PRAHARA ASYURA:
KISAH TERBUNUHNYA HUSSEIN CUCU RASULULLAH SAW
Fajar
mulai tampak di ufuk, pertanda subuh akan segera datang untuk mengusir
kegelapan malam. Perkemahan hamba-hamba Allah mulai disibukkan oleh
datangnya pagi…
Fajar
perlahan-lahan menghamparkan dirinya di padang Karbala dan menyajikan
warna perak di sungai Furat. Inilah saatnya untuk melaksanakan
penghambaan kepada sang Maha Pencipta. Imam Husein AS dan para
pengikutnya yang setia berdiri menghadap kiblat menunjukkan kepatuhan
kepada Tuhan dengan melaksanakan perintah shalat. Usai shalat, beliau
berdiri untuk menyampaikan beberapa patah kata di hadapan para
sahabatnya. Setelah memanjatkan puji syukur ke
hadirat Allah, beliau berkata, “Tuhan berkehendak untuk memerintahkan
jihad kepada kita. Sudah menjadi ketentuan-Nya bahwa kita semua akan
gugur sebagai syahid. Karenanya, bersabarlah menyongsong jihad melawan
kekafiran ini.”
Pagi
itu, Imam Husein AS mengatur barisan pasukannya yang berjumlah 77
orang. Pasukan sekecil itu diaturnya sedemikian rapi hingga menyerupai
sebuah lasykar besar. Zuhair bin Qain mendapatkan tugas di bagian kanan,
sedangkan Habib bin Madhahir ditempatkan di kiri. Bendera perang beliau
serahkan kepada Abbas, adiknya. Sedangkan Imam Husien sendiri berada di tengah barisan pasukan bersama sanak keluarganya.
Sebagai
langkah awal pertahanan, pasukan suci itu membakar kayu-kayu yang ada
di balik parit yang memisahkan mereka dengan pasukan musuh. Dengan cara
itu mereka membuat sebuah kubu pertahanan yang kuat, sehingga tidak lagi
disibukkan untuk menjaga perkemahan.
Tak
lama kemudian, pasukan musuh mulai bergerak maju. Umar bin Saad dengan
pasukannya yang berjumlah 30 ribu orang menempatkan Umar bin Hajjaj di
bagian kanan dan Syimr bin Dzil Jausyan di bagian kiri. Komandan pasukan
Ibnu Ziyad itu memerintahkan Azrah bin Qais untuk memimpin pasukan
berkuda. Pasukan pejalan kaki dipimpin oleh Syabats bin Rab`i. Sedangkan
bendera perang pasukan dipegang oleh Zubaib, budak Umar bin Saad.
Serangan ke arah kamp Imam Husein AS dilancarkan. Pasukan Ibnu Ziyad
yang berencana menyerang dari belakang terpaksa mengurungkan niat karena
berhadapan dengan api yang disulut oleh sahabat-sahabat Imam Husien.
Dengan kesal dan kemarahan memuncak, Syimr menyeringai, “Hai Husein,
rupanya kau tidak sabar untuk merasakan neraka sehingga buru-buru
menyalakannya di dunia.”
“Siapa
dia,” tanya Imam. “Aku rasa dia adalah Syimr bin Dzil Jausyan” lanjut
beliau. “Ya, dia adalah Syimr,” jawab para sahabat Imam Husien. “Hei
Syimr, engkau lebih layak masuk ke neraka dari pada aku.”
Muslim
bin Ausajah maju dan meminta izin dari Imam Husein untuk membidikkan
anak panahnya ke arah Syimr. Imam melarang dan mengatakan, “Aku tidak
ingin menjadi pihak yang memulai.”
Imam
Husein memandang ke arah pasukan Bani Umayyah, lalu mengangkat
tangannya ke atas dan berdoa, “Ya Allah, Husein-Mu selalu bertawakkal
dan menyerahkan diri kepadaMu. Engkaulah harapanku saat menghadapi
kesulitan. Aku menyerahkan segalanya kepadaMu. Ya Allah betapa banyak
masalah yang Engkau selesaikan setelah aku menyerahkannya kepadaMu.
Betapa banyak kesulitan yang meluluhkan orang perkasa sekalipun menjadi
mudah bagiku saat aku mengajukannya ke hadiratMu. Ya Allah, sekarang
inipun aku menyerahkan diriku dan segala urusanku kepadaMu.
Setelah
itu, Imam Husein AS meminta kudanya yang bernama Dzul Janah dan melesat
ke arah barisan pasukan Kufah. Persis di hadapan mereka beliau berhenti
dan mengatakan: “Wahai kalian semua! Jangan terburu-buru dan gegabah
dalam mengambil tindakan. Pikirkan sejenak dan dengarkanlah kata-kata
dan nasehatku. Sebab kalian berhak untuk mendengarnya dariku. Jika
kalian mau mendengar dan memikirkannya, jalan kebahagiaan akan
terbentang di hadapan kalian. Jika tidak lakukanlah apa yang kalian
maukan dan selesaikanlah urusan ini secepatnya. Ketahuilah bahwa Allah
adalah Tuanku. Dialah yang menurunkan kitab suci dan melindungi
hamba-hambaNya.”
Suara
tangis histeris mengiringi kata-kata Imam Husein, sehingga beliau
meminta adiknya, Abul Fadhl Abbas untuk mendiamkan mereka dan berkata:
“Abbas, suruh mereka berhenti sebab masih banyak musibah yang akan
mereka alami dan masih banyak kesempatan untuk menguras air mata.”
Setelah
suara tangisan reda, beliau meneruskan: “Maha suci Allah yang telah
menjadikan dunia sebagai tempat kefanaan dan menjadikan umat manusia
sebagai penonton perubahan yang terjadi di dalamnya. Karenanya, siapa
saja yang melihat dunia bagai sesuatu yang agung berarti dia telah
menipu dirinya sendiri. Barang siapa yang terjebak di dalam tipudaya
dunia, hanya kesengsaraanlah yang dia dapatkan. Karenanya, jangan
biarkan dunia menipu kalian! Sebab dunia akan mengandaskan seluruh
harapan dan angan-angan pecintanya. Mengapa kalian cenderung mengikuti
orang-orang yang hanya akan menjerumuskan kalian ke dalam murka dan
amarah Allah? Betapa Allah maha baik dan bijaksana dan betapa buruknya
kalian sebagai hamba-Nya. Wahai kalian yang mengakui ketuhanan-Nya dan
mengaku beriman kepada Nabi-Nya. Untuk apa kalian mesti memerangi
keluarga Rasul? Sungguh syaitan telah merasuki jiwa dan pikiran kalian.
Semoga Allah mengandaskan seluruh angan-angan kalian. Wahai warga Kufah,
pikirkan benar-benar siapakah diriku? Bukankah aku anak putri Nabi?
Bukankah aku putra washi Rasul? Bukankah aku putra orang yang pertama
memeluk agama Islam? Bukankah Hamzah, penghulu para syuhada adalah paman
ayahku? Bukankah Ja'far Thayyar, pamanku? Lupakah kalian akan sabda
Nabi tentang diriku dan saudaraku? Lupakah kalian akan sabda Nabi bahwa
Hasan dan Husein adalah penghulu pemuda surga? Apakah kalian mengira aku
berdusta? Aku bersumpah bahwa aku tidak pernah mengotori lidah ini
dengan kata-kata dusta. Jika kalian tidak percaya tanyakan kepada Jabir
bin Abdillah Al-Anshari, Abu Said Al-Khudri, Sahl bin Sa'd As-Saidi, Zaid
bin Arqam atau Anas bin Malik. Mereka akan memberitahu kalian akan
kebenaran kata-kataku. Semoga sabda Nabi mengenai kami bisa mencegah
kalian dari niat menzalimi kami.”
Tiba-tiba Syimr bin Dzil Jausyan memotong kata-kata beliau dengan berseru: “Hei Husein! Aku pasti akan ragu menyembah Tuhan jika aku tahu kebenaran kata-katamu”
Celoteh
Syimr dijawab oleh Habib bin Madhahir: “Hei Syimr! Demi Allah, selama
ini engkau beribadah dengan keraguan yang menguasai jiwa dan pikiranmu.
Aku tahu benar bahwa engkau tidak akan memahami apa yang dikatakan oleh
tuanku, Husein. Sebab Allah telah membuat hatimu sekeras batu.”
Imam
melanjutkan: “Jika kalian masih ragu, apakah kalian meragukan bahwa aku
adalah anak dari putri Nabi kalian? Demi Allah kalian tidak akan
menemukan cucu Nabi di dunia ini selain diriku. Celaka kalian! Apakah
aku telah membunuh salah seorang dari kalian, sehingga kalian datang
untuk menuntut balas dariku? Apakah aku telah merampas harta kalian
sehingga kalian menghunus pedang terhadapku?”
Semua diam membisu, tak terkecuali Syimr.
Imam
Husein AS lantas memanggil beberapa orang dari barisan musuh: “Wahai
Syabats bin Rab`i, Hajjar bin Abjad, Qais bin Asy'ats, Zaid bin
Haritsah! Bukankah kalian yang menulis surat kepadaku untuk datang
dengan mengatakan bahwa buah-buah telah masak dan siap dipetik, dan
seluruh warga Kufah akan menjadi bala tentaraku? Apakah kalian sudah
lupa kepada janji dan sumpah setia kalian?”
Semuanya membantah pernah menulis surat itu kepada Al-Husein. Beliau menjawab: “Demi Allah kalian telah menulis surat itu.”
Qais
bin Asy'ats menyergah: “Kami tidak tahu apa yang kau maksudkan. Jalan
terbaik bagimu adalah menyerah dan menerima kekuasaan Bani Umayyah.
Mereka pasti akan memberimu hadiah sebanyak yang kau inginkan. Mereka
tidak akan mencelakakanmu.”
(Al-Husein):
“Hei Qais! Apakah engkau mengira bahwa Bani Hasyim akan menuntut darah
orang selain Muslim bin Aqil darimu? Demi Allah aku tidak akan
mengulurkan tangan kepada para tuanmu. Aku juga tidak akan pernah takut
menghadapi peperangan. Karena aku hanya berlindung kepada Allah,
Tuhanku.”
Imam
Husein AS turun dari punggung kuda dan memberikan tali kekangnya kepada
Uqbah bin Salman. Kata-kata dan nasehat Imam dibalas dengan lemparan
tombak oleh pasukan Kufah.
Tak
lama kemudian, seorang bernama Abdullah bin Hauzah At-Tamimi dengan
suara lantang berseru: “Hei kelompok Khawarij, adakah Husein di antara
kalian?”
Para sahabat Imam menjawab: “Ya, Husein di sini. Apa maumu?”
Ibn Hauzah kembali berseru: “Hai Husein! berbahagailah karena sebentar lagi engkau akan masuk neraka.”
Imam menjawab: “Aku akan segera bertemu dengan Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Siapakah engkau?”
Abdullah menjawab: “Aku adalah anak Hauzah At-Tamimi.”
Imam Husein lantas mengangkat tangannya dan berdoa: “Ya Allah kirimlah ia ke neraka.”
Mendengar
doa Imam Husein, Abdullah marah dan serta merta menghentakkan kudanya
menuju beliau. Mendadak kuda yang dinaikinya terbentur batu dan jatuh
sehingga membuat penunggangnya terpental ke tanah dengan kaki yang masih
terikat di tubuh kuda. Kuda itu bangkit dan berlari kesana-kemari
menyeret penunggangnya. Tak ayal, tubuh dan kepala Abdullah At-Tamimi
berkali-kali membentur bebatuan sahara Karbala. Abdullah tewas secara
mengenaskan dan Allah telah mengirimnya ke neraka. Mas'ud bin Wail
Al-Hadhrami yang berada di barisan depan pasukan berkuda pimpinan Umar
bin Sa'ad menyaksikan kejadian itu dari dekat. Tanpa banyak berpikir,
dia mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan pasukan Kufah. Dalam
hati dia berkata: “Demi Allah aku tidak akan pernah memerangi keluarga
Nabi. Sebab mereka memiliki kedudukan dan derajat yang tinggi di sisi
Allah.”
Zuhair
bin Al-Qain mendatangi Imam Husein dan meminta izin untuk berbicara
dengan pasukan Kufah. Imam mengizinkan. Sahabat setia Imam Husein itu
segera bangkit dan berdiri menghadap pasukan musuh. Dengan suara
lantang, Zuhair berseru: “Wahai warga Kufah! Takutlah kalian akan azab
Allah. Aku berdiri di sini untuk menyampaikan nasehat kepada kalian,
sebab kalian memiliki hak untuk mendengarkannya dariku. Sampai saat ini,
kita masih terikat dalam persaudaraan seagama. Tali ikatan ini tetap
ada selama pedang belum memisahkannya. Tetapi ketika pedang sudah
berbicara, kita akan terpisah menjadi dua kelompok yang berbeda.
Ketahuilah bahwa Allah telah menjadikan keluarga Rasul-Nya sebagai ujian
bagi kalian, bagaimana kalian memperlakukan mereka. Allah telah
melarang kalian untuk tunduk dan patuh kepada kaum durjana seperti Yazid
dan Ubadillah bin Ziyad. Dia pulalah yang memerintahkan kalian untuk
membela anak cucu Rasulullah. Jika tidak, tak lama lagi kaum durjana itu
akan mencungkil mata kalian, memotong kaki dan tangan kalian serta
menggantung tubuh kalian di batang korma.”
Nasehat
Zuhair dibalas dengan makian. Pasukan Kufah tetap bersikeras untuk
tidak meninggalkan medan perang sebelum berhasil membantai Imam Husein
dan para sahabatnya atau membawa mereka dengan tangan terbelenggu kepada
Ibnu Ziyad.
Zuhair
kembali angkat suara: “Demi Allah, anak-anak Fathimah lebih baik untuk
dicintai dan dibela daripada anak Sumaiyyah. Jika enggan membela Husein,
sebaiknya kalian tinggalkan medan ini.”
Tiba-tiba
sebuah anak panah yang dibidikkan oleh Syimr bin Dzil Jausyan melesat
ke arah Zuhair. “Diam kau,” hardik Syimr. “Kata-katamu membuat kami
lelah.”
Kepada
Syimr, Zuhair bin Al-Qain berkata: “Hei Syimr! aku tidak berbicara
denganmu. Sebab kau tak lebih dari seekor binatang. Demi Allah, aku
menduga bahwa engkau tidak memahami satu ayatpun dari Al-Qur'an.
Tunggulah kehinaanmu di hari kiamat kelak.”
Lagi-lagi Syimr berujar: “Sebentar lagi Tuhan akan membunuhmu bersama tuanmu itu.”
Zuhair
menjawab: “Engkau menakut-nakutiku dengan kematian? Demi Allah kematian
bersama Husein lebih menyenangkan dari hidup bersama kalian.” Zuhair
kembali mengarahkan pembicaraannya kepada pasukan Kufah: “Wahai
hamba-hamba Allah, sadarlah, jangan sampai orang ini menjauhkan kalian
dari agama Allah! Demi Tuhan, syafaat keluarga Muhammad tidak akan
didapatkan oleh mereka yang membunuh anak cucu Rasul dan membantai para
pembela mereka.”
Salah
seorang sahabat Imam Husein berkata kepada Zuhair: “Wahai Zuhair,
sungguh engkau bagaikan seorang Mu'min berada di keluarga Fir'aun dengan
memberikan nasehatmu kepada mereka. Semoga Allah membalasmu dengan
balasan yang baik.”
Burair bin Khudhair adalah seorang berusia lanjut yang dikenal zuhud, ahli ibadah, qari' terkenal
di kota Kufah dan sangat dihormati oleh kabilah Bani Hamdan. Burair
meminta izin Imam Husein untuk berbicara dengan pasukan Kufah yang sudah
gelap mata. Setelah mendapat restu dari cucu Nabi itu, Burair
mengatakan: “Wahai penduduk Kufah, Allah telah mengutus Muhammad untuk
menunjukkan agama yang lurus. Beliau telah memberikan petunjuk dan
mengajak umat kepada jalan Allah. Risalahnya bagaikan pelita yang
menerangi kegelapan. Ketahuilah bahwa mereka yang kini berada di hadapan
kalian adalah anak cucu sang Nabi. Karenanya, dengan alasan apakah
kalian menghalang mereka mengambil air sungai Furat?”
Pasukan
Kufah menjawab: “Hei Burair! singkat saja, kami bersumpah untuk membuat
Husein kehausan dan merasakan dahaga yang tidak akan pernah dialami
oleh orang selain dia.”
Burair
kembali mengingatkan mereka: “Risalah dan pesan kenabian ada di
tengah-tengah kalian yaitu keluarganya. Karena itu, pikirkan bagaimana
kalian mesti bersikap terhadap mereka.”
Pasukan Ibnu Ziyad menjawab: “Yang kami inginkan adalah Husein mau tunduk kepada perintah gubernur Kufah Ubaidillah bin Ziyad.”
“Celaka
kalian,” sergah Burair. “Lupakah kalian bahwa kalian telah menulis
surat kepada junjunganku Husein dan menyatakan sumpah setia untuk
berkorban demi beliau? Saat ini setelah Husein bersedia menjawab
panggilan itu dan datang bersama sahabat-sahabatnya untuk memenuhi
ajakan kalian, kalian malah menjual mereka kepada Ibnu Ziyad! Alangkah
buruknya perlakuan kalian terhadap anak cucu Rasulullah. Semoga Allah
membuat kalian kehausan di hari pembalasan nanti.”
Terdengar
celoteh dari barisan musuh: “Hei Burair, kami tidak mengerti apa yang
kau katakan.” Burair menjawab: “Puji syukur kepada Tuhan yang telah
menunjukkan kepadaku siapakah kalian sebenarnya. Ya Allah, aku berlepas
tangan dari perbuatan mereka. Tuhanku, balaslah kejahatan yang dilakukan
oleh kelompok ini dengan kehinaan saat mereka menghadap-Mu dan
jatuhkanlah laknat dan kemurkaan-Mu atas mereka.”
Setelah
Burair berhenti berbicara puluhan anak panah menerjah ke arahnya.
Burair kembali ke posisinya semula di barisan Imam Husein AS.
Imam
Husein meminta kudanya. Setelah duduk di atas punggung kuda, beliau
kembali menghadap pasukan Kufah. Sambil meletakkan sebuah naskah
Al-Qur'an di atas kepalanya Imam Husein berkata:
“Wahai penduduk Kufah, antara kita ada kitab suci Tuhan dan sunnah
kakekku Rasulullah. Tahukah kalian bahwa pakaian yang melekat di tubuhku
ini adalah pakaian Nabi? Tahukah kalian bahwa pedang dan perisai yang
aku bawa adalah milik kakekku, Rasululah?”
Pasukan
musuh membenarkan kata-kata Imam Husein. Menyaksikan itu beliau
bertanya: “Kalau begitu, apa alasan kalian memerangiku?”
“Ketaatan kepada gubernur Ubaidillah bin Ziyad,” jawab mereka.
Mendengar
jawaban itu, Imam berkata, “Celaka kalian yang telah berbaiat kepada
orang seperti dia dan mengacungkan pedang ke arah kami. Celaka kalian
yang memilih untuk menjadi pembela musuh-musuh Allah yang tidak akan
berlaku adil terhadap kalian. Mengapa kalian justeru memerangi keluarga
Rasul di saat pedang kaum durjana menguasai kalian dan untuk selanjutnya
orang-orang zalim itu akan mengotori dunia dengan kezaliman mereka.
Celakalah kalian yang telah mencampakkan kitabullah dan mengubah-ubah
kandungannya. Mengapa kalian patuh kepada para pengikut syaitan,
pendosa, durjana dan pelanggar ajaran Rasul? Mengapa kalian justeru
mengikuti mereka serta meninggalkan dan tidak membela kami, keluarga
Rasul? Demi Allah, bukan kali ini saja kalian melanggar sumpah setia.
Kehidupan kalian sarat dengan pengkhianatan yang telah menyatu dengan
kepribadian kalian. Ketahuilah bahwa Ibnu Ziyad telah memberiku dua
pilihan. Kehinaan atau pembantaian. Kami tidak akan pernah memilih
kehinaan. Sebab Allah, kaum mukiminin dan semua orang bijak tidak akan
merelakanku memilih kehinaan. Mereka tidak akan menerima alasanku
mengikuti orang-orang durjana itu. Kini aku bersama sanak keluarga dan
sahabat-sahabatku yang berjumlah kecil ini bangkit untuk berjuang di
jalan Allah dan siap untuk meneguk cawan syahadah. Wahai penduduk Kufah,
ketahuilah bahwa setelah ini kalian tidak akan hidup lama. Inilah yang
diberitahukan oleh ayahku dari kakekku Rasulullah. Wahai warga Kufah!
pikirkanlah untuk selanjutnya selesaikan segera urusan ini.
Ketahuilah bahwa Husein hanya berharap kepada Allah yang Maha Besar,
sebab tak ada satupun makhluk yang hidup, kecuali seluruh urusan dan
kehidupannya ada di tangan Allah. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan
yang lurus.”
Kemudian Imam Husein membawakan bait-bait syair Farwat bin Masik Al-Muradi, salah seorang sahabat Nabi:
“Wahai
kalian semua, jika kami menang itu sudah tradisi. Namun jika kami
hancur ketahuilah bahwa kami tidak akan kalah. Jika kami berhasil
membunuh, kemenangan ada pada kami, dan jika kami terbunuh kami tetap
menang. Kami bukanlah pengecut dan berhati lemah. Kami adalah jawara dan
pemberani. Jika kami terbunuh berarti itulah saat kesyahidan dan
pengorbanan kami. Ketika kematian tidak menjemput suatu kaum, berarti
ketika itu ia sedang merenggut kaum yang lain.”
“Inilah
hari yang ditentukan bagi kami dan para pembela kami. Jika para tokoh
dunia kekal kamipun pasti akan kekal, sebab kami adalah pemuka umat
manusia. Jika para pemimpin meninggalkan dunia ini menuju ke alam
keabadian, kamipun juga akan berjalan menuju ke sana.”
Imam
Husein mengangkat kedua tangannya dan berdoa: “Ya Allah, jangan kau
siramkan hujan rahmat-Mu kepada kaum ini. Buatlah mereka hidup di bawah
kekuasaan para durjana. Dudukkanlah budak dari Bani Tsaqif itu untuk
menguasai mereka dan memberi mereka rasa kehinaan. Engkau tahu bahwa
Husein selalu berserah diri dan bertawakkal kepadaMu. Engkaulah tempat kami semua kembali.”
Imam
mengarahkan pembicaraannya kepada komandan pasukan musuh, Umar bin
Saad: “Hei Umar! Apa engkau mengira dengan membunuhku engkau akan
diangkat menjadi gubernur Rey dan Gurgan? Demi Allah engkau tidak akan
mendapatkan impian itu. Kini lakukan apa maumu. Tapi ingat, bahwa
setelah kematianku, engkau tidak akan mengalami saat bahagia sama
sekali. Aku menyaksikan anak-anak kecil di Kufah yang bermain-main dan
melempari kepalamu.”
Umar bin Saad naik pitam.
Hurr
bin Yazid Ar-Riyahi berdiri di sisi Umar bin Sa'ad dan mendengarkan
kata-kata Imam Husein dengan seksama. Dia melirik ke arah Ibnu Saad dan
berkata: “Hei Ibnu Saad! Apakah engkau memang berniat membantai Husein?”
“Ya,”
jawab Umar. “Demi Allah aku akan menggempur kelompok itu, setidaknya
aku bisa memenggal kepala dan memotong tangan Husein.”
Hurr bertanya lagi: “Apakah engkau sudah memikirkan apa yang dikatakan Husein tadi?”
Ibnu
saad menjawab: “Ya. Jika aku bisa, tentu aku akan menerima
kata-katanya. Tapi Ubaidullah bin Ziyad menekankan untuk menghabisinya.
Aku tidak punya pilihan lain.”
Hurr
memalingkan pandangan ke arah orang-orang di sekitarnya. Pandangannya
tertumpu kepada Qurrah bin Qais yang berada di sampingnya. Kepadanya
Hurr berkata, “Hei Qurrah, sudahkah engkau memberi minum kudamu?”
“Belum,” jawabnya.
Hurr berkata lagi, “Apakah engkau tidak mau memberinya minum?”
Kata-kata
Hurr dicermati oleh Qurrah. Ia bisa menangkap maksud Hurr. Qurrah
menduga bahwa Hurr berniat memisahkan diri dari barisan pimpinan Umar
bin Saad tanpa harus diketahui orang lain.
Secepat
kilat Hurr melesat ke arah perkemahan Imam Husein. Di tengah jalan ia
dihadang oleh Muhajir bin Aus. Muhajir berseru memanggil Hurr, “Hei
Hurr, apakah engkau berniat menyerang Husein sekarang?”
Muhajir
yang menyaksikan tubuh Hurr yang menggigil dan wajahnya yang pucat pasi
bertanya, “Hurr, Ada apa denganmu? Mengapa badanmu gemeter seperti ini.
Padahal jika ada yang bertanya kepadaku siapakah jawara Kufah aku pasti
akan menyebutkan namamu?”
Hurr menjawab: “Muhajir, aku berada di persimpangan jalan, jalan ke surga dan jalan ke
neraka, dan aku harus memilih salah satunya. Demi Allah aku hanya
menginginkan surga meski harus dibakar hidup-hidup.” Selepas mengucapkan
kata-kata itu, Hurr melesat ke arah perkemahan Imam Husien AS dengan
kepala tertunduk malu.
Dengan
airmata yang membasahi pipinya, Hurr berseru, “Ya Allah, aku datang
untuk menebus semua kesalahanku dan bertaubat kepada-Mu. Terimalah
taubatku ini. Akulah yang telah melukai hati sanak kelurga Rasul.”
Kepada Imam Husein AS, Hurr mengatakan, “Aku menyesali semua
kesalahanku. Apakah taubatku bisa diterima? Ya Allah aku bertaubat
kepada-Mu.”
Imam
menjawab, “Ya, Allah menerima taubatmu.” Hurr berkata lagi, “Saat
meninggalkan Kufah, aku mendengar suara yang memberiku kabar gembira
akan surga. Dan kini aku berkata sendiri dalam hati, celaka aku yang
telah diberi kabar gembira tentang surga tapi berniat memerangi cucu
Rasulullah.”
Imam
kembali berkata, “Engkau beruntung. Semoga Allah membalas kebaikanmu.”
Hurr meminta izin untuk pergi ke medan dan berbicara dengan pasukan
Kufah. Imam Husein mengizinkan. Hurr maju ke arah pasukan Ibnu Saad dan
dengan suara lantang mengatakan, “Celaka kalian wahai penduduk Kufah!
Kalianlah yang telah memanggil cucu Rasul untuk datang kepada kalian.
Kalian mengaku bersedia mengorbankan jiwa untuknya. Tapi kini di saat
beliau datang memenuhi panggilan kalian, kalian malah menyambutnya
dengan pedang terhunus. Kalian memperlakukannya bagai tawanan perang dan
menutup air untuk beliau dan keluarganya. Betapa buruknya kalian yang
memperlakukan cucu Nabi sedemikian keji. Semoga Tuhan tidak
menghilangkan dahaga kalian.”
Tiba-tiba
sekelompok penunggang kuda keluar dari barisan pasukan Kufah dan
menyerang Hurr. Hurr mundur dan menggabungkan diri dengan barisan Imam
Husein AS, sebab beliau melarang sahabat-sahabatnya untuk memulai
pertempuran.
Syimr
maju ke arah barisan Imam Husein dan berseru, “Di mana anak-anak
saudariku? Di mana Abbas dan adik-adiknya?” Mereka menolak untuk
memenuhi panggilan Syimr. Kepada mereka Imam Husein berkata, “Penuhi
panggilannya, meski dia seorang fasik.” “Hei Syimr, apa maumu?”
“Kalian
adalah anak-anak saudara perempuanku. Aku akan memberi kalian
keselamatan. Jangan binasakan diri sendiri. Tunduklah kepada Yazid.”
Abbas
yang dikenal dengan Abul Fadhl dan saudara seayah Imam Husein menjawab,
“Semoga Allah melaknatmu dan melaknat keselamatan yang kau janjikan
itu. Semudah itukah engkau memberi kami keselamatan sedangkan jiwa
Husein, putra Rasulullah tidak selamat? Kau menginginkan kami
meninggalkannya dan tunduk kepada orang-orang terkutuk itu? Betapa
kotornya pikiranmu!”
Drama
padang Karbala memasuki babak baru. Umar bin Sa'ad maju mendekat ke
arah perkemahan Imam Husein AS. Perlahan-lahan, dia meletakkan anak
panah di busurnya dan membidikkannya ke arah pasukan suci itu. Anak
panah melesat ke sasaran. Umar bin Saad berseru, “Wahai penduduk Kufah,
saksikanlah bahwa aku adalah orang pertama yang membidikkan panah ke
pasukan Husein. Sampaikan hal ini kepada gubernur Kufah, Ubaidillah bin
Ziyad!”
Menyusul
aksi Ibnu Sa'ad, pasukan Kufah menghujani kamp Imam Husein dengan anak
panah. Tak ada sahabat Imam Husein yang selamat dari serangan itu. Imam
dengan mantap menyuruh mereka untuk bergegas menyambut kesyahidan dan
berkata, “Bangkitlah wahai para pembela agama Allah. Songsonglah
syahadah yang telah menjadi bagian kita. Anak-anak panah ini adalah
pesan yang mereka kirim.”
Para
sahabat Imam Husein segera bangkit menyerang pasukan musuh. Pertempuran
tak dapat dielakkan lagi. Ratusan pedang dan tombak menari-nari di
medan medan laga. Beberapa saat kemudian bentrokan berhenti. Debu-debu
yang bertaburan mulai kembali ke posisi semula. Tampak lima puluh orang
sahabat Imam Husein jatuh bergelimang darah.
Yasar
budak Ziyad dan Salim budak Ubaidillah bin Yazid datang ke medan laga
dan menantang Habib bin Madhahir dan Burair bin Hudhair untuk duel. Imam
tidak mengizinkan kedua sahabatnya itu untuk maju memenuhi tantangan
tersebut. Dari dalam barisan pasukan Imam, Abdullah bin Umair Al-Kalbi
yang dikenal pemberani, dan jawara di medan laga serta memiliki postur
tubuh yang tinggi dan tegap datang menghadap Imam Husein dan meminta
izin untuk berduel. Imam mengizinkan dan berkata, “Dia adalah prajurit
yang mahir di medan laga.”
Melihat
sahabat Imam itu, Yasar dan Salim bertanya, “Siapa kau?” Dengan
melantunkan beberapa bait syair, Abdullah mengenalkan dirinya. Yasar dan
Salim menyahut, “Kami tidak mengenalmu. Biarkan Zuhair, Habib atau
Burair yang datang untuk berduel dengan kami.”
“Apakah
kalian takut berhadapan denganku?” Kata-kata Abdullah membakar emosi
mereka berdua. Salim menyerang. Duel antara Abdullah dan Salim
berlangsung seru. Yasar secara diam-diam menyerang Abdullah dari
belakang. Para sahabat Imam Husein berseru, “Hati-hati, Abdullah!” Salim
memutar pedangnya dan mengayunkannya ke arah sahabat Imam itu. Abdullah
menangkisnya dengan tangan kiri. Tak ayal pedang Salim memisahkan
jar-jari tangan Abdullah dari badannya. Pukulan Salim dibalas dengan
pukulan pedang. Salim terjerembab bermandikan darah. Abdullah kembali ke
kemah Imam Husein. Kedatangan Abdullah disambut oleh istrinya yang
lantas mendorongnya untuk kembali ke medan laga. “Abdullah, kembalilah
ke medan dan korbankanlah dirimu untuk manusia suci dan anak Rasul ini.
Demi Allah tak akan kubiarkan engkau gugur sendirian. Aku akan bersamamu
menyongsong syahadah,” ujar sang istri. “Bukankah beberapa saat lalu,
engkau mencegahku untuk berkorban demi Husein? Mengapa kini engkau juga
ingin terjun ke medan tempur?” tanya Abdullah. Sang istri menjawab,
“Jangan kau salahkan diriku. Baru saja aku mendengar Imam Husein
mengatakan sesuatu?” “Apa yang beliau katakan?” tanya Abdullah.
“Beberapa saat tadi aku mendengar Husein berkata, “Ah, betapa sedikitnya
orang yang mau membelaku.”
Kepada
Imam Husein, Abdullah berkata, “Ya Abu Abdillah, perintahkanlah istriku
supaya kembali ke kemah.” Imam memerintahkan istri Abdullah untuk
kembali dan mengatakan, “Allah membalas jasa baik kalian yang telah
membela keluarga Nabi-Nya. Ummu Wahb, kembalilah ke kemah, sebab Allah
tidak memerintahkan wanita untuk berperang.”
Sekonyong-konyong,
Umar bin Khalid As-Saidawi bersama budaknya yang bernama Sa'ad, Jabir
bin Haris dan Majma' bin Abdillah Al-Haizi secara serentak maju
menyerang pasukan Kufah dan mengobrak-abrik barisan mereka. Tebasan
pedang mereka menjungkalkan banyak prajurit musuh. Akhirnya pasukan Ibnu
Saad mengepung mereka sehingga praktis sahabat-sahabat Imam Husein itu
terpisah dari pasukan induk. Menyaksikan itu, Imam memerintahkan
saudaranya yang bernama Abbas untuk pergi membantu dan menyelematkan
mereka dari kepungan pasukan Kufah. Bagai singa kelaparan, Abbas
menyerang dan mengobrak-abrik pasukan musuh untuk menyelamatkan keempat
sahabat Imam Husein. Para jawara yang terluka itu kembali menyerang.
Puluhan orang menggelepar-gelepar di tanah terkena tebasan pedang
mereka. Akhirnya, keempat sahabat Imam Husein itu meneguk cawan
syahadah, Inna lillah wa inna ilahi rajiun.
Imam
Husein memegang janggutnya dan berkata, “Demi Allah, aku tidak akan
tunduk kepada kemauan kaum durjana ini, sampai aku menemui Tuhanku
dengan tubuh berlumur darah.”
Kemudian
dengan suara lantang Imam Husein berseru: “Tidak adakah orang yang sudi
membela keluarga Rasul?” Kata-kata imam itu disusul oleh ledakan tangis
histeris para wanita dari dalam kemah.
Dari
dalam pasukan musuh, Sa'ad bin Harits dan saudaranya Abul Hatuf sadar
setelah mendengar seruan Imam Husein itu. Tanpa berpikir panjang, mereka
berdua berbalik menyerang pasukan Umar bin Sa'ad. Sebelum gugur syahid,
mereka berhasil membunuh beberapa orang prajurit Kufah.
Jumlah
pasukan Imam Husein semakin berkurang dengan gugurnya beberapa orang
dari kelurga Nabi. Akhirnya pertempuran berganti menjadi duel satu lawan
satu. Banyak prajurit Kufah yang terbunuh. Umar bin Hajjaj berseru,
“Wahai penduduk Kufah, tahukah kalian dengan siapa kalian berduel?
Mereka adalah para jawara yang tak mungkin dikalahkan. Hujani mereka
dengan batu, karena cara itulah yang paling tepat untuk menghabisi
mereka.” Tak lama setelah itu, Umar bin Hajaj bersama pasukannya
menyerang barisan Imam Husein. Meski berjumlah sedikit, pasukan Imam
Husein tegar bertahan menghadapi mereka. Banyak
pasukan musuh yang tewas di tangan jawara-jawara pembela keluarga Nabi.
Pasukan Kufah mundur. Sahabat-sahabat Imam menghujani mereka dengan anak
panah. Tak berapa lama, Umar bin Hajjaj bersama Abdullah Bajali kembali
menyerang. Bentrokan kembali meletus. Setelah pasukan musuh kembali
menarik diri, tampak Muslim bin Ausajah, salah seorang sahabat setia
Imam Husein, terkapar di tanah dengan tubuh berlumur darah. Muslim bin
Ausajah adalah seorang yang dikenal pemberani di kota Kufah. Dialah yang
menjadi wakil Muslim bin Aqil di Kufah untuk mengumpulkan dana, membeli
persenjataan, dan mengambil baiat untuk Imam Husein. Dialah yang di
malam Asyura ketika Imam Husein menyuruh para sahabat untuk pergi
meninggalkannya, dengan mantap bangkit dan berkata, “Wahai putra
Rasulullah, untuk apa kami harus pergi meninggalkanmu? Jika itu kami
lakukan apa jawaban kami di hadapan Allah nanti? Demi Allah, aku akan
tancapkan tombakku di dada musuh-musuhmu. Selagi pedang ada di tanganku,
aku akan memukulkannya di tubuh pasukan musuh. Jika aku tidak memiliki
senjata aku akan berperang dengan batu. Demi Allah kami tidak akan
meninggalkanmu. Biarkan Tuhan menyaksikan pengorbanan dan pembelaan kami
kepada kehormatan Nabi. Demi Allah untuk membelamu, aku siap dibunuh
lalu dihidupkan kembali. Setelah itu di bunuh dan dibakar dan abu
pembakaran tubuhku ditaburkan. kemudian aku dihidupkan. Begitu
seterusnya sampai tujuh puluh kali. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu
sampai nyawaku terlepas dari badan ini. Bukankah aku cuma akan mati
sekali untuk kemudian pergi ke alam keabadian?
Muslim
kini kini tergeletak di tanah. Imam Husein bersama Habib bin Madhahir
mendatanginya.Imam mendoakannya. Habib bin Madhahir yang juga sahabat
karib Muslim berkata kepadanya, “Sulit bagiku menyaksikan keadaanmu
seperti ini. Bergembiralah, karena sebentar lagi engkau akan pergi ke
surga.” Dengan suara lirih yang nyaris tak terdengar, Muslim berkata,
“Allah juga telah menyediakan surga untukmu.”
“Muslim,”
kata Habib. “Jika aku masih bisa hidup lama setelahmu, aku siap
menerima wasiatmu. Tapi aku tahu bahwa tak lama lagi akupun akan
menyusulmu.” Muslim menunjuk kepada Imam Husein dan mengatakan, “Habib
sahabatku, wasiatku satu-satunya adalah jangan sampai engkau
meninggalkan Husein.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, muslim menutup
mata untuk selamanya, inna lillahi wa inna ilahi rajiun. Saat itulah
Imam Husien AS membacakan ayat Al-Qur'an
فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَي نَحْبَهُ فَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَلُوْا تَبْدِيْلاً
Pasukan
Kufah bersorak gembira karena berhasil membunuh Muslim bin Ausajah.
Syabats bin Rab`i dengan suara lantang berseru, “Hei kalian semua,
apakah dengan membunuh Muslim kalian sedemikian bersuka cita? Celaka
kalian! Tahukah kalian bahwa Muslim sangat dihormati oleh kaum muslimin?
Demi Allah! pasukan kafir gentar menghadapi pedangnya. Dialah jawara
yang membuat pasukan musuh ketakutan.”
Syimr
dan beberapa orang prajurit Kufah menyerang perkemahan Imam Husein.
Abdullah bin Umair Al-Kalbi datang menghadang laju mereka. Dengan
semangat tinggi dan jiwa kepahlawanan, sahabat Imam Husein itu
menari-narikan pedangnya. Beberapa orang roboh terkena sabetan pedang
Abdullah yang menyambar-nyambar bagai petir. Namun tak lama kemudian,
pedang Hani Shabiy Al-Hadhrami berhasil memisahkan tangan kanan Abdullah
dari badannya. Ketangkasan Ibnu Umair mengendur. Mendadak sebuah
sabetan pedang merobohkan sahabat Imam Husein itu. Abdullah gugur
sebagai syahid.
Dengan
tergopoh-gopoh, istri Abdullah datang dan memangku tubuh tak bernyawa
itu sambil membersihkan darah yang membasahi wajahnya. Kepada suaminya
sang istri berkata, "Berbahagialah, karena engkau kini telah terbang ke
surga sana. Aku berharap Tuhan juga memberiku tempat di surga
bersamamu." Adegan itu disaksikan oleh Syimr. Dia segera memanggil
budaknya dan memerintahkannya untuk menghabisi Ummu Wahb, istri
Abdullah. Sang budak yang berhati batu itu melaksanakan perintah
tuannya. Tanah Karbala kembali dibasahi oleh darah manusia suci, pembela
keluarga Nabi. Pembantaian itu sekaligus menobatkan Ummu Wahb sebagai
wanita pertama yang syahid dalam tragedi Karbala.
Pasukan
Kufah yang kesetanan dengan keji memanggal kepala Abdullah bin Umair
dan melemparkannya ke perkemahan Imam Husien AS. Kepala itu disambut
oleh ibu Abdullah yang lantas menciuminya. Tanpa diduga, wanita tua itu
bangkit dan mengambil sepotong kayu lalu menyerang ke arah pasukan
musuh. Imam Husein datang mencegah dan mengatakan, "Kembalilah ke kemah.
Semoga Allah mengampunimu. Tuhan tidak mewajibkan jihad atas wanita."
Syimr
dan pasukannya kembali menyerang. Kali ini Zuhair bin Al-Qain bersama
sepuluh orang sahabatnya menyambut kedatangan mereka. Bentrokan tak
dapat dihindari. Meski berjumlah sedikit mereka berhasil
memporak-porandakan barisan pasukan Kufah. Keperkasaan sahabat-sahabat
Imam Husein di medan laga dan kepiawaian mereka menarikan pedang
menciutkan nyali pasukan Kufah. Qais, komandan pasukan berkuda Kufah,
yang menyaksikan kekalahan orang-orangnya meminta bantuan pasukan yang
lebih banyak. Umar bin Sa'ad segera mengirimkan pasukan pimpinan Hushain
bin Umair.
Bentrokan
masih terus berkecamuk. Pasukan Imam Husein AS bagai singa kelaparan
mencabik-cabik pasukan musuh tanpa mempedulikan besarnya jumlah mereka.
Beberapa orang Kufah jatuh tersungkur bersimbah darah. Pasukan Imam
Husien hanya berpikir untuk mempersembahkan yang terbaik kepada keluarga
Rasulullah. Zuhair dan sahabat-sahabatnya, bagai benteng kuat yang
menghalangi pasukan musuh untuk sampai ke perkemahan Imam Husein AS.
Meski berulang kali berusaha melumpuhkan mereka, namun Umar bin Sa'ad
dan pasukannya tetap gagal menembus pertahanan itu.
Akhirnya,
Ibnu Sa'ad memerintahkan orang-orangnya untuk membakar kemah Imam
Husein. Tak ayal lagi, wanita dan anak-anak yang sejak tadi berada di
dalam kemah berhamburan keluar. Saat itulah, Abu Sya'sa Al-Kindi maju
melindungi Imam Husein dari gempuran musuh sambil membidikkan anak
panahnya ke arah mereka. Beberapa orang menggelepar-gelepar di tanah
terkena panahnya. Imam Husein yang menyaksikan adegan itu berdoa, "Ya
Allah, kuatkanlah tangannya, tepatkanlah bidikannya dan berikanlah surga
kepadanya sebagai pahala kebaikannya." Namun tak lama kemudian, Abu
Sya'sa pun pergi menemui Tuhannya setelah mempersembahkan jiwa dan
raganya kepada Islam. Inna lillah, wa inna ilahi rajiun.