Selasa, 15 Januari 2013

NGALAP BAROKAH


Dialog Publik di Masjidil Haram
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin–ulama Wahhabi kontemporer di Saudi Arabia yang sangat populer dan kharismatik-, mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahhabi, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di. Ia dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Ia memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti paradigma pemikiran Wahhabi. Tafsir ini di kalangan Wahhabi menyamai kedudukan Tafsir al-Jalalain di kalangan kaum Sunni.
Syaikh Ibnu Sa’di dikenal sebagai ulama Wahhabi yang ekstrem. Namun demikian, terkadang ia mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.
Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda al- Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjidil Haram bersama murid-muridnya dalam halaqah pengajiannya. Di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk bersama anak buahnya. Sementara orang-orang di Masjidil Haram sedang larut dalam ibadah. Ada yang shalat dan ada pula yang thawaf. Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram diselimuti mendung tebal yang menggelantung. Sepertinya sebentar lagi hujan lebat akan segera mengguyur tanah suci umat Islam itu. Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka’bah mengalirkan air hujan itu dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut. Air itu mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu. Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dengan ngalap barokah dari air itu. Akhirnya para polisi pamong praja itu menghampiri
kerumunan orang-orang Hijaz dan berkata kepada mereka yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka’bah itu, “Hai orang-orang musyrik, jangan lakukan itu. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan syirik. Hentikan!” Demikian teguran keras para polisi pamong praja kerajaan Wahhabi itu. Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera membubarkan diri dan pergi menuju Sayyid ‘Alwi yang sedang mengajar murid-muridnya di halaqah tempat beliau mengajar secara rutin. Kepada beliau, mereka menanyakan perihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk terus melakukannya. Menerima fatwa Sayyid ‘Alwi yang melegitimasi perbuatan mereka, akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju saluran air di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi Baduwi tersebut. Bahkan ketika para polisi Baduwi itu menegur mereka untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu menjawab, “Kami tidak peduli teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini.” Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi Baduwi itu pun segera mendatangi halaqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid ‘Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil selendangnya dan bangkit berjalan menghampiri halaqah Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan perlahan Syaikh Ibn Sa’di itu duduk di sebelah Sayyid ‘Alwi. Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua
ulama besar itu. Mereka menunggu-nunggu, apa yang akan dibicarakan oleh
dua ulama besar itu.
Dengan penuh sopan santun dan etika layaknya seorang ulama besar, Syaikh
Ibnu Sa’di bertanya kepada  Sayyid ‘Alwi: “Wahai Sayyid, benarkah Anda
berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di
Ka’bah itu ada berkahnya?”
Mendengar pertanyaan Syaikh Ibn Sa’di, Sayyid ‘Alwi menjawab: “Benar.
Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di terkejut dan berkata:
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam
Kitab-Nya tentang air hujan:






 “Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50 : 9).
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai Ka’bah:
 “Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah
rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3 : 96).
Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki
dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada
Baitullah ini.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di merasa heran dan kagum
kepada Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu
Sa’di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan
kebenaran ucapan Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana
kami bisa lalai dari kedua ayat ini.” 
Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan
meminta izin untuk meninggalkan halaqah tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata
kepada Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa’di. Aku melihat
para polisi baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin
dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu
sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan dan
mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang seperti
Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju
saluran air di Ka’bah itu. Lalu ambillah air di situ di depan para polisi Baduwi itu,
sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain.” 
Akhirnya mendengar saran Sayyid ‘Alwi, Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit
menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun
mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya.
Melihat tindakan Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi Baduwi itu pun akhirnya pergi
meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu. 
Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat
(kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau murid Sayyid ‘Alwi al-Maliki dan
termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu. 
Syaikh Ibn Sa’di sebenarnya seorang yang sangat alim. Ia pakar dalam bidang tafsir. Apabila berbicara tafsir, ia mampu menguraikan makna dan maksud ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya di luar kepala dengan bahasa yang sangat
bagus dan mudah dimengerti. Akan tetapi sayang, ideologi Wahhabi yang
diikutinya berpengaruh terhadap paradigma pemikiran beliau. Aroma Wahhabi
sangat kental dengan tafsir yang ditulisnya. 

Sabtu, 12 Januari 2013

(video terbaru) WAHABI WAJIBKAN PENGIKUTNYA MINUM ARAK

AWAS! WAHHABI MENYURUH UMAT ISLAM BAHKAN PENGIKUTNYA PERGI KE KEDAI ARAK DAN MINUM ARAK SAMBIL HISAP ROKOK.http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=D_gVmAuzcTA#t=0s Pada rakaman di atas tokoh Wahhabi utama zaman ini bernama Al-'Ar'ur yang pernah kalah berdebat dengan Syeikh Hassan Al-Saqqaf telah mengarahkan perkara yang haram minaddin biddhoruroh iaitu: Wahhabi tersebut (Al-'Ar'ur) memaksa dan menyuruh umat Nabi Muhammad minum arak (khamar) dan pergi ke kedai arak duduk dan minumlah arak. Itulah kenyataan sesat yang jelas dinyatakan oleh semua Wahhabi. Dengar sahaja suruhan Wahhabi agar kelompok mereka iaitu Wahhabi sendiri pergi minum arak. Bukankah arak dan minum arak itu adalah perkara yg amat jelas haramnya. Bahkan orang kafir asli pun tahu ianya haram dalam agama Islam. Subhanallah. Dalam raakaman tersebut juga tokoh Wahhabi itu melarang umat Islam masuk ke kelas-kelas pengajian Al-Quran, Sahih Bukhari dan Sohih Muslim kerana kelas pengajian tersebut TIDAK DIAJAR oleh Wahhabiyah Mujassimah Takfiriyyah. Semoga Allah memelihara kita dari terpengaruh dengan ajaran Wahhabi kerana mereka bukan sesat dalam aqidah sahaja bahkan menyuruh pengikut mereka (wahhabi) untuk minum arak. Rakaman di atas adalah bukti segalanya. Wajah kekasih Wahhabi? WAJAH MUFTI WAHHABI YANG MENGKAFIRKAN UMAT ISLAM DI TV SAMBIL TANGANNYA BERMAIN KEMALUAN SENDIRI

DR. YUSUF QARDAWI SENDIRI GALAKKAN & HARUSKAN SAMBUTAN PERAYAAN MAULID NABI

DR. YUSUF QARDAWI SENDIRI GALAKKAN & HARUSKAN SAMBUTAN PERAYAAN MAULID NABI Disusun oleh: Abu Syafiq ( 006-012-2850578 ) DR. YUSUF QARDAWI YANG WAHHABI SENDIRI MENGANGGAPNYA SEBAGAI MUJADDID, WALI, HEBAT DAN KATANYA BAGAIKAN SABDA. DR. YUSUF QARDAWI SENDIRI MENGGALAKKAN DAN MENGHARUSKAN SERTA DIRINYA SENDIRI MENYAMBUT SAMBUTAN MAULID NABI MUHAMMAD SOLLALLAHU 'ALAIHI WASALLAM. Bagi Wahhabi jika dibandingkan Tuan Guru Nik Aziz Nik Mat dengan Dr. Yusuf Qardawi maka yang lebih alim dan hebat sudah pasti Dr. Syeikh Yusuf Qardawi kerana dianggap mereka sebagai MUJADDID pentajdid agama. Tetapi jenis & dasar Wahhabi yang ber'tuhan'kan nafsu dan kebencian kepada Rasulullah sudah pasti gemar dan berhobi benar mengubah ayat Allah, hadith Nabi dan kenyataan ulama. Dr. Yusuf Qardawi sendiri apabila ditanya tentang amalan sambutan Maulidur Rasul apabila tiba 12 Rabi'ul Awwal lantas mempertahankan amalan tersebut dan menyatakan: " Terdapat warna-warna dari sambutan Maulid Nabi itu harus kita mengakui dan mengambil iktibar yang memberi kebaikan kepada orang islam". Kemudian dinyatakan lagi oleh Dr. Yusuf Qardawi: " Apabila kita menyambut sambutan ( Maulid Nabi )kita mengingatkan orang ramai tentang sirah Nabawawiyah dan kebenaran utusan Muhammad, dan apabila aku menyambut sambutan Maulidur Rasul aku menyambut juga kelahiran risalah, aku mengingatkan orang ramai tentang risalah Rasulullah dan sirah Rasulullah". RUJUK KENYATAAN DR. YUSUF QARDAWI TERSEBUT DI: http://www.qaradawi.net/site/topics/article.asp?cu_no=2&item_no=5852&version=1&template_id=130&parent_id=17 Saya (Abu Syafiq) menyatakan bahawa sambutan Maulid Nabi hendaklah dilihat kebaikan dan kemanfaatannya bukannya menghentam, mengutuk dan mencaci Nabi di hari kelahiran nabi. Orang yg suka perpecahan ( musyrik ) amat berhobi mempergunakan apa-apa jenis kesatuan islam agar dimasukkan didalamnya pergaduhan dan perpecahan. Amat terbukti Wahhabi cukup gemar bermain di hari sambutan Maulid Nabi dengan ucapan bid'ah! sesat! kafir terhadap umat islam hanya kerana berhujjahkan bid'ah sedangkan kebaikan dalam sambutan Maulid Nabi lebih banyak dari keburukannya (sekiranya wujud). Yang amat pelik konsep hujjah yang sentiasa digunakan oleh Wahhabi pada perkara yang selari dengan hawa nafsu mereka sering terkena atas batang hidung mereka sendiri iaitu " Nabi tak larang pun", " Takde pun Nabi kata jangan buat" dan sebagainya. Rupanya hujjah mereka berbalik pada mereka. Inilah natijahnya bila membenci Nabi Muhammad. Semoga Allah memberi cinta Rasul dalam hati-hati Wahhabi dan menetapkan kita Ahli Sunnah Wal Jamaah tulen & sejati agar sentiasa dan bertambah cinta kita kepada Nabi dan sunnahnya.

PENGASAS AJARAN WAHHABI MENGKAFIRKAN ULAMA ISLAM (Pendedahan Eksklusif Berbukti)

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB PENGASAS AGAMA WAHHABI SECARA JELAS MENGKAFIRKAN ULAMA ISLAM DAN MENGKAFIRKAN DIRINYA SENDIRI. SUMBER & RUJUKAN DIPETIK DARI KITAB KARANGAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB SENDIRI. NAMA KITAB: MUALLAFAAT SYEIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB. CETAKAN: JAMI'AH UMMUL QURA MAKKAH AL-MUKARRAMAH. BAHAGIAN KELIMA: AR-RASAIL ASY-SYAKHSIYYAH. MUKASURAT: 186-187. TEKS RASMI KENYATAAN RISALAH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB SENDIRI: " DARIPADA MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB KEPADA ORANG ISLAM YANG SAMPAI KEPADANYA KITAB AKU INI ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAH WABARAKATUH... AKU MEMBERITAHU KEPADA KAMU SEMUA MENGENAI DIRIKU DAN DEMI ALLAH YANG TIADA TUHAN MELAINKAN DIA, BAHAWA SESUNGGUHNYA AKU TELAH MENUNTUT ILMU DAN AKU PERCAYA BAHAWA ADA YANG MENGANGGAP AKU MEMPUNYAI ILMU MA'RIFAH TETAPI KETAHUILAH SESUNGGUHNYA AKU SEBENARNYA PADA WAKTU ITU TIDAK MENGETAHUI LANGSUNG MAKNA LA ILAHA ILLALLAH (TIADA TUHAN MELAINKAN ALLAH), DAN AKU TIDAK TAHU LANGSUNG MENGENAI AGAMA ISLAM SEBELUM INI BEGITU JUGA GURU-GURUKU TIDAK ADA SEORANG PUN DIKALANGAN MEREKA MENGETAHUI MAKNA LA ILAHA ILLALLAH (TIADA TUHAN MELAINKAN ALLAH). BARANGSIAPA YANG MENDAKWA KONONNYA ULAMA MENGETAHUI MAKNA LA ILAHA ILLALLAH (TIADA TUHAN MELAINKAN ALLAH) ATAUPUN MENDAKWA ULAMA ITU MENGETAHUI MAKNA ISLAM SEBELUM WAKTU INI ATAUPUN MENDAKWA ULAMA ANTARA MEREKA MENGETAHUI MAKNA LA ILAHA ILLALLAH MAKA SESUNGGUHNYA ORANG ITU TELAH MENIPU DAN BERDUSTA ". Rujuk scan kitab di atas sebagai bukti. Fokuskan juga pada kenyataan Pengasas agama Wahhabi ini yang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab (MAW) bagaimana dia mengkafirkan dirinya sendiri sebelum dia mendakwa diberi ma'rifah khas oleh Allah dan dia juga mengkafirkan tuan gurunya sendiri (antara yg didakwa tuan gurunya adalah ayahnya) dan mengkafirkan ulama-ulama islam sebelum ajarannya timbul. Ketahuilah bahawa umat Islam sememangnya mengetahui makna La Ilaha Illallah tidak sepertimana yang didakwa oleh Pengasas agama Wahhabi ini (MAW) dan pengikutnya.

PENJELASAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH AQIDAH YANG SHOHIH

Assalamulaikum, Alhamdulillah, di sini saya sertakan penerangan yang jelas dan lengkap tentang Ahlus Sunah Wal Jama’ah.Maklumat ini dikumpulkan daripada kitab-kitab para Ulama’ ASWJ. Semoga kita semua kekal dalam Aqidah ASWJ yang shohih dan bukan seperti yang dicanang oleh sesetengah golongan ajaran sesat. AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH: GOLONGAN YANG SELAMAT (al Firqah an-Najiyah) Bersabda Junjungan Besar Nabi Muhammad SAW, maknanya:“dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 di antaranya di neraka dan hanya satu yang di surga yaitu al-Jama’ah”. (H.R. Abu Dawud) Akal adalah syahid (saksi dan bukti) akan kebenaran syara’. Inilah sebenarnya yang dilakukan oleh ulama tauhid atau ulama al-kalam (teologi). Yang mereka lakukan adalah taufiq (pemaduan) antara kebenaran syara’ dengan kebenaran akal, mengikuti jejak nabi Ibrahim -seperti dikisahkan al-Quran- ketika membantah raja Namrud dan kaumnya, di mana beliau menundukkan mereka dengan dalil akal. Fungsi akal dalam agama adalah sebagai saksi bagi kebenaran syara’ bukan sebagai peletak dasar bagi agama itu sendiri. Berbeza dengan golongan falsafah yang berbicara tentang Allah, malaikat dan banyak hal lainnya yang hanya berdasarkan penilaian akal semata-mata. Mereka menjadikan akal sebagai dasar agama tanpa memandang ajaran yang dibawa para nabi dan rasul. Tuduhan kaum Musyabbihah dan Mujassimah iaitu kaum yang sama sekali tidak memfungsikan akal dalam agama, terhadap Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai ’Aqlaniyyun (kaum yang hanya mengutamakan akal) atau sebagai kaum Mu’tazilah atau Afrakh al-Mu’tazilah (anak bibitan kaum Mu’tazilah) dengan alasan kerana menggunakan akal sebagai salah satu sumber utama, adalah tuduhan yang amat salah. Ini tidak ubah seperti kata pepatah arab “Qabihul Kalam Silahulliam” (kata-kata yang jelek adalah senjata para pengecut). Secara ringkas tetapi namun padat, kita ketengahkan pembahasan tentang Ahlussunnah sebagai al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), asal-usulnya, dasar-dasar ajaran dan sistemnya. PENGENALAN DAN KRONOLOGI SEJARAH Sejarah mencatat bahawa di kalangan umat Islam bermula dari abad-abad permulaan (mulai dari masa khalifah sayyidina Ali ibn Abi Thalib) sehinggalah sekarang terdapat banyak firqah (golongan) dalam masalah aqidah yang saling bertentangan di antara satu sama lain. Ini fakta yang tidak dapat dibantah. Bahkan dengan tegas dan jelas Rasulullah telah menjelaskan bahawa umatnya akan berpecah menjadi 73 golongan. Semua ini sudah tentunya dengan kehendak Allah dengan berbagai hikmah tersendiri, walaupun tidak kita ketahui secara pasti. Hanya Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Namun Rasulullah juga telah menjelaskan jalan selamat yang harus kita ikuti dan panuti agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Iaitu dengan mengikuti apa yang diyakini oleh al-Jama’ah; majoriti umat Islam. Karena Allah telah menjanjikan kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad, bahawa umatnya tidak akan tersesat selama mana mereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka. Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan. Kesesatan akan menimpa mereka yang menyimpang dan memisahkan diri dari keyakinan majoriti. Majoriti umat Muhammad dari dulu sampai sekarang adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam Ushul al-I’tiqad (dasar-dasar aqidah); iaitu Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasar iman yang enam) yang disabdakan Rasulullah dalam hadith Jibril uang bermaksud : “Iman adalah engkau mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta Qadar (ketentuan Allah); yang baik maupun buruk”. (H.R. al Bukhari dan Muslim) Perihal al-Jama’ah dan pengertiannya sebagai majoriti umat Muhammad yang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya yang bermaksud: “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian mengikuti orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian mengikuti yang datang setelah mereka“. Dan termasuk rangkaian hadith ini: “Tetaplah bersama al-Jama’ah dan jauhi perpecahan karena syaitan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari dua orang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di syurga hendaklah ia berpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah”. (H.R. at-Tirmidzi; berkata hadith ini Hasan Shahih juga hadith ini dishahihkan oleh al-Hakim). Al-Jama’ah dalam hadith ini tidak boleh diertikan dengan orang yang selalu melaksanakan solat dengan berjama’ah, jama’ah masjid tertentu. Konteks pembicaraan hadith ini jelas mengisyaratkan bahwa yang dimaksud al-Jama’ah adalah majoriti umat Muhammad dari sisi jumlah(‘adad). Penafsiran ini diperkuatkan juga oleh hadith yang dinyatakan di awal pembahasan. Iaitu hadith riwayat Abu Daud yang merupakan hadith Shahih Masyhur, diriwayatkan oleh lebih dari 10 orang sahabat. Hadith ini memberi kesaksian akan kebenaran majoriti umat Muhammad bukan kesesatan firqah-firqah yang menyimpang. Jumlah pengikut firqah-firqah yang menyimpang ini, jika dibandingkan dengan pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah sangatlah sedikit. Seterusnya di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah terdapat istilah yang popular iaitu “ulama salaf”. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dari kalangan Ahlusssunnah Wal Jama’ah yang hidup pada 3 abad pertama hijriyah sebagaimana sabda nabi yang maknanya: “Sebaik-baik abad adalah abadku kemudian abad setelah mereka kemudian abad setelah mereka”. (H.R. Tirmidzi) Pada masa ulama salaf ini, di sekitar tahun 260 H, mula tercetus bid’ah Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah dan lain-lainnya dari kelompok-kelompok yang membuat fahaman atau mazhab baru. Kemudian muncullah dua imam muktabar pembela Aqidah Ahlussunnah iaitu Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324 H) dan Imam Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) –semoga Allah meridhai keduanya–menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat Nabi Muhammad dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nas-nas al-Quran dan Hadith) dan dalil-dalil aqli (argumentasi rasional) disertaikan dengan bantahan-bantahan terhadap syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) golongan Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij dan ahli bid’ah lainnya. Disebabkan inilah Ahlussunnah dinisbahkan kepada keduanya. Mereka; Ahlussunnah Wal Jamaah akhirnya dikenali dengan nama al-Asy’ariyyun (para pengikut Imam Abu al-Hasan Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut Imam Abu Manshur al-Maturidi). Hal ini menunjukkan bahawa mereka adalah satu golongan iaitu al-Jama’ah. Kerana sebenarnya jalan yang ditempuhi oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu. Adapun perbezaan yang terjadi di antara keduanya hanyalah pada sebahagian masalah-masalah furu’ (cabang) aqidah. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya saling berhujah dan berdebat atau saling menyesatkan, serta tidak menjadikan keduanya terlepas dari ikatan golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah). Perbezaan antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini adalah seperti perselisihan yang terjadi di antara para sahabat nabi, tentang adakah Rasulullah melihat Allah pada saat Mi’raj? Sebahagian sahabat, seperti ‘Aisyah dan Ibn Mas’ud mengatakan bahawa Rasulullah tidak melihat Tuhannya ketika Mi’raj. Sedangkan Abdullah ibn ‘Abbas mengatakan bahawa Rasulullah melihat Allah dengan hatinya. Allah memberi kemampuan melihat kepada hati Nabi Muhammad atau membuka hijab sehingga dapat melihat Allah. Namun demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap bersama atau bersefahaman dan sehaluan dalam dasar-dasar aqidah. Al-Hafiz Murtadha az-Zabidi (W. 1205 H) mengatakan:“Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah “. (Al-Ithaf Syarah li Ihya Ulumuddin, juz 2 hlm 6) Maka aqidah yang sebenar dan diyakini oleh para ulama salaf yang soleh adalah aqidah yang diyakini oleh al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Kerana sebenarnya keduanya hanyalah merumuskan serta membuat ringkasan yang mudah (method) dan menjelaskan aqidah yang diyakini oleh para nabi dan rasul serta para sahabat. Aqidah Ahlusssunnah adalah aqidah yang diyakini oleh ratusan juta umat Islam, mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, serta orang-orang yang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah). Aqidah ini diajarkan di pondok-pondok Ahlussunnah di negara kita Malaysia,Indonesia,Thailand dan lain-lainnya.Dan Alhamdulillah, aqidah ini juga diyakini oleh ratusan juta kaum muslimin di seluruh dunia seperti Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama al-Azhar), negara-negara Syam (Syria, Jordan, Lubnan dan Palestin), Maghribi,Yaman, Iraq, Turki, Chechnya, Afghanistan dan banyak lagi di negara-negara lainnya. Maka wajib bagi kita untuk sentiasa memberi penuh perhatian dan serius dalam mendalami aqidah al- Firqah al-Najiyah yang merupakan aqidah golongan majoriti. Kerana ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia, sebab ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Abu Hanifah menamakan ilmu ini dengan al-Fiqh al-Akbar. Kerana mempelajari ilmu ini wajib diutamakan dari mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Setelah selesai atau khatam mempelajari ilmu ini barulah disusuli dengan ilmu-ilmu Islam yang lain. Inilah method yang diikuti para sahabat nabi dan ulama rabbaniyyun dari kalangan salaf maupun khalaf dalam mempelajari agama ini. Tradisi ini telah bermula dari zaman Rasulullah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Umar dan Jundub, maknanya: “Kami ketika remaja saat mendekati baligh- bersama Rasulullah mempelajari iman (tauhid) dan belum mepelajari al-Qur’an. Kemudian kami mempelajari al-Qur’an maka bertambahlah keimanan kami”. (H.R. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hafidz al-Bushiri). Ilmu aqidah juga disebut dengan ilmu kalam. Hal ini kerana ramainya golongan yang menyalahgunakan nama Islam namun menentang aqidah Islam yang sebenar dan banyaknya kalam (argumentasi) dari setiap golongan untukmembela aqidah mereka yang sesat. Tidak semua ilmu kalam itu tercela, sebagaimana dikatakan oleh golongan Musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Akan tetapi ilmu kalam terbahagi menjadi dua bahagian ; ilmu kalam yang terpuji dan ilmukalam yang tercela. Ilmu kalam yang kedua inilah yang menyalahi aqidah Islam kerana dikarang dan dipelopori oleh golongan-golongan yang sesat seperti Mu’tazilah, Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, sepeti kaum Wahabiyyah) dan ahli bid’ah lainnya. Adapun ilmu kalam yang terpuji ialah ilmu kalam yang dipelajari oleh Ahlussunah untuk membantah golongan yang sesat. Dikatakan terpuji kerana pada hakikatnya ilmu kalam Ahlussunnah adalah taqrir dan penyajian prinsip-prinsip aqidah dalam formatnya yang sistematik dan argumentatif; dilengkapi dengan dalil-dalil naqli dan aqli. Dasar-dasar ilmu kalam ini telah wujud di kalangan para sahabat. Di antaranya, Imam Ali ibn Abi Thalib dengan argumentasinya yang kukuh dapat mengalahkan golongan Khawarij, Mu’tazilah dan juga dapat membantah empat puluh orang yahudi yang meyakini bahwa Allah adalah jisim (benda). Demikian pula Abdullah ibn Abbas, Al-Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib dan Abdullah ibn Umar juga membantah kaum Mu’tazilah. Sementara dari kalangan tabi’in; Imam al-Hasan al-Bashri, Imam al-Hasan ibn Muhamad ibn al-Hanafiyyah; cucu Saidina Ali ibn Abi Thalib dan khalifah Umar ibn Abdul Aziz juga pernah membantah kaum Mu’tazilah. Kemudian juga para imam dari empat mazhab; Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad juga menekuni dan menguasai ilmu kalam ini. Sebagaimana dinukilkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi (W 429 H) dalam kitab Ushul ad-Din, al-Hafizh Abu al-Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam kitab Tabyin Kadzib al Muftari, al-Imam az-Zarkasyi (W 794 H) dalam kitab Tasynif al-Masami’ dan al ‘Allamah al Bayyadli (W 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram dan lain-lain. Allah berfirman yang bermaksud: “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah dan mohonlah ampun atas dosamu”. (Muhammad :19) Ayat ini sangat jelas mengisyaratkan keutamaan ilmu ushul atau tauhid. Yaitu dengan menyebut kalimah tauhid (la ilaha illallah) lebih dahulu dari pada perintah untuk beristighfar yang merupakan furu’ (cabang) agama. Ketika Rasulullah ditanya tentang sebaik-baiknya perbuatan, beliau Menjawab,maknanya: “Iman kepada Allah dan rasul-Nya”. (H.R. Bukhari) Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah mengkhususkan dirinya sebagai orang yang paling mengerti dan faham ilmu tauhid, beliau bersabda,maknanya: “Akulah yang paling mengerti di antara kalian tentang Allah dan paling takut kepada-Nya”. (H.R. Bukhari) Kerana itu, sangat banyak ulama yang menulis kitab-kitab khusus mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah ini. Seperti Risalah al-’Aqidah ath-Thahawiyyah karya al-Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al-‘Aqidah al-Mursyidah karangan al-Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al ‘Aqidah ash-Shalahiyyah yang ditulis oleh al-Imam Muhammad ibn Hibatillah al-Makki (W 599H); beliau menamakannya Hadaiq al-Fushul wa Jawahir al Uqul, kemudian menghadiahkan karyanya ini kepada sultan Shalahuddin al-Ayyubi (W 589 H). Tentang risalah aqidah yang terakhir disebutkan, sultan Shalahuddin sangat tertarik dengannya hingga beliau memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anak-anak kecil di madrasah-madrasah, yang akhirnya risalah aqidah tersebut dikenal dengan nama al ‘Aqidah ash-Shalahiyyah. Sultan Shalahuddin adalah seorang ‘alim yang bermadzhab Syafi’i, mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al ‘Aqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzdzin untuk mengumandangkan al ‘Aqidah as-Sunniyyah di waktu tasbih (sebelum adzan shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah, Madinah, dan Yaman sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il ila Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak terdapat buku-buku yang telah dikarang dalam menjelaskan al ‘Aqidah as-Sunniyyah dan senantiasa penulisan itu terus berlangsung. Kita memohon kepada Allah semoga kita meninggal dunia dengan membawa aqidah Ahlissunah Wal Jamaah yang merupakan aqidah para nabi dan rasul Allah. Amin. PANDANGAN JUMHUR ULAMA TENTANG AQIDAH ASY’ARIYYAH; AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: “Ketahuilah bahwa Abu al-Hasan al-Asy’ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya menegaskan kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran sahabat Rasulullah. Penisbatan nama kepadanya kerana beliau konsisten dalam berpegang teguh ajaran salaf, hujjah (argumentasi) yang beliau gunakan sebagai landasan kebenaran aqidahnya juga tidak keluar dari apa yang menjadi hujjah para pendahulunya, kerananya para pengikutnya kemudian disebut Asy’ariyyah. Abu al-Hasan al-Asy’ari bukanlah ulama yang pertama kali berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama’ah, ulama-ulama sebelumya juga banyak berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau hanya lebih memperkuat ajaran salaf itu dengan argumen-argumen yang kuat. Bukankah penduduk kota Madinah banyak dinisbatkan kepada Imam Malik, dan pengikutnya disebut al Maliki. Ini bukan berarti Imam Malik membawa ajaran baru yang sama sekali tidak ada pada para ulama sebelumnya, melainkan karena Imam Malik menjelaskan ajaran-ajaran lama dengan penjelasan yang lebih terang, jelas dan sistematis demikian juga yang dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari”. Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad menegaskan bahwa “kelompok yang benar adalah kelompok Asy’ariyah yang dinisbatkan kepada Imam Asy’ari. Aqidahnya juga aqidah para sahabat dan tabi’in, aqidah ahlul haqq dalam setiap masa dan tempat, aqidahnya juga menjadi aqidah kaum sufi sejati. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Imam Abul Qasim al-Qusyayri. Dan Alhamdulillah aqidahnya juga menjadi aqidah kami dan saudara-saudara kami dari kalangan habaib yang dikenal dengan keluarga Abu Alawi, juga aqidah para pendahulu kita. Kemudian beliau melantunkan satu bait sya’ir: وكن أشعريا في اعتقادك إنه هو المنهل الصافي عن الزيغ والكفر “Jadilah pengikut al Asy’ari dalam aqidahmu, karena ajarannya adalah sumber yangbersih dari kesesatan dan kekufuran”. Ibnu ‘Abidin al Hanafi mengatakan dalam Hasyiyah Radd al Muhtar ‘ala ad-Durr al Mukhtar : “Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah al Asya’irah dan al Maturidiyyah”. Dalam kitab ‘Uqud al Almas al Habib Abdullah Alaydrus al Akbar mengatakan : “Aqidahku adalah aqidah Asy’ariyyah Hasyimiyyah Syar’iyyah sebagaimana Aqidah para ulama madzhab syafi’i dan Kaum Ahlussunnah Shufiyyah”. Bahkan jauh sebelum mereka ini Al-Imam al ‘Izz ibn Abd as-Salam mengemukakan bahawa aqidah al Asy’ariyyah disepakati oleh kalangan pengikut madzhab Syafi’i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudlala al-Hanabilah). Apa yang dikemukakan oleh al ‘Izz ibn Abd as-Salam ini disetujui oleh para ulama di masanya, seperti Abu ‘Amr Ibn al Hajib (pimpinan ulama Madzhab Maliki di masanya), Jamaluddin al Hushayri pimpinan ulama Madzhab Hanafi di masanya, juga disetujui oleh al Imam at-Taqiyy as-Subki sebagaimana dinukil oleh putranya Tajuddin as-Subki. GARIS PANDUAN AQIDAH ASY’ARIYYAH Secara garis besar aqidah asy’ari yang juga merupakan aqidah ahlussunnah wal jama’ah adalah meyakini bahwa Allah ta’ala maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, Allah bukanlah benda yang boleh digambarkan, dan juga bukan benda yang berbentuk dan berukuran. Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya (laysa kamitslihi syai’). Allah ada dan tidak ada permulaan atau penghabisan bagi kewujudan-Nya, Allah maha kuasa dan tidak ada yang melemahkan-Nya, serta Allah tidak diliputi arah. Allah ada sebelum menciptakan tempat tanpa tempat, Allah wujud setelah menciptakan tempat dan tanpa bertempat. tidak boleh ditanyakan tentangnya bila, dimana dan bagaimana ada-Nya. Allah ada tanpa terikat oleh masa dan tempat. Maha suci Allah dari bentuk (batasan), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar dan anggota badan yang kecil. Allah tidak diliputi satu arah atau enam arah penjuru. Allah tidak seperti makhluk-Nya. Allah maha suci dari duduk, bersentuhan, bersemayam, menyatu dengan makhluk-Nya, berpindah-pindah dan sifat-sifat makhluk lainnya. Allah tidak terjangkau oleh fikiran dan tidak terbayang dalam ingatan, kerana apapun yang terbayang dalam benakmu maka Allah tidak seperti itu. Allah maha hidup, maha mengetahui, maha kuasa, maha mendengar dan maha melihat. Allah berbicara dengan kalam-Nya yang azali sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain juga azali, kerana Allah berbeza dengan semua makhluk-Nya dalam dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Barang siapa menyifati Allah dengan sifat makhluknya sungguh dia telah kafir. Allah yang telah menciptakan makhluk dan perbuatan-perbuatan-Nya, Alah juga yang menentukan rezeki dan ajal mereka. Tidak ada yang boleh menolak ketentuan-Nya dan tidak ada yang boleh menghalangi pemberian-Nya. Allah berbuat dalam kerajaan-Nya ini apa yang Allah kehendaki. Allah tidak ditanya perihal perbuatan-Nya melainkan hamba-Nyalah yang akan diminta dipertanggungjawakan atas segala perbuatan-Nya. Apa yang Allah kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi. Allah bersifat dengan kesempurnaan yang pantas bagi-Nya dan Allah maha suci dari segala bentuk kekurangan. Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan penghulu para rasul. Nabi Muhammad diutuskan oleh Allah ke muka bumi ini untuk semua penduduk bumi, jin maupun manusia. Nabi Muhammad jujur dalam setiap apa yang disampaikannya.

Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan penyebar tasawuf di Jawa Barat

Koleksi tulisan HAJI WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH SEBAGAIMANA telah diketahui bahawa pelaku utama berkembangnya Thariqat Syathariyah di Asia Tenggara pada peringkat awal dilakukan oleh Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri di Aceh dan Syeikh Abdul Mubin bin Jailan al-Fathani di Pattani. Syeikh Abdur Rauf mempunyai beberapa orang murid sebagai kadernya yang terkenal, di antara mereka ialah; Syeikh Burhanuddin Ulakan di Minangkabau, Syeikh Abdul Malik di Terengganu, dan ramai lagi, termasuklah Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan yang akan dibicarakan ini. Ulama ini cukup terkenal dalam percakapan lisan di Jawa Barat, terutama sekali mengenai keramat-keramatnya. Bahan mentah yang berupa cerita lisan masyarakat yang bercorak mitos atau legenda atau dongeng yang berbagai-bagai versi penyampaiannya lebih banyak diperoleh, jika dibandingkan dengan berupa bahan yang bertulis. Walau bagaimanapun, ada tiga buah manuskrip, iaitu nombor kelas LOr.7465, LOr 7527 dan LOr.7705, di Muzium Negeri Belanda dikatakan bahawa adalah karya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Sewaktu penulis melanjutkan tugasan mengkatalogkan manuskrip yang tersimpan di Muzium Islam Pusat Islam (BAHAEIS), 1992, maka pada manuskrip nombor kelas MI 839 di beberapa tempat ada menyebut nama Syeikh Abdul Muhyi Karang Pamijahan, seolah-olah naskhah itu dinuqil daripada ajaran ulama sufi yang tersebut. Naskhah ditulis dalam bahasa Melayu dan disalin di Pulau Pinang. Selain itu, penulis juga mempunyai sebuah karya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, juga dalam bahasa Melayu, yang membicarakan Martabat Tujuh. ASAL USUL DAN PENDIDIKAN Syeikh Haji Abdul Muhyi adalah salah seorang keturunan bangsawan. Ayahnya bernama Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi lahir di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 1071 H/1660 M dan wafat di Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat, 1151 H/1738 M. Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya daripada ayahnya sendiri dan kemudian daripada para ulama yang berada di Ampel. Dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Aceh untuk melanjutkan pendidikannya dan belajar dengan Syekh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Lebih kurang enam tahun lamanya Syeikh Abdul Muhyi belajar dengan ulama besar Aceh itu, iaitu dalam lingkungan tahun 1090 H/1679 M-1096 H/1684 M. Tahun pembelajaran Syeikh Abdul Muhyi di Aceh kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu, kita dapat membandingkan dengan tahun pembelajaran Syeikh Burhanuddin Ulakan yang dipercayai termasuk seperguruan dengannya. Syeikh Burhanuddin Ulakan yang berasal dari Minangkabau itu belajar kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri bermula pada 1032 H/1622 M, tetapi tahun ini tetap masih dipertikaikan kerana riwayat yang lain menyebut bahawa ulama yang berasal dari Minangkabau itu dilahirkan pada tahun 1066 H/1655 M. Maka kita perlu membandingkan dengan tahun kelahiran Syeikh Yusuf Tajul Khalwati dari tanah Bugis-Makasar, iaitu 1036 H/1626 M, selanjutnya keluar dari negerinya menuju ke Banten 1054 H/1644 M, seterusnya ke Aceh belajar kepada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri juga. Selain itu, dapat juga kita bandingkan dengan tahun kehidupan Syeikh Abdul Malik (Tok Pulau Manis) Terengganu, iaitu tahun 1060 H/1650 M hingga tahun 1092 H/1681 M; Semua ulama yang tersebut dikatakan adalah murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Banyak pula ulama bercerita bahawa semua mereka termasuk Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan adalah bersahabat. Dengan perbandingan-perbandingan tahun tersebut, dapat kita ketahui bahawa tahun-tahun itu masih bersimpangsiur, masih sukar untuk ditahqiqkan. Yang sahih dan tahqiq hanyalah mereka adalah sebagai murid Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri di Aceh. Yang lebih menarik lagi, bahawa semua mereka, kecuali Syeikh Burhanuddin Ulakan, diriwayatkan sempat belajar ke luar negeri ke Mekah, Madinah, Baghdad dan lain-lain. Termasuk Syeikh Abdul Muhyi diriwayatkan adalah murid kepada Syeikh Ibrahim al-Kurani di Mekah dan Syeikh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah, yang kedua-dua ulama itu adalah ulama ahli syariat dan haqiqat yang paling terkenal pada zamannya. Setelah Syeikh Abdul Muhyi lama belajar di Mekah dan Madinah, beliau melanjutkan pelajarannya ke Baghdad. Tidak jelas berapa lama beliau tinggal di Baghdad, tetapi diriwayatkan ketika beliau berada di Baghdad hampir setiap hari beliau menziarahi makam Syeikh Abdul Qadir al-Jilani yang sangat dikaguminya. Dalam percakapan masyarakat, Syeikh Abdul Muhyi adalah termasuk keturunan/zuriat Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, Wali Allah, Quthbul Ghauts, yang sangat terkenal itu. Riwayat yang lain diceritakan bahawa Syeikh Abdul Muhyi ke Baghdad dan Mekah adalah mengikuti rombongan gurunya, Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Dari Baghdad beliau kembali lagi ke Mekah dan selanjutnya kembali ke Jawa dan berkahwin di Ampel. AKTIVITI Setelah selesai perkahwinan di Ampel, Syeikh Abdul Muhyi bersama isteri dan orang tuanya berpindah ke Darma, dalam daerah Kuningan, Jawa Barat. Selama lebih kurang tujuh tahun (1678 M-1685 M) menetap di daerah itu mendidik masyarakat dengan ajaran agama Islam. Kemudian berpindah pula ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Di daerah itu, beliau hanya menetap lebih kurang setahun saja (1685-1686), walau bagaimanapun beliau berhasil menyebarkan agama Islam kepada penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu. Pada 1686 ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di kampung Dukuh, di tepi Kali Cikangan. Beberapa hari selepas pemakaman ayahnya, Syeikh Abdul Muhyi berpindah ke daerah Batuwangi. Beliau berpindah pula ke tempat yang berhampiran dengan Batuwangi iaitu ke Lebaksiuh. Selama lebih kurang empat tahun di Lebaksiuh (1686 M-1690 M), Syeikh Abdul Muhyi berhasil mengislamkan penduduk yang masih beragama Hindu ketika itu. Menurut cerita, keberhasilannya dalam melakukan dakwah Islam terutama kerana Syeikh Abdul Muhyi adalah seorang Wali Allah yang mempunyai karamah, yang dapat mengalahkan bajingan-bajingan pengamal “ilmu hitam” atau “ilmu sihir”. Di sanalah Syeikh Abdul Muhyi mendirikan masjid, tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bahagian selatan Jawa Barat. Kemudian Syeikh Abdul Muhyi berpindah ke satu desa, iaitu Gua Safar Wadi di Karang Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Perpindahannya ke Karang Pamijahan itu, menurut riwayat bahawa beliau diperintahkan oleh para Wali Allah dan perjumpaan secara rohaniah kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jilani, supaya beliau mencari suatu gua untuk tempat berkhalwat atau bersuluk di Jawa Barat. Cerita mengenai ini banyak dibungai dengan berbagai-bagai dongeng yang merupakan kepercayaan masyarakat terutama golongan sufi yang awam. Bagi mengimbangi cerita yang bercorak mitos itu, ada riwayat yang bercorak sejarah, bahawa Syeikh Abdul Muhyi diundang oleh Bupati Sukapura, Wiradadaha IV, R. Subamanggala untuk memerangi dan membasmi ajaran-ajaran sihir yang sesat Batara Karang di Karang Pamijahan dan di gua Safar Wadi itu. Di kedua-dua tempat tersebut adalah tempat orang-orang melakukan pertapaan kerana mengamalkan ilmu-ilmu sihirnya. Oleh sebab Syeikh Abdul Muhyi memang hebat, beliau pula dianggap sebagai seorang Wali Allah, maka ajaran-ajaran sihir yang sesat itu dalam waktu yang singkat sekali dapat dihapuskannya. Penjahat-penjahat yang senantiasa mengamalkan ilmu sihir untuk kepentingan rompakan, penggarongan dan kejahatan-kejahatan lainnya berubah menjadi manusia yang bertaubat pada Allah, setelah diberikan bimbingan ajaran Islam yang suci oleh Syeikh Abdul Muhyi, Wali Allah yang tersebut itu. Gua Safar Wadi pula bertukar menjadi tempat orang melakukan ibadat terutama mengamalkan zikir, tasbih, tahmid, selawat, tilawah al-Quran dan lain-lain sejenisnya. Maka terkenallah tempat itu sebagai tempat orang melakukan khalwat atau suluk yang diasaskan oleh ulama yang terkenal itu. Disingkatkan saja kisahnya, bahawa kita patut mengakui dan menghargai jasa Syeikh Abdul Muhyi yang telah berhasil menyebarkan Islam di seluruh Jawa Barat itu. Bukti bahawa beliau sangat besar pengaruhnya, sebagai contoh Bupati Wiradadaha IV, iaitu Raden Subamanggala pernah berwasiat bahawa jika beliau meninggal dunia supaya beliau dikuburkan di sisi gurunya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan itu. Tempat tersebut sekarang lebih dikenali dengan nama Dalem Pamijahan. Murid-murid yang tertentu, Syeikh Abdul Muhyi mentawajjuhkannya menurut metod atau kaedah Thariqat Syathariyah yang salasilahnya diterima daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Walaupun tarekat yang sama diterimanya juga kepada Syeikh Ahmad al-Qusyasyi, iaitu guru juga kepada Syeikh Abdur Rauf al-Fansuri, namun Syeikh Abdul Muhyi memulakan salasilahnya tetap menyebut Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri. Hal demikian kerana tarekat yang tersebut memang terlebih dulu diterimanya daripada Syeikh Abdur Rauf bin Ali al Fansuri. Setelah beliau ke Mekah, diterimanya tawajjuh lagi daripada Syeikh Ahmad al-Qusyasyi itu. Maka berkembanglah Thariqat Syathariyah yang berasal daripada penyebaran Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri itu di tempat-tempat yang tersebut, melalui bai’ah, tawajjuh, dan tarbiyah ruhaniyah yang dilakukan oleh Syeikh Abdul Muhyi muridnya itu. KETURUNAN Menurut riwayat, Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan mempunyai empat isteri. Hasil erkahwinannya itu, beliau memperoleh seramai 18 anak. Menerusi Raden Ayu Bakta, memperoleh anak bernama Kiyai Haji Muhyiddin atau digelar Dalem Bojong. Namun menurut Aliefya M. Santrie, dalam buku Warisan Intelektual Islam Indonesia, setelah beliau pulang dari Pamijahan beliau menemukan satu artikel dalam majalah Poesaka Soenda yang menunjukkan bahawa tidak identiknya Kiyai Haji Muhyiddin dengan Dalem Bojong. Kedua-duanya memang anak Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, tetapi Kiyai Haji Muhyiddin personaliti tersendiri dan Dalem Bojong personaliti yang lain pula. Menurutnya makam Kiyai Haji Muhyiddin dalam majalah itu disebut namanya yang lain, iaitu Bagus Muhyiddin Ajidin, terletak di sebelah selatan makam Syeikh Abdul Muhyi, sedang makam Dalem Bojong terletak di sebelah timur. Barangkali keturunan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan itu sangat ramai yang menjadi ulama di daerah Jawa Barat, sewaktu penulis berulang-alik di Pondok Gentur, Cianjur (1986 M-1987 M) difahamkan bahawa Kiyai Haji Aang Nuh di pondok pesantren adalah termasuk keturunan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Penulis sendiri menerima beberapa amalan wirid dari kiyai itu dan ternyata memang terdapat hadiah al-Fatihah untuk Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan dan beberapa ulama lainnya untuk memulakan amalan. Dari Kiyai Haji Aang Nuh juga, penulis mendengar cerita-cerita yang menarik mengenai Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. Sampai sekarang Pondok pesantren Gentur dikunjungi mereka yang mempunyai permasalahan yang sukar diselesaikan dari seluruh Indonesia, tempat itu sentiasa ramai kerana doa kiyai itu dianggap mustajab. Di Pondok-pesantren Gentur itu tidak mengajar disiplin ilmu sebagai pondok-pesantren lainnya, di situ hanya mengajar amalan-amalan wirid terutama selawat atas Nabi Muhammad. Penulis sempat mewawancara pengunjungnya, menurut mereka wirid atau amalan yang diterima dari kiyai itu terbukti mustajab. PENYELIDIKAN ILMIYAH Oleh sebab kepopularan ulama yang dianggap Wali Allah ini, beberapa sejarawan, budayawan dan lain-lain telah berusaha menyelidiki biografi ulama yang berasal dari Pulau Lombok itu. Di antara mereka umpamanya seorang Belanda, Snouck Hurgranje, pernah mengembara di Jawa Barat dan di Sukabumi menemukan beberapa naskhah karya yang dibangsakannya kepada karya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan. R. Abdullah Apap ibn R. Haji Miftah menyusun sebuah buku berjudul, Sejarah Pamijahan: Kisah Perjuangan Syeik Haji Abdulmuhyi Mengembangkan Agama Islam di Sekitar Jabar. Aliefya M. Santrie menulis artikel Martabat (Alam) Tujuh Suatu Naskah Mistik Islam Dari Desa Karang, Pamijahan. Dan ramai lagi tokoh yang membuat kajian mengenai ulama yang dibicarakan ini. Khas mengenai artikel Aliefya M. Santrie yang lebih menjurus kepada pengenalan ajaran Martabat Tujuh versi Kiyai Haji Muhyiddin yang ditulis dengan huruf pegon. Setelah penulis teliti dan membanding dengan naskhah yang ada pada penulis yang ditulis dalam bahasa Melayu/Jawi, yang juga tercatat sebagai karya Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, memang banyak persamaan. Demikian juga dengan manuskrip koleksi Muzium Islam Pusat Islam Malaysia nombor kelas MI 839, membicarakan Martabat Tujuh yang merupakan nukilan karya Syeikh Abdul Muhyi itu. Sungguhpun demikian perlu kita ketahui bahawa ajaran Martabat Tujuh sebenarnya bukanlah ciptaan Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan tetapi yang pertama membicarakan ajaran itu ialah dalam kitab bahasa Arab berjudul Tuhfatul Mursalah karya Syeikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri. Kitab tersebut disyarah oleh Syeikh Abdul Ghani an-Nablusi. Martabat Tujuh dalam bahasa Melayu selain yang dibicarakan oleh Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan juga banyak, dimulai oleh ulama-ulama tasawuf di Aceh, diikuti oleh Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dengan Ad-Durrun Nafisnya, Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani juga membicarakannya dalam Siyarus Salikin, Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam Manhalus Shafi dan ramai lagi. Oleh itu, perkembangan ilmu tersebut di dunia Melayu tumbuh subur, tak ubahnya seperti perkembangan ilmu tauhid metode sifat 20 dan fiqh menurut Mazhab Syafie pada zaman itu. Sebagai menutup artikel ini, perlu juga penulis sebutkan sungguhpun Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan terkenal di seluruh Jawa Barat tetapi riwayat hidupnya hampir-hampir tak dikenal di dunia Melayu lainnya. Oleh itu, artikel ini adalah satu usaha memperkenalkannya yang disejajarkan dengan ulama-ulama terkenal yang lain, yang hidup sezaman dengannya, iaitu Syeikh Abdul Malik Terengganu Syeikh Burhanuddin Ulakan, Syeikh Yusuf Khalwati, Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani dan ramai lagi.

Golongan Ahlussunnah menurut Imam al-Baghdad

Oleh DR. ASMADI MOHAMED NAIM manusia diseru supaya tunduk kepada Allah serta berpegang kepada al-Quran dan hadis. SAYA membaca tulisan mengenai makna atau definisi Ahlu al-sunnah wal Jamaah (ASWJ) daripada seorang penulis mingguan pada pertengahan November 2009 lepas. Penulis mengutip definisi Ahlussunnah yang ditulis oleh Imam al-Baghdadi (wafat429H) dalam kitabnya, al-Farq Baina al-Firaq. Namun malangnya perkataan al-turuq al-sifatiah atau ‘jalan-jalan sifat’ dalam definisi tersebut diabaikan. Walhal, itulah antara perkara yang penting untuk menentukan sama ada tauhid yang mensyarahkan sifat-sifat 20 adalah sesuatu yang baru atau sememangnya sudah lama. Pada saya, ada sedikit masalah ‘ketidakjujuran ilmu’, bila dia tidak menerangkan secukupnya maksud al-Baghdadi apabila mensyarahkan pengertian ASWJ. Demikian juga, ada sebuah lagi penulisan yang menceritakan aliran pemikiran tauhid di Nusantara, yang merujuk bahawa aliran yang mensyarahkan Sifat 20 hanyalah muncul selepas tahun 1,000 Hijrah melalui Imam Sanusi dengan kitabnya Umm al-Barahin. Penulis tidak merujuk kemunculan metod tersebut kepada penyusunnya yang sebenar iaitu Abu Hassan al-Asy’ari (wafat324H) yang muncul pada akhir kurun ke 3 Hijrah. Ini masalah ‘sikap amanah’ dalam penulisan. Dalam kesempatan ini, saya hanya mahu menjelaskan siapakah Ahlussunnah menurut penulisan Imam al-Baghdadi yang telah menjadi rujukan definisi ASWJ supaya pembaca dapat memahaminya secara jelas. Beliau menyatakan (hal.19): “Maka golongan yang ke 73 ialah Ahli Sunnah Wal Jamaah iaitu golongan ahl al-ra’y (Ibu Hanifah dan murid-muridnya) dan ahlu al-hadis; bukan mereka yang mempermain-mainkan hadis; dan ulama fikah mereka, penghafal al-Quran mereka, perawi hadis daripada mereka, dan ulama hadis di kalangan mereka, semuanya sepakat atas keesaan Pencipta, keesaan sifat-sifat-Nya, keadilan-Nya, hikmah-Nya dan nama-nama-Nya dan pada bab kenabian dan kepimpinan, hukum hudud dan pada perkara usuluddin.” Seterusnya, Imam al-Baghdadi Rahimahullah memperincikan lapan golongan yang termasuk dalam Ahlusunnah wal Jamaah (lihat bukunya dari halaman 240-243): lGolongan pertama, mereka yang menguasai ilmu khususnya dalam bab Tauhid (meng-esa-kan Allah) dan kenabian, hukum-hukum wa’ad (khabar gembira) dan wa’id (ancaman seksa), pahala dan balasan, syarat-syarat ijtihad, pemerintahan dan kepimpinan. Mereka yang melalui jalan ini ialah ulama Kalam (Tauhid) yang bebas dari fahaman tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan makhluk) dan bebas daripada fahaman ta’til (yang menafikan sifat-sifat yang Azali bagi Allah SWT), dan bebas daripada bidaah al-Rafidhah, Khawarij, Jahmiah, Najariah dan seluruh pengikut bidaah dan hawa nafsu. lGolongan kedua ialah imam-imam fiqh sama ada kumpulan yang cenderung pada rakyun (dalil aqal) atau hadis. Iaitu mereka yang beriktikad (berkeyakinan) pada perkara usuluddin dengan mazhab-mazhab sifat pada Allah dan pada sifat-sifatnya yang azali (membicarakan sifat-sifat Allah SWT sebagaimana sifat 20), dan mereka bebas daripada fahaman Qadariah dan Muktazilah; mereka menetapkan melihat Allah Taala dengan mata (di akhirat kelak) dengan mata tanpa tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), tanpa ta’til’ (menafikan sifat-sifat Allah). Termasuk dalam golongan ini ialah murid-murid kepada Malik, al-Shafie, al-Auza’i, al-Thauri, Abu hanifah, Ibn Abu Laila (wafat148H), sahabat-sahabat Abu Thaur (wafat240H), sahabat-sahabat Ahmad bin Hanbal (wafat241H), ahli al-Zahir, keseluruhan ulama fiqh yang beriktikad dalam bab-bab akal ini dengan prinsip-prinsip Sifat (tauhid yang membahaskan Sifat-sifat Allah). Dan mereka tidak mencampurkannya dengan apa-apa daripada ahli bidaah dan hawa nafsu. lGolongan ketiga ialah mereka yang menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan periwayatan hadis dan sunnah yang disampaikan oleh Nabi SAW, mereka berupaya membezakan antara sahih dan cacat antaranya, mengetahui sebab-sebab al-jarh wa al-ta’dil (kredibiliti seorang rawi) dan mereka tidak memasukkan ilmu mereka dengan apa-apa daripada ahli bidaah dan nafsu yang menyesatkan. lGolongan keempat ialah kaum yang menguasai kebanyakan topik-topik sastera Arab, nahu dan saraf. Mereka berada atas jalan pakar bahasa seperti al-Khalil (wafat175H), Abu ‘Amr bin al-’Ala (wafat 145), Sibawaih (wafat 180H), al-Farra’ (wafat 207H), al-Akhfash (wafat 215H), al-Asma’i, al-Mazini (wafat 236H), Abu Ubaid (wafat 224H) dan seluruh imam-imam Nahu sama ada ulama-ulama Kufah atau Basrah, yang mana mereka tidak mencampurkan ilmu mereka dengan sesuatu daripada bidaah al-Qadariah, atau Rafidhah atau Khawarij.Maka sekiranya seseorang itu cenderung ke arah nafsu yang menyesatkan, maka bukanlah ia daripada golongan Ahlussunnah walaupun kata-katanya adalah ‘hujah’ dalam ilmu bahasa dan Nahu. lGolongan kelima, antaranya ialah mereka yang menguasai ilmu yang berkaitan dengan jenis-jenis qiraat untuk al-Quran dan jenis-jenis tafsiran al-Quran, penakwilannya berdasarkan mazhab-mazhab Ahlussunnah, tanpa berpegang dengan takwilan ahli nafsu yang sesat. lGolongan keenam ialah, antaranya ialah para ahli zuhud sufi yang mempunyai ilmu maka jauh pandangan, yang telah dinilai maka ia diiktibarkan, mereka reda dengan hidup yang ringkas, mereka mengetahui bahawa penglihatan, pendengaran dan hati dipertanggungjawabkan terhadap kebaikan dan kejahatan; menghisab dengan neraca zarah-zarah, justeru menyediakan diri mereka dengan sebaik-baik persiapan untuk hari Kiamat. Perkataan mereka berjalan di atas dua jalan iaitu secara jelas dan isyarat di atas jalan ahli hadis, tanpa mereka ‘membeli’ pandangan yang mempermainkan hadis. Mereka tidak melakukan kebaikan kerana riak, tidak pula meninggalkan kebaikan kerana malu kepada orang lain. Agama mereka hanya satu dan menafikan pentasybihan (menyerupakan Allah dengan makhluk), mazhab mereka ialah tafwidh (menyerahkannya) kepada Allah SWT, bertawakal kepada-Nya, penyerahan kepada-Nya, tenang dengan apa yang direzekikan-Nya. lGolongan ketujuh ialah, antaranya kaum yang terikat dengan barisan hadapan peperangan dengan orang-orang kafir, berjihad melawan musuh-musuh Islam, mereka menjadi benteng melindungi umat Islam, meninggalkan isteri-isteri mereka dan negara mereka dan menzahirkan pada barisan hadapan mereka Mazhab ASWJ. lGolongan kelapan ialah, antaranya kebanyakan negara-negara yang secara kebiasaannya terdapat syiar ASWJ, bukannya negara yang menzahirkan syiar ahli hawa-nafsu yang sesat. Itulah huraian sebenar al-Imam Abdul Qahir bin Tohir bin Muhammad al-Baghdadi. Rupanya, ramai sebenarnya yang diiktiraf sebagai Ahlussunnah. Ia berbeza dengan pandangan yang meminoritikan dan mengeksklusifkan ASWJ hanya untuk golongannya sahaja, dengan tuduhan sesat dan bidaah pada perkara remeh-temeh seperti qunut, talkin, zikir selepas solat, berdoa beramai-ramai dan sebagainya. Lihat kata Imam al-Baghdadi tentang perkara-perkara cabang (hal. 19): “Mereka (ASWJ) hanya khilaf mengenai halal dan haram pada cabang hukum, bukanlah khilaf tersebut mengundang kepada sesat dan fasik; mereka adalah puak yang terselamat, kerana mereka bersatu pada keesaan Pencipta dan qidam-Nya, qidam segala sifatnya sejak azali, dan harus melihat-Nya tanpa sebarang perumpamaan dan gangguan, serta yakin terhadap isi kandungan kitab-Nya dan rasul-Nya, dan mengikut segala syariat Islam dan menghalalkan segala yang dihalalkan oleh al-Quran, dan mengharamkan segala yang diharam oleh al-Quran serta menerima apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan beriman pada hari kebangkitan dan perhitungan, dan soal dua Malaikat dalam kubur, beriman dengan telaga Kauthar dan Timbangan. Semoga masyarakat Islam tidak terbelenggu dengan perpecahan yang lebih parah, lantaran perkara-perkara tersebut. Banyak masa yang perlu digunakan untuk memperbetulkan generasi muda yang menyongsang arus dengan pelbagai gejala sosial. Wallahu a’lam.