rasulallah, saya mempunyai ibu dan bapak yang
selagi mereka hidup saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya saya
berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia?’ Jawab Nabi saw :
Berbakti setelah mereka wafat ! , caranya adalah dengan melakukan sholat
untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu
!”.
Pahala Haji.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُـمَا انِ امْرَأةَ مِنْ جُهَيْنـَةِ جَائَتْ الَى النَّبِى .صَ. فَقَلَتْ: انَّ أمّي نَذَرَتْ
انْ تُحِجَّ فَلَـمْ تَحِجْ حَتَّى
مَاتَتْ أفَأحِجَّ غَنْهَا؟ قَالَ : حُجِّي عَنْهَا, لَوْ كَانَ عَلَى أمّـِكَ
دَيْن أكَنْتَ قَاضِيـتَهُ ؟
اُقْضـُوا فَالله اَحَقُّ بِالقَضَاءِ.
وَفِى الرِوَايَةِ : فَالله اَحَـقُّ بِالوَفَـاءِ
Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu
‘anhuma- bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi saw. dan
bertanya: ‘Sesungguhnya
ibuku nadzar untuk haji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah
saya melakukan haji untuknya? Rasulallah saw. menjawab: Ya, bagaimana
pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya?, bayarlah
hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar’. (HR Bukhari)
Pada hadits ini Nabi saw. memberi
perintah agar membayar haji ibunya yang sudah wafat. Namun bila si mayyit tidak
memiliki harta, maka disunnahkan bagi ahli warisnya untuk
menghajikannya. Apabila alasan sesuatu atau lain- nya sehingga hal ini tidak
bisa dihajikan oleh ahli warisnya, maka penggantian hajinya itu boleh
dilimpahkan kepada orang lain, dengan syarat orang ini sendiri harus sudah
menunaikan haji, bila belum maka haji yang dikerjakan tersebut berlaku untuk
dirinya. Cara seperti ini biasa disebut dengan badal haji.
Dalilnya ialah hadits dari Ibnu
Abbas :
“Bahwa Nabi saw.pernah mendengar
seorang laki-laki berkata: Labbaik an Syubrumah (Ya Allah, saya
perkenankan perintahMu untuk si Syubrumah). Nabi bertanya: Siapa Syubrumah
itu ? Dia menjawab : Saudara saya atau teman dekat saya. Nabi bertanya: Apakah
engkau sudah berhaji untuk dirimu? Dia menjawab: belum! Nabi bersabda:
Berhajilah untuk dirimu kemudian berhajilah untuk Syubrumah ! ”. (HR.Abu
Daud)
Ditinjau dari dalil Ijma’ (sepakat)
ulama dan Qiyas bahwa do’a dalam sholat jenazah akan bermanfaat bagi mayit,
bebasnya hutang mayit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan
keluarga (HR.Ahmad dari Abi Qatadah) dan lain sebagainya, semuanya ini bisa
bermanfaat bagi mayit. Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia
menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim, maka hal itu tidak ada halangan
sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta atau membebaskan hutang untuk
orang lain diwaktu hidupnya dan setelah wafatnya.
Demikian juga Rasulallah saw.
menganjurkan puasa untuk menggantikan puasa orang yang telah meninggal.
Rasulallah saw. menghadiahkan pahala qurban untuk keluarga dan ummatnya
yang tidak mampu berqurban, padahal qurban adalah melalui menumpahkan darah.
Ibadah haji merupakan ibadah
badaniyah (bagi yang dekat). Harta bukan merupakan rukun dalam haji tetapi sarana. Hal
itu karena seorang penduduk Makkah wajib melakukan ibadah haji apabila ia mampu
berjalan ke Arafah tanpa disyaratkan harus memiliki harta. Jadi ibadah haji bukan
ibadah yang terdiri dari harta dan badan, namun ibadah badan saja
(bagi yang mampu berjalan). Begitu juga kita perhatikan arti fardhu kifayah, dimana sebagian orang bisa
mewakili sebagian yang lain. Persoalan menghadiahkan pahala itu
mustahab/boleh, jadi bukan menggantikan pahala, sebagaimana seorang
buruh tidak boleh digantikan orang lain, tapi gajiannya/upahnya boleh diberi-
kan kepada orang lain jika ia mau.
Islam telah memberikan penjelasan
sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al-Qur’an dan lainnya
diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah menahan diri dari yang
membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayit. Jika
demikian bagaimana mungkin tidak sampainya pahala membaca Alqur’an yang berupa
perbuatan dan niat juga?
Hubungan melalui agama merupakan
sebab yang paling besar bagi sampai- nya manfaat orang Islam kepada saudaranya
dikala hidup dan sesudah wafatnya. Bahkan do’a orang Islam dapat bermanfa’at
untuk orang Islam lain. Al-Qur’an tidak menafikan seseorang mengambil manfaat
dari usaha orang lain. Adapun amal orang lain adalah miliknya, jika orang lain tersebut
menghadiahkan amalnya untuk dia, maka pahalanya akan sampai kepadanya bukan
pahala amalnya, sebagaimana dalam pembebasan utang.
Allah swt. menjelaskan bahwa Dia
tidak menyiksa seseorang karena kesalahan orang lain, dan seseorang tidak
mendapatkan kebahagiaan kecuali dengan usahanya sendiri. Dan dalam firman-Nya
itu, Allah swt. tidak menyatakan bahwa orang tidak dapat mengambil
manfaat kecuali dari usahanya sendiri. Ini tidak lain menunjukkan keadilan
Allah swt..
Menurut madzhab Hanafi, setiap orang
yang melakukan ibadah baik berupa do’a, istiqhfar, shadaqah, tilawatul
Qur’an, dzikir, shalat, puasa, thawaf, haji, ‘umrah maupun bentuk-bentuk ibadah
lainnya yang bersifat ketaatan dan kebaktian dan ia berniat menghadiahkan
pahalanya kepada orang lain, baik yang masih hidup atau yang telah wafat,
pahala ibadah yang dilakukannya itu akan sampai kepada mereka dan juga akan
diperolehnya sendiri. Demikianlah sebagaimana disebut dalam Al-Hidayah,
Al-Bahr dan kitab-kitab lainnya. Didalam kitab Al-Kamal terdapat
penjelasan panjang lebar mengenai itu.
Didalam sebuah hadits shahih yang
keshahihannya setaraf dengan hadits mutawatir menuturkan, bahwa barangsiapa
meniatkan amal kebajikan bagi orang lain, dengan amal kebajikannya itu Allah
swt. berkenan memberikan manfaat kepada orang lain yang diniatinya. Hal ini
sama dengan hadits mengenai shalat dan puasanya seorang anak untuk kedua orang
tuanya, yang dilakukan bersama shalat dan puasanya sendiri. Begitu juga masih
banyak hadits shahih dan mutawatir yang berasal dari Rasulallah saw., berita-berita
riwayat terpercaya, pendapat-pendapat para ulama baik dari kalangan kaum Salaf
dan Khalaf yang menerangkan dan membenarkan bahwa pahala membaca Al-Qur’an,
do’a dan istiqhfar yang
diniatkan pahalanya untuk orang yang telah wafat benar-benar akan sampai kepada orang
yang telah wafat itu.
Ibnu Taimiyyah didalam Fatawa-nya
mengatakan: Adalah benar bahwa orang yang telah wafat beroleh manfaat dari
semua ibadah jasmaniah seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an dan
lain-lain yang dilakukan orang yang masih
hidup baginya. Ia (si mayyit) pun beroleh manfaat
juga dari ibadah maliyah seperti shadaqah dan sebagainya. Semua ini sama
halnya jika orang yang masih hidup berdo’a dan beristiqhfar baginya. Mengenai
ini para Imam madzhab sepakat.
Dengan adanya hadits-hadits dan
wejangan para ulama pakar baik dalam Ijma’ maupun Qiyas yang cukup banyak pada
buku ini, insya Allah jelas bagi kita bahwa penghadiahan pahala baik itu
membaca Al-Quran, tahlilan, do’a maupun amalan-amalan sedekah yang ditujukan
atau dihadiahkan untuk si mayyit, semuanya akan sampai pahalanya. Ingat jangan
lupa Rahmat dan Karunia Ilahi sangat luas sekali jangan kita sendiri yang
membatasinya ! Setelah membaca keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang
telah dikemukakan, insya Allah saudara-saudara kita yang menerima
kesalahan informasi tersebut bisa menjawab dan meneliti sendiri masalah-masalah
yang masih diragukan !
Membangun masjid disisi kuburan
Berikut ini kumpulan sekelumit makalah
dari website Salafy Indonesia 28 Februari 2007.
“ Salah satu keyakinan Ahlusunah yang
mempunyai dasar dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan prilaku Salaf Sholeh –yang
dituduhkan sebagai perilaku syirik oleh kelompok Wahabi– adalah tentang diperbolehkannya
membangun masjid di sisi kuburan para Rasul, nabi dan waliyullah. Hal
ini sebagaimana yang dinyatakan (fatwa) oleh Ibnu Taimiyah –yang kemudian
di-ikuti (secara taklid buta) oleh segenap kelompok Wahabi– sebagaimana yang
tercantum dalam kitab al-Qaidah al-Jalilah halaman 22.
Ibn Taimiyah mengatakan: “Nabi
melarang menjadikan kuburannya sebagai masjid, yaitu tidak memperbolehkan
seseorang pada waktu-waktu shalat untuk mendatangi, shalat dan berdo’a di sisi
kuburannya, walaupun dengan maksud beribadah untuk Allah sekalipun. Hal itu
dikarenakan tempat-tempat semacam itu menjadi sarana untuk perbuatan syirik.
Yaitu boleh jadi nanti mengakibatkan seseorang melakukan do’a dan shalat untuk
ahli kubur dengan mengagungkan dan menghormatinya. Atas dasar itu maka mem-
bangun masjid di sisi kuburan para waliyullah merupakan perbuatan haram.
Oleh karenanya walaupun pembangunan masjid itu sendiri merupakan sesuatu yang
ditekankan namun dikarenakan perbuatan seperti tadi dapat menjerumuskan
seseorang kedalam prilaku syirik maka hukumnya secara mutlak haram”.
Apa dalil dari ungkapan Ibnu Taimiyah
di atas? Memang Ibnu Taimiyah menyandarkan fatwanya tadi dengan hadits-hadits
yang diriwayatkan dalam beberapa kitab Ahlusunah. Namun sayangnya beliau tidak
memiliki analisa dan penerapan yang tepat dan bagus dalam memahami
hadits-hadits tadi sehingga menyebabkannya terjerumus kedalam kejumudan
(kekakuan) dalam menerapkannya. Selain pemahaman Ibnu Taimiyah terhadap
hadits-hadits tadi terlampau kaku, juga tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an,
as-Sunnah dan perilaku Salaf Sholeh.
Ibnu Taimiyah menyandarkan fatwanya
tersebut dengan hadits-hadits sebagai berikut :
Pertama: Rasulallah bersabda: “Allah
melaknat kaum Yahudi dan Nasrani dikarenakan mereka telah menjadikan kubur para
nabinya sebagai tempat ibadah”. (lihat kitab Shahih Bukhari jilid 2
halaman 111 dalam kitab al-Jana’iz (jenazah-jenazah), hadits serupa juga dapat
ditemukan dalam kitab Sunan an-Nasa’i jilid 2 halaman 871 kitab al-Jana’iz)
Kedua: Sewaktu Ummu Habibah dan Ummu Salamah
menemui Rasulallah dan berbincang-bincang tentang tempat ibadah (gereja) yang
pernah dilihat- nya di Habasyah, lantas Rasulallah bersabda: “Mereka adalah
kaum yang setiap ada orang sholeh dari mereka yang meninggal niscaya mereka
akan membangun tempat ibadah diatasnya dan mereka pun menghadapkan mukanya
ke situ. Mereka di akhirat kelak tergolong makhluk yang buruk di sisi Allah”.
(lihat kitab Shahih Muslim jilid 2 halaman 66 kitab al-Masajid)
Ketiga: Dari Jundab bin Abdullah al-Bajli yang
mengatakan; aku mendengar lima hari sebelum Rasulallah meninggal, beliau
bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya sebelum kalian terdapat kaum yang
menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah. Namun
janganlah kalian melakukan semacam itu. Aku ingatkan hal tersebut pada kalian”.
(lihat kitab Shahih Muslim jilid 1 halaman 378)
Keempat: Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau
pernah bermunajat kepada Allah swt dengan mengatakan: “Ya Allah, jangan Kau
jadikan kuburku sebagai tempat penyembahan berhala. Allah melaknat kaum
yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat ibadah”. (lihat kitab
Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 2 halaman 246)
Ini adalah riwayat-riwayat yang
dijadikan dalil para pengikut Wahabi/Salafi untuk mengatakan syirik terhadap
kaum Ahlusunah –termasuk di Indonesia– yang ingin membangun masjid di sisi
kubur para kekasih Allah (waliyullah). Di Indonesia para sekte Wahabi tadi
mengejek dan menghinakan kuburan para sunan (dari Wali Songo) yang rata-rata di
sisi makam mereka terdapat bangunan yang disebut masjid. Lantas apakah
benar bahwa hadits-hadits itu mengandung larangan pembuatan masjid di sisi
kubur para waliyullah secara mutlak? Disini kita akan telaah dan kritisi cara
berdalil kaum Wahabi dalam menggunakan hadits-hadits shohih tadi sebagai
sandarannya.
Ada beberapa poin yang harus
diperhatikan dalam mengkritisi dalil kaum Wahabi yang menjadikan hadits-hadits
diatas sebagai pelarangan pembangunan masjid di sisi makam waliyullah
secara mutlak:
a. Untuk memahami hadits-hadits tadi maka
kita harus memahami terlebih dahulu tujuan/niat kaum Yahudi dan Nasrani
dari pembikinan tempat ibadah di sisi para manusia sholeh mereka tadi.
Dikarenakan melihat “tujuan buruk” kaum Yahudi dan Nasrani dalam membangun
tempat ibadah di sisi kuburan itu maka keluarlah larangan Rasulallah. Dari
hadits-hadits tadi dapat diambil suatu pelajaran bahwa kaum Yahudi dan Nasrani
telah menjadikan kuburan para nabi dan manusia sholeh dari mereka bukan hanya
sebagai tempat ibadah melainkan sekaligus sebagai kiblat (arah ibadah).
Kepada kuburan itulah mereka menghadapkan muka mereka sewaktu bersujud (sebagai
kiblat dan beribadah yang ditujukan pada penghuni kubur itu –pen.). Hakekat
perilaku inilah yang meniscayakan sama hukumnya dengan menyembah kuburan-kuburan
itu. Inilah yang dilarang dengan tegas oleh Rasulallah Muhammad saw.
Jadi jika seorang muslim membangun
masjid disisi kuburan seorang waliyullah sekedar untuk mengambil berkah
(baca bab Tabarruk—pen.) dari tempat tersebut dan sewaktu ia melakukan shalat tidak
ada niatan sedikit pun untuk menyembah kubur tadi maka hal ini
tidak bertentangan dengan hadits-hadits di atas tadi, terkhusus hadits dari
Ummu Salamah dan Ummu Habibah yang menjelaskan kekhususan kaum Yahudi dan
Nasrani dalam menjadikan kubur manusia sholeh dari mereka sebagai tempat
ibadah.
Al-Baidhawi dalam mensyarahi hadits
tadi menyatakan: “Hal itu dikarenakan kaum Yahudi dan Nasrani selalu
mengagungkan kubur para nabi dengan melakukan sujud dan menjadikannya sebagai
kiblat (arah ibadah). Atas dasar inilah akhirnya kaum muslimin dilarang
untuk melakukan hal yang sama dikarenakan perbuatan ini merupakan perbuatan
syirik yang nyata. Namun jika masjid dibangun di sisi kuburan seorang hamba
sholeh dengan niatan ber-tabarruk (mencari berkah) maka pelarangan
hadits tadi tidak dapat diterapkan padanya”.
Hal serupa juga dinyatakan oleh
As-Sanadi dalam mensyarahi kitab Sunan an-Nasa’i jilid 2 halaman 41 dimana ia
menyatakan: “Nabi melarang umatnya untuk melakukan perbuatan yang mirip
prilaku Yahudi dan Nasrani dalam memperlakukan kuburan para nabi mereka, baik
dengan menjadikannya sebagai tempat sujud dan tempat pengagungan (pada
kuburnya) maupun arah kiblat dimana mereka akan menghadapkan wajahnya ke
arahnya (kubur) sewaktu ibadah”.
b. Sebagian hadits di atas menyatakan
akan pelarangan membangun masjid “diatas” kuburan, bukan disisi
(disamping) kuburan. Letak perbedaan redaksi inilah yang kurang diperhatikan
oleh kaum Wahabi dalam berdalil.
c. Begitu juga tidak jelas apakah
pelarangan (tempat ibadah dan arah kiblat) dalam hadits itu menjurus kepada
hukum haram ataupun hanya sekedar makruh (tidak sampai pada
derajat haram) saja. Hal itu dikarenakan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya
(lihat kitab Shahih al-Bukhari jilid 2 halaman 111) dimana beliau mengumpulkan
hadits-hadits itu ke dalam topik “Bab apa yang dimakruhkan dari menjadikan
masjid di atas kuburan” (Bab maa yukrahu min ittikhodz al-Masajid ‘alal
Qubur) dimana ini meniscayakan bahwa hal itu sekedar pelarangan yang bersifat
makruh saja yang selayak- nya dihindari, bukan mutlak haram.
Atas dasar itu, dalam kitab al-Maqolaat
as-Saniyah halaman 427 disebutkan bahwa Syeikh Abdullah Harawi dalam
menjelaskan hadits di atas tadi mengatakan: “Hadits tadi diperuntukkan bagi
orang yang hendak melakukan ibadah diatas kuburan para nabi dengan niat
untuk mengagungkan (menyembah) kubur mereka. Ini terjadi jika posisi
kuburan itu nampak (menonjol .red) dan terbuka. Jika tidak maka melaksanakan
shalat di situ tidak haram hukumnya”.
Begitu pula apa yang dinyatakan oleh
salah seorang ulama Ahlusunah lain yang bermadzhab Hanafi yang bernama Abdul
Ghani an-Nablusi dalam kitab al-Hadiqoh ast-Tsaniyah jilid 2 halaman 631. Ia menyatakan:
“Jika sebuah masjid dibangun di sisi
kuburan (makam)
orang sholeh ataupun di samping kuburannya yang hanya berfungsi untuk mengambil
berkahnya saja, tanpa ada niatan untuk mengagungkannya (maksud: menyembahnya)
maka hal itu tidak mengapa. Sebagaimana kuburan Ismail as terletak di
Hathim di dalam Masjidil Haram dimana tempat itu adalah sebaik-baik tempat
untuk melaksanakan shalat”.
Allamah Badruddin al-Hautsi pun
menyatakan hal serupa dalam kitab Ziarah al-Qubur halaman 28: “Arti
dari mejadikan kuburan sebuah masjid adalah seseorang menjadikan kuburan
sebagai kiblat (arah ibadah) dan untuknya dilaksanakan peribadatan”.
d. Bahkan terbukti bahwa at-Tabrani dalam
kitab al-Mu’jam al-Kabir jilid 3 halaman 204 menyatakan bahwa di dalam
masjid Khaif (di Mina dekat Makkah .red) terdapat delapan puluh
makam para nabi, padahal masjid itu telah ada semenjak zaman Salaf Sholeh.
Lantas kenapa para Salaf Sholeh tetap mempertahankan berdiri tegaknya masjid
tersebut. Jika itu merupakan perbuatan syirik (haram) maka selayaknya sejak
dari dulu telah dihancurkan oleh Rasulallah besrta para sahabat mulai beliau.
Dalil lain yang dijadikan oleh kaum
Wahabi/Salafi –terkhusus Ibnu Qoyyim al-Jauziyah– adalah kaidah Sadd
adz-Dzarayi’ dimana kaidah itu menyatakan: “Jika sebuah perbuatan secara
dzatnya (esensial) dihukumi boleh ataupun sunah, namun dengan melalui
perbuatan itu menjadikan seseorang mungkin akan terjerumus kedalam perbuatan
haram maka untuk menghindari hal buruk tersebut –agar orang tadi tidak
terjerumus ke dalam jurang tersebut– perbuatan itupun lantas dihukumi
haram”. (lihat kembali kitab A’lam al-Muwaqi’in jilid 3 halaman 148).
Dalil di atas itu secara ringkas dapat
kita jawab bahwa; Dalam pembahasan Ushul Fikih disebutkan “Hanya mukadimah
untuk pelaksanaan perbuatan wajib yang menjurus secara langsung kepada
kewajiban itu saja yang juga dihukumi wajib” seperti kita tahu kewajiban
wudu’ karena ia merupakan mukadimah langsung dari shalat yang wajib. Begitu
juga dengan “mukadimah yang menjurus langsung kepada hal haram,
hukumnya pun haram”, jadi tidak mutlak berlaku untu semua mukadimah. Atas
dasar ini maka membangun masjid disisi kuburan manusia mulia (para nabi atau
waliyullah) jika tidak untuk tujuan syirik maka tidak menjadi apa-apa
(boleh). Dan terbukti mutlak bahwa mayoritas mutlak masyarakat muslim disaat
melakukan hal tersebut dengan niatan penghambaan terhadap Allah (tidak
untuk menyekutukan Allah/Syirik). Kalaupun ada seorang muslim yang berniat
melakukan syirik, itu merupakan hal yang sangat jarang (minim) sekali (dan
dosanya ditanggung orang ini karena kita tidak bisa mengharam kan
pembangunan masjid disisi kuburan disebabkan perbuatan perorangan/
individu ini–pen).
Dalil inti yang dapat dijadikan
argument diskusi dengan pengikut Wahabi dalam masalah pelarangan membangun
masjid di sisi makam para manusia Sholeh adalah ayat dan perilaku Salaf Sholeh.
Berikut ini akan kita sebutkan beberapa dalil saja untuk meringkas pembahasan.
Dalam ayat 21 dari surat al-Kahfi
disebutkan: “Ketika orang-orang itu ber- selisih tentang urusan mereka,
orang-orang itu berkata: “dirikanlah sebuah bangunan diatas (gua)
mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka”. orang-orang yang
berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah
rumah peribadatan diatasnya”.
Jelas sekali bahwa mayoritas masyarakat
ahli tauhid (monoteis) kala itu sepakat untuk membangun masjid disisi makam
para penghuni gua (Ashabul-Kahfi). Tentu kaum Wahabi pun sepakat dengan kaum
muslimin lainnya bahwa al-Qur’an bukan hanya sekedar kitab cerita yang hanya
begitu saja menceritakan peristiwa-peristiwa menarik zaman dahulu tanpa memuat
ajaran untuk dijadikan pedoman hidup kaum muslimin. Jika kisah pembuatan masjid
di sisi makam Ashabul-Kahfi merupakan perbuatan syirik maka pasti Allah swt
menyindir dan mencela hal itu dalam lanjutan kisah al-Qur’an tadi, karena
syirik adalah perbuatan yang paling dibenci oleh Allah swt. Namun terbukti
Allah swt tidak melakukan peneguran baik secara langsung maupun secara tidak
langsung (sindiran).
Atas dasar itu pula terbukti para ulama
tafsir Ahlusunah menyatakan bahwa para penguasa kala itu adalah orang-orang yang
bertauhid kepada Allah swt., bukan kaum musyrik penyembah kuburan
(Quburiyuun). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh az-Zamakhsari dalam kitab Tafsir
al-Kassyaf jilid 2 halaman 245, Fakhrurrazi dalam kitab Mafatihul Ghaib
jilid 21 halaman 105, Abu Hayyan al-Andalusy dalam kitab al-Bahrul Muhith
dalam menjelaskan ayat 21 dari surat al-Kahfi tadi dan Abu Sa’ud dalam kitab Tafsir
Abi Sa’ud jilid 5 halaman 215.
Sebagai penutup akan kita lihat
perilaku Salaf Sholeh yang dalam hal ini diwakili oleh Abu Jundal salah
seorang sahabat mulia Rasulallah. Para Ahli sejarah menjelaskan peristiwa yang
dialami oleh Abu Jundal dengan menyatakan: “Suatu saat, sepucuk surat
Rasulallah sampai ke tangan Abu Jundal. Kala surat itu sampai, Abu Bashir (juga
sahabat mulia Rasulallah yang menemani Abu Jundal .red) tengah mengalami
sakaratul-maut (naza’). Beliau meninggal dengan posisi menggenggam surat
Rasulallah. Kemudian Abu Jundal mengebumikan beliau (Abu Bashir .red) di
tempat itu dan mem- bangun masjid di atasnya”. Kisah ini dapat dilihat
dalam karya Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Ibnu Asakir jilid 8 halaman 334 dan atau kitab al-Isti’ab jilid 4 halaman 21-23 karya Ibnu
Hajar.
Apakah mungkin seorang sahabat
Rasulallah seperti Abu Jundal melakukan perbuatan syirik? Jika itu syirik, mengapa
Rasulallah saw. sendiri atau para sahabatnya tidak menegurnya? Apakah
Rasulallah dan sahabat-sahabat lain nya tidak tahu akan peristiwa itu? Jika
mereka tahu, kenapa mereka tetap membiarkannya melakukan kesyirikkan? Jelas bahwa
membangun masjid di sisi kuburan merupakan hal yang diperbolehkan
oleh Islam sesuai dengan dalil ayat al-Qur’an dan prilaku Salaf Sholeh,
hukumnya tidak seperti yang diklaimkan oleh kelompok Wahabi yang berkedok
Salafi itu. Wallahu A’lam.
Dengan demikian
golongan Wahabi/Salafi –sebagaimana yang telah dikemukakan di buku ini–
tidak bisa membedakan antara ibadah dan ta’dzim (penghormatan
tinggi) atau antara ibadah dan tabarruk pada Rasulallah atau pada
orang sholeh, antara ibadah dan tawassul pada Rasulallah
atau pada orang sholeh dan lain sebagainya. Golongan Wahabi ini tidak
bisa memahami tolak ukur Tauhid dan Syirik serta memahami ayat-ayat ilahi
dan sunnah Rasulallah secara tekstual dan literal saja tanpa melihat motif dan
makna yang dimaksudkan dalam ayat Ilahi atau Sunnah Rasulallah saw. tersebut.
Begitu juga kalau kita lihat dimasjid
Nabawi Madinah, didalamnya masjid ini ada kuburan manusia yang termulia yaitu
Rasulallah saw. dan kuburan Sayyidinaa Abubakar dan Sayyidinaa Umar bin Khattab
[ra] yang mana kaum muslimin sholat disamping, dibelakang, dimuka kuburan yang
mulia ini. Kuburan ini –walaupun sekarang sekelilingnya diberi pagar
besi– letaknya malah bukan disisi masjid tetapi didalam
masjid Nabawi. Begitu juga kuburan Nabi Ismail a.s di Hathim di dalam
Masjidil Haram Makkah.
Jutaan muslimin yang berebutan
untuk bisa sholat disamping kiri dan kanan atau dimuka kuburan Nabawi ini dan
di Hathim didalam Masjidil Haram Makkah. Kalau memang itu perbuatan syirik
dan haram tidak mungkin dilaksanakan oleh jutaan muslimin yang sholat di
tempat-tempat ini –baik dari kalangan ulama maupun kalangan awam– serta
dibiarkan oleh para ulama-ulama pakar sedunia termasuk disini ulama-ulama
Wahabi yang ada di Saudi Arabia. Tidak lain semuanya bukan termasuk
beribadah kepada kuburan (yakni tidak ada keniatan untuk beribadah kepada
kuburan melainkan hanya pengambilan barokah/tabarruk pada tempat yang mulia
itu—pen.) dan bukan perbuatan haram. Wallahu a’lam.
Memberi Penerangan terhadap
kuburan
Salah satu hal yang sangat dibenci dan
diharamkan oleh kaum Wahabi/ Salafi adalah memberi penerangan terhadap kuburan.
Lepas dari apakah fungsi dari pemberian penerangan tersebut, namun ketika
mereka ditanya tentang boleh atau tidaknya memberikan penerangan tersebut
niscaya mereka akan menjawab secara mutlak Haram. Apalagi selain memberi
penerangan atas kuburan juga ditambah dengan memberikan hiasan-hiasan pada
makam para wali (kekasih) Allah maka menurut mereka adalah haram di atas haram.
Golongan pengingkar ini menyandarkan
pendapatnya dengan riwayat yang dinukil oleh an-Nasa’i dalam kitab Sunan-nya
jilid 4 halaman 95 atau kitab Mustadrak alas Shahihain jilid 1 halaman 530
hadits ke-1384 yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulallah saw.
bersabda: “Allah melaknat perempuan yang datang guna menziarahi kubur dan
orang yang menjadikan kubur sebagai masjid, juga buat orang yang meneranginya
(kuburan) dengan penerang”.
Padahal jika kita melihat pendapat
ulama pakar Ahlusunah lainnya maka akan kita dapati bahwa mereka membolehkannya,
bahkan dalam beberapa hal justru sangat menganjurkannya. Lantas apakah ulama
Ahlusunah ini lupa atau lalai terhadap hadits terakhir diatas itu, sehingga
mereka menfatwakan yang bertentangan dengan hadits tersebut, bahkan dengan
tegas mereka menyatakan “boleh” untuk memberi penerangan dikuburan ?
Kami telah kemukakan sebelumnya
mengenai argumentasi hadits diatas itu, umpamanya pengakuan seorang alim yang
sangat diandalkan oleh kelompok Wahabi sendiri, Nashiruddin al-Albani dalam
kitabnya yang ber- judul Tahdzirul Masajid min it-Tikhodzil Qubur Masajid
halaman 43-44 dimana ia mengatakan: “Hadits ini telah dinukil oleh Abu
Dawud dan selainnya. Namun dari sisi sanad (urutan perawi)
ternyata Hadits ini dihukumi lemah (Dha’if)”. )”. Al-Albani kembali
mengatakan: “Kelemahan hadits ini telah saya tetapkan dalam kitab al-Ahadits
adh-Dho’ifah wal Maudhu’ah wa Atsaruha as-Sayi’ fi al-Ummah”. Tetapi
nyatanya banyak dari kelompok Salafi/Wahabi sendiri tidak mengikuti wejangan
ulamanya ini dan mengharamkan menerangi kuburan dengan berdalil pada hadits
diatas itu.
Salah seorang yang menyatakan bahwa
hadits itu lemah adalah al-Muslim (pemilik kitab shahih). Beliau dalam
karyanya yang berjudul at-Tafshil mengatakan: “Hadits ini tidak
jelas. Masyarakat tidak berpegangan terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Shaleh Badzam. Orang itulah yang meriwayatkan hadits tadi dari Ibnu Abbas.
Tidak jelas apakah benar bahwa ia telah mendengarkan hadits tersebut darinya (Ibnu
Abbas)”.
Taruhlah bahwa analisa Nashiruddin
al-Albani (ahli hadits Wahabi) tadi tidak dapat kita terima, namun kembali
harus kita lihat argumentasi (dilalah) yang dapat kita lihat dari hadits
tersebut. Jika kita melihat kandungan haditsnya niscaya akan semakin terlihat
kelemahan hadits diatas tadi yang dijadikan landasan berpikir dan bertindak
kaum Wahabi/Salafi dan pengikutnya.
Pertama: Tentu hadits itu tidak dapat
diterapkan secara mutlak pada semua kuburan, umpamanya;. kuburan para nabi,
Rasulallah, waliyullah, imam dan para ulama sholeh. Dimana mengagungkan kuburan
mereka ini merupakan perwujudan dari “Ta’dhim Sya’airallah” (pengagungan
syiar-syiar Allah) yang tercantum dalam ayat 32 surat al-Hajj dimana Allah swt
berfirman: “Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”.
Bagaimana tidak, Shofa dan Marwah yang
hanya dikarenakan larian-larian kecil Siti Hajar (ibu nabi Ismail as.) yang
bukan nabi saja tergolong syiar Allah sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya
Shafa dan Marwah merupa kan sebagian dari syiar Allah” (QS al-Baqarah:
158), apalagi jika itu adalah bekas-bekas penghulu para nabi dan Rasul yang
bernama Muhammad saw. Ataupun bekas-bekas para ulama dan kekasih Allah
(Waliyullah) dari umat Muhammad yang dinyatakan sebagai pewaris para nabi dan ummat
yang terbaik.
Kedua: Hadits tadi hanya dapat diterapkan
pada hal-hal yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Terkhusus kuburan orang
biasa yang jarang diziarahi oleh keluarga dan sanak familinya. Dengan
memberi penerangan kuburan semacam itu niscaya akan menyebabkan membuang-buang
harta bukan pada tempatnya (Israf /Mubadzir) yang tidak dianjurkan oleh Islam.
Jadi pengharaman pada hadits tadi lebih dikarenakan sesuatu yang lain,
membuang-buang harta tanpa tujuan (Mubadzir), bukan masalah
pemberian penerangan itu sendiri secara mutlak.
Namun jika penerangan kuburan tersebut
dipakai untuk menerangi kuburan orang-orang mulia –seperti contoh di atas tadi–
dimana kuburan tersebut sering dipakai orang untuk berziarah, membaca
al-Qur’an, membaca do’a, melaksanakan shalat dan kegiatan-kegiatan berfaedah
lain yang dihalalkan oleh Allah, maka dalam kondisi semacam ini bukan hanya
tidak dapat divonis haram atau makruh melainkan sangat dianjurkan, karena
menjadi perwujudan dari ungkapan Ta’awun ‘alal Birri wat Taqwa (tolong
menolong dalam kebaikan dan takwa) sebagaimana yang diperintahkan dan
dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 dimana Allah berfirman: “Dan
tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran”.
Jelas hal itu bukan termasuk kategori
dosa dan pelanggaran, karena jika itu kenyataannya maka mungkinkah Rasulallah
yang kemudian diikuti oleh para Salaf Sholeh melakukan dosa dan pelanggaran,
sebagaimana nanti yang akan kita singgung ?
Atas dasar itu pula akhirnya para ulama
Ahlusunah menyatakan “boleh” memberikan penerangan terhadap kuburan para nabi,
para Rasul dan para kekasih Ilahi (Waliyullah) lainnya. Azizi dalam kitab Syarh
Jami’ as-Shaghir jilid tiga halaman 198 dalam rangka mensyarahi/menjelaskan
makna hadits tadi mengatakan: “Hadits tadi menjelaskan tentang
ketidakperluan orang-orang yang masih hidup akan penerang. Namun jika hal tadi
menyebabkan manfaat (buat yang masih hidup) maka tidak menjadi masalah”.
Sanadi dalam mensyarahi kitab Sunan
an-Nasa’i jilid keempat halaman 95 mengatakan: “Larangan memberikan penerangan
tersebut dikarenakan penggunaan lampu untuk hal tersebut merupakan
membuang-buang harta tanpa ada manfaat yang berarti. Hal ini meniscayakan bahwa
jika terdapat manfaat di balik itu semua maka hal itu telah
mengeluarkannya dari pelarangan”.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Syeikh
Ali Nashif dalam kitab at-Tajul Jami’ lil Ushul jilid pertama halaman
381: “Memberi penerangan pada kubur merupakan perbuatan yang dilarang. Hal itu
dikarenakan membuang-buang harta. Kecuali jika di sisi kuburan tersebut
terdapat seorang yang masih hidup (yang memerlukan penerangan) maka hukumnya
tidak apa-apa”.
Dan terbukti bahwa penerangan terhadap
kuburan merupakan hal lumrah yang telah dilakukan oleh para Salaf Sholeh
semenjak dahulu. Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh al-Baghdadi jilid
1 halaman 154 yang pengisah- annya disandarkan kepada seorang syeikh penduduk
Palestina, dimana ia menyatakan: “Kulihat terdapat bangunan yang terang yang
terletak di bawah tembok Kostantiniyah. Lantas kutanyakan perihal bangunan
tersebut. Mereka menjawab: “Ini adalah makam Abu Ayyub al-Anshari
seorang sahabat Rasulallah”. Kudatang mendekati makam tersebut. Kulihat makam
beliau terletak di dalam bangunan tersebut dimana terdapat lampu yang
tergantung dengan rantai dari arah atas atap”.
Ibnu Jauzi dalam kitab al-Muntadham
jilid 14 halaman 383 menyatakan: “Salah satu kejadian tahun 386 Hijriyah
adalah para penghuni kota Basrah mengaku bahwa mereka telah berhasil menemukan
kuburan tua yang ternyata kuburan Zubair bin Awam. Setelah itu berbagai
peralatan penerangan dan penghias diletakkan (dalam pemakaman) dan lantas
ditunjuk seseorang yang bertugas sebagai penjaga. Dan tanah yang berada di
sekitarnya pun diwakafkan”.
Minimalnya, semua argument diatas
merupakan bukti bahwa pelarangan tersebut tidak sampai pada derajad haram,
paling maksimal hanyalah dapat divonis sebagai makruh (kurang disenangi) saja,
dan (makruh) inipun tidak mutlak. Terbukti ada beberapa hal yang
menyebabkan pemberian penerang- an itu dihukumi boleh (Ja’iz). Malah
jika itu termasuk kategori Ta’dhim Sya’ariallah atau Ta’awun ‘alal
Birri wat Takwa –sebagaimana yang telah kita singgung di atas tadi– maka
tergolong sesuatu yang sangat ditekankan/ dianjurkan
Begitu juga hadits di atas tadi
–larangan pemberian lampu penerang– yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas
bertentangan dengan hadits lainnya yang diriwayatkan juga oleh Ibnu Abbas yang
pernah dinukil oleh at-Turmudzi dalam kitab al-Jami’ as-Shahih jilid 3
halaman 372 bab ke-62 dimana Ibnu Abbas berkata: “Suatu malam Rasulallah
memasuki areal pemakaman (untuk berziarah). Saat itu ada seseorang yang
menyiapkan penerang buat beliau”. Ini membuktikan bahwa menerangi pemakaman
dengan lampu penerang tidak dapat dihukumi haram secara mutlak, namun sangat
bergantung terhadap tujuan dan faedah di balik hal tersebut.
Membuat bangunan (kubbah) diatas kuburan
Saya tambahkan sedikit keterangan
pendapat para ulama pakar mengenai pembangunan kubbah dan memberi
penerangan diatas kuburan. Membuat bangunan diatas kuburan para sahabat Nabi,
Ahlul-Bait, para waliyullah dan para ulama dibolehkan (ja’iz), bahkan dipasang
penutup (kain dan sebagainya) pun dibolehkan. Mengenai pemasangan kubbah
diatasnya, para ulama berbeda pendapat, jika kuburan itu terletak pada tanah
wakaf atau diwakafkan fi sabilillah. Lain halnya jika kuburan itu terletak pada
tanah hak milik, dalam hal ini tidak dilarang dan para ulama pun sepakat atas
kebolehannya. Menyalakan lampu diatas kuburan pun dibolehkan apabila
bangunannya digunakan sebagai musholla, atau sebagai tempat belajar ilmu, atau
tempat orang tidur didalam bangunan, membaca al-Qur’an atau untuk menerangi
lalu lintas sekitarnya. Semuanya ini dibolehkan.
Banyak riwayat diketengahkan oleh para
ulama ahli hadits dan para ulama ahli Fiqih mengenai ja’iznya (dibolehkannya)
hal-hal diatas itu. Bahkan diantara mereka ada yang berpendapat : ‘Meskipun
dengan maksud kemegahan’. Hal ini disebut dalam kitab Ad-Durr Al-Mukhtar.
Ada pula yang menegaskan ja’iznya pembuatan bangunan diatas kuburan, walau
berupa rumah. Demikian itulah yang dikatakan para ulama muhaqqiqun (para
ulama yang tidak diragukan kebenaran fatwa-fatwanya) dari empat madzhab dan
lain-lain.
Ibnu Hazm didalam Al-Muhalla
mengatakan: “Jika diatas kuburan itu dibangun sebuah rumah atau tempat
persinggahan pun tidak dimakruhkan (yakni boleh-boleh saja)”. Demikian juga
yang dikatakan oleh Ibnu Muflih didalam Al-Furu’, bagian dari Fiqh madzhab
Hanbali. Penulis Al-Mustau’ab dan Al-Muharrir mengatakan: “Pembuatan kubbah (di
kuburan), rumah dan tempat untuk berkumpul diatas tanah milik sendiri tidak ada
salahnya, karena penguburan jenazah didalamnya dibolehkan”.
Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnul-Qashshar
dan jama’ah madzhab Maliki, yaitu sebagaimana dikatakan oleh Al-Khattab
didalam Syarhul-Mukhtashar. Itu mengenai kuburan orang awam. Mengenai kuburan
orang-orang Sholeh, Ar-Rahmani mengatakan: “Diatas kuburan orang-orang sholeh
boleh didirikan bangunan, sekalipun berupa kubbah, guna menghidupkan ziarah dan
tabarruk”.
Murid Ibnu Taimiyyah yaitu Imam Ibnu
Muflih dari madzhab Hanbali menyata kan pendapatnya didalam Al-Fushul :
‘Mendirikan bangunan berupa kubbah, atau Hadhirah (tempat untuk berkumpul
jama’ah) diatas kuburan, boleh dilakukan asal saja kuburan itu berada ditanah
milik sendiri. Akan tetapi jika tanah itu telah diwakafkan di jalan Allah
(musbalah), hal itu makruh (tidak disukai), karena mengurangi luas tanah
tanpa guna’.
Mengenai Ibnu Muflih itu, Ibnul Qayyim
yang juga murid Ibnu Taimiyyah dari madzha Hanbali, mengatakan : “Dibawah
kolong langit ini saya tidak melihat seorang ahli Fiqih (pada zamannya) madzhab
Ahmad bin Hanbal yang ilmunya melebihi dia (Ibnu Muflih)”. Wallahu a’lam.
Demikianlah keterangan mengenai ziarah
kubur, alam ruh dan lain sebagainya, insya Allah semuanya ini bisa memberi
manfaat bagi saya sekeluarga khususnya dan semua kaum muslimin, khususnya bagi
orang yang mendapati kesalahan informasi mengenai ziarah kubur dan lain-lain
yang telah dikemukakan tadi. Semoga hidayah Ilahi selalu mengiringi kita semua.
Amin
Buku baru yang berjudul Telaah
kritis atas doktrin faham Salafi/Wahabi belun beredar merata pada toko-toko
buku di Indonesia. Bagi peminat bisa langsung hubungi toko-toko di
jalan Sasak. Surabaya-Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar