Puasa di Kitab Sirrul Asrar, Rasaning Rasa
Ba`da shalat Jum`at (2/08/2013), di Ruang Ibadah Jakarta Islamic Centre (JIC), Koja, Jakarta Utara, dilakukan acara pengenal buku Sirrul Asrar, Rasaning Rasa hasil terjemahan KH. Zezen Zainal Abidin Bazul Asyhab dari kitab Sirrul Asrar karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani q,s. Bagi para penggemar kitab-kitab tasawuf, kitab Sirr al-Asrar Syekh Abdul Qadir al-Jailani q.s., seorang sufi terkemuka ini bukanlah hal yang asing. Sirr Al-Asrar artinya Rahasia dari Segala Rahasia, sebuah judul kitab yang sangat menarik perhatian siapapun yang mendengarnya. Terlebih ditulis oleh ulama terkemuka yang memiliki otoritas dalam menjelaskan persoalan-persoalan ruhaniyah dan membahas fiqih dengan pendekatan sufistik. Dalam dua hal ini sangat-sangat sedikit ulama yang menguasainya dan beliau juga memiliki kemulian dalam maqam ruhaniyah yang tinggi.Sirr Al-Asrar menjelaskan tentang dasar-dasar ajaran Islam, sebagian isinya tentang fiqih ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, berdasarkan sudut pandang sufistik. Di dalamnya, terdapat 24 pasal yang didasarkan pada 24 huruf dalam kalimat syahadat dan 24 jam dalam sehari semalam. Penjelasan fiqih dengan pendekatan sufistik inilah yang menjadi salah satu daya tarik buku ini. Contohnya terkait dengan puasa.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani q.s. menjelaskan di dalam kitab ini bahwa puasa terbagi ke dalam dua bagian, yaitu puasa syariat dan puasa tarekat. Puasa syariat adalah menahan diri dari makanan, minuman, dan bersetubuh. Sedangkan puasa tarekat adalah menahan seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan yang diharamkan dan dilarang juga menjauhi sifat-sifat tercela, seperti ujub dan sebagainya lahir dan batin, siang maupun malam. Bila melakukan hal-hal tersebut tadi, maka batalah puasa tarekatnya. Puasa syariat dibatasi oleh waktu, dengan menjauhi makan, minum, dan hubungan seks, dari fajar hingga tenggelam matahari. Sedangkan puasa Tarekat dijalani selama-lamanya, selama hidup di dunia hingga kehidupan di akhirat. Maka, puasa syariat mempunyai waktu tertentu, puasa tarekat seumur hidup. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani q.s. berpendapat demikian bukannya tanpa dalil nash, salah satu dalilnya hadits yang Rasulullah SAW bersabda,”Banyak orang yang berpuasa hasilnya hanyalah lapar dan dahaga.” Juga ada ungkapan,”Banyak yang berpuasa, tapi berbuka. Banyak yang berbuka, tapi berpuasa.” Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ungkapan ini ialah orang yang perutnya tidak berpuasa, tapi ia menjaga anggota tubuhnya untuk berbuat jahat, terlarang dan menyakiti orang lain.
Begitu pula hadits yang Rasulullah SAW bersabda,”Bagi orang yang berpuasa akan mendapat dua kebahagiaan. Pertama, ketika berbuka dan kedua ketika melihat Allah.” Syekh Abdul Qadir Al-Jailani q.s. menyatakan bahwa pengertian hadits ini menurut syariat adalah kebahagiaan yang pertama ketika berbuka dengan memakan makanan di waktu maghrib. Kedua, ketika melihat bulan di malam Idul Fithri yang menandakan selesainya pelaksanaan puasa Ramadhan. Sedangkan pengertian menurut tarekat ialah kebahagiaan yang pertama ketika masuk surga menikmati kenikmatan surga dan kedua rukyat atau melihat Allah SWT pada hari kiamat dengan rasa secara nyata.
Maka, menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani q.s., puasa tarekat atau hakekat adalah menjaga qalbu dari selain Allah SWT dan menjaga rasa agar tidak mencintai selain Allah SWT. Di dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman:”Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku rahasianya.” Sir, rahasia itu dari nur Allah, maka orang yang di tingkat ini tidak akan cenderung kepada selain Allah SWT. Tidak ada yang dicintai, diingini, dan dicari selain Allah SWT di dunia maupun di akhirat. Bila qalbu terjatuh pada mencintai selain Allah, maka batalah puasa tarekatnya dan ia harus melakukan qadha dengan kembali mencintai Allah SWT dan menemui-Nya di dunia dan akhirat, seperti bunyi firman Allah SWT:”Puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya.”
itu baru pasal tentang puasa. Ada 23 pasal lagi yang isinya dapat mencerahkan dan melengkapi pengetahuan dan pemahaman kita yang mungkin selama berpuasa selama ini terlalu terpaku pada prosedur formal dalam beragama (syariat, fiqih) dan mengabaikan aspek-aspek esoterik, ruhaniyah dalam beragama (ihsan, marifat) yang jelas ditekankan melalui hadits-hadits di atas.
Buku Sirrul Asrar, Rasaning Rasa diterjemahkan oleh KH. Zezen Zainal Abidin Bazul Asyhab yang akrab dipanggil dengan Uwa Imam atau Ajengan Zezen. Banyak terjemahan kitab Sirr Al-Asrar yang beredar di tengah umat, namun terjemahannya merupakan salah satu terjemahan bahasa Indonesia terbaik dari kitab Sirr Al-Asrar yang edisi revisinya baru saja dilaunching di pondok pesantren yang didirikan dan dipimpinnya, Pondok Pesantren Azzainiyyah, Sukabumi, Jawa Barat, dan dihadiri oleh Menteri Agama RI, Suryadarma Ali, pada tanggal 18 Juni 2013.
KH. Zezen Zainal Abidin Bazul Asyhab adalah ulama kelahiran Sukabumi, 17 Februari 1955. Walau ia lahir dan tinggal di Sukabumi, ia adalah putra Betawi. Orangtuanya adalah orang Betawi yang tinggal di wilayah Tanah Abang (Tenabang), Jakarta Pusat. Ia sendiri sering mengatakan bahwa dirinya keturunan Betawi. Selain memimpin pondok, ia juga menjabat sebagai Ketua MUI Kabupaten Sukabumi dan aktif di berbagai organisasi, dari NU sampai Pramuka. Dalam menterjemahkan kitab Sirr Al-Asrar, ia mendapat restu dari guru mursyidnya di Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah (TQN) Suryalaya, Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin q.s. atau yang akrab disapa dengan Abah Anom, restu yang dapat kita baca dari sambutan Abah Anom di dalam buku terjemahannya tersebut, sehingga ia dengan semangat menterjemahkannya dengan terjemahan yang berkualitas dan menerbitkannya dengan tampilan fisik yang bagus, menarik dan indah seperti yang kita dapat baca dan lihat sekarang ini. ***