Senin, 15 Agustus 2011

Mazab imam Ghozali

Mazhab secara bahasa artinya adalah tempat untuk pergi. Berasal dari kata zahaba - yazhabu - zihaaban . Mahzab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata tersebut.
Sedangkan secara istilah, mazhab adalah sebuah metodologi ilmiyah dalam mengambil kesimpulan hukum dari kitabullah dan Sunnah Nabawiyah. Mazhab yang kita maksudnya di sini adalah mazhab fiqih.
Mazhab Tidak Hanya Empat Saja
Sesungguhnya mazhab fiqih itu bukan hanya ada 4 saja, tetapi masih ada banyak lagi yang lainnya. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun yang terkenal hingga sekarang ini memang hanya 4 saja. Padahal kita juga mengenal mazhab selain yang 4 seperti mazhab Al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid , juga mazhab Az-Zaidiyah yang didirikan oleh Zaid bin Ali Zainal Abidin , juga ada mazhab Azh-Zahiriyah yang didirikan oleh Daud bion Ali Azh-Zhahiri dan mazhab-mazhab lainnya.
Sedangkan yang kita kenal 4 mazhab sekarang ini adalah karena keempatnya merupakan mazhab yang telah terbukti sepanjang zaman bisa tetap bertahan, padahal usianya sudah lebih dari 1.000 tahun. Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah adalah empat dari sekian puluh mazhab yang pernah berkembang di masa kejayaan fiqih dan mampu bertahan hingga sekarang ini. Di dalamnya terdapat ratusan tokoh ulama ahli yang meneruskan dan melanggengkan mazhab gurunya. Dan masing-masing memiliki pengikut yang jumlahnya paling besar, serta mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama.
Para ulama mazhab itu kemudian menulis kitab yang tebal-tebal dalam jumlah yang sangat banyak, kemudian diajarkan kepada banyak umat Islam di seluruh penjuru dunia. Kitab-kitab itu sampai hari ini masih dipelajari di berbagai perguruan tinggi Islam, seperti di Al-Azhar Mesir, Jami’ah Islamiyah Madinah, Jami’ah Al-Imam Muhammad Ibnu Suud Riyadh, Jamiah Ummul Qura Mekkah dan di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Bahkan di Al-Azhar dibuka fakultas Syariah dengan jurusan dari masing-masing mazhab yang empat itu.
Sementara puluhan mazhab lainnya mungkin terlalu sedikit pengikutnya, atau tidak punya ulama yang sekaliber pendirinya yang mampu meneruskan kiprah mazhab itu, atau tidak mampu bertahan bersama bergulirnya zaman. Sehingga banyak diantaranya yang kita tidak mengenalnya, kecuali lewat kitab-kitab klasik yang menyiratkan adanya mazhab tersebut di zamannya.
Buku mereka sendiri mungkin sudah lenyap dari muka bumi, atau barangkali ikut terbakar ketika pasukan Mongol datang meratakan Baghdad dengan tanah. Sebagian yang masih tersisa mungkin malah disimpan di musium di Eropa. Memang sungguh sayang sekali, ilmu yang pernah ditemukan dan berkembang besar, kemudian lenyap begitu saja di telan bumi.
Pentingnya Bermazhab
Banyak orang salah sangka bahwa adanya mazhab fiqih itu berarti sama dengan perpecahan, sebagaimana berpecah umat lain dalam sekte-sekte. Sehingga ada dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermazhab, bahkan ada yang sampai anti mazhab.
Penggambaran yang absurd tentang mazhab ini terjadi karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar tentang hakikat mahzab fiqih. Kenyataannya sebenarnya tidak demikian. Mazhab-mazhab fiqih itu bukan representasi dari perpecahan atau pereseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam.
Sebaliknya, adanya mazhab itu memang merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali kepada Al-Quan dan As-Sunnah. Kalau ada seorang bernama Mas Paijo, mas Paimin, mas Tugirin dan mas Wakijan bersikap yang anti mazhab dan mengatakan hanya akan menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah saja, sebenarnya mereka masing-masing sudah menciptakan sebuah mazhab baru, yaitu mazhab Al-Paijoiyah, Al-Paiminiyah, At-Tugiriniyah dan Al-Wakijaniyah.
Sebab yang namanya mazhab itu adalah sebuah sikap dan cara seseorang dalam memahami teks Al-Quran dan As-Sunnah. Setiap orang yang berupaya untuk memahami kedua sumber ajaran Islam itu, pada hakikatnya sedang bermazhab. Kalau tidak mengacu kepada mazhab orang lain yang sudah ada, maka minimal dia mengacu kepada mazhab dirinya sendiri. Walhasil, tidak ada di dunia ini orang yang tidak bermazhab. Semua orang bermazhab, baik dia sadari atau tanpa disadarinya.
Lalu bolehkah seseorang mendirikan mazhab sendiri?
Jawabnya tentu saja boleh, asalkan dia mampu meng-istimbath sendiri setiap detail ayat Al-Quran dan As-sunnah. Kalau kita buat sedikit perumpamaan dengan dunia komputer, maka adanya mazhab-mazhab itu ibarat seseorang dalam berkomputer, di mana setiap orang pasti memerlukan sistem operasi . Tidak mungkin seseorang menggunakan komputer tanpa sistem operasi, baik Windows, Linux, Mac OS atau yang lainnya. Adanya beragam sistem operasi di dunia komputer menjadi hal yang mutlak bagi setiap user, sebab tanpa sistem operasi, manusia hanya bicara dengan mesin.
Kalau ada orang yang agak eksentrik dan bertekad tidak mau pakai Windows, Linux, Mac Os atau sistem operasi lain yang telah tersedia, tentu saja dia berhak sepenuhnya untuk bersikap demikian. Namun dia tentu perlu membuat sendiri sistem operasi itu, yang tentunya tidak terlalu praktis.
Apalagi buat orang-orang kebanyakan, rasanya terlalu mengada-ada kalau harus membuat dulu sistem operasi sendiri. Bahkan seorang programer level advance sekalipun belum tentu mau bersusah payah melakukannya. Buat apa merepotkan diri bikin sistem operasi, lalu apa salahnya sistem operasi yang sudah tersedia di pasaran. Tentu masing-masingnya punya kelebihan dan kekurangan. Tapi yang jelas, akan menjadi sangat lebih praktis kalau kita memanfaaatkan yang sudah ada saja.
Sebab di belakang masing-masing sistem operasi itu pasti berkumpul para maniak dan geek yang bekerja 24 jam untuk kesempurnaan sistem operasinya.
Demikian juga dengan ke-4 mazhab yang ada. Di dalamnya telah berkumpul ratusan bahwa ribuan ulama ahli level tertinggi yang pernah dimiliki umat Islam, mereka bekerja siang malam untuk menghasilakn sistem fiqih Islami yang siap pakai serta user friendly. Meninggalkan mazhab-mazhab itu sama saja bikin kerjaan baru, yang hasilnya belum tentu lebih baik.
Akan tetapi boleh saja kalau ada dari putera puteri Islam yang secara khusus belajar syariah hingga ke level yang jauh lebih dalam lagi, lalu suatu saat merumuskan mazhab baru dalam fiqih Islami.
Namun seorang yang tingkat keilmuwannya sudah mendalam semacam Al-Imam al-Ghazali rahimahullah sekalipun tetap mengacu kepada salah satu mazhab yang ada, yaitu mazhab As-Syafi’iyah. Beliau tetap bermazhab meski sudah pandai mengistimbath hukum sendiri. Demikian juga dengan beragam ulama besar lainnya seperti Al-Mawardi, An-Nawawi, Al-’Izz bin Abdissalam dan lainnya.

KEUTAMAAN ALI BIN ABI THALIB KW.

Bulan Rajab adalah bulan kelahiran Sayyidina Ali kw, karena itu kita akan mengungkap sekelumit dari sisi kehidupan beliau.Sayyidina Ali adalah sepupu pertama Nabi Muhammad SAW. Ayahnya, Abu Thalib dab ayah Nabi SAW, Abdullah, adalah anak Abdul Muthalib dari satu ibu. Seperti nama istrinya, Ibu Sayyidina Ali juga bernama Fatimah. Fatimah adalah putri Asad putranya Hasyim yang terkenal itu, dan Asad adalah saudara Abdul Muthalib. Jadi ayah dan ibu Sayyidina Ali adalah saudara sepupu.
Sayyidina Ali lahir pada tanggal 13 Rajab, sekitar 610 M, yakni 23 tahun sebelum Hijrah. Saat Ali lahir, ayahnya dan saudara sepupunya, Nabi Muhammad SAW sedang bepergian ke luar kota Makkah. Ibunya memberi nama Asad dan Haidar. Ayahnya menamainya Zaid. Tapi ketika Nabi SAW pulang, beliau merawat sepupu kecilnya ini dan menamainya Ali, dan mengatakan bahwa ini adalah nama yang ditetapkan Allah untuknya. Diantara sekian kunyah-nya (nama panggilan yang mengungkapkan rasa hormat), yang paling terkenal adalah Abul Hasan, Abus Sibtain dan Abu Turab. Gelar-gelarnya adalah Murtadha (yang terpilih), Amirul Mukminin (Pemimpin kaum Mukmin), Imamul Muttaqin (Imam orang-orang bertakwa).
Ibn Abil Hadid, pensyarah kitab Nahjul Balaghah mengutip perkataan Ibn Abbas. Kata Abbas, “Pernah aku bertanya kepada ayahku: ‘Ayah, sepupuku Muhammad memiliki banyak anak, yang semuanya meninggal ketika masih kecil, siapa diantara mereka yang paling dicintai?’ Ayahnya menjawab, “Ali bin Abi Thalib.” Aku berkata, “Ayah, yang aku tanyakan tentang anak-anaknya?” Dia menjawab, “Nabi Muhammad SAW mencintai Ali lebih dari mencintai seluruh putranya. Ketika Ali masih kecil, aku tak pernah melihat dia terpisah dari Muhammad barang setengah jam sekalipun, kecuali kalau Nabi SAW bepergian untuk beberapa urusan. Aku tidak pernah melihat seorang ayah mencintai anaknya sebesar Nabi SAW mencintai Ali dan aku tidak pernah melihat seorang anak sedemikian patuh, sedemikian lengket dan mencintai ayahnya seperti Ali mencintai Nabi SAW.”
Ali mulai bertindak sebagai pengawal Nabi SAW bahkan ketika usia 14 tahun. Para pemuda Quraisy, atas anjuran orang tua mereka, sering melempari Nabi dengan batu. Ali memenuhi tugas sebagai pembela Nabi. Dia jatuhkan para pemuda itu, merobek hidung satu musuh, merontokkan gigi musuh lainnya serta membanting yang lainnya. Dia sering bertarung melawan orang-orang yang lebih tua darinya. Dia sendiri sering terluka, tapi dia tidak pernah meninggalkan tugas yang dia pilih sendiri. Selang beberapa hari, dia mendapat nama panggilan Qadhim (pembanting) dan tidak seorang pun berani melempar sesuatu kepada Nabi ketika Ali mendampinginya dan dia tidak akan pernah membiarkan Nabi pergi sendirian. Pengorbanannya pada malam menjelang hijrah dan perjungannya di seluruh medan tempur adalah bukti nyata kecintaannya yang amat mendalam kepada Nabi SAW.
Allamah Muhammad Mustafa Beck Najib, filosof Mesir terkenal dan Professor Studi Islam Universitas Al-Azhar, dalam bukunya Himayatul Islam, berkata: “Apa yang bisa dikatakan tentang Imam ini? Sangat sulit menjelaskan sifat dan watak personal Imam seutuhnya. Cukuplah kita sadari bahwa Nabi SAW memberinya gelar gerbang ilmu dan hikmah. Dia pribadi yang paling berilmu, paling berani dan orator ulung serta penceramah paling fasih. Ketakwaannya, kecintaannya kepada Allah, ketulusan dan ketabahannya dalam menjalankan agama adalah diantara derajatnya yang begitu tinggi sehingga tak seorang pun dapat bercita-cita untuk mencapainya. Dia politikus teragung karena membenci diplomasi dan mencintai kebenaran serta keadilan, kebijakan politiknya adalah sebagaimana yang diajarkan Allah. Dia dicintai semua orang, dan setiap orang memberikan tempat di hatinya untuk Imam. Dia orang yang memiliki karakter begitu unggul dan agung serta watak yang begitu luhur dan tiada tara, sehingga banyak ilmuwan yang takjub mempelajarinya dan membayangkannya sebagai manifestasi wakil Allah. Banyak di antara Yahudi dan Kristen yang mencintai dia, dan para filosof diatara mereka pun yang kebetulan tahu ajaran-ajarannya membungkukkan diri di depan lautan ilmunya yang tak tertandingi.”
Sejarawan Islam, Masudi dalam Sirah Al-Halabiyya, mengatakan: “Jika nama agung sebagai Muslim pertama, seorang kawan setia Nabi di pengasingan, kawan seperjuangan Nabi dalam menegakkan keimanan, sahabat karib Nabi dalam kehidupan dan saudara Nabi. Jika pengetahuan sejati tentang spirit ajaran-ajaran Nabi dan Al-Quran,jika penegasian ego diri dan penegakan keadilan, kejujuran, kesucian dan cinta akan kebenaran, kesemuanya layak mendapatkan keagungan, maka kita harus menganggap Ali sebagai yang paling terkemuka. Kita akan sia-sia mencari berbagai keistimewaan yang telah dianugrahkan Allah kepada Ali, baik dari kalangan pendahulunya kecuali Nabi Muhammad atau dari para penerusnya.” Masudi lalu berkata lagi: “Kesepakatan umum diantara para sejarawan dan teolog Muslim adalah bahwa Ali tidak pernah menjadi non-Muslim dan tidak pernah sekali pun menyembah berhala. Karenanya, pertanyaan kapan dia memeluk Islam, tidak dan tidak akan pernah muncul.”
Menikah dengan Sayyidah Fatimah
Sayyidina Ali menikah dengan Sayyidah Fatimah, putri Nabi SAW dari Sayyidah Khadijah. Dia bertunangan dengan Fatimah beberapa hari sebelum berangkat Perang Badar, tapi pernikahannya dirayakan tiga bulan setelahnya. Dari Sayyidina Ali, Fatimah memiliki 4 anak dan yang anak kelima (Muhsin) mengalami keguguran ketika masih berada dalam kandungan. Penyebab kecelakaan ini dan juga penyebab kematian Sayyidah Fatimah adalah peristiwa yang amat tragis dan menyedihkan dalam hidup mereka. Nama putra-putri mereka adalah Hasan, Husain, Zainab (istri Abdullah ibn Ja’far) dan Ummu Kultsum (istri Ubaydillah ibn Ja’far). Selama Fatimah hidup, Sayyidina Ali tidak menikahi wanita lain. Sepeninggal Fatimah dia menikahi Yamamah dan sepeninggal Yamamah, menikah lagi dengan seorang wanita bernama Hanafia, yang darinya Ali memiliki seorang anak bernama Muhammad Hanafia. Sayyidina Ali memiliki banyak anak yang beberapa diantaranya memiliki tempat tak tertandingi dalam sejarah kemanusiaan, seperti Hasan, Husain (Pahlawan Karbala), Zainab (Pembela Islam di Kufah dan Damaskus setelah Tragedi Karbala), Abbas (Panglima Tentara Husain) dan Muhammad Hanafia (Pahlawan dalam Perang Nahrawan).
Sikap Sayyidina Ali Kepada Musuh
Talha ibn Abi Talha bukan hanya musuh sengit Islam, tapi juga musuh Nabi SAW dan Sayyidina Ali. Upayanya untuk mencelakakan kedua orang ini serta misinya sudah menjadi fakta historis.Dalam perang Uhud, dia adalah pengusung panji pasukan Quraisy. Ali menghadapi dia dan berduel dengannya, menyerang dia dengan pukulan telak hingga terhuyung-huyung dan jatuh tersungkur. Ali meninggalkannya dalam keadaan terjatuh. Banyak panglima Muslim memerintahkan agar Ali menghabisinya, dengan mengatakan bahwa dia adalah musuhnya yang paling jahat. Ali menjawab: “Musuh atau bukan musuh, sekarang dia tidak berdaya, dan aku tidak bisa menyerang seseorang yang tidak berdaya. Jika dia bisa bertahan biarkan saja dia hidup selagi masih berumur.” Dalam Perang Jamal, di tengah pertempuran budaknya Qambar membawa sedikit air dan berkata: Tuanku, matahari amat panas dan Anda masih terus akan bertempur, meminum segelas air dingin ini bisa menyegarkan Anda? Dia melihat sekitarnya dan menjawab: “Bisakah aku minum ketika beratus-ratus orang mati terkapar dan sekarat karena kehausan dan terluka parah? Daripada membawakan air untukku, bawa sedikit orang dan kasih minum setiap orang yang terluka ini.” Qambar menjawab: “Tuanku, mereka semuanya musuh kita.” Dia berkata: “Mungkin mereka musuh kita, tapi mereka manusia. Pergilah dan rawat mereka.”
Waktu itu bulan Ramadhan, sudah tiba waktu shalat subuh. Masjid Kufah sudah penuh. Sayyidina Ali sedang sujud dan ketika mau mengangkat kepalanya, sebuah tebasan telak mengenai kepalanya yang membuatnya luka parah. Suasana di masjid menjadi gempar dan kacau. Pembunuh melarikan diri. Orang-orang berhasil menangkap dan membawanya ke hadapan Sayyidina Ali yang terluka dan bersimbah darah. Beralaskan sajadah Sayyidina Ali berbaring diatas pangkuan putra-putranya. Dia tahu tebasan itu sangat fatal dan dia tidak akan bertahan lagi. Tetapi ketika pembunuhnya digelandang ke hadapannya, dia melihat jerat yang memborgolnya terlalu kencang hingga menyayat dagingnya. Ali melirik kepada kaum Muslim dan berkata: “Seharusnya kalian jangan begitu kejam kepada sesama, kendorkan talinya, tidakkah kau lihat tali ini melukai dia dan membuatnya kesakitan.”
Peribadatan Sayyidina Ali
Sebagai hasil binaan langsung Rasulullah SAW, maka sifat-sifat Sayyidina Ali terbentuk persis seperti sifat-sifat Rasulullah SAW dalam semua seginya,baik ibadah, pemikiran maupun tingkah laku.Ia mengikuti jalan yang ditempuh Rasulullah SAW dan menapaki jejak-jejak langkahnya. Al-Qusyairi menuturkan dalam Tafsir-nya bahwa apabila datang waktu shalat, wajah Sayyidina Ali tampak pucat dan tubuhnya gemetar. Karena itu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, mengapa begitu. Ali menjawab, “Telah datang waktu amanat yang dulu ditawarkan Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, namun mereka menolaknya, dan kemudian diterima oleh manusia sekalipun manusia ini lemah. Karena itu, aku tidak tahu apakah aku akan bisa memikul amanat itu dengan baik ataukah tidak.” Sulaiman ibn Al-Mughirah meriwayatkan dari ibunya, katanya, “Aku bertanya kepada Ummu Sa’id, seorang jariah Sayyidina Ali tentang Shalat beliau di bulan Ramadhan.” Ummu Sa’id menjawab, ”Ramadhan dan Syawal, sama saja. Beliau selalu shalat di sepanjang malam.”
Allah SWT begitu agung dalam pandangan Sayyidina Ali, sehingga ibadah yang dilakukan merupakan ungkapan dari rasa cinta dan kerinduan kepada-Nya. Beliau mengungkapkan hubungan dirinya dengan Allah melalui ucapannya yang berbunyi, ”Ilahi, aku tidak menyembah-Mu lantaran takut siksa-Mu, dan tidak pula berharap akan pahala dari-Mu. Tetapi aku menyembah-Mu semata-mata lantaran aku mendapatkan-Mu sebagai Dzat yang semestinya disembah.”
Sayyidina Ali Penghulu Para Sufi
Dalam sebuah buku yang berjudul Hilyah al-Awliya’, diceritakan sejarah para sufi (wali) dari seluruh zaman. Ali bin Abi Thalib menempati urutan pertama. Mengapa harus dimulai dari Ali bin Abi Thalib ? Bukankah sahabat itu banyak ? Itu disebabkan karena di dalam tasawuf, sahabat yang menjadi rujukan adalah Sayyidina Ali. Tokoh-tokoh tasawuf di seluruh negeri Islam bersumber kepadanya dan berhenti di hadapannya. Pada Ali-lah ilmu tarekat bersumber dan pada Ali-lah ilmu tarekat berhenti. Hal tersebut ditegaskan oleh Asy-Syibli, Al-Junayd, Abu Yazid al-Busthami, Abu Mahfuzh al-Kharkhi, dan lain-lain. Begitulah Sayyidina Ali! Sejarah agung sarat dengan peristiwa-peristiwa yang menggambarkan keluhuran budi dan perilakunya, keberanian dan keluasan ilmunya, keutamaan serta kemuliaannya.
Salam atas Wasyi Rasulullah, Salam atas penghulu Para Wali, Salam atas Putra Ka’bah, Salam atas Suami Putri Nabi, Salam atas Ayahanda Al-Hasan dan Al-Husain, Salam atasmu Wahai Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Warahmatullahi Wabarakatuh.