Selasa, 15 Januari 2013

Allah Ada tanpa Tempat


Keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim adalah meyakini bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala Maha Sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan.
Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Suci dari menyerupai makhluk-Nya. Allah
subhanahu wa ta‘ala juga Maha Suci dari tempat dan arah. Allah subhanahu wa
ta‘ala ada tanpa tempat. Demikian keyakinan yang paling mendasar setiap
Muslim Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Dalam ilmu akidah atau teologi, keyakinan
semacam ini dibahasakan, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala memiliki sifat
Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala wajib tidak
menyerupai makhluk-Nya.
 
Ada sebuah dialog yang unik antara seorang Muslim Sunni yang meyakini Allah
subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat, dengan seorang Wahhabi yang
berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat. Wahhabi berkata:
“Kamu ada pada suatu tempat. Aku ada pada suatu tempat. Berarti setiap
sesuatu yang ada, pasti ada tempatnya. Kalau kamu berkata, Allah ada tanpa
tempat, berarti kamu berpendapat Allah tidak ada.” Sunni menjawab; “Sekarang
saya akan bertanya kepada Anda: “Bukankah Allah telah ada tanpa tempat
sebelum diciptakannya tempat?” Wahhabi menjawab: “Betul, Allah ada tanpa
tempat sebelum terciptanya tempat.” Sunni berkata: “Kalau memang wujudnya
Allah tanpa tempat sebelum terciptanya tempat itu rasional, berarti rasional pula
dikatakan, Allah ada tanpa tempat setelah terciptanya tempat. Mengatakan Allah
ada tanpa tempat, tidak berarti menafikan wujudnya Allah.”
 
Wahhabi berkata: “Bagaimana seandainya saya berkata, Allah telah bertempat
sebelum terciptanya tempat?” Sunni menjawab: “Pernyataan Anda mengandung
dua kemungkinan. Pertama, Anda mengatakan bahwa tempat itu bersifat azali
(tidak ada permulaannya), keberadaannya bersama wujudnya Allah dan bukan
termasuk makhluk Allah. Demikian ini berarti Anda mendustakan firman Allah
subhanahu wa ta‘ala:
  
 “Allah-lah pencipta segala sesuatu.” (QS. al-Zumar : 62).
 
Kemungkinan kedua, Anda berpendapat, bahwa Allah itu baru, yakni wujudnya
Allah terjadi setelah adanya tempat, dengan demikian berarti Anda mendustakan
firman Allah subhanahu wa ta‘ala:


  
__

 
“Dialah (Allah) Yang Maha Awal (wujudnya tanpa permulaan) dan Yang Maha
Akhir (Wujudnya tanpa akhir).”  (QS. al-Hadid : 3).
 
Demikianlah dialog seorang Muslim Sunni dengan orang Wahhabi. Pada
dasarnya, pendapat Wahhabi yang meyakini bahwa wujudnya Allah subhanahu
wa ta‘ala ada dengan tempat dapat menjerumuskan seseorang keluar dari
keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala
Maha Suci dari segala kekurangan.
 
Tidak jarang, kaum Wahhabi menggunakan ayat-ayat al-Qur’an untuk
membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat
di langit. Akan tetapi, dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan
ayat-ayat al-Qur’an yang sama. 
 

Ulama Maroko dan Wahhabi Tuna Netra
 
Al-Hafizh Ahmad bin Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah
ulama ahli hadits yang terakhir menyandang gelar al-hafizh (gelar kesarjanaan
tertinggi dalam bidang ilmu hadits). Ia memiliki kisah perdebatan yang sangat
menarik dengan kaum Wahhabi. Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar, sebuah
autobiografi yang melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut
ini. 
 
“Pada tahun 1356 H ketika saya menunaikan ibadah haji, saya berkumpul
dengan tiga orang ulama Wahhabi di rumah Syaikh Abdullah al-Shani’ di Mekkah
yang juga ulama Wahhabi dari Najd. Dalam pembicaraan itu, mereka
menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya sesuai dengan hadits
dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal penetapan
ketinggian tempat Allah subhanahu wa ta‘ala dan bahwa Allah subhanahu wa
ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan ideologi Wahhabi. Mereka
menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara literal (zhahir) mengarah
pada pengertian bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai
keyakinan mereka. Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata kepada mereka: “Apakah
ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bagian dari al-Qur’an?” Wahhabi
menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Apakah meyakini apa yang menjadi maksud
ayat-ayat tersebut dihukumi wajib?” Wahhabi menjawab: “Ya.” Saya berkata:
“Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala: 
  
_

 “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4).


  

14
 













Apakah ini termasuk al-Qur’an?” Wahhabi tersebut menjawab: “Ya, termasuk al-
Qur’an.” 
 
Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
  
 “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah
keempatnya.” (QS. al-Mujadilah : 7). 
 
Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an juga?” Wahhabi itu menjawab: “Ya, termasuk
al-Qur’an.” Saya berkata: “(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala tidak ada di langit). Mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang Anda
sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala ada di langit lebih utama untuk diyakini dari pada kedua ayat yang saya
sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di
langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah subhanahu wa ta‘ala?” Wahhabi itu
menjawab: “Imam Ahmad mengatakan demikian.” 
 
Saya berkata kepada mereka: “Mengapa kalian taklid kepada Ahmad dan tidak
mengikuti dalil?” Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam. Tak satu kalimat pun
keluar dari mulut mereka. Sebenarnya saya menunggu jawaban mereka, bahwa
ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil, sementara ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit tidak boleh dita’wil.
Seandainya mereka menjawab demikian, tentu saja saya akan bertanya kepada
mereka, siapa yang mewajibkan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan dan
melarang menta’wil ayat-ayat yang kalian sebutkan tadi?



 
 Seandainya mereka mengklaim adanya ijma’ ulama yang mengharuskan
menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan
kepada mereka informasi beberapa ulama seperti al-Hafizh Ibn Hajar tentang
ijma’ ulama salaf untuk tidak menta’wil semua ayat-ayat sifat dalam al-Qur’an,
bahkan yang wajib harus mengikuti pendekatan tafwidh (menyerahkan
pengertiannya kepada Allah subhanahu wa ta‘ala).” Demikian kisah al-Imam al-
Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dengan tiga ulama terhebat kaum
Wahhabi.
 

Dialog Terbuka di Surabaya dan Blitar
 
Pada tahun 2009, saya pernah terlibat perdebatan sengit dengan seorang
Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya. Beberapa bulan berikutnya saya
berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial AH pula,


  

 


15
tetapi lain orang. Dalam perdebatan tersebut saya bertanya kepada AH:
“Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit?” 
 
Menanggapi pertanyaan saya, AH menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang
menurut asumsinya menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di
langit. Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang Anda sebutkan tidak secara tegas
menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut para
ulama memiliki 15 makna. Di samping itu, apabila Anda berargumentasi dengan
ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain
yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit.
Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana
saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4). Ayat ini menegaskan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan ada di langit. Dalam ayat lain
Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:
  
 
“Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina),
yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).
 
Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya,
padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara
literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bukan ada di
langit, tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata demikian, AH tidak mampu
menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata: “Keyakinan bahwa
Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:
  
___

 “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak
perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab:
“Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia
menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak
yang mukmin.” (HR. Muslim).”




 
Setelah AH berkata demikian, saya menjawab begini: “Ada tiga tinjauan
berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama, dari aspek kritisisme
ilmu hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama
tergolong hadits mudhtharib (hadits yang simpang siur periwayatannya),
sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan
setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi


shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala.
Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.
 
Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut
dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah
subhanahu wa ta‘ala. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu
Maha Luhur dan Maha Tinggi.
 
Ketiga, apabila Anda berargumen dengan hadits tersebut tentang keyakinan
Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan
dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa
ta‘ala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan
dalam Shahih-nya:
  

 
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan
tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia
sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di
antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah
kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.”
(HR. al-Bukhari [405]).
 
Hadits ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di depan orang
yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits
riwayat Muslim, karena hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab
demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia
merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain
dengan berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu
saya jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit,
adalah ayat al-Qur’an. Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda
beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda
sekarang berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi
sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu
Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
  
__

 
17
 “Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat
bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-
Firaq, 256).
 
Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah,
risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:
  
  .  
“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”
 
Setelah saya menjawab demikian kepada AH, saya bertanya kepada AH:
“Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab: “Makhluk.” Saya
bertanya: “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada
di mana?” AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh, dan termasuk pertanyaan
yang bid’ah.” Demikian jawaban AH, yang menimbulkan tawa para hadirin dari
semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada acara tersebut, mayoritas
hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota jamaah AH. 
 
Demikianlah, cara dialog orang-orang Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat
menjawab pertanyaan, mereka tidak akan menjawab, aku tidak tahu,
sebagaimana tradisi ulama salaf dulu. Akan tetapi mereka akan menjawab,
“Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa
pertanyaan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam,
telah ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa
pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan
dalam Shahih-nya:
  
____

 “Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman
dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang
permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah telah ada dan tidak ada sesuatu apapun
selain Allah.” (HR. al-Bukhari [3191]).
 
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Allah
subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam
al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:

 


18
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di
manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang
menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu.
Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa
Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu
apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini
bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).
 
Dalam setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi,
pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi
mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan
dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti kaum Sunni dengan mudahnya
mematahkan argumen tersebut dengan hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni
berargumen dengan dalil rasional, pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan
menjawabnya. Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat
adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan
tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:





  
 “Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah
sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak
bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).
 

Syaikh al-Syanqithi dan Wahhabi Tuna Netra
 
Ketika orang-orang Wahhabi memasuki Hijaz dan membantai kaum Muslimin
dengan alasan bahwa mereka telah syirik, sebagaimana yang telah dikabarkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang-orang Khawarij
akan membunuh orang-orang yang beriman dan membiarkan para penyembah
berhala.” Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka. 
 
Mereka menyembelih Syaikh Abdullah al-Zawawi, guru para ulama madzhab al-
Syafi’i, sebagaimana layaknya menyembelih kambing. Padahal usia beliau
sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh al-Zawawi yang juga sudah memasuki
usia senja juga mereka sembelih.
 


  

19
Kemudian mereka memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak
berdebat tentang tauhid, Asma Allah subhanahu wa ta‘ala dan sifat-sifat-Nya.
Ulama yang setuju dengan pendapat mereka akan dibebaskan. Sedangkan
ulama yang membantah pendapat mereka akan dibunuh atau dideportasi dari
Hijaz. 
 
Di antara ulama yang diajak berdebat oleh mereka adalah Syaikh Abdullah al-
Syanqithi, salah seorang ulama kharismatik yang dikenal hafal Sirah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan dari pihak Wahhabi yang mendebatnya,
di antaranya seorang ulama mereka yang buta mata dan buta hati. Kebetulan
perdebatan berkisar tentang teks-teks al-Qur’an dan hadits yang berkenaan
dengan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta‘ala. Mereka bersikeras bahwa teks-teks
tersebut harus diartikan secara literal dan tekstual, dan tidak boleh diartikan
secara kontekstual dan majazi.
 
Si tuna netra itu juga mengingkari adanya majaz dalam al-Qur’an. Bahkan lebih
jauh lagi, ia menafikan majaz dalam bahasa Arab, karena taklid buta kepada
pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim. Lalu Syaikh Abdullah al-Syanqithi
berkata kepada si tuna netra itu:
 
“Apabila Anda berpendapat bahwa majaz itu tidak ada dalam al-Qur’an, maka
sesungguhnya Allah subhanahu wa ta‘ala telah berfirman dalam al-Qur’an:
  
____

 
“Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih
buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. al-Isra’ : 72).





 
Berdasarkan ayat di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang
tuna netra di dunia, maka di akhirat nanti akan menjadi lebih buta dan lebih
tersesat, sesuai dengan pendapat Anda bahwa dalam al-Qur’an tidak ada
majaz?”
 
Mendengar sanggahan Syaikh al-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu
pun tidak mampu menjawab. Ia hanya berteriak dan memerintahkan anak
buahnya agar Syaikh al-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian
si tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi al-Syanqithi dari
Hijaz. Akhirnya ia pun dideportasi ke Mesir. Kisah ini dituturkan oleh al-Hafizh
Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar.
 

Al-Imam al-Bukhari dan Ta’wil
 
Kalau kita mengamati dengan seksama, perdebatan orang-orang Wahhabi
dengan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, akan mudah kita simpulkan,


bahwa kaum Wahhabi seringkali mengeluarkan vonis hukum tanpa memiliki
dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Bahkan tidak jarang,
pernyataan mereka dapat menjadi senjata untuk memukul balik pandangan
mereka sendiri. Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan bercerita kepada saya.
 
“Ada sebuah pesantren di kota Siantar, Siamlungun, Sumatera Utara. Pesantren
itu bernama Pondok Pesantren Darus Salam. Setiap tahun, Pondok tersebut
mengadakan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengundang
sejumlah ulama dari berbagai daerah termasuk Medan dan Aceh. Acara puncak
biasanya ditaruh pada siang hari. Malam harinya diisi dengan diskusi. Pada
Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tahun 2010 ini saya dan beberapa
orang ustadz diminta sebagai pembicara dalam acara diskusi. Kebetulan diskusi
kali ini membahas tentang Salafi apa dan mengapa, dengan judul Ada Apa
Dengan Salafi?






 
Setelah presentasi tentang aliran Salafi selesai, lalu tibalah sesi tanya jawab.
Ternyata dalam sesi tanya jawab ini ada orang yang berpakaian gamis
mengajukan keberatan dengan pernyataan saya dalam memberikan keterangan
tentang Salafi, antara lain berkaitan dengan ta’wil. Orang Salafi tersebut
mengatakan: “Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab. Sudah barang tentu
harus kita fahami sesuai dengan bahasa Arab pula”. Pernyataan orang Salafi itu,
saya dengarkan dengan cermat. Kemudian dia melanjutkan keberatannya
dengan berkata: “Ayat-ayat al-Qur’an itu tidak perlu dita’wil dan ini pendapat
Ahlussunnah”. 
 
Setelah diselidiki, ternyata pemuda Salafi itu bernama Sofyan. Ia berprofesi
sebagai guru di lembaga As-Sunnah, sebuah lembaga pendidikan orang-orang
Wahhabi atau Salafi. Mendengar pernyataan Sofyan yang terakhir, saya
bertanya: “Apakah Anda yakin bahwa al-Imam al-Bukhari itu ahli hadits?” Sofyan
menjawab: “Ya, tidak diragukan lagi, beliau seorang ahli hadits.”
 
Saya bertanya: “Apakah al-Bukhari penganut faham Ahlussunnah Wal-
Jama’ah?” Sofyan menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Apakah al-Albani seorang ahli
hadits?” Sofyan menjawab: “Ya, dengan karya-karya yang sangat banyak dalam
bidang hadits, membuktikan bahwa beliau juga ahli hadits.” Saya berkata: “Kalau
benar al-Bukhari menganut Ahlussunnah, berarti al-Bukhari tidak melakukan
ta’wil. Bukankah begitu keyakinan Anda?” Sofyan menjawab: “Benar begitu.”
 
Saya berkata: “Saya akan membuktikan kepada Anda, bahwa al-Bukhari juga
melakukan ta’wil .” Sofyan berkata: “Mana buktinya?” Mendengar pertanyaan
Sofyan, saya langsung membuka Shahih al-Bukhari tentang ta’wil yang beliau
lakukan dan memberikan photo copynya kepada anak muda itu. Saya berkata:
“Anda lihat pada halaman ini, al-Imam al-Bukhari mengatakan:

 


21
 
Artinya, “Bab tentang ayat : Segala sesuatu akan hancur kecuali Wajah-Nya,
artinya Kekuasaan-Nya.”
 
Nah, kata wajah-Nya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya
kekuasaan-Nya. Kalau begitu al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat
ini. Berarti, menurut logika Anda, al-Bukhari seorang yang sesat, bukan
Ahlussunnah. Anda setuju bahwa al-Bukhari bukan Ahlussunnah dan pengikut
aliran sesat?”. 
 
















Mendengar pertanyaan saya, Sofyan hanya terdiam. Sepatah katapun tidak
terlontar dari lidahnya. Kemudian saya berkata: “Kalau begitu, sejak hari ini,
sebaiknya Anda jangan memakai hadits al-Bukhari sebagai rujukan. Bahkan
Syaikh al-Albani, orang yang saudara puji itu, dan orang-orang Salafi memujinya
dan menganggapnya lebih hebat dari al-Imam al-Bukhari sendiri. Al-Albani telah
mengkritik al-Imam al-Bukhari dengan kata-kata yang tidak pantas. Al-Albani
berkata: “Pendapat al-Bukhari yang melakukan ta’wil terhadap ayat di atas ini
tidak sepatutnya diucapkan oleh seorang Muslim yang beriman”. Inilah komentar
Syaikh Anda, al-Albani tentang ta’wil al-Imam al-Bukhari ketika menta’wil ayat:
Secara tidak langsung, seolah-olah al-Albani mengatakan bahwa ta’wilan al-
Imam al-Bukhari tersebut pendapat orang kafir. Kemudian saya mengambil
photo copy buku fatwa al-Albani dan saya serahkan kepada anak muda Salafi
ini. Ia pun diam seribu bahasa. Demikian kisah yang dituturkan oleh Syafi’i Umar
Lubis dari Medan, seorang ulama muda yang kharismatik dan bersemangat
dalam membela Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
 
Ta’wil Imam Ahmad bin Hanbal
 
Ta’wil tehadap teks-teks mutasyabihat telah dilakukan oleh para ulama salaf, di
antaranya Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Akan
tetapi kaum Wahhabi sering kali mengingkari fakta-fakta tersebut dengan
berbagai macam alasan yang tidak ilmiah dan selalu dibuat-buat. Seorang teman
saya, berinisial AD menceritakan pengalamannya ketika berdialog dengan AM,
tokoh Wahhabi kelahiran Sumatera yang sekarang tinggal di Jember. AD
bercerita begini.
 
“Sekitar bulan Maret tahun 2010 lalu, saya mengikuti suatu acara di Jakarta
Selatan. Acara tersebut diadakan oleh salah satu ormas Islam di Indonesia.
Dalam acara itu, ada seorang pemateri Wahhabi yang berasal dari Sumatera
dan saat ini tinggal di Jember. Di antara materi yang disampaikannya adalah
persoalan ta’wil. Dalam pandangannya, ta’wil atas ayat-ayat mutasyabihat tidak
boleh dilakukan. Sehingga dengan asumsi demikian, ia meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu bertempat atau berada di atas ‘Arasy. Dia menggunakan
ayat al-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa (QS. Thaha : 5). 
 
Lalu saya mengajukan beberapa ayat lain yang justru menunjukkan kalau Allah
subhanahu wa ta‘ala tidak ada di atas ‘Arasy. Akibatnya, terjadiah dialog sengit
antara saya dengan Ustadz lulusan Madinah tersebut. Lalu setelah itu, saya
membeberkan fakta dan data-data akurat bahwa tradisi ta’wil sudah biasa
dilakukan oleh ulama salaf. Salah satunya adalah ta’wil yang dilakukan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal atas ayat wa ja’a rabbuka wal malaku shaffan-shaffa
(QS. al-Fajr : 22). Imam Ahmad mentakwil ayat tersebut dengan ja’a tsawabuhu
wa qhadha’uhu (datangnya pahala dan ketetapan Allah subhanahu wa ta‘ala).
Setelah itu, Ustadz Ali Musri mencari ta’wil Imam Ahmad tersebut di software
Maktabah Syamilah. Setelah dia menemukannya, dia membacakan komentar
Imam al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-isnad la ghubara ‘alaih (sanad ini tidak
ada nodanya alias bersih) yang menunjukkan bahwa sanadnya memang shahih.
 
Ternyata, aneh sekali, Ustadz tersebut tertawa dan menganggap bahwa
komentar atau penilaian al-Baihaqi yang berupa redaksi hadza al-isnad la
ghubara ’alaih tersebut sebagai shighat (redaksi) yang menunjukkan atas
kelemahan suatu sanad. Saya juga heran, mengapa Ustadz lulusan Madinah
tersebut tidak begitu memahami istilah-istilah yang biasa dipakai oleh para ahli
hadits. Ia tidak mengerti bahwa pernyataan al-Baihaqi yang berbunyi hadza al-
isnad la ghubara ’alaih bermakna bahwa sanad riwayat ini tidak ada nodanya
sama sekali, alias shahih. Sayangnya, berhubung waktu yang disediakan oleh
panitia dan moderator telah habis, saya tidak bisa membantah dan
mengomentari kembali pernyataan pemateri itu.” Demikian kisah AD, kepada
saya secara pribadi. 

Ngalap Berkah


Berkah (barokah) diartikan dengan tambahnya kebaikan (ziyadah al-khair).
Sedangkan tabarruk bermakna mencari tambahnya kebaikan atau ngalap
barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para ulama menjelaskan.
Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh
dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn
Hibban (1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al-
Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata,
hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)
Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut
mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang
besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa
dalam artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang-
orang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih
tua.
Dalam sebuah diskusi di Masjid At-Taqwa, Denpasar Bali, ada peserta yang
bertanya, “Bagaimana Islam menanggapi orang-orang yang melakukan ziarah ke
makam para wali dengan tujuan mencari berkah?”
Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa
ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut
dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena
tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud



tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan
cara berziarah ke makam para wali.
Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah
tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak
menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa
ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik
dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh
Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits:
“Sesungguhnya Nabi Musa u berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah
suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu
kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.”
Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata:
“Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh
untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah
menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa u yaitu pada makam yang
sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat
tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”
(Tharh al-Tatsrib, [3/303]).
Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
 “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dulu aku melarang kamu
ziarah kubur. Sekarang ziarahlah.” (HR. Muslim). Dalam satu riwayat,
“Barangsiapa yang henda ziarah kubur maka ziarahlah, karena hal tersebut
dapat mengingatkan kita pada akhirat.” (Riyadh al-Shalihin [bab 66]).


 

Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya
ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi,
tabarruk itu punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa
ta’ala dengan berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu
meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih
hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya
orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah
subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Para nabi itu hidup di alam
kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi dalam Hayat al-
Anbiya’, [1]).





Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat,
dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:
“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku
dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku
wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat
amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat
sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar,
[1925]).




Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum
salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi
wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu
masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan
bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut
ini:
10
 “Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa
yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari
makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga
Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa
sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya
benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih
serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah
apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi
shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau
pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu
alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab
agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk
kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang
kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri
banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’
al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).
Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas,
telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid
terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah.
Beliau berkata:
 “Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar
al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada
kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya
mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-
A’masy, dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin
al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa
Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani)
mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan:
“Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena
sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi
bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata
kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan
akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah


  

 

melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan
memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar
menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku
kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, al-
Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami’ al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn
Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi
Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal.
313, Ibn Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta dishahihkan oleh al-
Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).




Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami
bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datang
ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan
tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada
Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak
menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata kepada
laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke
makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan
beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu”. Hal ini menjadi bukti
bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam
mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan
penerusnya.