Kamis, 03 Januari 2013

Asal Mula Maulid Nabi Muhammad SAW


 

Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW bermula pada masa pemerintahan Bani Taimiyah, kemudian dilanjuti pada masa pemerintahan Khalifah Bani Abbas oleh penguasa AlHaramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) Sultan Salahuddin Al Ayyubi (SoultanSaladin).Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub, setingkat Gubernur dengan pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo),Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Perintah merayakan Maulid ini disampaikan pertama kali pada musim Haji 579 H (1183Masehi). Sebagai penguasa dua tanah suci kala itu, atas persetujuan Khalifah Bani Abbas di Baghdad, Sultan mengimbau agar seluruh jamaah haji seluruh dunia jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam dimana saja berada. Maksud Sultan Salahuddin merayakan tradisi ini selain bentuk cintanya pada Rasul juga sebagai cara membangkitkan semangat juang umat Islam yang kala itu kehilangan semangat juang dan persaudaraan ukhuwah ketika terjadi perang salib. Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabiyang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi. Penyair Ahmad Syauqi menggambarkan kelahiran Nabi Mulia itu dalam syairnya yang indah: “Telah dilahirkan seorang Nabi, alam pun bercahaya, sang waktu pun tersenyum dan memuji”. Tradisi Maulid Nabi di Tanah Jawa Bagi sebagian orang Islam tradisi merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan sebagai salah satu bentuk pengejewantahan rasa cinta umat kepada Rasul Nya. Di tanah Jawa sendiri tradisi ini telah ada sejak zaman walisongo, pada masa itu tradisi Maulid Nabi dijadikan sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam dengan menghadirkan berbagai macam kegiatan yang menarik masyarakat. Pada saat ini tradisi Maulid/Mauludan di Jawa disamping sebagai bentuk perwujudan cinta umat kepada Rasul juga sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa Walisongo.

Sebagian masyarakat Jawa merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i ataual-Burdah atau dalam istilah orang Jakarta dikenal dengan rawi. Barzanji dan Diba’i adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Sedangkan Al-Burdah adalah kumpulan syair-syair pujian kepada Rasulullah SAW yang dikarang oleh Al-Bushiri. Berbagai macam acara dibuat untuk meramaikan acara ini, lambat laun menjadi bagiandari adat dan tradisi turun temurun kebudayaan setempat. Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten. Istilah ini berasal dari stilasi lidah orang Jawa atas kata syahadatain, yaitu dua kalimatsyahadat. Perayaan umumnya bersifat ritual penghormatan (bukan penyembahan)terhadap jasa para wali penyebar Islam, misalnya upacara Panjang Jimat yaitu upacara pencucian senjata pusaka peninggalan para wali. Di Cirebon upacara Panjang Jimat di fokuskan di dua tempat yaitu Keraton Kasepuhandan Astana Gunung Jati. Di Jogjakarta dan Surakarta di masing-masing keraton denganacaranya Grebeg Mulud. Pada zaman kesultanan Mataram perayaan Maulid Nabidisebut Gerebeg Mulud. Kata “Gerebeg” artinya mengikuti, yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di Garut, terdapat upacara Ngalungsur yaitu proses upacara ritual dimana barang-barang pusaka peninggalan Sunan Rohmat (Sunan Godog/Kian Santang) setiap setahun sekali dibersihkan atau dicuci dengan air bunga-bunga dan digosok dengan minyak wangi supaya tidak berkarat, di fokuskan di desa Lebak Agung, Karangpawitan. Di Banten kegiatan di fokuskan di Masjid Agung Banten. ditempat lain diantaranya tempat-tempat ziarah makam para wali. Di beberapa tempat kadang-kadang perayaan ini dijadikan ajang berkumpulnya paratokoh masyarakat dan sesepuh setempat, seperti kyai, bangsawan/elang, dan tidakketinggalan para jawara dari berbagai paguron untuk saling bersilaturahim, untuk membicarakan berbagai macam hal yang menyangkut daerah setempat. Tapi hal ini jarang diekspos karena sifatnya yang non formal, sehingga tidak banyak masyarakat yang mengikuti.
Pandangan Ulama NU Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zamanNabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’izhah hasanah pada acara temanten dan Muludan. Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: “Siapamenghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya di Hari Kiamat.”Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!

Senin, 15 Agustus 2011

Mazab imam Ghozali

Mazhab secara bahasa artinya adalah tempat untuk pergi. Berasal dari kata zahaba - yazhabu - zihaaban . Mahzab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata tersebut.
Sedangkan secara istilah, mazhab adalah sebuah metodologi ilmiyah dalam mengambil kesimpulan hukum dari kitabullah dan Sunnah Nabawiyah. Mazhab yang kita maksudnya di sini adalah mazhab fiqih.
Mazhab Tidak Hanya Empat Saja
Sesungguhnya mazhab fiqih itu bukan hanya ada 4 saja, tetapi masih ada banyak lagi yang lainnya. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun yang terkenal hingga sekarang ini memang hanya 4 saja. Padahal kita juga mengenal mazhab selain yang 4 seperti mazhab Al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid , juga mazhab Az-Zaidiyah yang didirikan oleh Zaid bin Ali Zainal Abidin , juga ada mazhab Azh-Zahiriyah yang didirikan oleh Daud bion Ali Azh-Zhahiri dan mazhab-mazhab lainnya.
Sedangkan yang kita kenal 4 mazhab sekarang ini adalah karena keempatnya merupakan mazhab yang telah terbukti sepanjang zaman bisa tetap bertahan, padahal usianya sudah lebih dari 1.000 tahun. Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah adalah empat dari sekian puluh mazhab yang pernah berkembang di masa kejayaan fiqih dan mampu bertahan hingga sekarang ini. Di dalamnya terdapat ratusan tokoh ulama ahli yang meneruskan dan melanggengkan mazhab gurunya. Dan masing-masing memiliki pengikut yang jumlahnya paling besar, serta mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama.
Para ulama mazhab itu kemudian menulis kitab yang tebal-tebal dalam jumlah yang sangat banyak, kemudian diajarkan kepada banyak umat Islam di seluruh penjuru dunia. Kitab-kitab itu sampai hari ini masih dipelajari di berbagai perguruan tinggi Islam, seperti di Al-Azhar Mesir, Jami’ah Islamiyah Madinah, Jami’ah Al-Imam Muhammad Ibnu Suud Riyadh, Jamiah Ummul Qura Mekkah dan di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Bahkan di Al-Azhar dibuka fakultas Syariah dengan jurusan dari masing-masing mazhab yang empat itu.
Sementara puluhan mazhab lainnya mungkin terlalu sedikit pengikutnya, atau tidak punya ulama yang sekaliber pendirinya yang mampu meneruskan kiprah mazhab itu, atau tidak mampu bertahan bersama bergulirnya zaman. Sehingga banyak diantaranya yang kita tidak mengenalnya, kecuali lewat kitab-kitab klasik yang menyiratkan adanya mazhab tersebut di zamannya.
Buku mereka sendiri mungkin sudah lenyap dari muka bumi, atau barangkali ikut terbakar ketika pasukan Mongol datang meratakan Baghdad dengan tanah. Sebagian yang masih tersisa mungkin malah disimpan di musium di Eropa. Memang sungguh sayang sekali, ilmu yang pernah ditemukan dan berkembang besar, kemudian lenyap begitu saja di telan bumi.
Pentingnya Bermazhab
Banyak orang salah sangka bahwa adanya mazhab fiqih itu berarti sama dengan perpecahan, sebagaimana berpecah umat lain dalam sekte-sekte. Sehingga ada dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermazhab, bahkan ada yang sampai anti mazhab.
Penggambaran yang absurd tentang mazhab ini terjadi karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar tentang hakikat mahzab fiqih. Kenyataannya sebenarnya tidak demikian. Mazhab-mazhab fiqih itu bukan representasi dari perpecahan atau pereseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam.
Sebaliknya, adanya mazhab itu memang merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali kepada Al-Quan dan As-Sunnah. Kalau ada seorang bernama Mas Paijo, mas Paimin, mas Tugirin dan mas Wakijan bersikap yang anti mazhab dan mengatakan hanya akan menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah saja, sebenarnya mereka masing-masing sudah menciptakan sebuah mazhab baru, yaitu mazhab Al-Paijoiyah, Al-Paiminiyah, At-Tugiriniyah dan Al-Wakijaniyah.
Sebab yang namanya mazhab itu adalah sebuah sikap dan cara seseorang dalam memahami teks Al-Quran dan As-Sunnah. Setiap orang yang berupaya untuk memahami kedua sumber ajaran Islam itu, pada hakikatnya sedang bermazhab. Kalau tidak mengacu kepada mazhab orang lain yang sudah ada, maka minimal dia mengacu kepada mazhab dirinya sendiri. Walhasil, tidak ada di dunia ini orang yang tidak bermazhab. Semua orang bermazhab, baik dia sadari atau tanpa disadarinya.
Lalu bolehkah seseorang mendirikan mazhab sendiri?
Jawabnya tentu saja boleh, asalkan dia mampu meng-istimbath sendiri setiap detail ayat Al-Quran dan As-sunnah. Kalau kita buat sedikit perumpamaan dengan dunia komputer, maka adanya mazhab-mazhab itu ibarat seseorang dalam berkomputer, di mana setiap orang pasti memerlukan sistem operasi . Tidak mungkin seseorang menggunakan komputer tanpa sistem operasi, baik Windows, Linux, Mac OS atau yang lainnya. Adanya beragam sistem operasi di dunia komputer menjadi hal yang mutlak bagi setiap user, sebab tanpa sistem operasi, manusia hanya bicara dengan mesin.
Kalau ada orang yang agak eksentrik dan bertekad tidak mau pakai Windows, Linux, Mac Os atau sistem operasi lain yang telah tersedia, tentu saja dia berhak sepenuhnya untuk bersikap demikian. Namun dia tentu perlu membuat sendiri sistem operasi itu, yang tentunya tidak terlalu praktis.
Apalagi buat orang-orang kebanyakan, rasanya terlalu mengada-ada kalau harus membuat dulu sistem operasi sendiri. Bahkan seorang programer level advance sekalipun belum tentu mau bersusah payah melakukannya. Buat apa merepotkan diri bikin sistem operasi, lalu apa salahnya sistem operasi yang sudah tersedia di pasaran. Tentu masing-masingnya punya kelebihan dan kekurangan. Tapi yang jelas, akan menjadi sangat lebih praktis kalau kita memanfaaatkan yang sudah ada saja.
Sebab di belakang masing-masing sistem operasi itu pasti berkumpul para maniak dan geek yang bekerja 24 jam untuk kesempurnaan sistem operasinya.
Demikian juga dengan ke-4 mazhab yang ada. Di dalamnya telah berkumpul ratusan bahwa ribuan ulama ahli level tertinggi yang pernah dimiliki umat Islam, mereka bekerja siang malam untuk menghasilakn sistem fiqih Islami yang siap pakai serta user friendly. Meninggalkan mazhab-mazhab itu sama saja bikin kerjaan baru, yang hasilnya belum tentu lebih baik.
Akan tetapi boleh saja kalau ada dari putera puteri Islam yang secara khusus belajar syariah hingga ke level yang jauh lebih dalam lagi, lalu suatu saat merumuskan mazhab baru dalam fiqih Islami.
Namun seorang yang tingkat keilmuwannya sudah mendalam semacam Al-Imam al-Ghazali rahimahullah sekalipun tetap mengacu kepada salah satu mazhab yang ada, yaitu mazhab As-Syafi’iyah. Beliau tetap bermazhab meski sudah pandai mengistimbath hukum sendiri. Demikian juga dengan beragam ulama besar lainnya seperti Al-Mawardi, An-Nawawi, Al-’Izz bin Abdissalam dan lainnya.

KEUTAMAAN ALI BIN ABI THALIB KW.

Bulan Rajab adalah bulan kelahiran Sayyidina Ali kw, karena itu kita akan mengungkap sekelumit dari sisi kehidupan beliau.Sayyidina Ali adalah sepupu pertama Nabi Muhammad SAW. Ayahnya, Abu Thalib dab ayah Nabi SAW, Abdullah, adalah anak Abdul Muthalib dari satu ibu. Seperti nama istrinya, Ibu Sayyidina Ali juga bernama Fatimah. Fatimah adalah putri Asad putranya Hasyim yang terkenal itu, dan Asad adalah saudara Abdul Muthalib. Jadi ayah dan ibu Sayyidina Ali adalah saudara sepupu.
Sayyidina Ali lahir pada tanggal 13 Rajab, sekitar 610 M, yakni 23 tahun sebelum Hijrah. Saat Ali lahir, ayahnya dan saudara sepupunya, Nabi Muhammad SAW sedang bepergian ke luar kota Makkah. Ibunya memberi nama Asad dan Haidar. Ayahnya menamainya Zaid. Tapi ketika Nabi SAW pulang, beliau merawat sepupu kecilnya ini dan menamainya Ali, dan mengatakan bahwa ini adalah nama yang ditetapkan Allah untuknya. Diantara sekian kunyah-nya (nama panggilan yang mengungkapkan rasa hormat), yang paling terkenal adalah Abul Hasan, Abus Sibtain dan Abu Turab. Gelar-gelarnya adalah Murtadha (yang terpilih), Amirul Mukminin (Pemimpin kaum Mukmin), Imamul Muttaqin (Imam orang-orang bertakwa).
Ibn Abil Hadid, pensyarah kitab Nahjul Balaghah mengutip perkataan Ibn Abbas. Kata Abbas, “Pernah aku bertanya kepada ayahku: ‘Ayah, sepupuku Muhammad memiliki banyak anak, yang semuanya meninggal ketika masih kecil, siapa diantara mereka yang paling dicintai?’ Ayahnya menjawab, “Ali bin Abi Thalib.” Aku berkata, “Ayah, yang aku tanyakan tentang anak-anaknya?” Dia menjawab, “Nabi Muhammad SAW mencintai Ali lebih dari mencintai seluruh putranya. Ketika Ali masih kecil, aku tak pernah melihat dia terpisah dari Muhammad barang setengah jam sekalipun, kecuali kalau Nabi SAW bepergian untuk beberapa urusan. Aku tidak pernah melihat seorang ayah mencintai anaknya sebesar Nabi SAW mencintai Ali dan aku tidak pernah melihat seorang anak sedemikian patuh, sedemikian lengket dan mencintai ayahnya seperti Ali mencintai Nabi SAW.”
Ali mulai bertindak sebagai pengawal Nabi SAW bahkan ketika usia 14 tahun. Para pemuda Quraisy, atas anjuran orang tua mereka, sering melempari Nabi dengan batu. Ali memenuhi tugas sebagai pembela Nabi. Dia jatuhkan para pemuda itu, merobek hidung satu musuh, merontokkan gigi musuh lainnya serta membanting yang lainnya. Dia sering bertarung melawan orang-orang yang lebih tua darinya. Dia sendiri sering terluka, tapi dia tidak pernah meninggalkan tugas yang dia pilih sendiri. Selang beberapa hari, dia mendapat nama panggilan Qadhim (pembanting) dan tidak seorang pun berani melempar sesuatu kepada Nabi ketika Ali mendampinginya dan dia tidak akan pernah membiarkan Nabi pergi sendirian. Pengorbanannya pada malam menjelang hijrah dan perjungannya di seluruh medan tempur adalah bukti nyata kecintaannya yang amat mendalam kepada Nabi SAW.
Allamah Muhammad Mustafa Beck Najib, filosof Mesir terkenal dan Professor Studi Islam Universitas Al-Azhar, dalam bukunya Himayatul Islam, berkata: “Apa yang bisa dikatakan tentang Imam ini? Sangat sulit menjelaskan sifat dan watak personal Imam seutuhnya. Cukuplah kita sadari bahwa Nabi SAW memberinya gelar gerbang ilmu dan hikmah. Dia pribadi yang paling berilmu, paling berani dan orator ulung serta penceramah paling fasih. Ketakwaannya, kecintaannya kepada Allah, ketulusan dan ketabahannya dalam menjalankan agama adalah diantara derajatnya yang begitu tinggi sehingga tak seorang pun dapat bercita-cita untuk mencapainya. Dia politikus teragung karena membenci diplomasi dan mencintai kebenaran serta keadilan, kebijakan politiknya adalah sebagaimana yang diajarkan Allah. Dia dicintai semua orang, dan setiap orang memberikan tempat di hatinya untuk Imam. Dia orang yang memiliki karakter begitu unggul dan agung serta watak yang begitu luhur dan tiada tara, sehingga banyak ilmuwan yang takjub mempelajarinya dan membayangkannya sebagai manifestasi wakil Allah. Banyak di antara Yahudi dan Kristen yang mencintai dia, dan para filosof diatara mereka pun yang kebetulan tahu ajaran-ajarannya membungkukkan diri di depan lautan ilmunya yang tak tertandingi.”
Sejarawan Islam, Masudi dalam Sirah Al-Halabiyya, mengatakan: “Jika nama agung sebagai Muslim pertama, seorang kawan setia Nabi di pengasingan, kawan seperjuangan Nabi dalam menegakkan keimanan, sahabat karib Nabi dalam kehidupan dan saudara Nabi. Jika pengetahuan sejati tentang spirit ajaran-ajaran Nabi dan Al-Quran,jika penegasian ego diri dan penegakan keadilan, kejujuran, kesucian dan cinta akan kebenaran, kesemuanya layak mendapatkan keagungan, maka kita harus menganggap Ali sebagai yang paling terkemuka. Kita akan sia-sia mencari berbagai keistimewaan yang telah dianugrahkan Allah kepada Ali, baik dari kalangan pendahulunya kecuali Nabi Muhammad atau dari para penerusnya.” Masudi lalu berkata lagi: “Kesepakatan umum diantara para sejarawan dan teolog Muslim adalah bahwa Ali tidak pernah menjadi non-Muslim dan tidak pernah sekali pun menyembah berhala. Karenanya, pertanyaan kapan dia memeluk Islam, tidak dan tidak akan pernah muncul.”
Menikah dengan Sayyidah Fatimah
Sayyidina Ali menikah dengan Sayyidah Fatimah, putri Nabi SAW dari Sayyidah Khadijah. Dia bertunangan dengan Fatimah beberapa hari sebelum berangkat Perang Badar, tapi pernikahannya dirayakan tiga bulan setelahnya. Dari Sayyidina Ali, Fatimah memiliki 4 anak dan yang anak kelima (Muhsin) mengalami keguguran ketika masih berada dalam kandungan. Penyebab kecelakaan ini dan juga penyebab kematian Sayyidah Fatimah adalah peristiwa yang amat tragis dan menyedihkan dalam hidup mereka. Nama putra-putri mereka adalah Hasan, Husain, Zainab (istri Abdullah ibn Ja’far) dan Ummu Kultsum (istri Ubaydillah ibn Ja’far). Selama Fatimah hidup, Sayyidina Ali tidak menikahi wanita lain. Sepeninggal Fatimah dia menikahi Yamamah dan sepeninggal Yamamah, menikah lagi dengan seorang wanita bernama Hanafia, yang darinya Ali memiliki seorang anak bernama Muhammad Hanafia. Sayyidina Ali memiliki banyak anak yang beberapa diantaranya memiliki tempat tak tertandingi dalam sejarah kemanusiaan, seperti Hasan, Husain (Pahlawan Karbala), Zainab (Pembela Islam di Kufah dan Damaskus setelah Tragedi Karbala), Abbas (Panglima Tentara Husain) dan Muhammad Hanafia (Pahlawan dalam Perang Nahrawan).
Sikap Sayyidina Ali Kepada Musuh
Talha ibn Abi Talha bukan hanya musuh sengit Islam, tapi juga musuh Nabi SAW dan Sayyidina Ali. Upayanya untuk mencelakakan kedua orang ini serta misinya sudah menjadi fakta historis.Dalam perang Uhud, dia adalah pengusung panji pasukan Quraisy. Ali menghadapi dia dan berduel dengannya, menyerang dia dengan pukulan telak hingga terhuyung-huyung dan jatuh tersungkur. Ali meninggalkannya dalam keadaan terjatuh. Banyak panglima Muslim memerintahkan agar Ali menghabisinya, dengan mengatakan bahwa dia adalah musuhnya yang paling jahat. Ali menjawab: “Musuh atau bukan musuh, sekarang dia tidak berdaya, dan aku tidak bisa menyerang seseorang yang tidak berdaya. Jika dia bisa bertahan biarkan saja dia hidup selagi masih berumur.” Dalam Perang Jamal, di tengah pertempuran budaknya Qambar membawa sedikit air dan berkata: Tuanku, matahari amat panas dan Anda masih terus akan bertempur, meminum segelas air dingin ini bisa menyegarkan Anda? Dia melihat sekitarnya dan menjawab: “Bisakah aku minum ketika beratus-ratus orang mati terkapar dan sekarat karena kehausan dan terluka parah? Daripada membawakan air untukku, bawa sedikit orang dan kasih minum setiap orang yang terluka ini.” Qambar menjawab: “Tuanku, mereka semuanya musuh kita.” Dia berkata: “Mungkin mereka musuh kita, tapi mereka manusia. Pergilah dan rawat mereka.”
Waktu itu bulan Ramadhan, sudah tiba waktu shalat subuh. Masjid Kufah sudah penuh. Sayyidina Ali sedang sujud dan ketika mau mengangkat kepalanya, sebuah tebasan telak mengenai kepalanya yang membuatnya luka parah. Suasana di masjid menjadi gempar dan kacau. Pembunuh melarikan diri. Orang-orang berhasil menangkap dan membawanya ke hadapan Sayyidina Ali yang terluka dan bersimbah darah. Beralaskan sajadah Sayyidina Ali berbaring diatas pangkuan putra-putranya. Dia tahu tebasan itu sangat fatal dan dia tidak akan bertahan lagi. Tetapi ketika pembunuhnya digelandang ke hadapannya, dia melihat jerat yang memborgolnya terlalu kencang hingga menyayat dagingnya. Ali melirik kepada kaum Muslim dan berkata: “Seharusnya kalian jangan begitu kejam kepada sesama, kendorkan talinya, tidakkah kau lihat tali ini melukai dia dan membuatnya kesakitan.”
Peribadatan Sayyidina Ali
Sebagai hasil binaan langsung Rasulullah SAW, maka sifat-sifat Sayyidina Ali terbentuk persis seperti sifat-sifat Rasulullah SAW dalam semua seginya,baik ibadah, pemikiran maupun tingkah laku.Ia mengikuti jalan yang ditempuh Rasulullah SAW dan menapaki jejak-jejak langkahnya. Al-Qusyairi menuturkan dalam Tafsir-nya bahwa apabila datang waktu shalat, wajah Sayyidina Ali tampak pucat dan tubuhnya gemetar. Karena itu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, mengapa begitu. Ali menjawab, “Telah datang waktu amanat yang dulu ditawarkan Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, namun mereka menolaknya, dan kemudian diterima oleh manusia sekalipun manusia ini lemah. Karena itu, aku tidak tahu apakah aku akan bisa memikul amanat itu dengan baik ataukah tidak.” Sulaiman ibn Al-Mughirah meriwayatkan dari ibunya, katanya, “Aku bertanya kepada Ummu Sa’id, seorang jariah Sayyidina Ali tentang Shalat beliau di bulan Ramadhan.” Ummu Sa’id menjawab, ”Ramadhan dan Syawal, sama saja. Beliau selalu shalat di sepanjang malam.”
Allah SWT begitu agung dalam pandangan Sayyidina Ali, sehingga ibadah yang dilakukan merupakan ungkapan dari rasa cinta dan kerinduan kepada-Nya. Beliau mengungkapkan hubungan dirinya dengan Allah melalui ucapannya yang berbunyi, ”Ilahi, aku tidak menyembah-Mu lantaran takut siksa-Mu, dan tidak pula berharap akan pahala dari-Mu. Tetapi aku menyembah-Mu semata-mata lantaran aku mendapatkan-Mu sebagai Dzat yang semestinya disembah.”
Sayyidina Ali Penghulu Para Sufi
Dalam sebuah buku yang berjudul Hilyah al-Awliya’, diceritakan sejarah para sufi (wali) dari seluruh zaman. Ali bin Abi Thalib menempati urutan pertama. Mengapa harus dimulai dari Ali bin Abi Thalib ? Bukankah sahabat itu banyak ? Itu disebabkan karena di dalam tasawuf, sahabat yang menjadi rujukan adalah Sayyidina Ali. Tokoh-tokoh tasawuf di seluruh negeri Islam bersumber kepadanya dan berhenti di hadapannya. Pada Ali-lah ilmu tarekat bersumber dan pada Ali-lah ilmu tarekat berhenti. Hal tersebut ditegaskan oleh Asy-Syibli, Al-Junayd, Abu Yazid al-Busthami, Abu Mahfuzh al-Kharkhi, dan lain-lain. Begitulah Sayyidina Ali! Sejarah agung sarat dengan peristiwa-peristiwa yang menggambarkan keluhuran budi dan perilakunya, keberanian dan keluasan ilmunya, keutamaan serta kemuliaannya.
Salam atas Wasyi Rasulullah, Salam atas penghulu Para Wali, Salam atas Putra Ka’bah, Salam atas Suami Putri Nabi, Salam atas Ayahanda Al-Hasan dan Al-Husain, Salam atasmu Wahai Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Warahmatullahi Wabarakatuh.

Senin, 25 Juli 2011

FIQIH AHLI SUNNAH WAL JAMAAH

Ibnul Qayyim (Scan Kitab Ar-ruh) : Sampainya hadiah bacaan Alqur’an dan Bolehnya membaca Al-Qur’an diatas kuburan

Ibnul Qayyim (Scan Kitab Ar-ruh) : Sampainya hadiah bacaan Alqur’an dan Bolehnya membaca Al-Qur’an diatas kuburan
Scan Kitab bahasa Arab :
Cover :

Baca Yang berwarna Merah (page 5 digital book):

kitab ar-rooh (ar-ruh digital) Bisa di download di :
http://www.scribd.com/doc/21496576/alrooh
Scan kitab ar-ruh tarjamah (bahasa melayu) :
cover :

Kitab ar-ruh :


Teks Arab Kitab Arruh Ibnu qayyim pada halaman 5 (kitab digital) :
وقد ذكر عن جماعة من السلف أنهم أوصوا أن يقرأ عند قبورهم وقت الدفن قال عبد الحق يروى أن عبد الله بن عمر أمر أن يقرأ عند قبره سورة البقرة وممن رأى ذلك المعلى بن عبد الرحمن وكان الامام أحمد ينكر ذلك أولا حيث لم يبلغه فيه أثر ثم رجع عن ذلك وقال الخلال في الجامع كتاب القراءة عند القبور اخبرنا العباس بن محمد الدورى حدثنا يحيى بن معين حدثنا مبشر الحلبى حدثني عبد الرحمن بن العلاء بن اللجلاج عن أبيه قال قال أبى إذا أنامت فضعنى في اللحد وقل بسم الله وعلى سنة رسول الله وسن على التراب سنا واقرأ عند رأسى بفاتحة البقرة فإنى سمعت عبد الله بن عمر يقول ذلك قال عباس الدورى سألت أحمد بن حنبل قلت تحفظ في القراءة على القبر شيئا فقال لا وسألت يحيى ابن معين فحدثنى بهذا الحديث قال الخلال وأخبرني الحسن بن أحمد الوراق حدثنى على بن موسى الحداد وكان صدوقا قال كنت مع أحمد بن حنبل ومحمد بن قدامة الجوهرى في جنازة فلما دفن الميت جلس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا من المقابر قال محمد بن قدامة لأحمد بن حنبل يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر الحلبي قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم فأخبرني مبشر عن عبد الرحمن بن العلاء اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ عند رأسه بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك فقال له أحمد فارجع وقل للرجل يقرأ
وقال الحسن بن الصباح الزعفراني سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال لا بأس بها وذكر الخلال عن الشعبي قال كانت الأنصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره يقرءون عنده القرآن قال وأخبرني أبو يحيى الناقد قال سمعت الحسن بن الجروى يقول مررت على قبر أخت لي فقرأت عندها تبارك لما يذكر فيها فجاءني رجل فقال إنى رأيت أختك في المنام تقول جزى الله أبا على خيرا فقد انتفعت بما قرأ أخبرني الحسن بن الهيثم قال سمعت أبا بكر بن الأطروش ابن بنت أبي نصر بن التمار يقول كان رجل يجيء إلى قبر أمه يوم الجمعة فيقرأ سورة يس فجاء في بعض أيامه فقرأ سورة يس ثم قال اللهم إن كنت قسمت لهذه السورة ثوابا فاجعله في أهل هذه المقابر فلما كان يوم الجمعة التي تليها جاءت امرأة فقالت أنت فلان ابن فلانة قال نعم قالت إن بنتا لي ماتت فرأيتها في النوم جالسة على شفير قبرها فقلت ما أجلسك ها هنا فقالت إن فلان ابن فلانة جاء إلى قبر أمه فقرأ سورة يس وجعل ثوابها لأهل المقابر فأصابنا من روح ذلك أو غفر لنا أو نحو ذلك
Membaca Al-qur’an Diatas Kubur Dan Mengadiahkan Pahalanya bagi Mayyit (Muslim)
Tarjamahannnya :
Pernah disebutkan daripada setengah para salaf, bahwa mereka mewasiatkan supaya dibacakan diatas kubur mereka di waktu penguburannya. Telah berkata abdul haq, diriwayatkan bahwa Abdullah bin umar pernah menyuruh supaya diabacakan diatas kuburnya surah al-baqarah. Pendapat ini dikuatkan oleh mu’alla bin hanbal, pada mulanya mengingkari pendapat ini kerana masih belum menemui sesuatu dalil mengenainya, kemudian menarik balik pengingkarannya itu setelah jelas kepadanya bahwa pendapat itu betul.
Berkata Khallal di dalam kitabnya ‘Al-jami’ : Telah berkata kepadaku Al-Abbas bin Muhammad Ad-dauri, berbicara kepadaku Abdul Rahman bin Al-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, katanya : Ayahku telah berpesan kepadaku, kalau dia mati, maka kuburkanlah dia di dalam lahad, kemudian sebutkanlah : Dengan Nama Allah, dan atas agama Rasulullah !, Kemudian ratakanlah kubur itu dengan tanah, kemudian bacakanlah dikepalaku dengan pembukaan surat albaqarah, kerana aku telah mendengar Abdullah bin Umar ra. Menyuruh membuat demikian. Berkata Al-Abbas Ad-Dauri kemudian : Aku pergi bertanya Ahmad bin Hanbal, kalau dia ada menghafal sesuatu tentang membaca diatas kubur. Maka katanya : Tidak ada ! kemudian aku bertanya pula Yahya bin Mu’in, maka dia telah menerangkan kepadaku bicara yang menganjurkan yang demikian.
Berkata Khallal, telah memberitahuku Al-Hasan bin Ahmad Al-Warraq, berbicara kepadaku Ali bin Muwaffa Al-Haddad, dan dia adalah seorang yang berkata benar, katanya :Sekalai peristiwa saya bersama-sama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari menghadiri suatu jenazah. Setelah selesai mayit itu dikuburkan, maka telah duduk seorang yang buta membaca sesuatu diatas kubur itu. Maka ia disangkal oleh Imam Ahmad, katanya : Wahai fulan ! Membaca sesuatu diatas kubur adalah bid’ah !. Apa bila kita keluar dari pekuburan itu, berkata Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari kepada Imam Ahmad bin Hanbal : Wahai Abu Abdullah ! Apa pendapatmu tentang si Mubasysyir Al-Halabi ? Jawab Imam Ahmad : Dia seorang yang dipercayai. Berkata Muhammad bin Qudamah Al-Jauhari seterusnya : Aku menghafal sesuatu daripadanya ! Sangkal Imam Ahmad bin Hanbal : Yakah, apa dia ? Berkata Muhammad bin Qudamah : Telah memberitahuku Mubasysyir, daribada Abdul Rahman Bin Al-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, bahwasanya ia berpesan, kalau dia dikuburkan nanti, hendaklah dibacakan dikepalanya ayat-ayat permulaan surat Al-Baqarah, dan ayat-ayat penghabisannya, sambil katanya : Aku mendengar Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mewasiatkan orang yang membaca demikian itu.
Mendengar itu, maka Imam Ahmad bin Hanbal berkata kepada Muhammad bin Qudamah : Kalau begitu aku tarik tegahanku (Bhs Ind : penolakanku ) itu. Dan suruhlah orang buta itu membacakannya.
Berkata Al- Hasan bin As-sabbah Az-za’farani pula : Saya pernah menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i, kalau boleh dibacakan sesuatu diatas kubur orang, maka Jawabnya : Boleh, Tidak mengapa !
Khalal pun telah menyebutkan lagi dari As-sya’bi, katanya : Adalah Kaum Anshor, apabila mati seseorang diantara mereka, senantiasalah mereka mendatangi kuburnya untuk membacakan sesuatu daripada Al-Qur’an.
Asy-sya’bi berkata, telah memberitahuku Abu Yahya An-Naqid, katanya aku telah mendengar Al-Hasan bin Al-Haruri berkata : Saya telah mendatangi kubur saudara perempuanku, lalu aku membacakan disitu Surat Tabarak (Al-Mulk), sebagaimana yang dianjurkan. Kemudian datang kepadaku seorang lelaki danmemberitahuku, katanya : Aku mimpikan saudara perempuanmu, dia berkata : Moga-moga Allah memberi balasan kepada Abu Ali (yakni si pembaca tadi) dengan segala yang baik. Sungguh aku mendapat manfaat yang banyak dari bacaannya itu.
Telah memberitahuku Al-Hasan bin Haitsam, katanya aku mendengar Abu Bakar atrusy berkata : Ada seorang lelaki datang ke kubur ibunya pada hari jum’at, kemudian ia membaca surat Yasin disitu. Bercerita Abu Bakar seterusnya : Maka aku pun datang kekubur ibuku dan membaca surah Yasiin, kemudian aku mengangkat tangan : Ya Allah ! Ya Tuhanku ! Kalau memang Engkau memberi pahala lagi bagi orang yang membaca surat ini, maka jadikanlah pahala itu bagi sekalian ahli kubur ini !
Apabila tiba hari jum’at yang berikutnya, dia ditemui seorang wanita. Wanita itu bertanya : Apakah kau fulan anak si fulanah itu ? Jawab Abu Bakar : Ya ! Berkata wanita itu lagi : Puteriku telah meninggal dunia, lalu aku bermimpikan dia datang duduk diatas kuburnya. Maka aku bertanya : Mengapa kau duduk disini ? Jawabnya : Si fulan anak fulanah itu telah datang ke kubur ibunya seraya membacakan Surat Yasin, dan dijadikan pahalanya untuk ahli kuburan sekaliannya. Maka aku pun telah mendapat bahagian daripadanya, dan dosaku pun telah diampunkan karenanya.
(Tarjamah Kitab Ar-ruh Hafidz Ibnuqayyim jauziyah, ‘Roh’ , Ustaz Syed Ahmad Semait, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura, 1990, halaman 17 – 19)

Senin, 27 Juni 2011

mengucapkan salam setiap bertemu dengan guru,teman,adik kelas,kkk kls,berdoa sebelum mulai belajar,berpakaian rapi dan sopan,menghormati dan memuliakan guru dan karyawan sekolah,bertutur kata yang baik dan sopan,menghormati yg lebih tua,menyayangi yg lebih muda,senang hati melaksanakaan tugas dari guru,tidak mencontek ktk ulangan,tidak menggunjing orang lain,tidak merendahkan orang lain,senantiasa bersikap rendah hati dlm bergaul,idak mmbuang sampah sembarangan,snntiasa berdoa ktka makan dqn minum,suka menolong teman yg lg kesusahan,snntiasa datang dan pulang tepat waktu.

Minggu, 10 Oktober 2010

AMALAN HARIAN

Assalamualaikum ya ALLAH ya ALLAH ya wali waliyullah, hasan husain alfaatihah! makataluu subhanallah wa'tuunii muslimiin,walamma barojuu linujudihaka larobbuna amrullah watsabbits aqdamanaa wandzurna alalkaumil kaafiiriin,allohumma robbana warotubnaa warobbuka bihaqqi iyyakana'budu waiyyaka nasta'iin,yaa palasik allohu allahu tutur allah katutur allah rompaking syah buana,hey bakmau hey asm'uu,ya lathiif ya kaafi yaa hafidz ya syafiullah 2x, yaa lathiif ya wafii allah yaa kariimu antallah, allahu 1000x, ya allah 1000x

Kamis, 07 Oktober 2010