Masalah Taqlid
(ikut-ikutan) kepada Imam Madzhab
Daftar isi bab 3 ini diantaranya:
|
|
Sebagian golongan ada yang mengikuti ulamanya yakni
ikut melarang, membid’ahkan, mencela keras bahkan sampai berani mengkafirkan
orang-orang muslim yang mengikuti salah satu dari madzhab yang empat (Hanafi,
Maliki, Syafi’I dan Hanbali [ra] ). Ulama golongan ini berkata: “Sesungguhnya
ilmu figih dan syariat Islam yang anda ajarkan selama ini dengan susah payah
itu sebenarnya hanyalah buah pikiran para imam madzhab yang tentang masalah
hukum yang mereka rangkaikan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Empat madzhab itu
adalah suatu bid’ah yang diadakan dalam agama Islam serta mereka ini sama
sekali bukan dari Islam. Kitab-kitab empat imam ini ialah kitab-kitab yang bisa
membawa kehancuran (Kutub al-Mushaddiah)”.
Ulama yang melarang taqlid ini telah membikin heboh dunia
Islam karena beliau telah mengkafirkan orang-orang muslimin yang mengikuti
salah satu dari empat madzhab. Nama ulama yang melarang ini adalah Syekh Khajandi
yang menulis dalam kitabnya Halil Muslim Multazamun Bittibaa’i Madzhabin
Mu’ayyan Minal Madzaahibil Arba’ah. Beliau ini juga mengatakan bahwa
orang-orang yang taqlid kepada imam-imam mujtahid adalah orang yang bodoh,
tolol dan sesat. Mereka ini telah memecah belah agama sehingga menjadi beberapa
golongan dan mereka inilah yang dimaksudkan firman Allah swt. dalam surat
At-Taubah : 31 : “Mereka menjadikan orang-orang alim dan para rahib mereka
sebagai Tuhan selain Allah”. Dan firman Allah pada surat Al-Kahfi : 103-104
:
“Katakanlah
(wahai Muhammad); Maukah kalian Kami tunjukkan tentang orang-orang yang
merugi amal ibadahnya..? Yaitulah orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia sedangkan mereka menyangka bahwa merekalah yang berbuat sebaik-baiknya.”
Syekh Khajandi dan orang-orang yang sepaham dengannya sangat
keterlaluan didalam upaya merendahkan dan menjatuhkan martabat para imam
madzhab yang sudah diakui sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang oleh
ulama-ulama pakar dunia. Syekh ini sama halnya dengan golongan wahabi/salafi
merasa dirinya yang paling pandai, suci dan paling mengerti tentang hukum-hukum
Islam sehingga mudah mensesatkan atau mengkafirkan orang-orang muslimin yang
mengikuti suatu amalan yang tidak sepaham dengan mereka.
Berikut ini sebagian isi kitab Syeikh Khajandi yang sangat berbahaya dan
membingungkan ummat Islam
yang saya kutip dari kitab Argumentasi Ulama Syafi’iyah oleh Ustadz
Mujiburrahman. Begitu juga dalil-dalil Syeikh ini yang mengarahkan sesat, bodoh
perilaku orang yang bertaqlid terhadap salah satu dari imam empat itu, walaupn
yang taqlid itu tergolong orang awam. Setiap dalil yang Syeikh Khajandi tulis
saya akan tulis jawabannya sekali menurut Dr.Muhammad Sa’id Ramdhan al-Buuti
dalam kitabnya ‘Al-laa madzhabiyyah Akhthoru bid’ah tuhaddidus syari’atal Islamiyyah’
.
l. Syekh
Khajandi berkata; bahwa Islam itu tidak lebih dari hukum-hukum yang sederhana
yang dengan mudah dapat dimengerti oleh orang arab atau muslim manapun. Beliau
membuktikan kebenaran pernyataannya ini dengan mengetengahkan beberapa dalil berikut
ini :
Pertama; hadits
Jibril as. ketika bertanya kepada Rasulallah saw. tentang makna Islam. Kemudian
Rasulallah menjawab dengan menyebutkan rukun-rukun Islam yang lima. Tidak lebih
dari itu !
Kedua; hadits tentang
seseorang yang mendatangi Rasulallah saw. seraya berkata : ‘Wahai Rasulallah,
tunjukkanlah kepadaku satu perbuatan yang apabila aku kerjakan, maka aku akan
masuk surga’. Lalu Rasulallah saw. bersabda ; ‘Bersaksilah bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah…sampai akhir hadits’ “.
Ketiga; hadits tentang
seseorang yang datang dan mengikat ontanya dimasjid Rasulallah saw., kemudian
masuk menghadap Nabi saw. dan bertanya tentang rukun Islam yang paling penting.
Selanjutnya berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan Syeikh
ini menegas- kan bahwa Islam itu tidaklah lebih dari beberapa kata dan beberapa
hukum yang sederhana yang bisa dipahami oleh setiap muslim, arab ataupun non
arab. Hal ini karena setelah Nabi saw.menyebutkan tentang rukun Islam yang
lima, lelaki yang bertanya itupun langsung pergi dan tidak menoleh lagi.
Ini membuktikan bahwa rukun-rukun Islam itu adalah satu permasalahan yang
mudah dan penjelasannya tidaklah perlu sampai taqlid kepada seorang
imam atau menetapi seorang mujtahid. Madzhab-madzhab yang ada tidak- lah lebih
dari sekedar pemahaman para ulama terhadap beberapa masalah. Allah serta
Rasul-Nya tidaklah pernah mewajibkan seorangpun untuk meng- ikutinya.
Jawaban :
Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuti mengomentari ucapan Syeikh
Khayandi diatas sebagai berikut :
“Seandainya benar bahwa hukum-hukum Islam itu terbatas pada
masalah-masalah yang telah disampaikan oleh Rasulallah saw. kepada orang arab
badui (pedusunan), lalu pergi dan tidak memerlukan penjelasan lagi, niscaya
tidaklah kitab-kitab shohih dan musnad-musnad itu dipenuhi oleh ribuan hadits
yang mengandung berbagai macam hukum yang berkaitan dengan kehidupan kaum
muslimin. Begitu juga Rasulallah pun tidak akan berlama-lama berdiri hingga
keletihan untuk memberi pelajaran kepada utusan Tsaqif tentang
hukum-hukum Allah swt. dan itu terjadi selama beberapa hari.
Penjelasan Rasulallah tentang Islam dan rukun-rukunnya
adalah sesuatu yang berbeda dengan pengajaran tentang bagaimana melaksanakan
rukun-rukun tersebut. Yang pertama membutuhkan waktu tidak lebih dari beberapa
menit sedangkan yang terakhir membutuhkan kesungguhan dalam belajar dan juga
disiplin. Oleh karena itulah, maka utusan yang hanya membutuhkan waktu beberapa
menit untuk memahami rukun Islam itu selalu saja diikuti oleh seorang sahabat
yang khusus dipersiapkan guna tinggal bersama dan mengajari mereka berbagai
hukum Islam dan kewajiban-kewajibannya. Maka diutuslah Khalid bin Walid ke
Najran, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Muaz bin Jabal Ke Yaman,
Utsman bin Abi ‘Ash ke Tsaqif. Mereka [ra] ini diutus kepada orang-orang yang
sekelas (sederajad ilmunya) dengan orang Arab badui yang oleh Syeikh Khajandi
dijadikan sebagai dalil bahwa mereka ini dapat memahami Islam dengan cepat.
(Tidak lain) tujuan para sahabat (yang diutus ini) adalah untuk mengajari
mereka rincian hukum-hukum Islam sebagai tambahan dari pengajaran dan
penjelasan yang telah diberikan oleh Rasulallah saw.
Memang pada masa awal Islam permasalahan-permasalahan yang
menuntut solusi dan penjelasan tentang hukum-hukumnya masih sangat sedikit. Hal
ini karena daerah kekuasaan Islam dan jumlah kaum muslimin saat itu masih
sedikit. Akan tetapi masalah/problem ini bertambah banyak seiring dengan
meluasnya daerah kekuasaan Islam dan banyaknya adat- istiadat yang tidak ada
sebelumnya. Terhadap semua masalah ini haruslah ditemukan hukumnya, baik yang
bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ ataupun Qiyas (analogi). Inilah dia
sumber-sumber hukum Islam. Karenanya tidaklah ada hukum Islam kecuali yang
dinyatakan oleh salah satu dari sumber-sumber ini.
Bagaimana mungkin memisahkan antara Islam dengan apa yang
telah disimpulkan oleh ke empat imam madzhab dan orang-orang setaraf (selevel)
mereka dari sumber-sumber hukum Islam yang pokok ini…? Bagaimana Syeikh
Khajandi itu bisa mengatakan ; ‘Adapun madzhab-madzhab yang ada hanyalah
pendapat para ulama dan ijtihad mereka terhadap suatu masalah. Allah dan
Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun untuk mengikuti pendapat,
ijtihad serta pemahaman-pemahaman mereka itu‘. Ucapan Syeikh ini sama
persis dengan ucapan seorang orientalis Jerman yang bernama Sheckert
dimana dengan
sombong dan kasar mengatakan;
‘Figih Islam yang ditulis oleh para imam madzhab adalah hasil dari produk
pemikiran hukum yang istimerwa yang diperindah dengan mengait-ngaitkannya
kepada Al-Qur’an dan Sunnah’.
Rasulallah saw. telah mengutus para sahabat yang memiliki keahlian dalam
menghafal, memahami dan menyimpulkan suatu hukum kepada beberapa kabilah dan negeri serta menugaskan mereka
untuk mengajarkan hukum-hukum Islam, haram-halal kepada ummat. Telah menjadi
kesepakat- an bahwa mereka akan ber-ijtihad jika mereka kesulitan menemukan
dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan Hadits. Rasulallah saw. pun menyetujui
kesepakatan mereka itu.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmudzi dari Syu’bah ra. bahwa
ketika Nabi saw. mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman, beliau saw.bersabda : ‘Apa
yang akan kamu perbuat jika kamu menghadapi satu perkara ?’. Mu’az
menjawab: ‘Saya akan memutuskan dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah’.
Rasulallah saw. kembali bertanya ; ‘Jika tidak ada dalam Kitabullah..?’.
Mu’az menjawab :’Saya akan putuskan dengan Sunnah Rasulallah’. Rasulallah
bertanya lagi : ‘Jika tidak ada dalam Sunnah Rasulallah…?’. Mu’az
menjawab : ‘Saya akan berijtihad dengan pendapatku dan saya tidak akan
melebihkannya’. Mu’az berkata :’Rasulallahpun akhirnya menepuk-nepuk dada saya
dan bersabda : ‘Segala puji bagi Allah yang telah menjadi- kan utusan
Rasul-Nya sesuai dengan apa yang diridhoi olehnya’.
Inilah ijtihad dan pemahaman ulama dari kalangan sahabat.
Mereka menggunakannya untuk memutuskan hukum dan menerapkannya ditengah-tengah
masyarakat. Langkah mereka ini telah disetujui bahkan dipuji oleh Nabi kita
Muhammad saw. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa madzhab-madzhab itu adalah
ijtihad dan pemahaman-pemahaman yang Allah dan Rasul-Nya tidak pernah
mewajibkan siapapun untuk mengikutinya ?
Dengan demikian, maka hukum Islam itu tidaklah sesederhana
yang digambarkan oleh Syeikh Khajandi yang hanya berargumentasi dengan beberapa
dalil yang sudah kami kemukakan itu. Hukum Islam itu meluas dan mencakup
hal-hal yan berkenaan dengan sisi-sisi kehidupan, baik itu pribadi maupun
sosial dalam berbagai situasi dan kondisi. Semua hukum-hukum itu kembali kepada
Al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung melalui dilalah ddhahirnya yakni
kandungan hukumnya yang memang sudah jelas dan tidak memerlukan penafsiran lagi
maupun melalui perantara penelitian, ijtihad dan istinbath. Mana saja diantara
dua cara ini yang ditempuh oleh kaum muslimin untuk memahami hukum, maka itulah
hukum Allah yang terbebankan pada dirinya dan dia haruslah tetap pada hukum
tersebut. Itulah pula hukum yang harus diberikan kepada siapapun yang datang
meminta fatwa kepadanya.
Kalau benar bahwa hukum Islam itu adalah sesederhana yang
digambarkan oleh Syeikh Khajandi, maka apalah artinya Rasulallah saw. mengutus
para sahabat pilihan ke berbagai kabilah dan negeri…?
2.
Syeikh Khajandi berkata; bahwa
dasar berpegang teguh kepada Islam adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan
Sunnah. Keduanya inilah yang ma’shum (terjaga) dari kesalahan. Adapun mengikuti
imam-imam madzhab, maka samalah artinya dengan kita telah merubah diri. Semula
kita mengikuti yang ma’shum yakni Qur’an dan Sunnah kemudian pindah mengikuti
yang tidak ma’shum yakni imam-imam madzhab itu. Syeikh Khajandi juga mengatakan
bahwa kedatangan madzhab-madzhab yang empat itu hanyalah untuk menyaingi
madzhab Rasulallah saw.
Jawaban:
Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi menjawab atas ucapan-ucapan
Syeikh ini sebagai berikut : “Ma’shumnya Al-Qur’an adalah apabila sesuai dengan
yang dimaksudkan oleh Allah melalui firman-Nya itu. Dan ma’shumnya sunnah atau
hadits adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Nabi saw. melalui
haditsnya itu. Adapun pemahaman manusia terhadap Al-Qur’an dan hadits itu
sangatlah jauh dari sifat ma’shum, walaupun itu dari golongan mujtahid apalagi
dari golongan orang awam. Kecuali nash-nash Al-qur’an dan hadits yang termasuk
dalil-dalil qath’i (pasti) dan yang membahasnya adalah orang-orang arab yang
mengerti kaidah-kaidah bahasa arab, maka kema’shuman pemahamannya itu lahir
dari kegath’iyyan (kepastian) dalil tersebut.
Apabila sarana untuk mengambil hukum dari Al-Qur’an dan
Hadits adalah pemahaman, sementara pemahaman terhadap keduanya adalah satu
usaha yang tidak mungkin terlepas dari kesalahan selain yang sudah dikecualikan diatas maka pemahaman mereka yang termasuk
mujtahid pun tidak bisa dikatakan ma’shum, apa lagi pemahaman orang-orang awam.
Lalu apa artinya seruan kepada orang awam untuk meninggalkan taqlid dengan
alasan bahwa Al-Qur’an dan Hadits bersifat ma’shum..? Apakah jika pemahaman
terhadap nash yang ma’shum diberikan kepada golongan awam, maka itu akan sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya..? Padahal diketika
hal itu diserahkan kepada yang mujtahid pun kema’shuman pemahaman tetap tidak
akan pernah terjadi.
Syeikh Khajandi juga melalui ucapannya itu jelas memiliki
persangkaan bahwa ijtihad yang dilakukan oleh para imam madzhab itu tidak
berasal dari sumber Al-Qur’an dan Hadits sehingga dikatakan bahwa
madzhab-madzhab tersebut berseberangan dengan madzhab Rasulallah saw., dan
kemunculannya hanyalah untuk menyaingi madzhab Rasulallah tersebut. Sebuah
persangkaan yang sangat keterlaluan…!
3. Syeikh
Khajandi berkata; Tidak ada dalil yang menetapkan bahwa jika seseorang
wafat dia akan ditanya didalam kuburnya tentang madzhab dan aliran !
Jawaban :
Mengomentari ucapan ini Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi
berkata: Ucapan ini menunjukkan adanya anggapan beliau bahwa
kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada ummat manusia hanyalah
perkara-perkara yang akan menjadi pertanyaan dua malaikat didalam kubur. Apa
yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat tersebut, maka itulah
kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan dan apa yang tidak akan ditanyakan,
maka itu bukan termasuk kewajiban yang disyari’atkan. Itulah konsekwensi dari
ucapan Syeikh yang gegabah. Padahal dalam referensi akidah Islam, tidak ada
penegasan bahwa malaikat akan bertanya didalam kubur nanti tentang hutang-piutang,
jual-beli dan beberapa bentuk muamalah yang lain. Walau pun demikian
masalah tersebut dan juga masalah-masalah lain yang tidak masuk dalam materi
pertanyaan kedua malaikat tersebut, tetap menjadi permasalahan agama yang
banyak dibahas oleh para ulama kita. Jadi walaupun masalah taqlid kepada
salah satu madzhab diantara madzhab-madzhab yang empat tidak akan dipertanyakan
oleh kedua malaikat didalam kubur nanti, bukanlah berarti dia harus
disingkirkan dari pembahasan. Hal ini karena dalil-dalil tentang keharusan
orang awam bertaqlid kepada seorang imam sangatlah valid dan logis sebagaimana
nanti akan diuraikan secara lebih rinci.
Dengan demikian maka sebagaimana dikatakan oleh seluruh
ulama dan kaum muslimin bahwa kewajiban duniawi yang digantungkan dileher kaum
muslimin jauh lebih luas dibandingkan dengan apa yang akan ditanyakan oleh
kedua malaikat didalam kubur mereka.
Kalau Syeikh Khajandi itu menghujat madzhab, maka mengapa
yang menjadi sasarannya hanya madzhab yang empat…? Apa bedanya madzhab imam
yang empat ini dengan madzhab Zaid bin Tsabit, Mu’az bin Jabal, Abdullah bin
‘Abbas dan yang lainnya dalam hal memahami beberapa hukum Islam ? Apa
perbedaan madzhab yang empat ini dengan madzhab ahlu al-ra’yi di Irak
dan madzhab ahlu al-hadits di Hijaz dan pelopor berdiri- nya dua madzhab
ini adalah para sahabat nabi dan tabi’in yang terbaik ?
Bukankah mereka yang mengikuti imam madzhab yang empat dan
madzhab-madzhab yang tersebut diatas adalah juga termasuk para mukallid…?
Apakah Syeikh Khajandi itu akan mengatakan bahwa jumlah madzhab itu puluhan,
bukan hanya empat dan semuanya bertentangan dan menyaingi madzhab Rasulallah
saw….? Ataukah Syeikh ini akan berkata bahwa madzhab-madzhab yang keluar dari
agama dan memecah-belah madzhab Rasulallah hanyalah madzhab yang empat
itu, sedangkan madzhab-madzhab yang sebelum mereka, semuanya adalah benar dan
dapat berdampingan bersama madzhab Rasulallah saw…..?
Kita tidak tahu mana diantara dua pertanyaan terakhir ini
yang dipilih oleh Syeikh Khajandi. Namun yang jelas dari kedua-dua pernyataan
terakhir diatas ini, yang paling manisnya adalah satu kepahitan dan yang paling
utamanya adalah satu kedustaan. (Ahlaahuma murrun wa afdhaluhuma kazibun
waftiro’un).
Dalil kewajiban bertaqlid ketika tidak mampu berijtihad
a. Firman Allah swt. dalam surat
Al-Anbiya’ : 7 yang artinya :
“Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak
mengetahui”.
Para ulama telah sepakat bahwa ayat ini memerintahkan kepada
orang-orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya agar mengikuti orang-orang
yang mengetahui hal tersebut. Para ulama ushul fiqih menjadikan ayat ini
sebagai dasar utama bahwa orang yang tidak mengerti (awam) haruslah bertaqlid
kepada orang yang alim yang mujtahid. Senada dengan ayat diatas adalah firman
Allah swt. dalam surat At-Taubah : 122 yang artinya :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu untuk pergi
semuanya (kemedan perang). Mengapakah
tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga diri”.
Dalam kitab Tafsiirul Jaarmi’ Li Ahkaamil Qur’an
jilid 8/293-294 diterangkan bahwa Allah swt. melarang manusia pergi
berperang dan berjihad secara keseluruhan tetapi memerintahkan kepada sebagian
mereka meluangkan waktunya untuk memperlajari ilmu-ilmu agama sehingga ketika
saudara-saudara mereka yang berperang itu telah kembali, maka mereka akan
menemukan orang-orang yang dapat memberi fatwa kepada mereka tentang perkara
halal dan haram dan dapat pula memberikan penjelasan kepada mereka tentang
hukum-hukum Allah swt.
b. Ijma’
ulama bahwa para sahabat Nabi saw. sendiri berbeda-beda dalam tingkat keilmuan
dan tidak semuanya mampu untuk memberikan fatwa. Ibnu Khaldun berkata :
‘Ilmu-ilmu agama tidaklah diambil dari mereka (para sahabat) semua”. Memang,
para sahabat itu terbagi dua : Ada yang termasuk mufti (yang mampu
melakukan ijtihad) dan mereka ini termasuk golongan minoritas dibandingkan
seluruh sahabat. Ada juga diantara para sahabat yang termasuk golongan mustafti
yakni peminta fatwa yang bertaqlid dan mereka ini termasuk golongan
mayoritas dari para sahabat. Dan tidak ada bukti sama sekali bahwa para sahabat
yang menjadi mufti ketika
menyebutkan hukum satu perkara kepada mustafti pasti menjelas- kan dalil-dalil hukum itu.
Rasulallah saw. pernah mengutus para sahabat yang ahli dalam
ilmu agama kesatu daerah yang penduduknya tidak mengetahui Islam kecuali
perkara yang bersifat akidah beserta rukun-rukunnya. Maka para penduduk
didaerah itu mengikuti setiap fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat tersebut,
baik itu yang berkaitan dengan amal ibadah, mu’amalah maupun perkara-perkara
halal dan haram. Terkadang, para sahabat itu menghadapi satu permasalah- an
yang tidak ditemukan dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun hadits, maka terhadap
perkara itu mereka melakukan ijtihad kemudian memberi fatwa berdasarkan
hasil ijtihadnya dan penduduk didaerah itupun mengikuti ijtihad tersebut.
c. Al-Ghazali
dalam kitabnya Al-Mushtashfa jilid 11/385 pada bab Taqlid dan
Istifta’ bahwa orang awam itu tidak memiliki jalan lain kecuali bertaqlid,
berkata sebagai berikut : “Kami berdalil terhadap yang demikian itu
dengan dua dalil. Salah satunya adalah ijma’ sahabat dimana mereka selalu
memberikan fatwa kepada orang-orang awam dan tidak memerintahkan mereka untuk
mencapai derajad ijtihad. Ijma’ tersebut telah diketahui secara mutawatir baik
dari ulama mereka maupun kalangan rakyat biasa”.
d. Al-Amidi
dalam kitabnya Al-Ihkam jilid 3/171 berkata : ‘Ijma’
dimaksud adalah keadaan orang-orang awam dimasa sahabat dan tabi’in
sebelum
munculnya orang-orang yang menyimpang yang selalu meminta fatwa kepada para sahabat yang termasuk
mujtahid dan mengikuti fatwa kepada para sahabat hal hukum-hukum agama. Para
ulama dikalangan sahabat selalu menjawab pertanyaan mereka dengan segera tanpa
menyebutkan dalil. Tidak ada yang mengingkari kebiasaan orang-orang awam
tersebut. Maka terjadilah ijma’ dalam hal bolehnya orang awam mengikuti orang
yang mujtahid secara mutlak. Dizaman sahabat, mereka yang tampil memberikan
fatwa hanyalah sebagian kecil yang memang telah dikenal keahliannya dalam
bidang fiqh, riwayat dan istinbath. Yang paling terkenal diantara mereka
adalah; Khulafa’ur Rasyidin yang empat, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa
al-‘Asy’ari, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Sedangkan
para sahabat nabi yang bertaqlid kepada madzhab dan fatwa mereka ini jauh lebih
banyak.
e. Pada
zaman tabi’in, daerah ijtihad bertambah luas dan kaum muslimin pada zaman itu
menggunakan cara yang sama seperti cara yang dipakai oleh para sahabat
Rasulallah saw. Hanya saja ijtihad dimasa tabi’in dapat digolongkan kepada dua
madzhab utama yaitu Madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak dan madzhab Ahlu al-Hadits.
Diantara tokoh-tokoh madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak ialah
Alqamah bin Qais an-Nakha’I; Sa’id bin Jubair; Masruq bin Al-Ajda’ al-Hamdani
dan Ibrahim bin Zaid an-Nakha’i. Orang-orang awam Irak dan sekitarnya selalu
bertaqlid kepada madzhab ini tanpa ada yang mengingkari. Adapun tokoh-tokoh
madzhab Ahlu al-Hadits di Hijaz adalah; Sa’id bin al-Musayyab al-Makhzumi;
‘Urwah bin Zubair; Salim bin Abdullah bin Umar; Sulaiman bin Yasar dan Nafi’
Maula Abdullah bin Umar. Penduduk Hijaz dan sekitarnya senantiasa bertaqlid
kepada madzhab ini tanpa ada seorangpun yang mengingkari.
Antara tokoh-tokoh kedua madzhab diatas ini sering juga
terjadi diskusi dan perdebatan, akan tetapi orang-orang awam dan kalangan
pelajar tidaklah ikut campur dalam hal tersebut karena urusan mereka hanyalah
bertaqlid kepada siapa saja diantara mereka yang dikehendaki dengan tanpa ada
seorangpun yang melakukan pengingkaran terhadap mereka. Begitu juga perdebatan
yang terjadi diantara para mujtahidin tidaklah menjadi beban dari tanggung
jawab orang-orang awam atau kalangan pelajar.
f. Syekh
Abdullah Darras berkata : “Dalil logika untuk masalah ini adalah bahwa
orang yang tidak punya kemampuan dalam berijtihad apabila terjadi padanya satu
masalah fiqih, maka ada dua kemungkinan caranya bersikap :
Pertama, dia tidak melakukan ibadah sama sekali. Dan
ini tentu menyalahi ijma’. Kedua, dia melakukan ibadah. Dan ibadah yang
dilakukannya itu adakalanya dengan meneliti dalil yang menetapkan hukum atau
dengan jalan taqlid. Untuk yang pertama (meneliti dalil hukum) jelas tidak
mungkin karena dengan melakukan penelitian itu berarti ia harus meneliti
dalil-dalil semua masalah sehingga harus meninggalkan kegiatan sehari-hari
(karena banyaknya dalil yang harus diteliti) yakni meninggalkan semua pekerjaan
yang mesti dia lakukan dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya.
Oleh karena itu tidak ada kemungkinan lain kecuali taqlid. Dan itulah yang
menjadi kewajibannya apabila bertemu dengan masalah yang memerlu kan pemecahan
hukum”.
Para ulama memperhatikan kesempurnaan dalil-dalil baik itu
dari Al-Qur’an, hadits maupun dalil aqli (logika) dimana orang-orang awam dan
juga orang-orang pandai yang belum sampai kepada derajat Istinbath dan
ijtihad tidak ada jalan lain bagi mereka ini kecuali bertaqlid kepada
seorang mujtahid yang mampu memahami dalil, maka berkatalah ulama:
“Sesungguhnya fatwa seorang mujtahid untuk orang-orang awam adalah seperti
halnya dalil-dalil Al-Qur/an dan Sunnah untuk orang mujtahid, karena Al-Qur’an
sebagaimana dia mengharuskan seorang yang mujtahid untuk berpegang teguh dengan
dalil-dalil dan bukti yang terdapat didalamnya, begitu juga Al-Qur’an itu
mengharuskan orang-orang yang awam untuk berpegang teguh dengan fatwa seorang
yang mujtahid “.
Dalam hal ini As-Syatibi berkata:
“Fatwa-fatwa para mujtahid bagi orang-orang awam adalah
seperti dalil-dalil syar’i bagi para mujtahid. Alasannya adalah karena bagi
orang-orang awam yang taqlid, ada atau tidaknya dalil adalah sama saja karena
mereka tidak mampu mengambil pengertian darinya. Maka masalah meneliti dalil
dan melakukan istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka memang tidak
diperkenankan melakukan yang demikian itu. Dalam Al-Qur’an Allah swt. berfirman
: ‘Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui’
(Al-Anbiya’:7). Orang yang taqlid bukanlah orang yang alim. Oleh karenanya,
tidaklah sah baginya kecuali bertanya kepada ahli ilmu. Dan kepada mereka- lah
kembalinya urusan orang-orang awam dalam masalah hukum secara mutlak. Dengan
demikian, maka kedudukan ahli ilmu begitu pula ucapan-ucapannya bagi
orang-orang awam adalah seperti kedudukan syara’ “.
Syekh Khajandi dalam upayanya untuk membenarkan pendapat tentang haramnya
bertaqlid kepada salah seorang dari imam-imam madzhab yang empat telah menjadikan ucapan Imam
ad-Dahlawi, Izuddin bin Abdussalam dan ibnul Qayyim al-Jauziyyah
sebagai dalil yang betul-betul telah mem- perkuat pendapatnya dan beliaupun
tanpa ragu-ragu menyebar luaskan ucapan-ucapan yang dianggapnya sebagai ucapan
dari ketiga imam itu. Padahal menurut penelitian Syeikh Dr. Sa’id Ramdhan
al-Buuthi ucapan-ucapan yang disangkanya dari ketiga imam itu tidaklah
demikian adanya.
Berikut ini kami sampaikan kutipan-kutipan Syeikh Khajandi yang beranggapan bersumber dari
ketiga imam tersebut diatas dan sanggahan/ jawaban Syeikh Sa’id Ramdhan al-Buuti
terhadap ucapan Syeikh Khajandi.
1). Syeikh Khajandi mengatakan bahwa
beliau telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf yang
menyebutkan sebagai berikut:
(Faman akhodza bijamii’i agwaali abii Haniifah au jamii’i
aqwaali Maaliki au jamii’I aqwaali Syaafi’i au jamii’i aqwaali Ahmad au
ghoirihim wa lam ya’tamid ‘alaa maa jaa a fil kitaabi was sunnati faqod
khoolafa ijmaa’il ummati kullihaa wa ttaba’a ghoiro sabiilil mu’minin. )
Artinya : “Barangsiapa mengambil semua ucapan Abu
Hanifah atau semua ucapan Imam Malik atau semua ucapan Imam Syafi’i atau semua
ucapan Imam Ahmad atau yang selain mereka dan dia tidak berpegang kepada
penjelasaan Al-Qur’an dan Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menyalahi ijma’
seluruh ummat dan telah mengikuti jalan yang tidak ditempuh oleh orang-orang
mukimin “.
Demikianlah kutipan Syeikh Khajandi yang menurutnya
bersumber kepada Imam ad-Dahlawi.
Jawaban :
Terhadap kutipan tersebut, Dr. Sa’id Ramdhan
mengatakan sebagai berikut: Ucapan tersebut tidak ada dalam kitab
Al-Inshaaf maupun kitab-kitab lain karangan Imam ad-Dahlawi. Bahkan apa
yang dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi justru berlawanan dengan apa
yang dikatakan Syeikh Khajandi. Dalam kitabnya Al-Inshaaf dan Hujjatulloohil
Baalighah 1/132 Imam ad-Dahlawi berkata :
( I’lam an haadzihil madzhaahibal arba’atal mudawwanatal
muharrorota godij Tama’atil ummatu au man yu’taddu bihi minhaa ‘alaa jawaazi taqliidihaa
ilaa yauminaa haadzaa wa fii dzaalika minal mashoolihi maalaa yakhfaa laa
siyyamaa fii haadzihil ayyaami allatii goshurat fiihaa lhimamu jiddan wa
usyribati n nufuusu lhawaa wa a’jaba kullu dzii ro’yin biro’yihi. )
Artinya : “Ketahuilah ! Sesungguhnya ummat
Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah
sepakat tentang bolehnya bertaqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan
secara otentik hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti
empat madzhab tersebut terdapat maslahat yang jelas terlebih lagi dimasa kita
sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa
sudah dicampuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan
pendapatnya sendiri “
Inilah yang sebenarnya dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi yang
membolehkan orang-orang yang tidak mampu berijtihad untuk mengikuti salah
satu dari keempat madzhab tersebut. Karenanya Syeikh Sa’id Ramdhan
menantang Syeikh Khajandi untuk menjunjukkan satu baris saja dalam kitab
ad-Dahlawi tentang kutipan yang telah ia (Khajandi) buat-buat/karang-karang
itu.
2) Syeikh
Khajandi mengatakan bahwa Izuddin bin Abdussalam meng- haramkan orang
berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang mengambil hukum
langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindah-pindah dari satu imam keimam
yang lain tanpa menetapi salah seorang imam madzhab secara terus menerus.
Jawaban:
Terhadap ucapan Syekh Khajandi ini Dr.Sa’id Ramdhan
mengatakan bahwa ucapan Khajandi ini berlawanan dengan faktanya.
Hal ini karena beliau (Izuddin bin Abdussalam) justru menjadi pengikut dari
salah satu imam madzhab yang empat, yaitu pengikut madzhab Syafi’i.
Berikut ini penjelasan beliau dalam kitabnya Qowaa’idul Ahkam 11/135 :
( “Wayutstatsnaa min dzaalikal ‘aammatu fainna wadhiifatahum
attaqliid li’ajzihim ‘anit tawassulli ilaa ma’rifatil ahkaam bil ijtihaadi
bikhilaafil mujtahidi fainnahu goodirum ‘alaan nadhril muaddii ilal hukmi. Wa
man gollada imaaman minal aimmati tsumma arooda ghoirohu fahal lahu dzaalika..?
fiihi khilaafun, wal mukhtaarut tafshiilu fain kaanal madzhabul ladzii aroodal
intigoola ilaihi mimma yangudhu fiihil hukma falaisa lahul intigoolu ilaa hukmi
yuujibu nagdhohu, fainnahu lam yajibu nagdhohu illaa libuthlaanihi, fain kaanal
akhdzaani mutaqooribaini jaazat taqliidu wal intigoolu liannan naasa lam
yazaaluu min zamanis shohaabati ilaa an dhoharotil madzaahibul arba’atu
yugolliduuna minit tafaqa minal ‘ulamaai min ghoiri nakiiri ahadin yu’tabaru
inkaaruhu walau kaana dzaalika baathilan ankaruuhu”. )
Artinya : “Orang-orang awam dikecualikan dari orang
yang mampu berijtihad. Maka tugas mereka adalah taqlid karena mereka tidak
mampu mengetahui hukum dengan jalan ijtihad. Berbeda dengan seorang mujtahid
yang memang memiliki kemampuan analisis untuk melahirkan satu hukum. Orang yang
taqlid kepada seorang imam (dalam satu madzhab) kemudian dia ingin taqlid
kepada imam yang lain, apa boleh yang demikian ? Dalam hal ini terdapat khilaf
(perbedaan). Dan yang terpilih adalah melakukan pemilahan (tafshil) yakni :
a). Jika madzhab tempat dia hendak pindah itu termasuk madzhab
yang menolak hukum dalam masalah tersebut, maka tidaklah boleh pindah
kepada hukum yang menolak tersebut karena penolakan itu pastilah disebabkan
kebatalannya.
b) Jika dua madzhab itu berdekatan (
keputusan hukumnya dalam masalah itu), maka boleh taqlid dan boleh pula
berpindah-pindah. Hal ini karena sejak zaman sahabat hingga munculnya empat
imam madzhab, kaum muslimin senantiasa bertaqlid kepada setiap ulama yang
mereka temui. Dan sikap mereka yang seperti itu tidak pernah diingkari oleh
seseorang yang patut dijadikan panutan. Andai yang demikian itu batal (tidak
boleh) niscaya mereka akan mengingkarinya”.
Demikianlah yang sebenarnya dikatakan oleh Izuddin bin
Abdussalam yakni mewajibkan orang-orang awam untuk bertaqlid. Bukan seperti
Syeikh Khajandi yang mewajibkan semua orang untuk mengikuti yang ma’shum dan
meninggalkan yang tidak ma’shum. Dengan kata lain dia mewajibkan semua orang
untuk mengeluarkan sendiri hukum-hukum agama, baik itu dari Al-Qur’an maupun
Hadits.
Imam Izuddin menetapkan bahwa pada prinsipnya orang yang
taqlid harus menetapi seorang imam tertentu. Tetapi mengenai berpindah kepada
imam madzhab selain madzhabnya dalam masalah hukum, hal ini masih diper-
selisihkan hukumnya oleh para ulama. Namun demikian beliau ini condong kepada
pendapat yang membolehkan (bukan mewajibkan) dengan syarat-syarat tertentu.
Sedangkan Syeikh Khajandi mewajibkan seseorang untuk berpindah-pindah
madzhab. Syeikh Khajandi menyebarkan pandangannya ini dengan menyampaikan dalil
kata-kata Izuddin bin Abdussalam, padahal pendirian Izuddin bin Abdussalam
adalah kebalikan dari pandangan Khajandi
3)
Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa
Ibnul Qoyyim memiliki pendapat yang sama dengan Izuddin bin Abdussalam yakni
mengharamkan orang berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang
mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindah-pindah dari
satu imam ke imam yang lain tanpa menetapi salah seorang imam madzhab secara
terus menerus.
Jawaban:
Syeikh Sa’id Ramdhan telah membantahnya karena sangatlah
tidak mungkin Ibnul Qoyyim akan berpendapat seperti yang tersebut diatas.
Karena beliau (Ibnul Qoyyim) sendiri adalah pengikut salah satu dari imam
madzhab yang empat yakni madzhab Hanbali. Berikut ini adalah pernyataan
dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 111/168 :
( “ dzikru tafshiilil qouli fii ttaqliidi wangisaamuhu ilaa
maa yahrumul qoulu fiihi wal iftaau bihii wa ilaa maa yajibul mashiiru ilaihi
wa alaa maa yusawwighu min ghoiri iijaabin. Fa amman nau’ul awwalu fahua
tsalaatsatu anwaa’in ahaduhumaa al i’roodhu ‘ammaa anzalallahu wa ‘adamul
iltifaati ilaihi iktifaaan bitaqliidil aabaai, At tsaani taqliidu man laa
ya’lamul mugollidu annahu ahlun la an yuukhodza bigoulihi, Attsaalitsu
attaqliidu ba’da giyaamil hujjah wa dhuhuurid daliil ‘alaa khilaafi goulil
mugolladi “ Tsumma athoola ibnul Qoyyim fii sardi wa syarhi adhroori wa masaawi
i ttaqliidil muharromi alladzii hashorohu fii hadzihil anwaa’i tstsalaatsati. )
Artinya : ( “Rincian pendapat tentang taqlid dan
pembagiannya kepada ijtihad yang haram, wajib dan mubah. Jenis pertama yakni
taqlid yang haram terdiri dari tiga macam: a). Berpaling dari hukum yang
telah diturunkan oleh Allah dan tidak mau memperhatikannya karena telah merasa
cukup dengan taqlid kepada nenek moyang. b). Taqlid kepada orang yang
tidak diketahui apakah dia itu orang yang pantes diambil pendapatnya atau
tidak. c). Taqlid sesudah tegaknya hujjah dan telah jelas dalil-dalil
yang menyalahi pendapat orang yang ditaqlid”. Kemudian Ibnul Qoyyim dengan
panjang lebar menjelaskan tentang bahaya dan keburukan dari taqlid yang
diharamkan yang telah disimpulkan pada tiga macam tersebut ).
Dengan demikian, maka pembicaraan Ibnul Qoyyim yang panjang
lebar tentang pengingkaran dan ketidak-setujuannya terhadap taqlid hanyalah
berkisar pada tiga macam taqlid yang merupakan bagian dari bentuk taqlid yang
pertama yakni taqlid yang diharamkan. Bahkan pada bagian yang lain Ibnul Qoyyim
mengatakan sebagai berikut :
“Apabila dikatakan bahwa Allah swt. hanya mencela
orang-orang kafir yang taqlid kepada nenek moyang mereka yang tidak mempunyai
akal dan tidak pula mendapat petunjuk dan allah tidak mencela orang-orang yang
taqlid kepada para ulama yang mendapat petunjuk bahkan Allah memerintahkan
mereka untuk bertanya kepada ahlu al-dzikir (An-Nahl : 43) yakni para
ulama (dan itu berarti taqlid kepada mereka).
Ayat An-Nahl : 43 ini merupakan perintah kepada orang yang
tidak mengetahui agar taqlid kepada orang yang mengetahui yakni para ulama.
Jawaban terhadap pernyataan diatas adalah bahwa yang dicela oleh Allah swt.itu
adalah berpaling dari apa yang telah diturunkan oleh Allah swt. dan lebih
memilih taqlid kepada nenek moyang mereka. Taqlid seperti ini adalah taqlid
yang dibenci dan diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama salaf dan imam
madzhab yang empat. Adapun taqlidnya orang yang telah mencurahkan tenaga dan
pikiran untuk mengikuti apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah namun
sebagiannya belum bisa dia mengerti dengan jelas lalu dia taqlid kepada orang
yang lebih alim darinya, maka taqlid yang seperti ini adalah terpuji, bukan
tercela dan akan mendapat pahala, bukan mendapat dosa “.
Pembelaan Nashiruddin al-Albani pada Syeikh Khajandi
Pendapat Syekh Khajandi tersebut diatas mengenai pengharamannya
untuk taqlid pada satu imam tertentu dan sebagainya yang tersebut diatas ini
dibenarkan oleh Nashiruddin al-Albani (baca keterangan mengenai al-Albani pada
halaman sebelumnya) dan dibela mati-matian, suatu hal yang meng- herankan
sekali. Pembelaan Syeikh Al-Albani tidak lain karena Syeikh
Khajandi ini sepaham dan satu kelompok golongan dengannya dan
al-Albani sengaja mentakwil kata-kata Khajandi yang salah ini agar tidak
terus menerus menjadi sorotan ummat muslimin.
I. Al-Albani mengatakan : “Sanggahan
dan alasan yang dikemukakan Dr. Sa’id Ramdhan terhadap pendapat Syekh Khajandi
itu tidak benar. Dia (Albani) pembela Syeikh Khajandi ini mengatakan juga
bahwa para sahabat dan ulama selama tiga abad tidak pernah menetapi satu
madzhab tertentu”
Jawaban :
Dr. Sa’id Ramdhan membuktikan bahwa alasan yang
dikemukakannya itu adalah benar. Syeikh Sa’id ini mengutip ucapan Ibnul Qoyyim
dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 1/21 :
( “ Waddiinu wal fighu wal ‘ilmu intasyaro fil Ummati
‘an ashhaabi bni Mas’ud wa ashhaabi Zaidi bni tsaabit wa ashhaabi ‘abdillah bni
‘Abbas. Fa’ilmun Naasi ‘ammatan ‘an ashhaabi haaulaail arba’ati. Fa ammaa ahlul
madiinati fa’ilmuhum ‘an ashhaabi Zaidi bni Tsaabit wa ‘Abdillahi bni ‘Umar. Wa
ammaa ahlu makkata fa’ilmuhum ‘an ashhaabi ‘Abdillahi bni ‘Abbas ra. Wa ammaa
ahlul ‘iraaqi fa’ilmuhum ‘an ashhaabi ‘Abdillahi bni Mas’uud “ ).
Artinya : “Agama, figh dan ilmu tersebar
ketengah-tengah ummat ini melalui para pengikut Ibnu Mas’uud, Zaid bin Tsabit,
‘Abdullah bin Umar dan ‘Abdullah bin ‘Abbas. Secara umum ummat Islam ini
memperoleh ilmu agama dari mereka yang empat ini. Penduduk Madinah memperoleh
ilmu dari para pengikut Zaid bin Tsabit dan ‘Abdullah bin Umar. Penduduk Mekkah
memperoleh ilmu dari para pengikut Abdullah bin Abbas dan penduduk Iraq
memperoleh ilmu dari para pengikut ‘Abdullah bin Mas’ud “.
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim. Bahkan dalam
sejarah perkembangan syari’at Islam telah pula diketahui bahwa ‘Atho’ bin Abi
Robah dan Mujahid pernah menjadi mufti di Mekkah dalam waktu yang cukup lama.
Dan penduduk Mekkah saat itu hanya mau menerima fatwa dari kedua Imam ini
sampai-sampai khalifah yang memerintah saat itu sempat menyerukan agar
orang-orang tidak mengambil fatwa kecuali dari dua Imam tersebut. Dan para
ulama dari golongan tabi’in tidak ada yang mengingkari seruan khalifah itu.
Begitu pula tidak ada yang menyalahkan sikap kaum muslimin saat itu yang hanya
menetapi madzhab kedua imam tersebut.
II. Syekh al-Albani membela beberapa pendapat Syeikh Khajandi yang
aneh dan telah menyimpang jauh dari kebenaran. Dia memberi takwil (perubahan
arti) beberapa pendapat Syekh Khajandi berikut ini :
a. Kata-kata Syekh Khajandi; “Adapun madzhab-madzhab itu dia
hanyalah pendapat para ulama, dan cara mereka memahami sebagian masalah serta
bentuk dari ijtihad mereka. Dan pendapat serta ijtihad-ijtihad seperti ini,
Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk mengikutinya”.
Menurut al-Albani yang dimaksud ‘seseorang’ diatas adalah
orang-orang yang memiliki keahlian untuk berijtihad, bukan semua orang.
b. Kata-kata Syekh Khajandi; “Menghasilkan ijtihad tidaklah
sulit, cukup dengan memiliki kitab Muwattho’, Bukhori Muslim, Sunan Abi Daud,
Jaami’ at-Turmudzi dan Nasa’i. Kitab-kitab ini tersebar luas dan mudah diperoleh.
Anda haruslah mengetahui kitab-kitab ini “.
Menurut al-Albani ucapan Syeikh Khajandi ini juga khusus
untuk orang-orang yang telah mencapai derajad mujtahid dan mampu mengistinbath
hukum dari nash. Jadi bukan ditujukan kepada semua orang.
c. Kata-kata Syeikh Khajandi; “Jika telah didapatkan nash dari
Al-Qur’an, Hadits dan ucapan para sahabat, maka wajiblah mengambilnya, tidak
boleh berpindah kepada fatwa para ulama”.
Menurut al-Albani ucapan Syekh Khajandi ini khusus untuk
orang yang telah mendalami ilmu syari’at dan memiliki kemampuan untuk
menganalisa dalil dan madlulnya.
Jawaban :
Pembelaan al-Albani kepada Syeikh Khajandi selalu diberikan
takwil agar tetap dikesankan berada diatas kebenaran. Sedikitpun Nashiruddin
al-Albani tidak mau menyalahkan Syeikh Khajandi. Bahkan ketika Dr. Sa’id
Ramdhan berkata kepada al-Albani dalam satu pertemuan singkat dengannya bahwasanya seorang ulama tidak akan
menggunakan satu pernyataan yang sifatnya umum, lalu dia menghendaki maksud
lain yang tidak sejalan dengan dzhohir pernyataannya itu. Nashiruddin al-Albani
menjawab bahwa Syeikh Khajandi itu adalah lelaki keturunan Bukhara yang
menggunakan bahasa non arab. Karenanya dia tidak memiliki kemampuan
mengungkapkan sesuatu sebagaimana layaknya orang-orang arab. Dia sekarang sudah
wafat. Dan karena
dia seorang muslim maka
haruslah kita membawa ucapan-ucapannya itu kepada sesuatu yang lebih tepat dan
pantes dan kita haruslah selalu ber-husnuz dhon (bersangka baik)
kepadanya.
Seperti inilah Syeik al-Albani berdalih Husnuz dhon
kepada seorang muslim dia selalu menakwil ucapan-ucapan Khajandi walaupun sudah
jelas dan nyata menyimpang dari kebenaran. Tidak lain
karena Syeikh Khajandi adalah orang yang sepaham dan satu kelompok
dengan al-Albani. Kalau yang punya pendapat itu bukan dari kelompoknya,
maka tentulahseperti
sifat kebiasaan al-Albaniakan
dibantahnya, dicela dan didamprat habis-habisan !!.
Menurut Syekh Sa’id Ramdhan , andai saja al-Albani itu
mau menakwil ucapan-ucapan para tokoh Sufi seperti Syeikh Muhyiddin bin Arobi seper empat saja dari takwilan yang
diberikan kepada Syeikh Khajandi maka tidaklah dia akan sampai mengkafirkan dan menfasikkan
mereka (para sufi)!
Syeikh Khajandi yang mengatakan bahwa Jika telah
didapatkan nash…… sampai fatwa para ulama (baca keterangan pada II
c diatas) walaupun sudah dibela sama al-Albani namun Dr. Sa’id tetap
membantahnya.
Dr. Sa’id Ramdhan berkata: Coba saja berikan kitab Bukhori
Muslim kepada semua kaum muslimin lalu suruh mereka memahami hukum-hukum agama
dari nash-nash yang terdapat dalam kitab tersebut. Kemudian lihatlah kebodohan,
kebingungan dan kekacauan yang akan terjadi ! Selanjutnya Syeikh Sa’id ini
mengatakan bahwa Ibnul Qoyyim dalam kitabnya ‘I’laamul Muwaqqi’in 4/234
telah mengatakan sesuatu yang benar-benar berbeda dengan apa yang diucapkan
oleh Syeikh Khajandi yang telah didukung oleh al-Albani itu. Ibnul Qoyyim
berkata :
( “Alfaaidatu tsaaminah wal arba’uun] idzaa kaana
‘indar rojuli ashshohiihaani au ahaduhumaa au kitaabun min sunani Rasuulillahi
saw. muutsagun bimaa fiihi fahal lahu an yuftiya bimaa yajiduhu fiihi ?…wash
showaabu fii haadzihil mas alatit tafshiilu fain kaanat dalaalatul hadiitsi
dhoohiratan bayyinatan likulli man sami’ahu laa yahtamilu ghoirol muroodi
falahu an ya’mala bihi wa yuftiya bihi wa laa yathlubut tazkiyata lahuu min gouli
fagiihi au imaamin balil hujjatu goulu Rasuulillahi saw. Wa in kaanat
dalaalatuhu khofiyyatan laa yatabayyanul muroodu minhaa lam yajuz lahu an
ya’mala wa laa yuftiya bimaa yatauwah-hamuhu muroodan hattaa yas-alu wa
yathluba bayaanal hadiitsi wa wajhahu…”).
Artinya : “(Faidah ke 48) : Apabila seseorang memiliki dua
kitab shohih (Bukhori & Muslim) atau salah satunya atau satu kitab dari
sunnah-sunnah Rasulalillah saw., yang terpercaya, bolehkan ia berfatwa dengan
apa yang dia dapatkan dalam kitab-kitab tersebut ? Jawaban yang benar dalam
masalah ini adalah melakukan perincian (tafshil). Bila makna yang dikandung
oleh hadits itu sudah cukup jelas dan gamblang bagi setiap orang yang
mendengarnya dan tidak mungkin lagi diartikan lain, maka dia boleh mengamalkannya
serta berfatwa dengannya tanpa harus meminta rekomen- dasi lagi kepada ahli
figih atau seorang imam. Bahkan hujjah yang harus diambil adalah sabda
Rasulalillah saw. Akan tetapi bila kandungan hadits tersebut masih samar dan
kurang jelas maksudnya (bagi setiap orang ), maka dia tidaklah boleh
mengamalkannya dan tidak boleh pula berfatwa dengannya atas dasar perkiraan
pikirannya sehingga ia bertanya terlebih dahulu dan meminta penjelasan tentang
hadits itu “.
Selanjutnya Ibnul Qoyyim berkata :
( “ Wa hadzaa kulluhu idzaa tsammata nau’u ahliyyatin
walakinnahuu gooshirun fii ma’rifatil furuu’I wa gowaa’idil ushuuliyyiina wal
‘arabiyyati. Wa idzaa lam takun tsammata ahliyyatun gotthu fafardhuhu maa
goolahullahu ta’aalaa: Fas-aluu ahla ddzikri in kuntum laa ta’lamuun [An-Nahl
:43] “).
Artinya : “Semua yang dibicarakan diatas hanyalah apabila
orang itu memiliki sedikit keahlian namun pengetahuannya dalam ilmu figih,
kaidah-kaidah ushul fiqih dan ilmu bahasa belum mencukupi. Akan tetapi apabila
seseorang tidak memiliki kemampuan apa-apa, maka ia wajib bertanya,
sebagaimana firman Allah swt. : ‘Maka bertanyalah kamu kepada orang-orang yang
mempunyai ilmu jika memang kamu tidak mengetahui’ (An-Nahl :43) “.
III. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya Syeikh Khajandi
mengatakan telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf:
Barang siapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah….dan seterusnya (baca
keterangan sebelumnya) dan Dr. Sa’id Ramdhan telah membuktikan bahwa ucapan
yang dikatakan Khajandi dari Imam ad-Dahlawi itu adalah tidak benar.
Tujuan Syeikh Sa’id Ramdhan membongkar ketidak benaran ucapan yang diatas
namakan ad-Dahlawi ini adalah agar mereka (para pembela Syeikh Khajandi)
merenungkan masalah ini dan memeriksa kembali apa yang telah beliau buktikan
ini. Dan seharusnya mereka (pembela-pembela Syeikh Khajandi) berterima kasih
dan menerima adanya kebenaran yang dibuktikan oleh Dr. Sa’id Ramdhan dan
kesalahan yang dilakukan oleh mereka.
Namun yang terjadi justru sebaliknya sebagaimana kebiasaan golongan
ini [Syeikh Khajandi dan kawan-kawannya] mereka tidak senang dengan pelurusan-pelurusan yang Syeikh
Sa’id Ramdhan lakukan yakni menyingkap kebohongan yang mereka atas namakan
kepada Imam ad-Dahlawi. Mereka (kelompok Syeikh Khajandi) bersusah-payah
membuka lembar demi lembar kitab Ad-Dahlawi yang kira-kira cocok atau mendekati
kebenaran dengan kutipan Syeikh Khajandi itu. Pada akhirnya mereka ini berkata
:
“Kami telah memeriksa risalah al-Inshaaf karangan
Imam ad-Dahlawi rahima hullah dan ternyata didalamnya terdapat sebagian ucapan
yang disebut Syeikh Khajandi. Bunyi ucapan itu adalah : ‘Ketahuilah bahwa kaum
muslimin di abad pertama dan kedua hijriah tidak menyepakati taqlid kepada satu
madzhab tertentu. Abu Thalib al-Makki dalam kitanya Quutul Qulub
mengatakan bahwa kitab-kitab dan kumpulan-kumpulan tulisan tentang Islam
merupakan hal yang baru. Dan pendapat yang berdasarkan ucapan orang banyak dan
fatwa yang berdasarkan satu madzhab kemudian mengambil ucapan itu dan dan
menyampaikannya menurut madzhab tersebut, baik dalam urusan apa saja ataupun
urusan figih, semua itu tidak pernah terjadi pada dua abad yang pertama dan
kedua. Melainkan manusia diketika itu hanya dua kelompok yaitu ulama dan
orang-orang awam. Berdasarkan informasi, orang-orang awam itu dalam masalah-masalah yang sudah
disepakati yang tidak ada lagi perbedaan diantara kaum muslimin dan mayoritas
mujtahidin tidaklah
mereka itu taqlid kecuali kepada pemegang syari’at yakni Nabi Muhammad saw..
Jika mereka menemui satu masalah yang jarang terjadi, maka mereka meminta fatwa
kepada mufti yang ada tanpa menentukan apa madzhabnya “.
Namun demikian apabila kita perhatikan dengan seksama maka
ucapan Imam ad-Dahlawi yang mereka kutip, tidak ada kaitannya sama sekali
dengan ucapan Syeikh Khajandi yang mengatas namakan mengutip kitab Imam
ad-Dahlawi !!.
Untuk memperkuat pembelaaan terhadap Syeikh Khajandi mereka
juga mengatakan: Adapun ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya terdapat dalam kitab
Hujjatulloohil Baalighah jilid1/154-155. Dimana Imam ad-Dahlawi mengutip ucapan
Ibnu Hazmin :
( “ Goola Ibnu Hazmin : Innat taqliida haraamun wa laa
yahillu liahadin an ya’khudza qoula ahadin ghoiri rasuulillahi saw. bilaa
burhaanin”).
Artinya : “Ibnu Hazmin berkata : ‘ Taqlid itu haram dan
seseorang dengan tanpa dalil tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain
dari ucapan Rasulallahillahi saw.’ ”.
Berikutnya mereka membeberkan ucapan-ucapan Imam ad-Dahlawi
lainnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin dengan cukup panjang.
Jawaban :
Padahal ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu
Hazmin bukanlah
seperti itu . Perhatikanlah keterangan Imam ad-Dahlawi berikut ini :
( “ I’lam an hadzihil madzaahibal arba’atal mudawwanatal
muharrorota godij tama’atil ummatu au man yu’taddu bihi ‘alaa jawaazi
taqliidihaa ilaa yauminaa haadzaa wa fii dzaalika minal mashoolihi maalaa
yakhfaa laa siyyamaa fii haadzihil ayyaamil latii goshurat fiihal himamu jiddan
wa usyribatin nufuusul hawaa wa a’jaba kullu dzii ro’yin biro’yihi ”).
Artinya : “Ketahuilah ! Sesungguhnya ummat Islam atau
ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang
bolehnya bertaqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan secara otentik
hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat madzhab
tersebut terdapat maslahat (kebaikan) yang jelas terlebih lagi dimasa kita
sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa
sudah dicampuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan
pendapatnya sendiri. “
Selanjutnya Imam ad-Dahlawi langsung berkata :
( “ Famaa dzahaba ilaihi ibnu Hazmin haitsu goola innat
taqliida haraamun wa laa yahillu liahadin an ya’khudza qoula ahadin ghoiri
rasuulillahi saw. bilaa burhaanin…innamaa yatimmu fiiman lahu dhorbun minal
ijtihaadi walau fii mas-alatin waahidatin “).
Artinya : “Maka pendapat Ibnu Hazmin yang mengatakan :
‘Sesungguhnya taqlid itu haram dan tidak boleh bagi seseorang dengan tanpa dalil mengambil ucapan orang lain selain
dari ucapan Rasulillah saw….barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang
memiliki kemampuan ber- ijtihad walaupun pada satu masalah”.
Demikianlah sebenarnya kelengkapan ucapan Imam ad-Dahlawi
dalam Hujjatulloohil Baalighah. Maka kita bisa bandingkan sendiri
kutipan para pembela Syeikh Khajandi itu dengan ucapan Imam ad-Dahlawi yang
sebenarnya. Mereka hanya mengutip sampai kata-kata ….Tidak boleh mengambil
ucapan orang lain selain ucapan Rasulillah saw. dan
mengenyampingkan/membuang terusan kalimat itu justru yang paling penting dan
inti dari sebuah pendapat yaitu …barulah bisa tepat dan sempurna terhadap
orang yang memiliki kemampuan berijtihad walaupun pada satu masalah.
Begitulah sifat kebiasaan golongan ini sering membuang/mengenyampingkan
kalimat-kalimat aslinya atau kalimat-kalimat lain yang berlawanan dengan faham
mereka (baca keterangan akidah golongan salafi/wahabi dalam makalah ini ).
Beginilah kefanatikan golongan ini terhadap imam-imam mereka
sampai-sampai mereka berani merekayasa dan membuang ucapan para imam lainnya
demi untuk menegakkan dan membenarkan pendapat-pendapat yang sudah terlanjur
dikeluarkan/ditulis oleh imam-imam mereka atau oleh mereka sendiri. Sifat
mereka seperti ini jelas telah menunjukkan kefanatikan yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan kefanatikan para pengikut madzhab empat terhadap
imam-imamnya. Yang mana kefanatikan para pengikut madzhab yang empat ini selalu
dicela oleh golongan ini.
Para pengikut madzhab yang empat betapapun fanatiknya mereka tidaklah
akan berani merekayasa atau membuang ucapan-ucapan para imam lainnya demi untuk
mempertahankan pendapat mereka atau pendapat imam-imam mereka. Renungkanlah !
IV. Nashiruddin al-Albani dalam rangka menyalahkan pendapat
Syeikh Sa’id Ramdhan yang hanya membagi manusia menjadi kelompok yaitu Mujtahid
dan Mukallid tanpa menambahkan adanya kelompok ketiga yakni Muttabi’,
mengetengahkan dalil dari kutipan ucapan Imam as-Syatibi dalam kitab beliau
Al-I’tishom. Al-Albani mengutip sebagai berikut:
( “Almukallafu biahkaamis syarii’ati laa yakhluu min ahadin
umuurin tsalaatsatin : ahaduhumaa an yakuuna mujtahidan fiihaa fahukmuhu maa
addaahu ilahi ijtihaaduhu fiihaa. Wats tsaanii an yakuuna mugallidan shirfan
kholiyyan minal ‘ilmil haakimi jumlatan falaa budda lahu min gooidin yaguuduhu.
Wats tsaalitsu an yakuuna ghoira baalighin mablaghal mujtahidiina lakinnahuu
yafhamud daliila wa maugi’ahu wa yashluhu fahmuhu lit tarjiihi “).
Artinya : “Orang yang terkena beban hukum syari’at (mukallaf)
tidaklah terlepas dari tiga perkara ; Pertama, ia adalah seorang
mujtahid dalam bidang syari’at, maka hukumnya adalah melaksanakan apa yang
menjadi hasil ijtihadnya. Kedua, ia adalah mukallid murni yang sama
sekali kosong dari ilmu, maka hukumnya harus ada orang yang membimbingnya. Ketiga,
ia tidak mencapai tingkatan para mujtahidin namun ia memahami dalil dan
kedudukannya serta pemahamannya pantas untuk melakukan tarjih”.
Jawaban :
Sampai disini al-Albani dan kawan-kawannya menulis/menyudahi
keterangan Imam as-Syatibi padahal masih ada kelanjutannya yang justru bagian
terpenting dari keterangan Imam as-Syatibi menyangkut kedudukan orang
yang masuk bagian ketiga yakni Muttabi’.
Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ini mempersilahkan semua orang
untuk memeriksa kitab Al-I’tishom jilid 111 halaman 253 guna melihat
bagian terpenting yang sengaja dibuang oleh al-Albani dan kawan-kawannya.
Berikut keterangannya :
“(Untuk muttabi’ ini) kemampuan tarjih dan analisanya pun
tidaklah lepas daripada diterima atau tidaknya. Jika tarjihnya itu diterima,
maka jadilah ia seperti mujtahid dalam masalah itu dan mujtahid hanyalah
mengikut kepada ilmu yang dapat menjadi pemberi putusan (hakim). Dia haruslah
memperhati kan ilmu itu dan tunduk kepadanya. Maka siapa yang menyerupai
mujtahid jadilah dia seorang mujtahid. Lalu jika kita tidak menerima tarjihnya
itu, maka mestilah dia kembali kederajat orang awam (mukallid). Dan orang awam
hanyalah mengikuti mujtahid dari segi ketundukannya kepada kebenaran ilmu yang
dapat memberi putusan. Begitu juga halnya orang-orang yang menduduki posisinya
“.
Dengan keterangan diatas jelaslah bahwa menurut pandangan
Imam as-Syatibi kedudukan Muttabi’ pada akhirnya akan sama seperti Mujtahid
kalau ia telah mencapai derajatnya dan ia akan kembali seperti orang awam
kalau ia belum mampu mencapainya. Akan tetapi sayang sekali al-Albani dan
kawan-kawannya justru memotong/membuang bagian terpenting dari penjelasan Imam
as-Syatibi itu.
Akhirnya Dr. Sa’id Ramdhan berkomentar : “Bagaimana
seorang muslim dapat mempercayai agama seseorang yang memutar balikkan
fakta suatu tulisan bahkan mengubah kalimat dari tempatnya yang semula
sebagai- mana anda sendiri telah melihatnya ? Bagaimana seorang muslim harus
percaya kepadanya untuk mengambil hukum syari’at dan mempercayai ucapannya yang
telah banyak membodoh-bodohkan para imam mujtahid ?
Beginilah sebagian wejangan dan bantahan Syekh Said Ramdhan
terhadap ucapan Syeikh Khajandi yang semuanya ini saya kutip dari buku Argumentasi
Ulama Syafiiyyah oleh Ustadz Mujiburrahman.
Dialog antara Syeikh Sa’id Ramdhan degan anti madzhab
Dibuku itu masih ada kutipan dialog antara Syeikh Sa’id
Ramdhan dengan kelompok anti madzhab yang terdiri dari seorang pemuda dan
kawan-kawan nya yang sengaja datang mengunjungi Syeikh Sa’id Ramdhan.. Saya
hanya akan mengutip beberapa bait yang penulis anggap penting untuk diketahui
oleh si pembaca diantaranya adalah :
Syeikh Sa’id berkata : Bagaimana cara anda memahami hukum
Allah ? Apakah anda langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah ataukah anda
mengambilnya dari para imam mujtahid ?
Anti madzhab menjawab : Saya akan menelisti pendapat para
imam mujtahid serta dalil-dalilnya kemudian saya akan mengambil keterangan yang
dalilnya paling mendekati Al-Qur’an dan Sunnah.
Syeikh Sa’id : Seandainya anda mempunyai uang 5000 Lira
Syria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu anda menggunakannya
membeli barang-barang untuk diperdagangkan. Kapankah anda membayar zakat harta
perdagangan tersebut ? Apakah setelah enam bulan kedepan ataukah setelah satu
tahun ? (Rupanya Syeikh Sa’id ingin mengetahui apakah pemuda ini langsung bisa
menjawab atau Syeikh ini ingin tahu bagaimana cara pemuda itu mencari
dalil-dalilnya, karena dirumah Syeikh ini ada perpustakaan, pen.).
Anti madzhab : Maksud tuan apakah harta perdagangan itu
wajib dizakati ?
Syeikh Sa’id : Saya sekedar bertanya dan saya berharap anda
menjawabnya dengan cara anda sendiri. Perpustakaan ada didepan anda. Disitu
terdapat kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan juga kitab-kitab para imam
mujtahidin.
Anti madzhab : Wahai Tuan ! Ini adalah masalah agama, bukan
soal mudah yang dapat dijawab seketika. Memerlukan waktu untuk mempelajarinya
dengan seksama (teliti). Kedatangan kami kesini adalah untuk membahas masalah
yang lain ! (Rupanya pemuda ini kerepotan menjawab dan mencari dalil-dalilnya
atas pertanyaan Syeikh ini walaupun didepan mereka ada perpustakaan., pen.)
Syeikh Sa’id : Baiklah..! Apakah setiap muslim wajib
menyelidiki dalil-dalil para imam mujtahid kemudian mengambil mana yang lebih
cocok dengan Al-Qur’an dan hadits ?
Anti madzhab : Ya benar !
Syeikh Sa’id : Kalau begitu semua orang harus memiliki
kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan mereka
harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna karena orang-orang yang mampu
memutuskan pendapat para imam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sudah barang
tentu lebih pandai dari semua imam itu.
Anti madzhab : Sesungguhnya manusia itu ada tiga macam :
Mukallid, Muttabi’ dan Mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab
kemudian memilih mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah
Muttabi’ yakni pertengahan antara Mukallid dan Mujtahid.
Syeik Sa’id : Apa kewajiban Mukallid ?
Anti madzhab : Dia taqlid kepada imam mujtahid yang cocok
dengannya.
Syeikh Sa’id : Apakah berdosa jika ia taqlid kepada seorang
imam secara terus menerus dan tidak mau pindah kepada imam yang lain ?
Anti madzhab : Ya, hal itu hukumnya haram !
Syeikh Sa’id : Kalau yang demikian itu haram, apakah dalilnya
?
Anti madzhab : Dalilnya adalah karena dia menetapi sesuatu yang
tidak pernah diwajibkan oleh Allah ‘azza wajalla.
Syeik Sa’id : Dari tujuh macam qiro’at, qiro’at apa yang
anda pakai untuk membaca Al Qur’an ?
Anti madzhab : Qiro’at imam Hafash .
Syeik Sa’id : Apakah anda selalu membaca Al Qur’an dengan
qira’at imam Hafash ataukah anda membaca Al Qur’an setiap harinya dengan
qiro’at yang berbeda-beda ?
Anti madzhab : Tidak, saya selalu membaca Al-Qur’an dengan
qiro’at imam Hafash saja.
(golongan anti madzhab ini sendiri memegang satu macam
qiro’at dari tujuh macam yang ada, mengapa mereka tidak mengharamkan hal ini ?,
sedangkan golongan selain golongannya bila memegang satu amalan dari satu
madzhab terus menerus maka mereka haramkan, beginilah sifat mereka selalu
membenarkan golongannya sendiri dan mensesatkan golongan lainnya bila tidak
sepaham dengan mereka, walaupun tidak ada dalil yang mengharamkannya ! pen.) .
Syeikh Sa’id : Mengapa anda selalu menetapi qiro’at
imam Hafash ?, sedangkan menurut riwayat yang diterima dari Nabi saw.
secara mutawatir bahwa Allah hanya mewajibkan anda untuk membaca
Al-Qur’an !
Anti madzhab : Karena saya belum mempelajari qiro’at-qiro’at
yang lain dengan sempurna. Dan tidak mudah bagi saya untuk
membaca Al Qur’an kecuali dengan qiro’at imam Hafash !
Syeik Sa’id : Demikian pula halnya dengan orang yang
mempelajari fiqh menurut madzhab Syafi’i. Dia juga tidak cukup sempurna dalam
mempelajari madzhab-madzhab yang lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari
hukum agama selain dari madzhab Syafi’i. Kalau anda mewajibkan
kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini
berarti anda pun wajib mempelajari semua qiro’at itu. Kalau anda beralasan
tidak mampu, maka begitu juga halnya si mukallid tadi. Singkatnya kami ingin
mengatakan, apa alasan anda sehingga mewajibkan para mukallid untuk
berpindah-pindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain ?, sedangkan Allah
tidak pernah mewajibkan yang demikian ! Artinya sebagaimana Allah swt. tidak
pernah mewajibkan untuk mengikuti satu madzhab secara
terus-menerus, begitu juga Allah tidak pernah mewajibkan untuk terus menerus
pindah satu madzhab ke madzhab yang lain !
Anti madzhab : Sesungguhnya yang haram itu ialah kalau
seseorang mempunyai I’tikad (keyakinan) bahwa Allah memerintahkannya untuk
terus-menerus menetapi madzhab tertentu.
Syeikh Sa’id : Ini masalah lain dan itu memang benar, tidak
ada perbedaan pendapat. Akan tetapi apakah ia berdosa kalau terus-menerus
mengikuti imam tertentu sedangkan dia juga tahu bahwa Allah tidak pernah
mewajibkan yang demikian kepadanya ?
Anti madzhab : Kalau seperti itu tidaklah dia berdosa !
Syeikh Sa’id: Tetapi buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari
itu menyebut- kan hal yang berbeda dengan apa yang anda katakan. Khajandi
secara tegas mengharamkan yang demikian bahkan pada beberapa bagian dari buku
itu ia menyatakan kafir kepada orang yang terus-menerus mengikuti
seorang imam tertentu dan tidak mau pindah kepada yang lain !
Anti madzhab : Mana…,? Selanjutnya ia berpikir tentang
tulisan Syeikh Khajandi yang berbunyi : “Bahkan siapa saja yang mengikuti
seorang imam secara terus-menerus dalam setiap masalah, maka dia termasuk orang
fanatik yang salah serta telah taqlid secara membabi buta dan dialah orang yang
telah mencerai-beraikan agama dan menjadikan diri mereka berkelompok-kelompok”.
Lalu dia berkata bahwa yang dimaksud dengan mengikuti
secara terus-menerus disitu adalah mengi’tikadkan wajibnya yang
demikian dari sudut pandang agama. Didalam pernyataan itu terdapat pembuangan.
Syeikh Sa’id: Apakah buktinya kalau Syeikh Khajandi itu
bermaksud demikian? Mengapa anda tidak mengatakan bahwa Syeikh Khajandi itu
telah melakukan kesalahan ?
(Terhadap pertanyaan Syeik Sa’id ini kelompok anti madzhab
itu tetap bersikeras bahwa apa yang dikatakan Syeikh Khajandi itu benar karena
didalam ucapannya itu terdapat pembuangan kalimat.)
Dr. Sa’id melanjutkan : Akan tetapi meskipun anda
memperkirakan adanya pembuangan kalimat pada ucapan Syeikh Khajandi itu (yakni
kalimat apabila dia mengi’tikadkan wajibnya mengikuti seorang imam secara
terus menerus ) tetap saja ucapan tersebut tidak memiliki makna apa-apa
karena setiap muslim mengetahui bahwa seorang imam tertentu dari keempat imam
madzhab itu bukanlah termasuk kewajiban syari’at melainkan atas dasar pilihan
orang itu sendiri.
Anti madzhab: Bagaimana bisa demikian ? Saya mendengar
dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu bahwa diwajibkan secara
syari’at mengikuti madzhab tertentu secara terus menerus dan tidak boleh
berpindah kepada madzhab yang lain !
Syeikh Sa’id : Coba anda sebutkan kepada kami nama satu
orang saja dari kalangan awam atau ahli ilmu yan menyatakan demikian !
(Terhadap permintaan Syeikh Sa’id ini kelompok anti madzhab
itu terdiam sejenak. Ia heran kalau-kalau ucapan Syeikh Sa’id itu benar, dan
dia [anti madzhab] pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran atas pernyataannya
sendiri yakni perkataan mereka bahwa sebagian besar manusia mengharam kan
berpindah-pindah madzhab.).
Selanjutnya Syeikh Sa’id mengatakan : Anda tidak akan
menemukan satu orangpun yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah
diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Dinasti Utsmaniyyah mereka keberatan
kalau ada orang yang bermadzhab Hanafi pindah kemadzhab lain. Hal ini kalau
memang benar adalah termasuk fanatik buta yang tercela.
Demikianlah sebagian isi dialog antara Syeik Sa’id Ramdhan
al-Buuti dengan anti madzhab. Setelah itu mereka melanjutkan dialog tentang
masalah yang lain. Bila pembaca berminat membaca semua isi dialog silah- kan
membaca buku Argumentasi Ulama Syafi’iyyah ini yang dijual di Surabaya dan lain
kota di Indonesia..
Tidak boleh mencari-cari keringanan ajaran yang paling mudah
dan ringan dari Ulama (dikutip dari
buku yang berjudul Shalat bersama Nabi saw. oleh Ustadz Hasan bin ‘Ali
As-Saqqaf, Dar-al Imam an-Nawawi, Amman, Jordania)
Ada golongan muslimin yang mencari-cari keringanan dari para
ulama atau mencari ajaran Islam yang paling mudah dan paling ringan serta cocok
dengan keinginan hawa nafsunya dan tujuan pribadinya tanpa didasarkan
pada keterangan yang benar menurut syari’at Islam. Mereka sering berdalil bahwa
suatu masalah dalam agama (yang mereka hadapi itu) masih belum disepakati para
ulama, oleh karenanya mereka tidak dapat disalahkan secara mutlak.
Ada beberapa orang yang pura-pura mengikuti pendapat para
ulama, tetapi dia kemudian berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain
atau dari satu pendapat ke pendapat lain untuk memenuhi keinginan hawa
nafsunya. Meskipun dia menutup-nutup dirinya dengan pengamalan syariat dan
mengikuti para ulama, tetapi sebetulnya mereka hanya mengikuti (bah kan
menyembah) hawa nafsunya sendiri.
Orang-orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya ini telah
disindir dan dicela oleh Allah swt. dalam beberapa firman-Nya :
Dalam QS Shad : 26 : “Maka Janganlah kamu mengikuti hawa
(nafsu), karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah “.
Dalam QS An-Nisa : 135 : “Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar
balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahui segala ap yang kamu kerjakan”
Dalam QS Al-Jatsiyah : 18 : “Kemudian Kami jadikan kamu
diatas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah
syari’at itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang dzalim”.
Dalam QS Al-Furqan : 43-44 : “Terangkanlah kepadaku
tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah kamu dapat
menjadi pemelihara atasnya. Atau, apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka
itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang
ternah, bahkan mereka lebih sesat jalannya (daripada binatang ternak itu)”.
Dalam QS Al-Maidah : 70 : “Setiap datang seorang
Rasulallah kepada mereka dengan membawa apa yang tidak di-ingini oleh hawa
nafsunya, maka sebagian dari para Rasul itu mereka dustakan dan sebagiannya
lagi mereka bunuh “.
Didalam Al-qur’an Allah swt. mencela seseorang yang ‘alim
(pandai) diantara kaumnya (tetapi suka mengikuti hawa nafsunya). Dia berfirman
dalam QS Al-A’raf : 176 :
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya (pasti) Kami
tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia
dan mengikuti hawa nafsunya yang rendah”.
Dan masih banyak lagi firman Allah swt. mencela orang yang
sering mengikuti hawa nafsunya untuk melakukan kepentingan pribadinya sendiri.
Dari beberapa ayat Al-Qur’an diatas kita mengetahui secara
pasti bahwa tidak mengikuti kehendak hawa nafsu termasuk inti dan pokok
ajaran agama Islam. Sedangkan mencari-cari keringanan suatu masalah agama tidak
lain adalah mengikuti keinginan hawa nafsunya terhadap suatu masalah tersebut.
Para ulama pakar telah sepakat bahwa memberikan fatwa secara
sembarangan (seenaknya sendiri) apalagi jika hal itu menyimpang dari ajaran yang benar adalah perbuatan haram.
Atas dasar itulah, setiap mujtahid (orang yang benar-benar mencari kesimpulan
hukum) wajib mengikuti dalil, sedangkan orang yang akan bertaklid (mengikuti)
pendapat ulama wajib mengikuti pendapat yang shohih dan kuat dalam madzhab
imam (mujtahid) nya.
Pendapat sebagian ulama yang berkaitan dengan masalah diatas
ini :
1. Al-Hafidh Ibn Abd.Al-Barr dalam Jami’ Bayan Al-‘Ilm Wa
Fadhlih II :112, telah meriwayatkan perkataan Sulaim At-Taimy ; “Jika kamu
mengambil rukhsah atau keringanan setiap orang ‘alim, maka terkumpullah padamu
segala kejahatan (dosa)”. Kemudian lanjutnya : “Ini kesepakatan atau ijma’, dan
(saya) tidak mengetahui ada orang yang menentangnya”.
2. Imam Nawawi dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab nya
mengatakan : “Jika seseorang dibolehkan mengikuti madzhab apa saja yang
dikehendakinya, maka akibatnya dia akan terus-terusan mengutip (mengambil)
semua rukhsah (keringanan) yang ada pada setiap madzhab demi memenuhi kehendak hawa
nafsunya. Dia akan memilih-milih antara yang mengharam- kan (sesuatu
masalah) dan yang menghalalkannya, atau antara yang wajib dan yang jawaz (boleh
atau sunnah). Hal demikian akan mengakibatkan terlepasnya (dia) dari ikatan
taklif (beban)”.
Senada dengan pendapat Imam Nawawi ini disampaikan juga oleh
Al-Hafidz Ibn Al-Shalah dalam kitabnya Adab Al-Mufty wa Al-Mustafty I
:46.
3. ‘Allamah Al-Syathiby dalam Al-Muwafaqat-nya
mengatakan : “…maka sesungguhnya perbuatan itu mengakibatkan (kebiasaan)
mencari-cari keringanan atau rukhsah dari para ulama madzhab tanpa bersandar
pada dalil syara’. Menurut Ibn Hazm, para ulama sepakat bahwa kebiasaan itu
merupakan kefasikan (kedurhakaan) yang tidak halal (untuk dilakukan). Maksud
Al-Syatiby kata-kata tanpa bersandar pada dalil syara’ ialah tanpa dalil
syara’ yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan atau dalil yang muktabar.
Jika tidak begitu maksudnya, maka ada orang yang meninggalkan sholat wajib
dengan berdalil pada firman Allah swt. Al-Ma’un : 5 ; ‘Maka kecelakaanlah
bagi orang-orang yang sholat’.
4. Al-Hafidh Al-Dzhaby dalam Sayr A’lam
Al-Nubala’ mengatakan : “Siapa yang mencari-cari keringanan (ulama)
berbagai madzhab dan (mencari-cari) kekeliruan para mujtahid, maka tipislah
agamanya”. Hal seperti ini juga dikatakan oleh Al-Awza’iy dan yang lainnya:
“Siapa yang mengambil pendapat orang-orang Mekkah dalam hal nikah mut’ah,
orang-orang Kufah dalam hal nabidz (anggur), orang-orang Medinah dalam
hal ghina (lagu-laguan) dan orang-orang Syam dalam hal ‘Ishmah (keterpeliharaan
dari dosa) para khalifah, maka sungguh dia telah mengumpulkan kejahatan (pada
dirinya)”.
Demikianlah pula orang-orang yang mengambil pendapat ulama
yang mencari-cari siasat untuk menghalalkan jual-beli yang berbau riba atau
yang mempunyai keleluasaan dalam masalah thalaq serta nikah tahlil dan lain
sebagainya. Orang-orang seperti itu sesungguhnya telah mencari-cari alasan
untuk melepaskan diri dari ikatan taklif (beban).
5. Imam Al-Hafidh Taqiyyduddin Al-Subky dalam Al-Fatawa
nya I : 147 menjelaskan tentang orang-orang yang suka mencari-cari keringanan
dari berbagai madzhab. Dia mengatakan: “Mereka menikmati (dirinya), karena
dalam kondisi seperti itu mereka mengikuti hawa nafsunya dan bukan
mengikuti agamanya”. Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang suka
memilih pendapat yang paling cocok buat dirinya dan mengikuti dari satu madzhab
yang sesuai dengan pilihannya.
Sebagian orang pada zaman sekarang membolehkan seseorang
mencari-cari keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan
berdalilkan pada hadits dari Siti ‘Aisyah ra yang menyatakan: “Setiap kali
Rasulallah saw. dihadapkan kepada dua pilihan, beliau selalu mengambil yang
paling mudah diantara keduanya”.
Pengambilan dalil seperti ini adalah tidak tepat sekali.
Al-Hafidh Ibn Hajar Al-‘Asqalany dalam Al-Fath Al-Bari VI : 575 dalam syarh-nya
mengatakan : Dua perkara (dua pilihan pada hadits tersebut) yang berhubungan
dengan urusan duniawi. Hal itu di-isyaratkan oleh kata-kata selanjutnya (dalam
hadits ‘Aisyah): ‘Jika bukan perbuatan yang (mengandung) dosa’. Jika
yang dimaksud (dua pilihan) adalah urusan agama, maka tidak ada dosanya.
Allah swt. mewahyukan kepada Rasul-Nya: Sesungguhnya Allah
menyuruh mu untuk melakukan ini atau melarang melakukan ini. Sama sekali tidak
disebutkan terdapat dua atau tiga pendapat dalam suatu masalah, atau mengambil
yang paling mudah dan ringan saja.
Rasulallah saw. pernah bertamu pada seseorang. Lalu
seseorang ini berkata kepada Rasulallah saw. : Apakah aku harus menyediakan
cuka (makanan asam) atau daging ? Dalam keadaan seperti itulah
(urusan duniawi) Rasulallah saw. akan memilih dan mengatakan ; Berikanlah
kepadaku yang paling mudah bagimu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa mengikuti pendapat yang
membolehkan untuk memilih-milih pendapat yang paling ringan dan mudah
berdasarkan hadits Siti ‘Aisyah itu tidak menggunakan dalil yang tepat. Atau,
mungkin dia berkeinginan untuk memasukkan kerancuan dan keraguan kepada hati
orang-orang awam (biasa), bahwa apa yang dibawa dan dilakukannya itu boleh
menjadi dalil bagi apa saya yang dia kehendaki.
Kita muslimin tidak akan mengingkari samahat (keluwesan,
kemudahan dan kelapangan) dalam syari’at Islam. Yang dimaksud samahat dalam
syari’at Islam ini ialah keringanan yang diberikan oleh Allah swt., umpamanya: a)
Orang yang sakit diperbolehkan melakukan sholat dengan duduk, sambil berbaring,
atau dengan cara lain sesuai dengan kemampuannya. b). Orang yang akan
bersuci baik untuk
menghilangkan hadats atau menghilangkan najis tetapi dia tidak mendapatkan air atau takut berbahaya jika
menggunakan air, maka dia diberi keringanan untuk menggunakan tanah (tayammum)
sebagai ganti air. Dengan demikian, hal itu tidak berarti bahwa seorang Muslim
dengan dalih adanya kemudahan, keluwesan dan keringanan dalam Islam ini, lantas
boleh mencari-cari yang paling mudah atau paling ringan menurut pikirannya dari sekian banyak pendapat ulama,
bahkan pendapat yang paling lemah sekalipun.
Ada sebagian orang yang membolehkan seseorang mencari-cari
keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan berdalilkan sebuah
hadits: Ikhtilaf ummatku adalah rahmat. Hadits ini disebutkan oleh
Al-Hafidh Al-Muhaddits Sayyid Ahmad bin Al-Shiddiq Al-Ghimari dalam kitabnya Al-Mughayyir
Al-Ahadits Al-Maudhu’ah . Dia menyatakan bahwa hadits ini maudhu’
(dibuat-buat). Juga hadits yang lain: Sesungguhnya Allah menyukai untuk
diterima rukhsah atau keringanan-Nya sebagaimana Dia suka dipenuhi ketetapan (yang)
wajib-Nya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Baihaqy
dan lain-lainnya.
Jika diperhatikan secara seksama, tidak ada alasan untuk
menggunakan hadits-hadits itu sebagai dalil bolehnya mencari-cari keringanan
atau kekeliruan para ulama. Walaupun umpamanya hadits-hadits itu shohih, kita
tidak bisa mensamakan maksud rukhsah/samahat Allah swt. tentang ber-
tayammum bila tidak ada air atau ketika tidak boleh menggunakan air karena akan
menimbulkan bahaya. Juga tidak sama maksudnya dengan bolehnya berbuka puasa
dibulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian, (dan tidak sama
maksudnya dengan bolehnya atau rukhsah/ samahat
tentang qashar/penyingkatan sholat wajib bila dalam perjalanan,– pen.) .
Hal-hal seperti itu berbeda dengan mencari-cari dan
mengikuti segala keringanan dan perkataan atau pendapat dari para ulama. Boleh
jadi para ulama itu benar pendapatnya dalam suatu masalah, tetapi salah dalam
masalah yang lain.
Sudah tentu kita harus menghargai pendapat para ulama yang
dalam ijtihadnya tidak mendahulukan kehendak hawa nafsunya dan tidak
terlalu fanatik buta, meskipun pendapat para ulama ini bertentangan dengan
pendapat kita. Secara lahiriah, para mujtahid yang telah memenuhi syarat sebagai mujtahid sesungguhnya ingin mencari
keridhaan Allah swt. dan berkeinginan untuk mendapatkan yang hak atau benar,
asalkan pendapat- nya itu jauh dari hal-hal yang syadz atau aneh atau
dengan kata lain tidak bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) kebanyakan
ulama.
Sedangkan orang-orang yang melakukan ijtihad mengenai
hal-hal yang semestinya tidak perlu di-ijtihad, atau hal-hal yang bertentangan
dengan ijma’ ulama, tidak sejalan dengan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus
kita jauhi. Apalagi orang-orang yang ijtihad ini menganggap dirinya seorang
mujtahid yang jika ia salah tetap mendapat satu pahala dan jika ia benar
mendapat dua pahala, seraya mengaku atau menyamakan dirinya sebagai kelompok
ulama besar. Orang-orang ini kadang-kadang memperlihatkan
keberaniannya/tanggung jawabnya dalam mengambil kesimpulan hukum Islam. Mereka
ini sering juga mengaku dirinya sebagai seorang reformer (pembaharu) atau juga
sebagai seorang innovator (seorang ahli pikir), padahal sesungguhnya dia tidak
mempunyai kemampuan apa-apa.
Maka bila kita berhadapan dengan orang-orang semacam ini,
tidak perlu dipertimbangkan lagi dia sudah pasti berdosa karena telah sesat
bahkan menyesatkan orang lain. Segala perkataannya harus ditinggalkan
sejauh-jauhnya. Hanya milik Allah-lah segala urusan.
Demikianlah sebagian kutipan dari buku Shalat bersama Nabi
saw. tentang haramnya orang yang sering mencari-cari keringanan untuk
suatu masalah hukum Islam. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah
swt. amin
(Buku baru yang
berjudul Telaah kritis atas doktrin faham Salafi/Wahabi belun beredar
merata pada toko-toko buku di Indonesia. Bagi peminat bisa langsung
hubungi toko-toko di jalan Sasak. Surabaya-Indonesia.