Al-Kindi
tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga
menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang
besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
”Al-Kindi
adalah salah satu dari 12 pemikir terbesar di abad pertengahan,” cetus sarjana
Italia era Renaissance, Geralomo Cardano (1501-1575). Di mata sejarawan Ibnu
Al-Nadim, Al-Kindi merupakan manusia terbaik pada zamannya. Ia menguasai
beragam ilmu pengetahuan. Dunia pun mendapuknya sebagai filosof Arab yang
paling tangguh.
Ilmuwan
kelahiran Kufah, 185 H/801 M itu bernama lengkap Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak bin
Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin Al-Asy’ats bin Qais Al-Kindi. Ia
berasal dari sebuah keluarga pejabat. Keluarganya berasal dari suku Kindah —
salah satu suku Arab yang besar di Yaman — sebelum Islam datang. Nenek
moyangnya kemudian hijrah ke Kufah.
Ayahnya
bernama Ibnu As-Sabah. Sang ayah pernah menduduki jabatan Gubernur Kufah pada
era kepemimpinan Al-Mahdi (775-785) dan Harun Arrasyid (786-809). Kakeknya
Asy’ats bin Qais kakeknya AL-Kindi dikenal sebagah salah seorang sahabat Nabi
Muhammad SAW. Bila ditelusuri nasabnya, Al-Kindi merupakan keturunan Ya’rib bin
Qathan, raja di wilayah Qindah.
Pendidikan
dasar ditempuh Al-Kindi di tanah kelahirannya. Kemudian, dia melanjutkan dan
menamatkan pendidikan di Baghdad. Sejak belia, dia sudah dikenal berotak encer.
Tiga bahasa penting dikuasainya, yakni Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah
kelebihan yang jarang dimiliki orang pada era itu.
Al-Kindi
hidup di era kejayaan Islam Baghdad di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tak
kurang dari lima periode khalifah dilaluinya yakni, Al-Amin (809-813),
Al-Ma’mun (813-833), Al-Mu’tasim, Al-Wasiq (842-847) dan Mutawakil (847-861). Kepandaian
dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya
diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan.
Khalifah
juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah (House of Wisdom) yang kala
itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa,
seperti Yunani. Ketika Khalifah Al-Ma’mun tutup usia dan digantikan puteranya,
Al-Mu’tasim, posisi Al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang
besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi puteranya.
Al-Kindi
mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang
mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan. Menurut
Al-Nadhim, selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di
Baitulhikmah, Al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah
pikirnya dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan.
Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al-Kindi adalah seorang yang
berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.
Ratusan
karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung,
musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik
dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul.
Filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak
sembilan judul dan fisika 12 judul.
Buah
pikir yang dihasilkannya begitu berpengaruh terhadap perkembangan peradaban
Barat pada abad pertengahan. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
dan bahasa Eropa. Buku-buku itu tetap digunakan selama beberapa abad setelah ia
meninggal dunia.
Al-Kindi
dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang Islam pertama yang
mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat masih didominasi
orang Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat
Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu
kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
Setelah
era Khalifah AL-Mu’tasim berakhir dan tampuk kepemimpin beralih ke Al-watiq dan
Al-Mutawakkil, peran Al-Kindi semakin dipersempit. Namun, tulisan kaligrafinya
yang menawan sempat membuat Khalifah kepincut. Khalifah AL-Mutawakkil kemudian
mendapuknya sebagai ahli kaligrafi istana. Namun, itu tak berlangsung lama.
Ketika
Khalifah Al-Mutawakkil tak lagi menggunakan paham Muktazilah sebagai aliran
pemikiran resmi kerajaan, Al-Kindi tersingkir. Ia dipecat dari berbagai jabatan
yang sempat diembannya. Jabatannya sebagai guru istana pun diambil alih ilmuwan
lain yang tak sepopuler Al-Kindi. Friksi pun sempat terjadi, perpustakaan
pribadinya sempat diambil alih putera-putera Musa. Namun akhirnya Al-Kindiyah –
perpustakaan pribadi itu – dikembalikan lagi.
Sebagai
penggagas filsafat murni dalam dunia Islam, Al-Kindi memandang filasafat
sebagai ilmu pengetahuan yang mulia. Sebab, melalui filsafat-lah, manusia bisa
belajar mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama da merupakan sebab dari
semua realitas lainnya.
Baginya,
filsafat adalah ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala kearifan.
Filsafat, dalam pandangan Al-Kindi bertujuan untuk memperkuat agama dan
merupakan bagian dari kebudayaan Islam.
Salah
seorang penulis buku tentang studi Islam, Henry Corbin, menggambarkan akhir
hayat dari sang filosof Islam. Menurut Corbin, pada tahun 873, Al-Kindi tutup
usia dalam kesendirian dan kesepian. Saat itu, Baghdad tengah dikuasai rezim
Al-Mu’tamid. Begitu dia meninggal, buku- buku filsafat yang dihasilkannya
banyak yang hilang.
Sejarawan
Felix Klein-Franke menduga lenyapnya sejumlah karya filsafat Al-Kindi akibat
dimusnahkan rezim Al-Mutawakkil yang tak senang dengan paham Muktazilah. Selain
itu, papar Klein-Franke, bisa juga lenyapnya karya-karya AL-Kindi akibat ulah
serangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yang membumihanguskan kota
Baghdad dan Baitulhikmah.
Hingga
kini, Al-Kindi tetap dikenang sebagai ilmuwan Islam yang banyak berjasa bagi
ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.
Kitab
Pemecah Kode
Sebagai
ilmuwan serba bisa, Al-Kindi tak cuma melahirkan pemikiran di bidang filsafat
saja. Salah satu karyanya yang termasuk fenomenal adalah Risalah Fi Istikhraj
al-Mu’amma. Kitab itu mengurai dan membahas kriptologi atau seni memecahkan
kode. Dalam kitabnya itu, Al-Kindi memaparkan bagaimana kode-kode rahasia
diurai.
Teknik-teknik
penguraian kode atau sandi-sandi yang sulit dipecahkan dikupas tuntas dalam
kitab itu. Selain itu, ia juga mengklasifikasikan sandi-sandi rahasia serta
menjelaskan ilmu fonetik Arab dan sintaksisnya. Yang paling penting lagi, dalam
buku tersebut, A-Kindi mengenalkan penggunaan beberapa teknik statistika untuk
memecahkan kode-kode rahasia.
Kriptografi
dikuasainya, lantaran dia pakar di bidang matematika. Di area ilmu ini, ia
menulis empat buku mengenai sistem penomoran dan menjadi dasar bagi aritmatika
modern. Al-Kindi juga berkontribusi besar dalam bidang geometri bola, bidang
yang sangat mendukungnya dalam studi astronomi
Bekerja
di bidang sandi-sandi rahasia dan pesan-pesan tersembunyi dalam naskah-naskah
asli Yunani dan Romawi mempertajam nalurinya dalam bidang kriptoanalisa. Ia
menjabarkannya dalam sebuah makalah, yang setelah dibawa ke Barat beberapa abad
sesudahnya diterjemahkan sebagai Manuscript on Deciphering Cryptographic
Messages. ”Salah satu cara untuk memecahkan kode rahasia, jika kita tahu
bahasannya adalah dengan menemukan satu naskah asli yang berbeda dari bahasa
yang sama, lalu kita hitung kejadian-kejadian pada tiap naskah Pilah menjadi
naskah kejadian satu, kejadian dua, dan seterusnya,” kata Al-Kindi.
Setelah
itu, lanjut Al-Kindi, baru kemudian dilihat kepada teks rahasia yang ingin
dipecahkan. Setelah itu dilanjutkan dengan melakukan klasifikasi
simbol-simbolnya. ”Di situ kita akan menemukan simbol yang paling sering
muncul, lalu ubahlah dengan catatan kejadian satu, dua, dan seterusnya itu,
sampai seluruh simbol itu terbaca.”
Teknik
itu, kemudian dikenal sebagai analisa frekuensi dalam kriptografi, yaitu cara
paling sederhana untuk menghitung persentase bahasa khusus dalam naskah asli,
persentase huruf dalam kode rahasia, dan menggantikan simbol dengan huruf.
Filsafat
Al-Kindi
Bagi
Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang
keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut
dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz’iyah atau aniyah
(sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan).
Dalam
pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan
adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang
Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan
itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan
metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
Menurut
Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang
terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah
tak terpisahkan dengan Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan
Al-Kindi. Ia juga merupakan filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh
secara terperinci.
Al-Kindi
membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan
daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir,
karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi
juga membagi akal mejadi tiga, yakni akal yang bersifat potensial, akal yang
telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai
tingkat kedua dari aktualitas.
Akal
yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat aktual, jika
tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, menurut
Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam
aktualitas.
Al-Farabi:
Maha Guru Kedua (Digelar
Aristoteles kedua)
Tulisan
ahli falsafah Yunani seperti Plato dan Aristotle mempunyai pengaruh yang besar
terhadap pemikiran ahli falsafah Islam. Salah seorang ahli falsafah Islam yang
terpengaruh dengan pemikiran kedua tokoh tersebut ialah Al-Farabi.
Nama
sebenarnya Abu Nasr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tarkhan Ibnu Uzlaq Al-Farabi.
Beliau lahir pada tahun 874 M (260 H) di Transoxia yang terletak dalam Wilayah
Wasij di Turki. Bapaknya merupakan seorang anggota tentara yang miskin tetapi
semua itu tidak menghalanginya untuk mendapat pendidikan di Baghdad. Beliau
telah mempelajari bahasa Arab di bawah pimpinan Ali Abu Bakr Muhammad ibn
al-Sariy.
Selepas
beberapa waktu, beliau berpindah ke Damsyik sebelum meneruskan perjalanannya ke
Halab. Semasa di sana, beliau telah berkhidmat di istana Saif al-Daulah dengan
gaji empat dirham sehari. Hal ini menyebabkan dia hidup dalam keadaan yang
serba kekurangan.
Al-Farabi
terdidik dengan sifat qanaah menjadikan beliau seorang yang amat sederhana,
tidak gila akan harta dan cinta akan dunia. Beliau lebih menumpukan perhatian
untuk mencari ilmu daripada mendapatkan kekayaan duniawi. Sebab itulah
Al-Farabi hidup dalam keadaan yang miskin hingga beliau menghembuskan nafas
yang terakhir pada tahun 950 M (339 H).
Walaupun
Al-Farabi merupakan seorang yang zuhud tetapi beliau bukan seorang ahli sufi.
Beliau merupakan seorang ilmuwan yang cukup terkenal pada zamannya. Dia
berkemampuan menguasai berbagai bahasa.
Selain
itu, dia juga merupakan seorang pemusik yang handal. Lagu yang dihasilkan
meninggalkan kesan secara langsung kepada pendengarnya. Selain mempunyai
kemampuan untuk bermain musik, beliau juga telah mencipta satu jenis alat musik
yang dikenali sebagai gambus.
Kemampuan
Al-Farabi bukan sekadar itu, malah beliau juga memiliki ilmu pengetahuan yang
mendalam dalam bidang pengobatan, sains, matematik, dan sejarah. Namun,
keterampilannya sebagai seorang ilmuwan yang ulung, lebih dalam di bidang
falsafah. Bahkan kehebatannya dalam bidang ini mengatasi ahli falsafah Islam
yang lain seperti Al-Kindi dan Ibnu Rusyd.
Dalam
membicarakan teori politiknya, beliau berpendapat bahwa akal dan wahyu adalah
satu hakikat yang padu. Sebuah percobaan dan usaha untuk memisahkan kedua-dua
elemen tersebut akan melahirkan sebuah negara yang pincang serta masyarakat
yang kacau balau. Olehnya itu, akal dan wahyu perlu dijadikan sebagai dasar
pada pembinaan sebuah negara yang kuat, stabil serta makmur.
Al-Farabi
banyak mengkaji mengenai falsafah dan teori Socrates, Plato, dan Aristotle
dalam usahanya untuk menghasilkan teori serta konsep mengenai kebahagiaan. Maka
tidak heranlah, Al-Farabi dikenali sebagai orang yang paling memahami falsafah
Aristoteles. Dia juga merupakan seorang yang mengawali menulis mengenai ilmu
logik Yunani secara teratur dalam bahasa Arab.
Meskipun
pemikiran falsafahnya banyak dipengaruhi oleh falsafah Yunani tetapi beliau
menentang pendapat Plato yang menganjurkan konsep pemisahan dalam kehidupan
manusia.
Menurut
Al-Farabi, seorang ahli falsafah tidak seharusnya memisahkan dirinya daripada
sains dan politik. Sebaliknya perlu menguasai kedua-duanya untuk menjadi
seorang ahli falsafah yang sempurna.
Tanpa
sains, seorang ahli falsafah tidak mempunyai cukup peralatan untuk
diekspolitasikan untuk kepentingan orang lain. Justru, seorang ahli falsafah
yang tulen tidak akan menemukan pandangan yang begitu berbeda di antaranya
dengan pemerintah yang tertinggi, karena keduanya merupakan komponen yang
saling melengkapi. Dalam hal ini beliau memprogramkan agar diwujudkan sebuah
negara yang baik dan tenteram yang dipimpin oleh ahli falsafah.
Pandangan
falsafahnya yang kritikal telah meletakkannya sejajar dengan ahli falsafah
Yunani yang lain. Dalam kalangan ahli falsafah Islam, beliau juga dikenali
sebagai Aristoteles kedua. Bagi Al-Farabi, ilmu segala-galanya dan para ilmuwan
harus diletakkan pada kedudukan yang tertinggi dalam pemerintahan sebuah
negara.
Pandangan
Al-Farabi ini sebenarnya mempunyai persamaan dengan falsafah dan ajaran
Confucius yang meletakkan golongan ilmuwan pada tingkat hirarki yang tertinggi
di dalam sistem sosial sebuah negara.
Di
samping itu, Al-Farabi juga mengemukakan banyak pandangan yang mendahului
zamannya. Antaranya beliau menyatakan bahawa keadilan itu merupakan sifat
semula jadi manusia, manakala pertarungan yang berlaku antara manusia merupakan
gejala sifat semula jadi tersebut.
Pemikiran,
ide, dan pandangan Al-Farabi mengenai falsafah politik terkandung dalam
karyanya yang berjudul “Madinah al-Fadhilah“. Pembicaraan mengenai ilmu
falsafah zaman Yunani dan falsafah Plato serta Aristoteles telah disentuhnya
dalam karya ” Ihsa’ al-Ulum” dan “Kitab al-Jam“.
Terdapat
dua buku tidak dapat disiapkan oleh Al-Farabi di zamannya. Buku-buku itu ialah
“Kunci Ilmu” yang disiapkan oleh anak muridnya yang bernama Muhammad Al
Khawarismi pada tahun 976 M dan “Fihrist al-Ulum” yang diselesaikan oleh
Ibnu Al-Nadim pada tahun 988 M.
Al-Farabi
juga telah menghasilkan sebuah buku yang mengandung pengajaran dan teori musik
Islam, yang diberikan judul “Al-Musiqa” dan dianggap sebagai sebuah buku
yang terpenting dalam bidang tersebut.
Sebagai
seeorang ilmuwan, Al-Farabi turut memperlihatkan kecenderungannya menghasilkan
beberapa kajian dalam bidang pengobatan. Walaupun kajiannya dalam bidang ini
tidak menjadikannya masyhur tetapi pandangannya telah memberikan sumbangan yang
cukup bermakna terhadap perkembangan ilmu pengobatan di zamannya.
Salah
satu pandangannya yang menarik ialah mengenai betapa jantung adalah lebih
penting berbanding otak dalam kehidupan manusia. Ini disebabkan jantung
memberikan kehangatan kepada tubuh sedangkan otak hanya menyelaraskan
kehangatan itu menurut keperluan anggota tubuh badan.
Sesungguhnya
Al-Farabi merupakan seorang tokoh falsafah yang serba bisa. Banyak dari
pemikirannya masih relevan dengan perkembangan dan kehidupan manusia hari ini.
Sementara itu, pemikirannya mengenai politik dan negara banyak dikaji serta
dibicarakan di tingkat universitas bagi orang mencari penyelesaian dan sintesis
terhadap segala kemelut yang berlaku pada hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar